Tuesday, May 31, 2016

Menulis sebagai Pengingat

Mungkin kita akan diuji dengan apa yang pernah kita ucapkan dan tuliskan.

Sebagai mana Dr. 'Aidh al-Qarni selalu mengingatkan dirinya saat bersedih, "Hai, bukankah engkau penulis buku La Tahzan?"
Begitu kira-kira yang pernah saya baca.

Supaya kita bertanggung jawab terhadap apa yang pernah kita ucapkan dan tuliskan.

Sebagai perangkai kata, kadang kita menyusun kalimat yang begitu indah dan mengena di hati, biasanya dijadikan quote yang juga banyak disukai orang lain. Quote yang menelusup mengusik rasa, menginspirasi dan memotivasi. Sayangnya, manusia itu lekat dengan sifat pelupa, termasuk dengan apa yang pernah diucapkannya.

Dengan menuliskan, ucapan-ucapan itu akan terdokumentasi, yang akan mengingatkan saat kita lupa.

Begitulah dengan buku saya yang keenam, merupakan buku pertama non cerita, 'Agar Hidup Terasa Tenang'.

Buku mungil yang saya susun dengan tujuan utama mengingatkan diri sendiri dan berharap bermanfaat juga untuk orang lain. Lebih pada upaya mendokumentasikan hasil perenungan terhadap hidup yang sudah dijalani. Hidup dari kalangan orang biasa, yang kemungkinan besar juga dialami oleh umumnya manusia biasa.

Buku mungil yang cukup mahal jika dibandingkan dengan harga buku umum dengan ukuran yang lebih besar. Mahal karena dicetak sedikit. Dan akan sangat murah saat dicetak banyak, jika dibandingkan dengan kemanfaatan yang didapat dari membacanya.

Sengaja dibuat mungil, agar mudah dibawa dan sering dibaca. Juga diproyeksikan untuk sahabat yang berminat menjadikannya suvenir atau berbagi hadiah dan shodaqoh. Sepertinya kita harus mulai mencoba bershodaqoh dalam bentuk buku yang bermanfaat, mengingat kemanfaatannya yang lebih lama dan bisa diteruskan kepada yang lain.

Sunday, May 29, 2016

Usia dan Ijazah

Belum satu bulan Hany di rumah, setelah sebelumnya belajar di Pare, kampung bahasa,  selama 8 bulan. 

Sengaja diistirahatkan dulu, entah berapa lama. Selain mendawamkan hafalan Qurannya, juga mengistirahatkan transfer sejenak. Kami sedang memprioritaskan biaya Harish masuk SD dan daftar ulang mbak-mbaknya.

Beberapa hari lalu dia mengajukan diri menjadi ustadzah program pesantren ramadhon, sudah senang-senang diterima, bisa murojaah sambil menerima setoran plus berpenghasilan, eeeee, dibatalkan karena umurnya belum 18 tahun. Padahal di persyaratan tidak dicantumkan  batasan usia, kata penyelenggaranya, lupa.  Ha ha ha, dianggap masih anak-anak, mungkin.

Coba melihat peluang di bimbel, tertarik mengajar privat bahasa Inggris atau bahasa Arab, karena rekomendasi dari tempat kursusnya, sudah bisa untuk mengajar. Tapi, ada kendala lain, ijazah. Persyaratan untuk jadi guru bimbel, minimal D3 atau S1. Ha ha ha, ketawa lagi, lha lulus SLTA saja belum?

Yo wes, Hany, menikmati aktivitas di rumah dulu, lumayan memahirkan ketrampilan kerumah tanggaan sambil terus muroja'ah hafalan. Kita belum bisa mendobrak sistem yang masih terbelenggu formalitas. Siapkan  saja diri dengan kualitas terbaik, insyaallah nanti dipertemukan jalannya.

Saturday, May 28, 2016

Kesedihan Orang Tua

Banyak hal yang membuat orang tua merasa sedih saat memperhatikan anak-anaknya terkait pemenuhan kebutuhan yang tak sempurna.

Bukan tidak bersyukur dengan apa yang sudah Allah berikan berupa karunia yang melimpah di beberapa sisi kehidupan, tapi semata keinginan memberikan kasih sayang dalam bentuk yang lebih dari yang sudah diberikan.

Saat menyaksikan keluarga lain mengajak anak-anaknya week end di acara-acara yang berbiaya besar, betapa keceriaan dan kegembiraan itu mengingatkan pada anak-anak yang menghabiskan waktunya di rumah dengan mainan dan sarana soa adanya.

Saat orang tua lain mampu membelikan buku berkualitas berseri dengan harga jutaan, teringat anak-anak yang hampir setiap pulang sekolah membawa buku pinjaman untuk menuntaskan hasrat gilanya dalam membaca.

Saat menyaksikan orang tua lain menyekolahkan anak-anaknya hingga tuntas dan mengulurkan modal besar untuk anaknya yang memulai usaha, teringat si sulung yang bekerja keras dengan kreativitas untuk menghindari modal, tanpa kenal lelah, siang jadi malam, istirahat sesempatnya, hati ini berdesir saat mengkhawatirkan kesehatannya.

Apakah ini bentuk keserakahan?

Atau perasaan iri terhadap nikmat yang Allah berikan kepada orang lain?

Astaghfirullah.

Lembutkan hati ini yaa Latif, lembut yang bukan mudah terhanyut pada kemudahan dan kenikmatan dunia, tetapi peka dengan segala karunia yang telah Engkau berikan.

Begitu melimpah karunia-Mu dengan memberikan kondisi yang kondusif untuk mendidik mereka menjadi manusia kuat.

Begitu banyak bukti, orang-orang hebat lahir dari keluarga yang kekurangan harta, tapi mampu menjadikannya sebagai medan didik yang melahirkan singa-singa yang menguasai dunia.

"Seandainya tidak ada musibah dan cobaan, niscaya tidak akan tampak keutamaan sabar, ridho, tawakkal, dan jihad"
(Ibnul Qayyim)

#Graha Malahayati, menanti pentas Muhammad Teladanku

Friday, May 27, 2016

Menulis untuk Keabadian

Sebuah jargon yang sangat dihafal para penulis.

Menulislah, maka kamu akan abadi!

Jika...maka...seolah itu rumus yang pasti terjadi.

Sesederhana itukah?

Sederhanakah proses abadinya Ibnu Taimiyyah, Bukhori, Muslim, dll dalam karya-karyanya yang masih kita temui hingga kini?

Hah! Bagai menggapai matahari! Apalagi memulainya saat usia tak muda lagi!

Bukan mustahil, bukan menyerah, tapi tahu diri! Agar tidak jatuh pada mengumbar angan-angan.

Bukan juga pragmatis, tapi realistis yang tetap idealis.

Mari kita bicara masalah keabadian, anggap saja maknanya tidak pernah mati.

Kalau secara fisik, tentu itu mustahil, tapi secara pemikiran, hal itu sangat mungkin.

Yang jadi pertanyaan, pemikiran apa yang akan kita abadikan dan dalam bentuk apa?

Saya memutuskan, mengabadikan pemikiran-pemikiran dalam bentuk tulisan di blog! Ya, blog! Untuk itu, sampai saat ini saya sudah membuat 10 blog untuk menampung dan mengabadikan ide-ide yang tak berhenti bertunas di pikiran.

Kenapa blog?

Praktis dan aman! Selama ada akses internet, saya bisa mengisinya kapan saja, dan siapapun bisa membuka dan membacanya.

Saya membayangkan, beberapa tahun ke depan, saat tak lagi menghirup oksigen dunia, mungkin anak-anak, keluarga dan sahabat ingat dan merindukan. Mereka bisa menemui saya di blog-blog yang di dalamnya berisi kenangan, pemikiran, bahkan foto-foto saya bersama mereka.

Itu cara yang paling mungkin mengabadikan diri dalam tulisan, untuk saat ini.

Sebuah konsep sederhana untuk realisasi jargon di atas, sebagai salah satu alternatif yang mudah, disamping upaya lain untuk pengabadiannya, misalnya dengan menerbitkan buku yang dibutuhkan sepanjang zaman.

Abadi bukan sekedar abadi, tapi yang bernilai amal jariyah, ilmu yang bermanfaat, sehingga dia bisa menjadi salah satu tambang catatan ibadah kita di hadapan sang pencipta.

Home Sweet Home

Seperti apakah gambarannya?

Mungkin setiap individu berbeda kriterianya.

Mungkin kita termasuk yang memperhatikan suasana sebuah keluarga, terutama saat berkesempatan menginap atau sering berinteraksi dengan sebuah keluarga, walau belum berkesempatan bermalam bersama.

Ada keluarga yang terlihat begitu damai, tenang, sejahtera, tak ada masalah atau gejolak. Tingkat ekonomi memadai untuk mencukupi kebutuhan sesuai tuntutan zaman. Tak ada pembicaraan serius kecuali urusan rutinitas, makan, ke kantor, sekolah, rekreasi dsb. Semua anggota keluarga melakukan rutinitas sesuai tugas masing-masing, sama setiap harinya.

Muncul pertanyaan, apa tidak bosan?

Mungkin tidak, kalau memang itu pencapaian yang diinginkan dari perjuangannya selama ini. Atau memang tipenya seperti itu, senang dengan kemapanan. Hidup mapan, tanpa kekurangan materi. Menikmati hasil perjuangannya yang panjang. Model keluarga seperti ini banyak ditemui di kalangan PNS atau BUMN, karirnya berjenjang, tangga demi tangga dilalui.

Berbeda dengan keluarga pebisnis atau wira usaha. Bisa dibilang tak ada istirahatnya, bahkan saat sudah sukses sekalipun, berusaha menjaga agar tidak bangkrut. Tidak bisa lengah!

Bagaimana dengan keluarga dakwah?
Keluarga yang tak pernah berhenti memikirkan masalah umat, bagaimana pun kondisi perekonomian keluarganya. Rumahnya adalah markas untuk mempersiapkan apa yang akan dilakukannya untuk kebaikan umat. Entah dalam kondisi lapang atau sempit. Rumahnya adalah masjid, untuk meningkatkan kualitas ruhiyah. Rumahnya adalah sekolah yang mendidik dengan prinsip asah, asih, asuh. Anggotanya saling mengutkan dan mengingatkan dalam proyek kebaikan.

Masih banyak tipe home sweet home yang ada di masyarakat.

Hmm, home seperti apa yang sweet home bagi kita?

Bukan Senang Hutang Budi

Adakalanya kita dalam posisi memberi, tapi suatu saat diberi kesempatan sebagai penerima kebaikan orang lain.

Pernah merasakan di posisi sebagai penerima? Bahkan sering? Atau selalu di posisi itu di hadapan orang tertentu?
Bagaimana jika saat itu ada yang mengatakan kita orang yang cuek, tidak berperasaan? Santai saja menerima budi baik?

Sedih, ya?

Padahal, alangkah berat rasa di hati kalau perhitungannya adalah budi balas budi, memberi satu menerima satu, diberi dua mengembalikan dua, tidak akan selesai perhitungan seperti itu.

Memang benar, dianjurkan membalas kebaikan dengan yang lebih baik, minimal sama baiknya.

Tapi pada kenyataannya, kehidupan orang perorang tidak sama. Ada yang diberi kelebihan harta, ada yang ilmu, tenaga, waktu, dll.

Dalam kebersamaan, kita harusnya saling memberi dan menerima sesuai kemampuan. Yang punya kelebihan harta, berbagilah dengan hartanya dan jangan berharap dibalas oleh yang menerima, bertransaksilah dengan Allah, karena yang menerima hanya sebagai perantara transaksi itu. Justru harusnya berterima kasih, karena tanpa ada yang mau menerima, maka tidak akan ada transaksi dengan Allah.

Begitu pun yang menerima, bersyukurlah, itu bagian dari rizki, tidak perlu malu menerima, selama kita tidak meminta. Kesediaan kita menerima sebagai memberi kesempatan orang lain berbuat baik. Bayangkan jika kita sebagai orang yang berniat baik memberikan sesuatu, kemudian pemberian itu ditolak, bagaimana perasaannya? Sedih, kan?

Manusia diciptakan untuk saling tolong menolong, saling memberi kesempatan berbuat baik. Kaitkan semuanya sebagai ibadah kepada Allah. Innalillahi wa inna ilaihi rojiun. Semua berasal dari Allah dan akan kembali kepada-Nya.

Tuesday, May 17, 2016

Tidak Ibadah Tapi Makmur

Katanya, orang-orang yang bertaqwa akan diberi kehidupan yang baik, tapi faktanya, banyak ahli ibadah maupun aktivis dakwah, hidupnya miskin dan memprihatinkan?

Di sisi lain, tidak sedikit orang-orang yang jauh dari agama, rizkinya seolah tak pernah kering, bahkan melimpah.

Pernah berfikir seperti itu?

Oke, mungkin beberapa (terjemah) ayat ini bisa menjelaskannya.

Barangsiapa menghendaki kehidupan sekarang (duniawi), maka Kami segerakan baginya di dunia itu apa yang kami kehendaki bagi orang yang kami kehendaki dan Kami tentukan baginya neraka jahannam; ia akan memasukinya dalam keadaan tercela dan terusir.

Dan barangsiapa yang menghendaki kehidupan akhirat dan berusaha ke arah itu dengan sungguh-sungguh sedang ia adalah mukmin, maka mereka itu adalah orang-orang yang usahanya dibalasi dengan baik.

Kepada masing-masing golongan baik golongan ini maupun golongan itu Kami berikan bantuan dari kemurahan Tuhanmu. Dan kemurahan Tuhanmu tidak dapat dihalangi.

Perhatikanlah bagaimana Kami lebihkan sebagian dari mereka atas sebagian (yang lain). Dan pasti kehidupan akhirat lebih tinggi tingkatnya dan lebih besar keutamaannya.

Janganlah kamu adakan tuhan yang lain di samping Allah, agar kamu tidak menjadi tercela dan tidak ditinggalkan (Allah).
(Terjemah QS. Al Isro : 18-22)

Monday, May 16, 2016

Kemampuan-Sertifikat-Legalitas

Rasanya kok agak aneh, setelah sekian lama bebas memilih apa yang mau dibaca, sedang untuk beberapa hari ini sudah ditentukan buku-buku apa yang harus dilalap.

Lima tahun lalu, bukan hal yang berat kalau harus melek sampai jam 24.00 untuk membaca dan mempelajari buku literatur tubuh manusia, akupunktur dan kesehatan.

Sekarang?

Serasa mahasiswi, padahal umur sudah setengah abad!
Masalah tidur sih, nggak ada beda, aktivitas juga sama, membaca dan menulis, yang beda isinya. Belakangan lebih banyak membaca dan menulis gagasan dan pengembangannya, sedangkan beberapa hari ini menggali, menghafal dan memahami ilmu dan konsep yang sudah ada.

Kenapa, sih mau repot-repot ujian sertifikasi ilmu yang sudah dipraktekkan? Bukankah sudah terbukti mampu?

Sssst!

Sebagai warga yang baik, kita harus taat hukum! Jangan sampai niat dan amal menolong orang lain terkendala karena kurang terpenuhinya aspek administrasi dan legalitas.

Dah! Sekarang bantu doa, agar usaha kebaikan ini menuai sukses, supaya langkah kebaikan bisa dilanjutkan, oke?

Sunday, May 8, 2016

Siapa Suka Dinilai?

Jika mendapat nilai baik saat ujian, tentu itu yang diharap.

Jika lulus saat ikut tes, karena nilai yang tinggi, tentu itu harapannya.

Jika dinilai sebagai orang yang baik hati, dermawan, suka membantu, sabar, perhatian, cerdas, hmmm, Alhamdulillah, tapi senang juga, kan?

Bagaimana jika ada yang menilai apalagi menjudge kita dengan bod**, tol**, lemah, tidak tahan banting, baperan, temperamental, ceng***, kurang smart, lembon, dsb?

Mau marah?

Apa cuek, abaikan, EGP?

Apa membalas xenganmkata-kata yang lebih menyakitkan walau tanpa bukti!

Yok smart!

Jika ada yang menilai kita dengan aroma negatif, boleh marah, nggak suka, sedih, bahkan nangis bombay, tapi jangan berhenti sampai disitu!

Jangan sampai reaksi kita membenarkan penilaian itu!

Kembalikan pada yang memberi penilaian untuk membuktikan, di mana letak benarnya apa yang dikatakan.

Kalau mereka mampu menunjukkan, dan ternyata itu benar, makamitu keuntungan! Kita jadi tahu kelemahan dan kekurangan itu dari penilaianmobyektif, bukan sekedar perasaan kita.

Jika mereka tak mampu membuktikan, bisa jadi penilaian itu sekedar bentuk kecemburuan mereka atas kelebihan kita, dan mereka tanpa sadar mengakui itu.

So, ambil keuntungan dan pelajaran dari setiap kejadian, sepedih apa pun rasa yang sempat mampir di hati kita.

Wednesday, May 4, 2016

Kasus Yuyun, Sebuah Tamparan!

Untuk siapa?

Semua kalangan! Terutama keluarga.

Kenapa Keluarga?

"Karena semua penyakit masyarakat berasal dari rumah, dan obatnya pun, ada di rumah," kata seorang teman.

Rumah siapa? Pelaku? Korban?

Semua rumah yang membentuk masyarakat.

Saya pikir, jawaban itu bisa diterima saat kita memandang permasalahannya secara luas.

Beberapa kasus yang mencuat memang membuat kita geram dan berujung paranoid.

Musibah yang menimpa Yuyun terjadi sebulan yang lalu, gadis belia, 14 tahun, tewas mengenaskan setelah diperlakukan dengan cara melebihi kebuasaan binatang, tapi ramai di media baru beberapa hari ini. Apakah karena tkpnya ada di pelosok?

Sebelumnya kasus Dwiki, siswa SMK di Lampung yang tewas mengenaskan, dibantai oleh teman-teman sebayanya hingga 107 tusukan di tubuhnya. Apa khabarnya?

Dua kasus heboh yang melibatkan remaja-remaja kita, yang menurut psikologi memang masa usia labil, padahal kalau menurut ukuran syariah Islam, sudah masuk masa baligh, yang berarti sudah menanggung akibat dari semua perbuatannya.

Di sinikah akar masalahnya?

Keterlambatan menyiapkan kemampuan memasuki masa baligh.

Siapa yang bertanggung jawab untuk melakukannya?

Maaf, tidak bermaksud menyalahkan pihak manapun, karena semua unsur saling terkait, hanya mencoba membahasnya dari sudut pernyataan awal di atas.

Kalau setiap keluarga mampu tidak menimbulkan penyakit atau menularkannya ke tengah masyarakat, tentu penyakit masyarakat tidak akan terlalu parah. Andai pun tertular, saat masuk rumah, dia akan mendapatkan pengobatan.

Semua kita bisa melakukan itu tanpa harus menjadi pejabat yang berwenang membuat peraturan, karena hampir sema kita memiliki keluarga.

Jadikan tamparan ini sebagai pengingat untuk kembali memfungsikan peran keluarga dalam perbaikan masyarakat.

Monday, May 2, 2016

Bangga?

Bangga itu nggak boleh, ya? Katanya merasa diri besar atau tinggi?

Tapi  bingung mau menyebutnya?

Kalau istilah Jawa, mongkog. Atine mongkog!

Mongkog itu perasaan sangat senang, bersyukur dan bahagia melihat sesuatu yang berhubungan dengan dirinya.

Beneran! Hati ini merasa gimanaaaa gitu, melihat anak yang dulu imut, kini sudah besar, semoga dewasa.

Sudah berani menikah dan mengambil amanah seorang istri di usianya yang ke dua puluh. Dan semoga di usianya yang ke 22 atau sebelumnya, menjadi seorang ayah, masyaallah.

Bangga melihatnya bersungguh-sungguh melakoni tanggung jawabnya, bekerja keras untuk keluarga. Bukan hanya bisa tampil di panggung untuk tilawah, mc atau jadi moderator, negosiasi dengan calon investor maupun customer, tapi juga bekerja dengan pakaian seperti karyawannya, celana selutut dan kaos oblong. Sedang istri tergolek mual, sambil sebentar ditanya, mau makan apa?

Iiih! Persis! 22 tahun yang lalu.

Memang!

Belajar itu lebih efektif dengan cara melihat bukti dan terlibat langsung dalam praktek nyata.

Nggak Ilok

"Kalau melihat Umi sibuk masak atau beresan rumah, ya jangan nyantai mainan hp."

"Mbak Hafa aja baca terus, Mi?" celetuk Harish.

"Kenapa, Mi?" tanya Husna.

"Nggak ilok, kata orang Jawa."

"Nggak ilok, apa sih, Mi?"tanya Harish, sambil tangannya sibuk membongkar mobil-mobilan, entah sudah bongkaran keberapa.

"Nggak ilok itu, ya nggak patut, nggak pantas, nggak sopan, nggak peka, membiarkan orang tua kerja, sedang anak-anaknya, apalagi anak perempuan nyantai, padahal sudah bisa membantu. Harusnya malu, kalau sudah bisa masak, tapi membiarkan Umi masak, kalau sudah matang tinggal makan."

"Kalau belajar atau murojaah hafalan, gimana?" tanya Husna.

"Umi juga ngerti kok, kapan anaknya jangan diganggu dengan pekerjaan. Rumah ini punya kita, ya kita harus jaga bersama, makanya Umi bagi tugas minimal, kalau pagi Husna menyapu, Hafa buang sampah. Mencuci baju dan masak, fleksibel, kan semua kita sudah bisa, nggak harus Umi. Sudah puluhan tahun Umi masak dan mencuci. Nggak usah nunggu disuruh, mana yang kelihatan perlu dibereskan, ya kerjakan. Bisa kok anak-anak membantu pekerjaan di rumah, sekaligus latihan, tinggal diatur saja waktunya, kapan membereskan urusan belajar, kapan membantu beresan rumah, itu juga bagian dari belajar, ya belajar hidup."

"Iya, deeeeeh, tapi kalau lagi cape, nanti-nanti ya bantunya, istirahat dulu sambil baca-baca," kata Hafa.

"Kalau lagi cape, Umi minta tolong, bilang aja baik-baik, jangan diam atau mengerjakan sambil ngedumel, marah-marah, muka cemberut, rugi dong, sudah cape nggak berpahala karena nggak ikhlas."

***

Tidak mudah mengajarkan kepekaan kepada anak yang sudah sibuk dijejali dengan agenda sekolah, dari pagi sampai sore, belum lagi PR, ekskul, dsb. Pulang cape, maunya istirahat, nyantai, baca-baca, nonton TV atau mainan komputer dan hp.

Hmm, tantangan orang tua di zaman seperti ini.