Friday, February 26, 2016

Perbedaan Cara Berfikir Keagamaan

Bergaul di sosmed, membaca status dan postingan serta komentar teman-teman, semakin membuka wawasan tentang perbedaan cara berfikir manusia.

Benar!

Rambut sama hitam, tapi isi kepala manusia berbeda-beda, isi dalam pengertian maknawi.

Sepertinya, bagaimana pemikiran seseorang tentang sesuatu, tidak terlepas dari keilmuan dan komunitas pilihannya.

Kalau bicara masalah pemikiran keagamaan dan keimanan, maka benar apa kata Rasulullah yang mengatakan bahwa bagaimana seseorang bisa dilihat dari bagaimana agama temannya. Hal itu sangat logis, mengingat manusia sebagai makhluk sosial yang saling mempengaruhi. Terlepas dari komunitas yang intens bertatap muka dan bergaul di dunia nyata, atau adanya kecenderungan hati pada orang-orang tertentu yang disukai pemikirannya, walau tak pernah bertemu muka. Bisa lewat sosial media dengan berbagai perangkatnya atau melalui tulisan atau buku-buku yang dibacanya.

Ada orang-orang yang terkesan tanpa beban saat melakukan atau saat berpendapat menentang aturan Allah. Tidak jelas apa penyebabnya, apakah semata-mata belum paham atau sudah paham dan menentang dengan penuh kesadaran.
Timbul pertanyaan, kalau penentangan itu dilakukan karena tidak beriman, apakah ybs tahu bahwa hukum tetap berlaku untuknya?

Ada juga orang-orang yang terkesan menjaga aturan Allah, segala urusan harus jelas dalil tekstualnya. Terkadang mudah sekali memberi label atau memvonis derajat keimanan seseorang. Semangat dakwahnya begitu menggebu. Lapaknya ramai dikunjungi, sayangnya jadi forum debat yang sering menyulut emosi, sehingga kesan dakwah bil hikmahnya hilang.
Sering kali ditemui, ternyata ybs tergolong anak muda yang baru mendapat hidayah dan sedang semangat-semangatnya menggali ilmu agama. Orang dewasa yang memahami kondisi akan memberinya kesempatan berproses dengan membimbingnya diam-diam.

Lain lagi yang terlihat pada postingan beberapa orang. Terkesan filosofis banget. Setiap istilah dibahas detail ke akar-akarnya. Yang belum terbiasa dengannya akan mengerutkan dahi untuk memahami isi postingannya, sebagian lain nggak mau pusing dan mengabaikannya.
Sering menggunakan analogi untuk mempermudah memahami hal ghoib, seperti halnya surga, tapi bagi kalangan umum, analoginya  cenderung menghilangkan kesan keghoibannya, yang hanya dengan logika keimanan, baru bisa dipahami.

Ada juga kalangan yang sama sekali tidak menampakkan bagaimana kepeduliannya terhadap bahasan yang terkait dengan agama. Entah juga di dunia nyatanya.

Ada juga yang terasa pemosting adalah orang yang lumayan paham ilmu agama, sangat berhati-hati dalam memposting dan komentar, menghindari debat kusir, siap berargumen dan menerima pendapat, jiwanya nampak dewasa dan bijak.

Akal dan hati kita bisa mengenalinya, walau kadang tertipu juga dengan beberapa orang yang sangat pandai bertopeng.

Sunday, February 21, 2016

Anak-Menantu-Mertua

Ismail hidup di semenanjung Arab sesuai dengan kehendak Al­lah SWT.
Ismail memelihara kuda dan terhibur dengannya serta memanfaatkannya untuk keperluannya. Sedangkan air zamzam sangat membantu orang-orang yang tinggal di daerah itu. Kemudian sebagian kafilah menetap di situ dan sebagian kabilah tinggal di tempat itu. Nabi Ismail tumbuh menjadi dewasa dan menikah. Lalu ayahnya, Nabi Ibrahim, mengunjunginya dan tidak menemukannya dalam rumah namun ia hanya mendapati istrinya. Nabi Ibrahim bertanya kepadanya tentang kehidupan mereka dan keadaan mereka. Istrinya mengadukan padanya tentang kesempitan hidup dan kesulitannya. Nabi Ibrahim berkata padanya: "Jika datang suamimu, maka perintahkan padanya untuk mengubah gerbang pintunya."

Ketika Nabi Ismail datang, dan istrinya menceritakan padanya perihal kedatangan seorang lelaki, Ismail berkata: "Itu adalah ayahku dan ia memerintahkan aku untuk meninggalkanmu, maka kembalilah engkau pada keluargamu."

Kemudian Nabi Ismail menikahi wanita yang kedua. Nabi Ibrahim mengunjungi istri keduanya dan bertanya kepadanya tentang keadaannya. Lalu ia menceritakan pada­nya bahwa mereka dalam keadaan baik-baik dan dikaruniai nikmat. Nabi Ibrahim puas terhadap istri ini dan memang ia cocok dengan anaknya. (Cuplikan kisah Nabi Ibrahim n Ismail)

Hah! Mungkin nggak ketemu kejadian serupa di zaman ini?

Seorang ayah yang tegas terhadap anaknya. Tidak merasa melampaui kewenangannya, karena seorang anak laki-laki tetaplah anak bagi orang tuanya. Ayah yang baik tetap memberi arahan pada anaknya walau sudah berkeluarga.

Seorang anak hasil didikan yang baik sehingga menjadi anak yang sangat berbakti dan taat pada ayahnya, apalagi pada ibunya? Apakah dia tidak mencintai istrinya?
Anak yang baik tentu tahu hak dan kewajibannya dalam berkeluarga, tapi dia tahu mana yang harus diutamakan.

Menantu?
Menjadi menantu berarti menjadi anak dari mertuanya, menyayangi mereka layaknya pada orang tua sendiri. Tak kan membiarkan mertuanya sakit hati atau kelelahan, seperti halnya dia tak ingin orang tuanya dibuat sakit hati dan lelah oleh menantunya (istri saudara laki-lakinya) dan juga tak ingin nantinya diperlakukan kurang baik oleh menantunya.

Mungkin kita prihatin dengan kondisi saat ini, sulit menemukan pemandangan orang tua sholeh, anak yang berbakti pada orang tua (birrul walidain) dan istri sholihah yang taat pada suami dengan segala cakupannya.

Semoga kita termasuk orang-orang yang berusaha untuk mewujudkan keluarga sakinah mawadah dan rahmah dalam arti yang sesungguhnya.

Tuesday, February 16, 2016

Bukuku Dibaca Mamak

Mamak sudah selesai membaca buku Kisah Perjalanan Menuju Keluarga Hafidzul Qur'an.

Jadi terharu!

Alhamdulillah, walaupun telat memulai dalam bidang menulis, tapi wanita yang paling kucintai sempat membacanya. Bisa membayangkan, bagaimana bahagianya, kan?

Allah masih mengizinkan beliau melihat karya anaknya, semoga beliau bangga dengan apa yang telah kulakukan.

Best seller nanti dulu, deh. 😃 Bisa terbit saja, Alhamdulillah.

Apresiasi positif dari orang-orang yang kita cintai dan mencintai kita, merupakan hal pertama yang sangat diharapkan saat berkarya. Itu energi luar biasa untuk bertahan dan meningkatkan kinerja.

Capaian yang lain, tentu harus dikejar juga. Semakin banyak yang membaca dan mendapatkan manfaatnya, harapannya juga semakin meningkat penjualannya.

Best seller? Nggak terlalu ambisi, itu hak Allah untuk menentukan kapan terwujudnya. Mensyukuri capaian-capaian kecil semoga berimbas pada bertambahnya nikmat Allah berupa capaian-capaian yang lebih besar.

Apa yang tak kungkin bagi Allah?

Monday, February 15, 2016

Manusia 5 Zaman

Masih tentang mamak.

"Mamak ini manusia lima zaman : Zaman Belanda, Jepang, Orde Lama, Orde Baru, Reformasi."

Masyaallah! Tidak semua kita berkesempatan bertemu dengan orang seperti mamak. Pelaku langsung di kehidupan yang berbeda, di tempat yang sama.

Sebenarnya banyak yang masih bisa diceritakan mamak, di usianya yang ke 87, beliau bisa dikatakan tidak pikun. Mungkin karena sampai saat inipun beliau masih rajin membaca, mendengarkan berita dan ceramah dari radio. Tapi jangan ditanya, seberapa besar volumenya saat menyatakan radio. Gambarannya, adzan di masjid beliau tidak dengar, artinya.....

Beliau mengatakan, zaman sekarang sudah terbalik, contohnya banyak laki-laki yang kurang sempurna menunaikan kewajibannya memenuhi nafkah keluarga, bahkan  sering terjadi istri lebih banyak berpenghasilan. Ada beberapa contoh orang-orang di sekitarnya yang diamati berperilaku seperti itu.

Kadang mamak tidak sanggup meneruskan ceritanya kalau sampai pada kondisi kehidupan zaman dulu, betapa sengsaranya dibanding sekarang, tapi sayang, orang-orang sekarang kurang bersyukur, sehingga tidak memanfaatkan kemajuan teknologi untuk kehidupan yang lebih baik, bahkan banyak yang rusak, tidak bahagia.

Bersyukur masih diberi kesempatan bersama Mamak, bisa menimba ilmu kehidupan yang sesungguhnya, tanpa rekayasa. Jujur, memang benar apa yang dibilang mamak, mungkin sebagian kita termasuk di dalamnya: kurang bersyukur, banyak mengeluh, tidak menggunakan kemudahan zaman untuk meningkatkan pengabdian pada sang pencipta, bahkan banyak yang mendurhakai-Nya.

Astaghfirullah.

Saturday, February 13, 2016

Kalau Bukan Diri Sendiri, Siapa Yang Menjaga?

Kemarin mamak datang, diantar kakak.

Mau berobat seminggu, katanya. Kakinya sakit kalau bangun dari sujud langsung berdiri saat shalat, sudah seminggu shalat duduk.

"Rupanya Mamak sudah nggak kuat, ya, perjalanan jauh," komentarnya saat baru sampai. Wajarlah, perjalanan satu jam untuk mamak yang usia 87 tahun, tentu melelahkan.

Setelah beristirahat, abi memberi herbal dan dilanjutkan sorenya umi akupunktur.

Alhamdulillah, shalat Subuh sudah bisa dengan berdiri, walau masih menahan sakit sedikit.

Selalu, saat bertemu umi mendengar kumpulan ceritanya, nyaris komunikasi satu arah, maklumlah, pendengarannya sudah sangat berkurang. Begitupun, selalu ada ilmu yang diberikannya.

Seperti pagi ini, ceritanya tentang menjaga kesehatan dirinya yang memang jarang sekali sakit, kecuali sakit ringat.

"Kalau nggak diri sendiri, siapa yang menjaga? Walaupun sudah tua, kalau sehat, kan, lebih nyaman."

Plak!

Seakan tamparan telak.

Kok beda banget dengan anaknya ini?

Mungkinkah karena sangat diperhatikan abi dan anak-anak, sehingga sering begitu pasrah saat kondisi tidak sehat? Merasa sudah tua dan wajar kalau badan kurang fit? Astaghfirullah.

Barokallah fi umrik, ya Mamak.

Wednesday, February 3, 2016

Produktivitas Amal

Produktivitas Amal

Beberapa waktu lalu beredar dan di share berulang-ulang, meme di beranda fb yang kira-kira isinya begini:

"Kalau setiap amal kebaikan kita catat di dinding fb, lalu malaikat kebagian nyatat apa?"

"Kalau doa kita panjatkan di dinding fb, apa doa yang kita panjatkan saat menghadap Allah?"

Bagus ya, isinya? Anjuran atau sindiran untuk menyembunyikan amal ibadah yang kita lakukan! Hindari riya!

Tapi benarkah?

Apakah orang-orang yang menuliskan amal kebaikan di fb berarti dia sudah melakukannya? Kalau sudah melakukan dan ditulis di dinding fb, apakah malaikat tidak boleh mencatatnya sebagai catatan amal kebaikan? Seperti itukah cara kerja malaikat?

Kadang kita bicara tentang hal yang tidak dipahami, dengan logika sendiri.

Mari kita bicara tentang dakwah dan produktivitas amal!

Sebagai pribadi, dakwah seperti apakah yang paling menyentuh dan menyadarkan kita?

Kata-kata kosong tanpa bukti atau contoh nyata amal yang dilakukan dengan penjelasan yang penuh kelembutan?

Bisakah kita mencontoh sesuatu yang tidak terlihat dilakukan? Bisakah kita mencontoh kebaikan orang yang diam, tanpa bukti nyata amal, tanpa kata-kata yang menjelaskan atau ungkapan hasil tadabur dan tafakurnya?

Bagaimana kita bisa melakukan amal ibadah yang dituntunkan Rasulullah tanpa beliau mencontohkan dan menjelaskan?

Dinding fb, sebagimana sarana lain, bisa kita manfaatkan untuk apa saja.

Mencari teman, menciptaan musuh, mencari ilmu dan info yang berkembang, membuat galau atau mencari kesejukan, atau justru untuk meningkatkan produktivitas amal kebaikan.

Bandingkan! Mana yang lebih produktif?

1. Kita melakukan ibadah sendiri, maka Allah akan membalas dengan nilai tertentu.

2. Kita melakukan amal ibadah yang terlihat orang lain, lalu mereka terinspirasi dan melakukan hal yang sama. Maka Allah akan membalas amal kita dan amal orang lain sesuai apa yang dilakukan, ada bonus juga, kita mendapatkan nilai dari Allah tanpa mengurangi nilai mereka.

Mana yang lebih produktif dalam perbaikan kondisi masyarakat? No 1 atau no 2?

Bagaimana dengan kebersihan niat?

Sudahlah! Itu urusan masing-masing dengan Allah. Kita urusi kualitas niat kita, dan orang lain juga begitu.

Jadi?

Mari kita perbaiki diri tanpa mengganggu upaya orang lain untuk memperbaiki diri dengan cara yang dipilihnya.

Andai kita tak suka dan merasa terganggu dengan amal kebaikan orang lain yang ditampakkan, hindari beranda, lewat notifikasi saja.

Monday, February 1, 2016

Kabar Untuk Penilis Pemula

Kabar Gembira untuk Penulis Pemula

Idealnya, buku yang kita tulis diterbitkan mayor. Tanpa modal dan masuk jaringan pemasaran yang menggurita.

Tapi realitasnya tidak semudah itu, banyak penulis kecewa karena belum berkesempatan bukunya diterbitkan secara mayor.

Saya hanya akan bercerita, yang semoga bisa diambil pelajarannya. Tak ada yang disembunyikan karena takut tersaingi, karena saya ingin teman-teman penulis dapat mewujudkan harapannya, menerbitkan buku, walau diterbitkan indie.

Pembaca juga tidak terpengaruh, apakah buku diterbitkan mayor, indie atau self publishing.

Buku solo pertama terbit bulan Januari 2015, tanpa isbn, karena memang dibuat untuk suvenir pernikahan anak sulung. Ukuran buku saku. Cetak 1500 eks, sisa dari suvenir sering saya gunakan untuk bonus buku berikutnya.

Buku kedua, Umi & Richie, dialog inspiratif. Terbit April 2015 hanya 100 eks, dua bulan kemudian cetak ulang 100 eks, sampai sekarang masih ada beberapa. Selain terjual, banyak juga yang dibagikan gratis untuk saudara dan relasi, belum banyak memberikan keuntungan, tapi  biaya terbit tertutupi. Diterbitkan lovrinz, penerbitan punya Mbak Rina Rinz, trims ya, Mbak. Pelayanan yang ramah dan familiar tapi tetap profesional.

Buku ketiga terbit bulan Juli 2015, Atas Nama Cinta, hanya cetak 100. Sudah habis, baru mau cetak ulang lagi. Dengan alasan pengiriman, saya memilih penerbit lokal, Aura Punlishing. Bagusnya, dengan Mbak Rina tetap ada komunikasi dan konsultasi.

Buku ke empat, Menuju Keluarga Hafidzul Qur'an. Awal Januari keluar dari penerbit, langsung dipasarkan. Cetak pertama hanya 100, biasa, terbentur dana 😃.

Masyaallah, 5 hari habis! Langsung cetak ulang, ada jeda beberapa hari stock kosong, hari ini, sebulan sudah buku keempat terbit, dan dievaluasi, Alhamdulillah, kata Kak Ikhsan Aura, owner Aura Publishing, termasuk keren. Dalam waktu sebulan, buku penulis pemula, terbitan indie pula, bisa terjual lebih dari 250 eks, diluar yang kongsinasi (bener nggak ya, nulisnya) dan free untuk orang-orang tertentu. Penjualan itu hanya mengandalkan promo di medsos dan relasi dunia nyata yang sangat mendukung. Sebagian teman dengan sukarela membantu promosi, dengan share status, testimoni bahkan menawarkan ke teman-teman sejawatnya.

Jujur, saya termasuk pemalu kalau berjualan, tapi dengan keyakinan bahwa isi buku ini bermanfaat dan dibutuhkan, semangat itu meningkat. Bukan semata jualan materi tapi konsep.

Sepertinya kita perlu mempertimbangkan alternatif seperti ini, terbit indie. Sesuaikan dengan kemampuan. Bila perlu galang dukungan, orang akan senang mendukung gerakan untuk kebaikan.

Jadi?

Jangan takut terbit indie. Pilih penerbit lokal yang profesional dan familiar, saling kerja sama atas dasar kejujuran dan niat baik Saling membesarkan dan mendukung usaha.

Setiap buku akan ada takdirnya, mari jemput takdir baik.

Tanamkan sebuah keyakinan, jika karya kita bermanfaat untuk kehidupan, maka ikhtiar seoptimal mungkin, Allah takkan membiarkan kita bekerja sendiri.

Bismillah!