Thursday, June 30, 2016

Kue Lebaran

Teman : Sudah buat kue lebaran, Mi?

Umi : Nggak buat.

Teman : Lebaran nggak ada kue, dong?

Umi : Insyaallah ada, biasanya datang sendiri?

Teman : Kok bisa?

Umi : Terbukti bertahun-tahun bisa, ada yang diantar sebagai hadiah, ada juga yang dipesan.

Teman : Kok nggak buat sendiri, kan lebih hemat?

Umi : Pernah, dulu waktu gadis semua buat sendiri bahkan sampai sirup juga, tamu bapak banyak. Sudah berkeluarga malah pernah produksi untuk dijual, berbagai macam.

Teman : Kok sekarang malah berhenti, kan sekalian mengajari anak yang sudah besar-besar?

Umi : Sedang membiasakan anak-anak untuk memanfaatkan Ramadhan sebaik-baiknya. Kalau belajar membuat kue, insyaallah tinggal selangkah lagi, mereka sudah Umi biasakan dengan pekerjaan perempuan dan rumah tangga.

Teman : Selama Ramadhan apa kegiatan mereka?

Umi : Kalau yang sudah remaja kegiatan yang berkaitan dengan AlQur'an.

Friday, June 17, 2016

Ramadhan, Melatih Konsistensi.

Banyak yang bisa kita lakukan di bulan mulia ini untuk melatih konsistensi, baik itu dari amalan ibadah, muamalah maupun skill.
Dalam hal ibadah, kita berlatih untuk tidak meninggalkan ibadah-ibadah wajib dengan memperbanyak yang sunnah. Tarawih membiasakan kita sabar untuk shalat, harapannya di luar Ramadhan tak ada lagi shalat wajib yang tertinggal.
Menjelang berbuka dan saat sahur adalah waktu yang sangat baik untuk berdoa, tidak ada salahnya kita melibatkan orang lain untuk mengaminkan dengan menuliskan harapan itu di wall sebagai status. Bukan untuk show force ibadah, tapi untuk saling mengingatkan waktu mustajab untuk melangitkan doa. Ada juga yang konsisten membuat status berupa quote cantik setiap harinya, tentu ini sangat bermanfaat untuk teman-teman yang membacanya.
Kita pun bisa menggunakan momen Ramadhan untuk konsisten berlatih menulis. Usahakan ada coretan yang kita buat untuk menandai hari-hari yang berlalu. Selain untuk memperhalus kepekaan menulis, juga melatih meramu kata agar lebih enak dibaca. Bisa kita lakukan di wall fb, blog atau grup menulis. Tulisan-tulisan itu akan menjadi dokumen sebagai jejak langkah-langkah kecil kita meniti jalan ini.
Kalau kita melakukannya dengan santai, maka tak akan terasa berat, tak merasa dituntut, tidak juga dibebani target. Santai tapi terukur.

Thursday, June 16, 2016

Membaca Pikiran Orang Lain

Bisakah kita membaca pikiran orang lain?

Mungkin ada ilmu tentang itu, salah satu metode yang digunakan para psikolog, psikiater atau konsultan lainnya dalam upaya menggali data kejiwaan kliennya. Tapi, bisakah dijamin kebenarannya? Misalnya pun benar, sepertinya hanya mencakup sebagian kecil dari pikiran yang sesungguhnya.

Sepertinya, pikiran manusia begitu sulit diukur kedalaman, ketinggian dan keluasannya. Mungkin melebihi dalamnya samudra, tinggi dan luasnya langit, karena pikiran manusia ada yang menembus batas ukuran yang kasat mata, menjelajah alam ghoib.

Luar biasa memang, ciptaan Allah yang bernama pikiran!

Kita tidak bisa menyamakan pikiran orang lain dengan ukuran sendiri, sangat tergantung pada pengalaman hidup, wawasan ilmu dan ketrampilan melatih logika berpikirnya.

Kita hanya bisa meraba kedalamannya melalui sikap yang ditampakkan, bahasa tubuh, ucapan atau tulisannya, itupun setelah terjadi pengulangan dengan karakter yang sama.

Itu sebabnya kita dihimbau untuk tidak mudah berprasangka, karena sering terjadi kesalahan dalam sangka-sangka itu.

Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. . . (Terjemah QS.Al-Hujurat : 12)

Dalam menentukan hukuman, seharusnya berdasarkn bukti-bukti dan saksi yang terpercaya, bukan sekedar prasangka dan permainan logika yang menjebak. Dikhawatirkan, bukan keadilan yang ditegakkan, justru fitnah yang menyebar dan meresahkan masyarakat.

Kita tak akan mampu menjangkau pikiran orang lain, bahkan milik sendiri pun sulit mengukurnya. Listasan-lintasan yang berkelebat, sering membuat kita ragu dalam banyak hal. Pagi berkata a, sore berpendapat b.

Lebih baik hindari percaya sepenuhnya pada manusia biasa karena suatu saat sangat mungkin pikirannya berubah. Sangat mungkin kita akan selalu kecewa saat berharap pada manusia, karena memang seharusnya tempat menggantung asa hanya Allah yang Maha Kuasa atas segala sesuatu.

Satu hal pasti bahwa logika kita sangat terbatas dalam menguasai ilmu yang Allah berikan, apalagi kalau sudah menyangkut Dzat Allah dan kekuasaan-Nya. Berendah diri akan sangat menyelamatkan kita dari jebakan kebebasan berpikir yang kebablasan.

Wednesday, June 15, 2016

Menghisab Sebelum Dihisab

Dan (pada hari itu) kamu lihat tiap-tiap umat berlutut. Tiap-tiap umat dipanggil untuk (melihat) buku catatan amalnya. Pada hari itu kamu diberi balasan terhadap apa yang telah kamu kerjakan. (Terjemah QS. Al-Jatsiyah : 28)

Seorang sahabat Rasulullah Saw. mengatakan,"Hisablah dirimu sebelum dihisab."

Pernah melakukannya? Sehari saja? Pernahkah berhasil?

Saya pernah mencoba dan ternyata belum pernah berhasil, karena lupa. Juga kurang teliti!

Akhirnya saya perkecil! Hanya menghitung apa yang saya ucapkan dalam waktu kurang dari sepuluh menit!

Caranya?

Saat berkesempatan memberikan sambutan di suatu acara, saya rekam dari awal hingga akhir. Dari rekaman itu saya memperhatikan, apa-apa yang terucap dan didengar oleh puluhan orang yang hadir. Mana kata dan kalimat yang memotivasi, menambah ilmu, dan mana yang beraura negatif, melemahkan, asesoris bahkan kosong makna sekedar menghidupkan suasana.

Hal serupa bisa kita lakukan terhadap apa-apa yang kita tuliskan pada status-status di fb, postingan di grup dan blog yang terdokumentasi dengan  baik, walaupun kita akan kerepotan kalau mau menghisab komen-komen yang tersebar di postingan teman-teman kita. Selain jenis kata yang kita tuliskan, juga untuk melihat perkembangan pemikiran kita, karena sebelum menuliskan, kita lebih leluasa berpikir dibandingkan sebelum bicara.

Kita dianjurkan untuk menghisab diri setiap malam sebelum tidur, secara pribadi saya sangat sulit melakukan itu, apalagi dengan kebiasaan pergi tidur ketika sudah sangat mengantuk atau bahkan tertidur karena kelelahan. Setidaknya, upayakan untuk memaafkan dan mengikhlaskan orang-orang yang dengan sengaja atau tidak, telah menyakiti hati kita.

Apa yang baiknya kita lakukan atas ketidak suksesan menghisab diri sebelum dihisab di akhirat nanti?

Perbanyak istighfar, berfikir sebelum bicara dan bertindak, batalkan prilaku yang jelas-jelas sebuah pembangkangan kepada Allah.

Tuesday, June 14, 2016

Tulisan Tak Berjenis

Pernahkan merasakan, semakin ke belakang, bukannya tambah percaya diri, malah merasa kualitas tulisan tidak bermutu, kalau tidak bisa dibilang memalukan, jika dibandingkan dengan karya teman lain.

Dari pemilihan judul, sampai saat ini merasa belum sukses memilih judul yang menggigit.

Opening? Datar, sangat biasa.

Pemilihan diksi? Wah, apalagi!

Akhir yang tak terduga? He he yang bagaimana, tuh?

Jadi, apa jenis tulisan kita?

Wah, bisa-bisa tidak berjenis maupun berkelas, lebih tepatnya obrolan yang dituliskan, ya sepertinya cocok sebutan itu.

Hmm, yang jadi masalah, apakah tulisan yang tidak jelas jenisnya, bukan artikel, opini, novel, cerpen, puisi atau apapun namanya, tidak boleh diposting? Tidak dibutuhkan? Tidak ada yang mau membaca? Tidak layak dibukukan?

Hal-hal seperti inilah yang sering menghambat seorang pemula untuk menuliskan buah pikirannya. Malu, takut salah, dsb.

Hah!

Abaikan semua itu! Jangan mau dihambat! Terus tulis apa yang ingin disampaikan, selama yakin bahwa yang dituliskan adalah sesuatu yang baik! Yakinlah, suatu saat masing-masing akan menemukan warna yang paling pas untuk karakter kita. Sambil terus belajar, mengejar ketertinggalan teori menulisnyang kita butuhkan. Jenis tulisan dan teori kepenulisan adalah wadah yang kita pilih untuk mengemas ide pikiran agar lebih menarik untuk dibaca. Jangan sampai sibuk mempercantik bungkus sedang kualitas isi ala kadarnya. Sebaiknya, keduanya terus kita tingkatkan kualitasnya.

Sunday, June 12, 2016

Shock Therapi

Saat Allah memberikan rasa sakit yang mendera, bisa jadi itu cara-Nya mengingatkan kita, betapa berat siksa di alam kubur dan neraka.

Yang kita rasa di dunia, konon kabarnya jauh lebih ringan dari siksa yang di sana.

Akankah peringatan itu berpengaruh atau lewat begitu saja?

Pernah merasakan sakit kepala?
Jenis apa?
Level berapa?
Merasakan kepala seakan remuk dipalu?
Itu baru seakan, belum sesungguhnya!

Pernah merasakan sakit gigi?
Seakan mulut dibetot-betot?
Itu baru seakan, belum yang sesungguhnya!

Pernah merasakan perut mual seakan diaduk-aduk? Muntah tak bisa, usus seakan dipilin-pilin?
Itu baru seakan, belum yang sesungguhnya!

Pernah sakit herpes? Kulit terbakar? Luka?
Bagaimana rasa panasnya?
Seakan berada di depan tungku yang sedang menyala?
Itu baru seakan, belum yang sesungguhnya, apalagi nyemplung ke dalam tungku itu!

Sanggupkah bila harus mengalami yang sesungguhnya?

Mungkin itu semua shock therapi yang Allah berikan, agar kita tidak terlalu sombong dan berani menentang-Nya!

Mari perbanyak sujud, selagi bisa.

Allahumma ajirna minannaar!

Thursday, June 9, 2016

Prasangka yang Proporsional

Sulit menghindari prasangka kepada orang lain, sedang kita bisa melihat, mendengar dan berfikir.

Tidak selamanya prasangka baik itu sesuai kenyataan dan bisa jadi prasangka buruk itu benar adanya.

Prasangka baik yang polos bisa saja menghilangkan kewaspadaan dan menjerumuskan, sedang prasangka buruk yang dipertahankan bisa mendatangkan fitnah dan tuduhan palsu.

Jadi, bagaimana seharusnya?

Proporsional!

Kalau tidak bisa menghindari prasangka, karena salalu ada lintasan dalam fikiran, maka kita harus berusaha proporsional dalam menilai sesuatu, yang nampak atau tersembunyi, yang dikatakan maupun dirahasiakan

Kenapa?

Jangan sampai kita masuk ke dalam golongan orang-orang yang rugi.

Jika prasangka baik kita benar, sesuai kenyataan, maka keuntungan bagi kita, tidak mengotori hati.

Jika prasangka baik kita salah, hati kita tidak terkotori, tapi mungkin kewaspadaan berkurang sehingga keburukan seseorang tidak dapat dicegah, bahkan mungkin mendatangkan musibah kepada orang lain.

Prasangka baik yang proporsional tetap menyisakan ruang dalam hati untuk menerima kemungkinan bahwa kenyataannya tidak seperti prasangka kita, mengingat dalam diri manusia selalu ada kemungkinan khilaf, sehingga sikap waspada dan bersiap mencegah hal buruk masih sempat dilakukan.

Prasangka buruk jelas mengotori hati kita, dan itu kerugian. Tapi prasangka buruk yang proporsional berdasarkan fakta, akan meningkatkann kewaspadaan dan upaya untuk pencegahan andai prasangka itu benar adanya.

Dengan selalu menyambungkn hati kepada Allah, kita akan lebih terlatih berprasangka yang proporsional kepada makhluk-makhluk-Nya, satu hal yang tak perlu kita ragukan dalam prasangka adalah kepada Allah, jangan pernah sekalipun berprasangka buruk kepada Allah, karena itu adalah , kesalahan fatal!

Subhanallah!

Wednesday, June 8, 2016

Makna Gambar

Mungkin kita pernah berprasangka saat melihat gambar yang diupload saat memberikan sumbangan atau bantuan.

"Yaa, ngasih bantuan segitu aja pake cekrek!"

"Pencitraan!"

"Kampanye!"

"Pamer!"

Benarkah?

Mungkin sebagian benar, terutama saat kita di posisi yang diberi atau sebagai saksi.

Yang pasti tidak semuanya begitu, terutama saat kita mendapat amanah untuk menyampaikan bantuan itu kepada sang penerima. Apalagi kalau sang pemberi tidak ingin atau tidak bisa langsung menyampaikan kepada yang menerima. Hal itu akan memberikan ketenangan kepada pemberi amanat, bahwa niatnya sudah tersampaikan.

Yups! Benar!

Tujuannya adalah pertanggung jawaban sebagai pengemban amanah. Agar semuanya jelas, ada bukti dan tak ada prasangka buruk. Andainya pun dipublikasikan, itu bisa saja sebagai bentuk syiar.

Sekali lagi, semua terkait dengan masalah niat dan itikad!

Tidak semua kita mempunyai kemampuan untuk memberi, maka sedikit andil dalam menyampaikan pun sudah mempunyai nilai sebagai pemberi manfaat, insyaallah.

Tuesday, June 7, 2016

Apresiasi untuk Pembaca Al-Qur'an

Sangat menggembirakan kalau kita melihat bentuk apresiasi terhadap pembaca dan penghafal Al Qur'an di Indonesia akhir-akhir ini. Dari beasiswa penuh, sebagian, bantuan dari gubernur, MTQ dan yang paling menggiurkan adalah lomba hafidz yang ditayangkan TV dengan hadiah melimpah dan popularitas. Berita terbaru, di SPBU tertentu memberikan gratis 2 liter pertalite untuk yang membaca 1 juz Al Qur'an.

Pastinya, berbagai opini muncul dengan berita-berita tersebut.

Sebagai muslim, bagaimana kita bijak menyikapinya?

1. Baiknya, kita kembali menggali dan memahami, apa itu Al Qur'an dan apa tujuan diturunkannya. Jangan sampai kita berpendapat, bersikap dan mengmbil tindakan tanpa didasari pemahaman yang benar.

Al Qur'an merupakan kitab yang berisi firman Allah sebagai petunjuk hidup manusia, membacanya bernilai ibadah, bahkan Allah akan membalas dari setiap huruf yang dibacanya dengan kebaikan yang berlipat-lipat.

2. Apakah boleh digunakan untuk mendapatkan hadiah?  Sebelumnya kita perlu menjawab pertanyaan, apakah bisa digunakan untuk mendapatkan hadiah jika tidak ada yang menyelenggarakan?

Sebagai penyelenggara, tentu punya niat tertentu mengadakan event yang berujung pada pemberian hadiah kepada pembaca dan penghafal Al Qur'an. Kita sudah terlalu pandai untuk memahami itu. Ada niat  yang murni ingin mensyiarkan Al Qur'an dan memotivasi pembaca dan penghafalnya, ada juga yang menunggangi kerja baik ini untuk mencapai tujuan tertentu. Niat seseorang memang bukan wewenang kita untuk menilainya, tapi jangan sampai hal itu menjebak kita tanpa sengaja mendukung program yang justru kontradiktif dengan tujuan mulia mensyiarkan Al Qur'an, bahkan bisa menjurus pada pelecehan terhadap kemuliaannya.

Sebagai pembaca dan penghafal Al Qur'an, tak ada larangan kita mengambil hadiah itu, anggap saja itu bonus, rizki dari Allah di luar pahala yang Allah janjikan. Ibarat seorang petani yang pergi ke sawah untuk menanam dan merawat tanaman padi untuk mendapatkan gabah/ beras. Dalam prosesnya bertemu dengan belut-belut yang membuat lobang di sawahnya. Tidak salah mengambil belut-belut itu, tapi jangan sampai melupakan tujuan utamanya menanti panen gabah, sehingga begitu bernafsu memburu belut, membongkar lobang-lobangnya hingga merusak tanamannya, akhirnya gagal panen!

Tujuan kita membaca, menghafal, memahami dan mengamalkan Al Qur'an adalah sebagai ibadah kepada Allah. Keridhoan dan balasan dari Allah yang menjadi tujuan! Jangan sampai kita melencengkan niat itu! Jelas sebuah kerugian yang sangat besar!

"... Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagi kamu" (terjemah QS. Yasin : 60)

Monday, June 6, 2016

Buku sebagai Hadiah

Saya lebih senang memberi hadiah berupa buku daripada dalam bentuk lainnya, bahkan sejak dulu, sebelum menerbitkan buku karya sendiri.

Ada beberapa alasan :
1. Praktis dibawa dan sangat mudah mengemasnya.
2. Tidak harus segera dinikmati, bisa kapan saja dan merupakan konsumsi intelektual yang termasuk jarang dimasukkan dalam daftar hadiah.
3. Pilih buku sesuai momen.
4. Manfaatnya jangka panjang.

Setelah menerbitkan buku sendiri, ternyata selera saya dalam memberi hadiah, juga ada pada orang lain. Beberapa teman yang memesan buku, sengaja mengirimkannya untuk orang lain, sebagai hadiah pernikahan, melahirkan atau untuk saudaranya yang dianggap membutuhkan isi buku saya.

Hmm, bahagianya saya karena andil dalam upaya membahagiakan orang lain.

Thursday, June 2, 2016

Membiasakan Peka Pekerjaan Rumah Tangga

Sedih itu kalau melihat anak sudah besar tapi kadang kurang peka dengan pekerjaan rumah.

Lha, di rumahnya sendiri nggak perhatian, bagaimana di rumah orang lain?

Ada apa ini? Adakah yang terlewat saat meneladankan, memberi pengertian atau keliru dalam mengapresiasi?

"Malu, ada lima perempuan di rumah ini, sampai Abi masak nasi!"

"Nggak tau, Mi, kalau nasinya habis."

Nah!

Itu tanda kurang peka, kan?

"Masak, sih anaknya sudah besar-besar, Umi masih nyapu?"

Hayoooo, anak siapa yang seperti ini?

Mungkin hal seperti ini dianggap wajar, karena kebanyakan anak sekarang diarahkan mengoptimalkan waktunya untuk sekolah, privat atau kursus. Sisa waktunya dipakai untuk update informasi di medsos. Tidak ada lagi waktu untuk urusan rumah tangga, yang sebagian keluarga memiliki asisten untuk membereskan semua urusan itu.

Yang jadi masalah, adakah jaminan kehidupan anak-anak itu akan selalu sejahtera? Semua bisa menggaji asisten untuk mengatasinya? Bagaimanapun mereka semua akan berumah tangga, akan menghadapi semua urusan itu, dari membereskan rumah, memasak, dll.

Jika mereka tidak terlatih, siapa yang akan menjadi korban?
Orang yang ada di sekitarnya!
Harusnya ada adaptasi kilat antara suami istri, agar tidak menjadi kebiasaan dan kenyamanan dengan kondisi rumah yang selalu berantakan. Semakin ditunda, semakin sulit diperbaiki. Kalau belum punya anak saja rumah selalu berantakan, bagaimana kalau sudah hadir anak-anak yang bisa jadi tidak sedikit dan jaraknya dekat? Harusnya terjalin kolaborasi antara suami istri, kalau suami termasuk tipe yang cuek, maka istri mengimbanginya dengan lebih rajin dan rapi, jangan sampai suami malas, istri mengimbahgi dengan kemalasan juga, sempurna deh, amburadulnya.

Sebagai orang tua, sepertinya kita perlu mengevaluasi dan belajar dari pengalaman orang lain yang lebih senior.

Wednesday, June 1, 2016

Saat Uang Jadi Tuhan

Saat dompet menipis
Seakan sah-sah saja seorang suami menampakkan wajah berlipat untuk sang istri

Saat uang tak ada
Seolah wajar-wajar saja seorang ibu memuncak emosi, menyalahkan suami, memarahi anak-anak yang dianggap tak memahami kondisi.

Saat isi kantong habis terkuras, sedang perut lapar melilit, seolah boleh saja mencuri, bahkan dalil agama dijadikan sandaran untuk membenarkannya.

Saat gengsi bertengger menjadi mahkota, seolah wajar saja melakukan korupsi untuk menjaga imaji.

Saat hati gulana ketika tak ada uang dalam genggaman, kemanakah Tuhan yang menenangkan?

Ahay! Jangan-jangan, selama ini uanglah yang menduduki posisi-Nya dalam diri!