Thursday, March 31, 2016

Nggak Enak Main Sendiri

Harish : Umi, kemarin enak lah di sekolah, main perang-perangan. Pasukan Indonesia pakai bambu runcing, tentara belanda pakai bedil, tapi Abi njemputnya cepeeet, Harish belum selesai main.

Umi : Kalau tadi pas Abi jemput, Harish main apa?

Harish :  Permainan bola tapi pake kertas dilipat.

Umi : Ya udah, main lagi.

Harish : Harish maunya main bola beneran, tapi nggak ada temen. Umi temenin Harish di depan,ya? Belajarnya pake tab aja.

Hmm, tanggung sih sebenarnya, lagi ngetik di komputer, tapi okelah, cuma nemenin kok, nggak usah ikut main. Ngerjakan yang konsepnya ada di tab dulu.

Bekali Anak dengan Ketrampilan

Sering ngobrol dengan ibu-ibu yang mengeluhkan anak gadisnya tidak tahu urusan dapur, tidak peka urusan rumah tangga, dsb.

Tiap keluarga memang punya metode masing-masing dalam pendidikan keluarga, termasuk melatih ketrampilan dalam urusan pekerjaan rumah tangga.

Kondisi setiap keluarga memang berbeda, entah itu dari keadaan ekonomi, pendidikan, pekerjaan orang tua dan terutama visi misi keluarga itu.

Dengan alasan kesibukan sekolah dan lebih penting belajar, bisa jadi seorang anak dibebaskan serta tidak pernah dilatih untuk melakukan tugas tertentu di rumah

Atau karena selalu ada asisten keluarga di rumahnya. Sebab lain, karena ibu full di rumah, sehingga semua urusan rumah ditangani sendiri.

Sebenarnya yang jadi masalah pokok bukan orang tua terbantu, tapi lebih pada rasa kasihan pada anak kalau nantinya mereka tidak siap menghadapi situasi yang berurusan dengan ketrampilan itu.

Ketika anak-anak terlatih, setidaknya pernah diberi kesempatan melakukannya, tentu hal itu sangat berarti untuk bekal hidupnya. Bagaimana masak, membersihkan rumah, cuci setrika pakaian, dll.
Saat ibu sakit atau asisten keluarga libur, tentu tidak akan terlalu berpengaruh pada urusan rumah tangga.

Allah melarang meninggalkan anak-anak yang lemah di belakang kita, salah satunya adalah dengan membekali ketrampilan sebagai pelengkap kemandiriannya.

#sssst! di buku Beranda Harish ada lho caranya 

  

Wednesday, March 30, 2016

Istri Bekerja atau Berpenghasilan?

Beda ya?

Biasanya disebut istri bekerja jika menekuni profesi tertentu yang dalam aktivitasnya terlihat keluar rumah pada jam-jam tertentu, anggaplah jam kantor. Tentu berpenghasilan, biasanya berupa gaji bulanan. Bisa saja sebagai PNS, pegawai swasta, karyawan, buruh pabrik, pedagang di pasar, dsb.

Sedangkan istri berpenghasilan lebih sering digunakan untuk yang kerjanya di rumah atau jam kerjanya tidak rutin, tapi tetap berpenghasilan.

Ada lagi istri yang tidak bekerja dan tidak berpenghasilan, biasanya ini sebutan untuk ibu rumah tangga murni, fokus mengurus rumah tangga dan keluarga, rizki keluarga sepenuhnya atas tanggungan suami.

Keputusan memilih yang mana, tergantung kesepakatan suami-istri yang tentunya ditentukan oleh kondisi dan visi misi keluarga.

Seorang istri bekerja dengan izin suami, biasanya mengambil bidang itu karena terkait pendidikannya, selain untuk berpenghasilan, juga untuk pengembangan potensi diri dan pemanfaatan hasil belajarnya yang mengeluarkan biaya tidak sedikit. Ada beberapa jurusan pendidikan yang lulusannya memang lebih tepat dengan bidang itu. Ada juga alasan lain, misalnya istri memang tipe yang senang bergaul, bila tidak bisa dibilang kurang betah di rumah dengan situasi yang bikin jenuh.
Yang sering jadi keluhan adalah masalah keterikatan dengan urusan pekerjaan serta komitmen, sehingga sering terjadi perbenturan saat istri dibutuhkan di urusan domestik, seperti urusan anak sakit atau masalah pengasuhan anak dsb.

Menjadi istri berpenghasilan dengan tidak meninggalkan urusan rumah, sekarang menjadi pilihan yang niscaya. Sebagian istri bekerja mengambil keputusan untuk kembali ke rumah dan tetap berpenghasilan, tentu dengan potensi diri tertentu yang bisa mengundang penghasilan. Hal ini didasari semakin meningkatnya kesadaran pasangan suami istri akan pentingnya kehadiran ibu secara penuh dalam menemani tumbuh kembang anak-anaknya.

Perbedaan antara istri bekerja atau berpenghasilan dengan ibu rumah tangga murni ada pada masalah penghasilan, yang bersifat sedekah istri kepada suami, yang memiliki tanggung jawab menafkahi keluarga. Bukan berarti tidak bersedekah, sangat bisa, tapi dengan jalur yang berbeda.

Istri yang bisa berpenghasilan hendaklah menjadi sarana solusi masalah keluarga, bukan justru mengundang masalah baru. Pertimbangkan masak-masak sebelum mengambil keputusan, karena ini terkait dengan hak dan kewajiban suami istri yang pertanggung jawabannya kepada Allah. Prioritaskan yang memang seharusnya menjadi hal yang didahulukan.

Apapn pilihannya; istri bekerja, berpenghasilan atau ibu rumah tangga, jadikanlah sebagai sarana untuk penghambaan kepada Allah.




Monday, March 28, 2016

Cinta itu...Kamu

Tidak semua orang mendapatkan nikmat yang utuh, mendapatkan keindahan cinta dari pasangan dan menjalankan kewajiban hidup sesuai dengan tuntunan yang seharusnya.

Ada pasangan yang menikah dengan bekal getar-getar cinta yang tumbuh sebelumnya, tapi cinta itu menghambar seiring berjalannya waktu, kejenuhan melanda, cinta itu meredup. Jika tak ada persediaan bahan bakar untuk membuatnya kembali menyala, maka...tragis di ujung kejenuhan.

Ada pasangan yang memulai langkahnya dengan alasan ketaatan, cinta yang ditumbuh-tumbuhkan, terkadang dipaksakan, jika keduanya tak sungguh-sungguh memperjuangkannya, nasibnyapun bisa sama,... ngenes, tak pernah merasakan indahnya gairah cinta, sebatas kewajiban

Ada juga pasangan yang lebih beruntung, keduanya bersinergi membangun dan merawat cinta itu, maka mereka mendapatkan kesejatian cinta yang mengindahkan lehidupannya.

Cinta itu dibutuhkan kehangatannya saat kehidupan mendingin
Cinta itu harus mendinginkan saat situasi sedang membara
Cinta itu menenangkan saat kegalauan melanda
Cinta itu menyemangati saat kemalasan menyambangi
Cinta itu meramaikan saat sedang kesepian
Cinta itu mengingatkan saat lupa dan lalai
Cinta itu memberi harapan saat putus asa melanda

Cinta itu menguasai jiwa-jiwa yang lemah
Cinta itu menjajah jiwa yang tak gagah
Cinta itu selingkuh untuk jiwa jiwa pengecut
Cinta itu luas bagai langit bagi jiwa yang bijak
Cinta itu sempit untuk jiwa yang kerdil
Cinta itu dikendalikan, bukan pengendali

Cinta itu...kamu

Saturday, March 26, 2016

Bulan Kesiangan

Jalan Pagi

Pastikan Langkah Kita Benar!

Pastikan!
Langkah yang kita ambil adalah benar!
Cari alasan sebanyak-banyaknya! 😃

Contoh:

Menjadi Penulis

Neny (N) : Aku mau jadi penulis untuk menyampaikan pesan-pesan kebaikan.

Suswati (S) : Apa harus dengan jadi penulis?

N : Nggak juga, sih, tapi untuk kondisi saat ini dengan menulis bisa  menjangkau lebih banyak orang.

S : Bukan karena ingin populer?

N : Apa salah kalau populer karena menyampaikan  kebaikan? Bukankah akan lebih banyak lagi yang terimbas pesan-pesan kebaikan itu?

S : Bisa terjebak riya, lho.

N : Riya atau tidak, itu urusan jiwa yang harus selalu terus dimatangkan. Jangan sampai takut riya membuat kita membatalkan rencana baik yang jelas-jelas bermanfaat untuk orang lain dan mengingatkan diri sendiri.

S : Bukan untuk mencari uang?

N : Apa salah kita mendapatkan uang tersebab kebaikan yang kita lakukan?

S : Biasanya kalau sudah merasakan nikmatnya punya uang, suka lupa dengan niat awal yang sepintas terlihat mulia.

N : Realistis aja deh, kita hidup butuh uang, dan mendapatkan uang dengan jadi penulis nggak ada larangannya, kan?

Kesimpulannya?
Menjadi penulis adalah langkah yang benar sampai ada alasan yang menyalahkannya 😃

Jika dalam setiap langkah dan keputusan yang akan kita ambil didahului dengan monolog seperti ini, insyaallah akan meminimalisir salah langkah dalam kehidupan kita.

Thursday, March 24, 2016

Doa sebagai Kebutuhan

وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ ۚ إِنَّ الَّذِينَ يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبَادَتِي سَيَدْخُلُونَ جَهَنَّمَ دَاخِرِينَ

Dan Tuhanmu berfirman: "Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina dina". (QS. Ghafir : 60)

Allah memerintahkan kita berdoa dan berjanji akan memperkenankan.

Berdoa itu kewajiban, karena diperintahkan ataukah kebutuhan kita?

Sebagai makhluk lemah dan penuh kekurangan, sangat wajar kalau kita membutuhkan pertolongan, dan Allah memerintahkan kita untuk minta tolong kepada Allah melalui doa.

Maka doa adalah kebutuhan sekaligus kewajiban.

Apakah doa kita harus persis sama dengan doa Rasulullah?

Mengingat doa adalah kebutuhan, tentunya sebagai sesama manusia kita mempunyai kebutuhan yang sama dengan Rasulullah Saw, wajar kalau doa kita sama. Dan lagi, doa adalah ibadah yang seharusnya tata caranya seperti apa yang Rasulullah contohkan.

Tetapi, sebagai individu, tentunya setiap kita adalah spesial, ada kebutuhan khusus yang akan kita mintakan pada Allah.
Di sinilah terbuka peluang untuk kita berdoa yang lafadznya tidak persis sama dengan Rasulullah Saw, dan itu tidak dilarang! Kita boleh berdoa dengan bahasa yang kita pahami.

Rasulullah Saw. banyak memberikan contoh-contoh lafadz doa, kita bisa memilihnya sesuai kebutuhan. Terkendala bahasa, tidak semua kita hafal dan paham dengan  semua doa yang dicontohkan beliau, itu sebabnya tidak semua doa beliau kita pakai. Bukan berarti tidak nyunnah, tetap saja nyunnah, tapi disesuaikan.

Contohnya dzikir pagi, banyak sekali bacaan dzikir yang beliau contohkan, yang jadi pertanyaan, apakah beliau membaca semuanya setiap pagi ataukah itu dimaksudkan sebagai alternatif yang bisa kita amalkan sebagian sesuai kondisi?

Ada beberapa cara berdoa yang menjadi kebiasaan, ada orang yang kalau berdoa hanya global saja, tapi ada juga yang sangat terperinci. Mana yang lebih baik?

Setiap kita punya alasan, tentunya.

Ada orang kalau berdoa yang diminta dominan istighfar, taubat, penyesalan. Dia fokus pada upaya pembersihan diri dari dosa-dosa. Mungkin pertimbangannya, urusan lain dia percaya bahwa Allah sudah menjaminnya, Allah tahu yang terbaik untuknya, yang menjadi keresahannya adalah kalau Allah tidak mengampuninya.

Ada juga yang detail dan terperinci akan apa yang dimintakannya, karena dia beranggapan, begitulah seharusnya menunjukkan kesungguhan doa.

Biarlah, masalah penilaian kita serahkan pada Allah, selama kita melakukan semaksimal mungkin sesuai dengan tuntunannya.

Berdoalah dengan nyaman, karena kenyamanan saat berdoa sudah merupakan anugerah indah selain dikabulkannya doa kita.

Menulis Novel?



"Sesudah ini, buat novel dong, Mbak, trus nanti difilmkan," seorang teman yang selalu membeli setiap buku saya terbit berkomentar.

Ini motivasi atau nyindir, ya? Ha ha ha.

Lho? Kok saya menanggapinya begitu, ya?

Ups! Maaf kawan, tidak ada maksud meragukan niat baikmu dalam memotivasi, tapi sepertinya penilaianmu terlalu tinggi untuk saya.

Hey!

Apa ini karena saya tidak percaya diri untuk membuat novel?

Hmm...bukan karena tidak percaya diri, tapi lebih pada menghitung potensi diri.

Banyak pertimbangan yang membuat sampai saat ini belum membuat novel, walaupun kalau dibandingkan dengan novelis yang banyak penggemarnya, memang ya jauh banget keadaannya.
1. Dari sisi ilmu kepenulisan, mungkin ilmu teori menulis saya sangat minim, kalau tidak pantas dibilang nol! Dan merasa bukan yang gigih dalam mempelajarinya, sambil terus menulis, sekalian menambah teori sedikit-sedikit.
2. Jam terbang menulis saya belum 3  tahun yang bisa dibilang intensif.
3. Pernah diskusi dengan beberapa teman penulis novel, menurutnya saya kurang pas menulis jenis ini.
4. Niat awal saya terjun di dunia tulis adalah menyebarkan nilai-nilai kebaikan, bisa dengan berbagai jenis tulisan dan saya suka dengan tulisan ringan yang mudah dipahami isi pesannya, karena pada umumnya orang-orang di sekitar saya termasuk yang hanya mempunyai waktu sedikit untuk membaca.
5. Saya pribadi, beberapa tahun belakangan lebih suka membaca buku yang serius, maksudnya sejenis artikel, motivasi, keagamaan dan keilmuan. Sedangkan saat anak-anak dan remaja saya sangat suka membaca segala jenis cerita, baik dongeng, cerpen, novel, biografi bahkan kitab suci terjemahan.

Pernyataan teman tadi menjadi bahan pikiran saya, haruskah mencoba jenis novel?

Dari sisi efektivitas penyampaian pesan, layakkah jenis novel dipilih? Dari pembaca usia berapa yang paling banyak peminatnya?

Satu hal yang jadi pertimbangan, saya merasa waktu saya tidak banyak, sehingga berkeinginan memanfaatkan sebaik-baiknya untuk hal-hal yang jelas-jelas bermanfaat. Khawatir terlalu banyak menghabiskan waktu untuk merambah bidang ini. Tapi...pengen juga, sih.

Sore di Bandarlampung

Indahnyaaaaaa

الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَىٰ جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَٰذَا بَاطِلًا سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ

(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.
(QS. Ali Imron 191)

Tuesday, March 15, 2016

Menjaga Para "Hafidz"

Sebagian teman menanyakan dengan redaksi yang berbeda-beda tentang bagaimana orang tua yang belum hafidz qur'an menjaga agar anak-anaknya terjaga hafalannya.

Ok, tak ada yang perlu dirahasiakan.

Kondisi penghafal Al Qur'an berbeda-beda, dari berbagai sisi.

1. Kapan mulai menghafal?

Ada yang sudah menghafal terprogram sejak usia dini, bahkan sangat dini, seperti cerita beberapa orang tua para hafidz cilik dunia.
Ada yang sejak dalam kandungan sudah diprogram, sehari diperdengarkan murotal sekian juz.
Ada yang dibiasakan dari usia 2 tahunan, dibiasakan bangun malam untuk sholat lail lalu menghafal dan dalam sehari dengan jadwal yang ketat.
Ada yang mulai sebelum remaja, remaja bahkan sudah dewasa. Ada juga yang sudah tua.

2. Kondisi orang tua

Ada yang orang tuanya memang sudah hafidz/hafidzoh dan anaknya dibimbing sendiri.

Ada juga yang orang tuanya hafidz/oh tapi menitipkan anaknya di lembaga tahfidz dan menyerahkan bimbingannya pada hafidz/oh lain.

Ada yang orang tuanya belum hafidz/oh dan menitipkan bimbingan anaknya pada orang lain yang sudah hafidz/oh.

3. Lingkungan

Ada yang dalam proses menghafal mereka dikarantina dari kemajuan teknologi dan lingkungan umum.

Ada yang menghafal di lingkungan dan tetap berinteraksi dengan teknologi dan  masyarakat umum.

4. Lamanya menghafal

Ada yang butuh waktu beberapa tahun bersambung tanpa putus sampai selesai menghafal dan mutqim (hafalannya mantap tak banyak lupa).

Ada yang beberapa tahun tapi  putus nyambung karena  melakukan aktivitas atau belajar umum.

Belakangan ini muncul beberapa metode menghafal cepat, hanya hitungan hari atau bulan, selesai setor hafalan 30 juz.

Kondisi yang beragam itu tentu menyebabkan kualitas yang berbeda dari masing-masing hafidz/oh.

Satu hal yang tak boleh kita lupa, mereka adalah manusia yang tetap pada fitrahnya.

Mereka pasti pernah jenuh dengan aktivitas yang sama.
Mereka juga mempunyai tugas perkembangan seperti manusia lainnya: di usia anak-anak mereka butuh saat bermain, saat remaja mereka butuh bergaul dengan teman sebaya dan mengetahui perkembangan zaman dan teknologi. Ada saatnya juga mereka mulai tertarik dengan lawan jenis. Di lain saat mereka juga butuh kesempatan untuk berkreasi dan menggali potensi diri serta mengembangkan bakatnya.

Di situlah, sebagai orang tua dituntut untuk bijak menyikapinya, sabar mendampinginya sampai suatu saat mereka menjadi hafidz yang sesungguhnya. Hafidz dalam lafadz, hafidz dalam akhlak, hafidz dalam memperjuangkan nilai-nilai Al Qur'an sepanjang hidupnya.

Tidak semua hafidz jadi ustadz yang tinggal di pondok, karena seluruh bidang kehidupan membutuhkan para hafidz di lingkungannya.

Kecerdasan dan Kebiasaan

Katanya pemikiran akan menghasilkan sikap dan perbuatan, sedang perbuatan yang diulang-ulang akan menjadi kebiasaan.

Sesuatu yang menjadi kebiasaan, saat melakukannya sudah tidak lagi difikirkan, seperti sudah otomatis bisa dilakukan walaupun sambil memikirkan hal lain.

Mungkin kita heran, ada ya orang yang dalam urusan besar begitu cerdas, tapi untuk urusan sepele seperti tidak nyambung 😃😃

Contoh, meletakkan sesuatu tidak pada tempatnya. Kalau difikir, kan itu hal yang tidak baik dan menyulitkan diri sendiri? Bayangkan! Saat terburu-buru membutuhkan barang tertentu yang dia lupa meletakkannya dimana, kan bisa gagal sebuah kesempatan besar karena hal sepele? Dan itu nggak mudah lho, merubahnya.

Itu sebabnya, orang tua harus sabar menanamkan kebiasaan-kebiasaan baik sedini mungkin untuk anak-anaknya. Kasihan mereka kalau terlanjur seperti kita, yang sudah terlanjur mempunyai kebiasaan buruk. Butuh kegigihan dan perjuangan untuk mengubahnya.

Kecerdasan dan Kebiasaan

Katanya pemikiran akan menghasilkan sikap dan perbuatan, sedang perbuatan yang diulang-ulang akan menjadi kebiasaan.

Sesuatu yang menjadi kebiasaan, saat melakukannya sudah tidak lagi difikirkan, seperti sudah otomatis bisa dilakukan walaupun sambil memikirkan hal lain.

Mungkin kita heran, ada ya orang yang dalam urusan besar begitu cerdas, tapi untuk urusan sepele seperti tidak nyambung 😃😃

Contoh, meletakkan sesuatu tidak pada tempatnya. Kalau difikir, kan itu hal yang tidak baik dan menyulitkan diri sendiri? Bayangkan! Saat terburu-buru membutuhkan barang tertentu yang dia lupa meletakkannya dimana, kan bisa gagal sebuah kesempatan besar karena hal sepele? Dan itu nggak mudah lho, merubahnya.

Itu sebabnya, orang tua harus sabar menanamkan kebiasaan-kebiasaan baik sedini mungkin untuk anak-anaknya. Kasihan mereka kalau terlanjur seperti kita, yang sudah terlanjur mempunyai kebiasaan buruk. Butuh kegigihan dan perjuangan untuk mengubahnya.

Monday, March 14, 2016

Ide Ada di Sekitar Kita

Menangkap ide perlu terus dilatih, sebagaimana halnya ketrampilan yang lain, hingga suatu saat kita akan mampu menjadikan hal sederhana bagi orang pada umumnya, menjadi sesuatu yang inspiratif setelah kita tuliskan dan dibaca orang lain.

Bagi seorang ibu, keseharian dengan anak adalah hal yang biasa, hampir semua ibu mengalaminya. Tapi tidak biasa jika apa-apa yang terjadi, bahkan hal yang dianggap sepele, dituliskan bahkan dibukukan.

Bisa dibayangkan jika di usia 20 tahun kita membaca cerita tingkah laku saat usia pra sekolah? Setidaknya buku itu akan berkesan untuk ibu dan anak yang bersangkutan sebagai pengukir sejarah, karena apa yang terjadi di masa kecil merupakan jejak yang tak akan terhapus dalam karakter yang terbentuk dalam diri seseorang.

Apa manfaatnya bagi orang lain?

Untuk menjadi orang tua, tidak ada sekolah formal yang menyematkan gelar! Guru bagi calon orang tua adalah lingkungan dan orang lain yang telah lebih dulu mengalaminya. Pengalaman di awal menjadi orang tua merupakan salah satu faktor penting yang melatarbelakangi terbitnya buku ini. Dulu, saya rajin silaturahim dan mengamati bagaimana teman-teman yang lebih dulu diamanahi anak, merawat, mengasuh dan mendidiknya, disamping juga membaca buku-buku parenting yang sifatnya ilmiah dan tutorial. Jarang ketemu buku yang model seperti ini. Membacanya, seolah kita hadir menyaksikan langsung adegan seorang ibu menghadapi tingkah polah anaknya yang menggemaskan, spontan, kocak dan kadang di luar dugaan.

#harga po Rp 45.000 berlaku sd 31 Maret 2016

Saturday, March 12, 2016

Nasihat Yang Menyinggung

Pernah merasa tersinggung karena selalu diingatkan oleh seseorang dalam hal kebaikan? Apapun materi pembicaraan, dia berhasil menggiring pada situasi yang berujung pada keluarnya nasihat itu.
Dan nasihat itu memang ada pada dirinya bahkan menjadi kelebihannya.

Hmm, kenapa tersinggung, ya?

Apakah ini bentuk kesombongan diri?

Yang jelas ini sebuah introspeksi, bisa jadi kita melakukan hal yang sama pada orang lain. Mungkin ada hati-hati yang tersinggung saat kita nasehati, dan dengan ketersinggungan itu justru membuatnya malas mendengarkan kita lagi.

Mungkin kita harus lebih menghaluskan hati dalam menasihati, karena kasih sayang, jangan biarkan terselip kesombongan yang terbalut dalam keindahan nasihat.

Jangan Mau Rugi

Mungkin kita pernah menghentikan suatu kebaikan untuk orang lain, karena ada seseorang yang meminta kita melakukan yang berbeda dari itu, atau yang lebih.

Kita merasa tersindir dan malu, karena orang yang mengingatkan seharusnya lebih layak melakukan apa yang sedang kita kerjakan.

Tapi pada kenyataannya, itu tidak terjadi. Yang bersangkutan sibuk menilai apa yang dilakukan orang lain.

Setelah dipikir-pikir lagi, kok rugi, ya?

Ada peluang kebaikan yang kosong karena kita meninggalkannya. Kemampuan manusia, kan memang berbeda-beda agar saling mengisi dan menyempurnakan?

Ok, waktu yang berlalu tak bisa kembali lagi.
Manfaatkan waktu yang ada dengan sebaik-baiknya.
Bisa jadi yang mengingatkan sudah lupa :D
Andai nanti terulang lagi, abaikan saja, toh kita melakukan kebaikan karena mengharapkan penilaian Allah, dengan segala keterbatasan yang Dia tahu.

Bismillah.

Penghalang Jalan

Pernah jatuh saat berjalan?

Biasanya karena apa?

Batu besar yang menghalangi atau terpeleset kerikil yang sering kita abaikan keberadaannya?

Mungkin seperti itulah saat kita memilih jalan dakwah!

Saat berhadapan dengan situasi atau orang-orang yang jelas menghalangi, maka dengan gagah kita akan menghadapi dan menaklukkannya. Ibarat kita begitu bernafsu menaklukkan batu besar yang menghalangi jalan dan menduduki atau bahkan berdiri dengan gagah di atasnya. Kita ingin tunjukkan pada dunia, takkan ada yang bia menghalangi.

Sssst! Hati-hati, atas nama dan untuk siapakah kita bekerja?

Saat kita menghadapi hal-hal yang dianggap kecil, seperti urusan keluarga, pertemanan, hobi, profesi, kita lengah. Dan karena hal-hal itulah kita terpeleset.

Hey! Jangan remehkan akibat terpeleset! Bisa sedikit memar, keseleo, patah tulang, bahkan lumpuh!

Hmm. Dalam perjalanan memang kita harus selalu waspada dan siaga, cukupkan bekal untuk menghadapi berbagai batu dan kerikil yang selalu berserak menghalangi.

Sunday, March 6, 2016

Buku Kebutuhan

Aku jatuh cinta pada Isa Alamsyah!

Eiiit!

Bunda Asma ga boleh cemburu, ya, bukan pada orangnya, tapi jatuh cinta pada pemikiran yang tertuang dalam karyanya.

Jujur, kenal nama beliau baru tahun 2011, saat mempersiapkan diri akan mengikuti ujian kursus akupunktur. Saya kira beliau seorang akupunkturis.

Kenapa? 

Karena bukunya berisi tentang petunjuk praktis menemukan lokasi titik akupunktur.

Baru nyambung saat bergabung ke KBM tahun 2013 akhir, ternyata beliau seorang wartawan senior dan penulis profesional. Lebih senang lagi, ternyata beliau suami Asma Nadia, salah satu penulis favorit saya dari kemunculannya di media islami. Jadi bisa dibayangkan, bagaimana kesungguhan beliau mewujudkan karya ini.

Tanpa ragu, saya angkat keduanya sebagai guru tanpa izin.

Saya ingin berguru kepada keduanya dalam bidang dakwah bil qolam, lewat tulisan berkualitas.

Saya baru sempat memiliki 4 buku Ayah Isa, Acupoint, No Excuse, 101 Dosa Penulis Pemula dan Humortivasi.

Tiga buku yang tidak cukup sekali baca, bukan karena sulit dipahami, tapi karena memang dibutuhkan sewaktu-waktu.

Sama halnya dengan buku La Tahzan karya Ustad Al Qarni, walau sudah selesai membacanya, tapi tetap dibutuhkan sebagai pegangan, sewaktu-waktu perlu dibaca lagi.

Bahagia banget saat Mas Agung Pribadi, penulis buku best seller Gara-Gara Indonesia, dalam chat inbox mengatakan bahwa buku saya, Kisah Perjalanan Menuju Keluarga Hafidzul Qur'an tergolong buku yang dibutuhkan. Wow! Tentu pendapatnya sebagai penulis senior tak bisa diabaikan dong!

Eiiits!

Bukan berarti saya mengatakan bahwa buku saya sekelas buku Ayah Isa atau Ustadz Al Qarni. Jauuuuh! Tapi pernyataan itu sesuai harapan, menulis buku yang dibutuhkan.

Aaah! Biasa itu, muji-muji karya sendiri.

He he he, bukan muji, tapi melihat sisi positifnya. Kalau penulisnya tidak menghargai, bagaimana dengan orang lain?

Tapi semua harus sibuktikan, benarkah buku saya seperti itu?

Caranya?

Pinter!

Satu-satunya cara adalah dengan membacanya sendiri.

Thursday, March 3, 2016

Jilbab dan Persepsi tentang Pemakainya

"Kok pakaianmu seperti itu, ikut cara mana, tho?" tanya Mbah Putri, saat aku berkunjung ke kampung di tahun 1989.

"Cara Islam, Mbah, di Qur'an ada ayat yang memerintahkan," jawabku, agak deg-degan.

"Mbah dulu ya belajar di pesantren, tapi nggak ada ajaran yang seperti itu, masa Kyainya nggak tahu kalau ada di Qur'an?" jawab beliau.

***
Benar, di Indonesia jilbab mulai marak sekitar tahun 80an.

Teringat saat SMA, di tahun 80an, siswi yang menggunakan jilbab ke sekolah, hampir setiap hari dipanggil ke ruang Bimbingan Konseling. Dinasehati untuk tidak menggunakan jilbab saat ke sekolah karena tidak sesuai aturan seragam. Tetapi sebagian besar tetap bertahan dengan jilbabnya, walau ada satu dua yang mengalah dan dan kembali ke seragam semula tanpa jilbab. Untunglah tidak ada yang sampai dikeluarkan.

Di tahun-tahun itu juga dakwah kampus mulai menggeliat, kajian-kajian yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi dan berpindah-pindah menjadi sarana menambah pemahaman keislaman.

Saat itu, seorang muslimah yang memutuskan untuk berjilbab dan menutup aurat dalam kesehariannya, dianggap mendapatkan hidayah dan berhijrah. Mereka dianggap paham agama dan menjaga diri dari kemaksiatan.

Ketika itu, jika ada seorang mahasiswi berjilbab hamil, maka teman-temannya tidak mencurigai atau menuduhnya berzina, tetapi  menganggapnya sudah menikah,kerena memang saat itu, sebagian mahasiswi menikah tanpa dirayakan karena masih kuliah, untuk menghindari pacaran. Itu cara menjaga diri dari fitnah pacaran.

Seorang muslimah yang berjilbab benar-benar menjaga diri dari perbuatan yang sekiranya akan mencemarkan nama Islam, karena saat itu jilbab merupakan simbol ketaatan seorang muslimah.

***
Bagaimana dengan kini?

Miris!

Beberapa kali membaca berita di media mainstrem atau sosmed, tentang kejadian-kejadian yang membuat hati ini sangat sedih. Bagaimana kemaksiatan yang tergolong dosa besar dilakukan oleh gadis-gadis atau wanita dewasa berjilbab. Zina, selingkuh, minuman keras, merokok bahkan berkelahi!

Allah! Apa yang sesungguhnya sedang terjadi?

Apa yang menjadi sebab terjadinya fitnah ini?

Apakah karena pendidikan keimanan yang gagal? Atau karena begitu kerasnya usaha pembenci kebenaran untuk meruntuhkan al haq? Atau karena kebebasan media untuk berlomba menarik perhatian untuk menaikkan ratingnya?

Kini, keanggunan jilbab banyak tercemar oleh tingkah laku sebagian para pemakainya.

Di satu sisi ada rasa bahagia karena jilbab sudah tak asing lagi, bahkan menjadi trend mode di kelas sosial atas, tapi di sisi lain ada kelemahan dalam menyelaraskan kualitas iman dan akhlak dengan identitas ketaatan seorang muslimah itu.

Ini PR buat kita, terutama orang tua dalam upaya memperkuat kepribadian  muslim anak-anaknya, yang tentunya butuh keteladanan.

Tuesday, March 1, 2016

Tadabur QS. Yusuf : 30-32

Dan wanita-wanita di kota berkata: "Isteri Al Aziz menggoda bujangnya untuk menundukkan dirinya (kepadanya), sesungguhnya cintanya kepada bujangnya itu adalah sangat mendalam. Sesungguhnya kami memandangnya dalam kesesatan yang nyata".

Maka tatkala wanita itu (Zulaikha) mendengar cercaan mereka, diundangnyalah wanita-wanita itu dan disediakannya bagi mereka tempat duduk, dan diberikannya kepada masing-masing mereka sebuah pisau (untuk memotong jamuan), kemudian dia berkata (kepada Yusuf): "Keluarlah (nampakkanlah dirimu) kepada mereka". Maka tatkala wanita-wanita itu melihatnya, mereka kagum kepada (keelokan rupa)nya, dan mereka melukai (jari) tangannya dan berkata: "Maha sempurna Allah, ini bukanlah manusia. Sesungguhnya ini tidak lain hanyalah malaikat yang mulia".

Wanita itu berkata: "Itulah dia orang yang kamu cela aku karena (tertarik) kepadanya, dan sesungguhnya aku telah menggoda dia untuk menundukkan dirinya (kepadaku) akan tetapi dia menolak. Dan sesungguhnya jika dia tidak mentaati apa yang aku perintahkan kepadanya, niscaya dia akan dipenjarakan dan dia akan termasuk golongan orang-orang yang hina". (Terjemah QS. Yusuf : 30-32)

Membaca terjemah tiga ayat di atas, serasa menyaksikan drama yang diulang-ulang di panggung.

Saat kita perluas panggung, maka kita akan banyak menemukan persamaan karakter dalam hal kejadian maupun pelakunya dalam setiap zaman.

Mari kita perhatikan :

1. Masyarakat (dalam hal ini diwakili oleh teman-teman Zulaikha) begitu mudah menilai prilaku seseorang, menggunjing dan mencela serta memvonisnya sebagai kesesatan.

2. Sebagai orang yang dicela (Zulaikha), akan muncul keinginan untuk membela diri  dan ingin menunjukkan pada para pencela, bahwa jika mereka ada si posisinya, kemungkinan besar akan melakukan perbuatan yang mereka cela.

3. Ada kecenderungan orang yang dicela, jika dia memiliki kekuasaan, maka akan dia gunakan untuk mempertahankan kesalahannya itu.

Hal ini akan bisa kita bawa ke ranah cara berdakwah. Mungkin sering kita amati, bagaimana reaksi orang-orang yang didakwahi jika para pendakwahnya memilih cara mencela.

Tidak dapat dipungkiri, bahwa sebahian mereka mengambil jalan bertaubat, tapi sepertinya cenderung lebih banyak yang marah jika dicela, walaupun bisa jadi hatinya bisa menerima kebenaran yang disampaikan, tapi karena cara menyampaikannya menimbulkan amarah, maka sikap yang diambil adalah membela diri dan menyerang.

#Kebenaran milik Allah, kesalahan ada di makhluk.