Sunday, June 28, 2015

Rahasia Di Balik Kerupuk

Suatu hari saat makan dengan sayur dan lauk dari beli di warung makan yang bukan langganan, aku rasakan komposisinya tidak cocok di lidah.

"Pakai kerupuk, Mi," kata Abi.

"Sudah terlanjur campur nasi."

"Coba aja," katanya.

Haaa, ternyata benar. Dengan tambahan kerupuk, terasa di lidah lebih enak.

Lho? Jangan-jangan?

"Jadi selama ini Abi sering makan dengan kerupuk karena itu?"

Abi senyum dikulum.

Subhanallah, sekian lama merasa masakanku selalu enak karena Abi nggak pernah berkomentar kurang apa atau kebanyakan apa.

Apapun yang kuhidangkan  selalu dilahapnya. Beliau pun bisa dikatakan tidak pernah minta dimasakkan sesuatu. Yang jelas sekali-sekali pulang bawa makanan tertentu, bisa jadi itu tanda beliau sedang ingin makan masakan itu. Hanya saja ya, itu, kerupuk hampir selalu ada di meja makan.

Eh, itu romantisme bukan, ya?
 

Friday, June 26, 2015

Belajar Dari Ramadhan

Andai rutinitas Ramadhan ini menjadi kebiasaan di bulan-bulan lain, hmm, mungkin hidup akan lebih baik, minimal dari sisi ruhiahnya, jiwa terasa lebih tenang dan itu akan meningkatkan kesabaran dalam menjalani hari.

Masih ada 2/3 bulan lagi kita melanjutkan latihan ini. Menikmatinya agar tidak terasa berat.

Beberapa agenda yang perlu kita latih:

1. Bangun sebelum subuh, sempatkan shalat malam walau hanya dua rakaat, sebagai pembuka hari. Di bulan Ramadhan bisa jadi motivasi kita bangun adalah untuk makan sahur, tapi dengan pembiasaan bangun di akhir malam selama sebulan, semoga kenikmatan berkhalwat bersama-Nya bisa menjadi motivasi baru.

2.  Shalat Subuh tepat waktu adalah prestasi

3.  Membiasakan dzikir pagi, seberapapun kita sempat. Pilih dzikir-dzikir yang jelas tuntunan Rasulullah Saw, walau tidak semua kita baca. Terutama perbanyak istighfar, karena kita tidak pernah sanggup menghitung dosa-dosa yang sudah kita lakukan.

4. Sholat Dhuha sebelum beraktivitas rutin sesuai profesi masing-masing. Sempatkan walau hanya dua rakaat, sebagai sedekah sendi-sendi tubuh kita.

Rizki sudah ditentukan Allah, tapi tentu akan sangat baik kalau rizki itu kita jemput dengan sopan.

Dengan Dhuha kita mengingatkan diri, bahwa kita akan melangkah di jalan Allah, taat rambu-rambu-Nya. Berhati-hati dalam mengambil keputusan, karena yakin Allah Maha menyaksikan.

5. Sholat lima waktu jangan pernah ditinggal, seperti apapun kondisinya. Malulah jika melalaikannya. Berapa waktu untuk shalat, sedang setiap hari kita diberi 24 jam? Rasulullah Saw menjadikan shalat sebagai rehat, fisik dan jiwa serta pikiran. Nikmati rehat itu, jangan jadikan beban. Jadikan shalat sebagai sungai yang membersihkan diri, tentu akan lebih bersihkan jika mandi sehari minimal lima kali? Jadikan Dzuhur sebagai pembersih dosa-dosa yang tak bisa kita hindarkan dari Dhuha tadi, begitu juga dengan shalat yang lain. Selipkan istighfar sebelum bangkit untuk beraktivitas lagi.

6. Sediakan waktu khusus untuk berinteraksi dengan Al Qur'an. Tidak perlu banyak kalau memang merasa sangat sibuk, yang penting ada. Nikmati huruf perhuruf saat membacanya, karena dari setiap huruf Allah menjanjikan banyak kebaikan. Oh ya, sempatkan juga tadabur, karena Al Qur'an diturunkan bukan hanya untuk dibaca, diharap imbalan bacaannya, tapi dia diturunkan sebagai pedoman hidup. Bagaimana kita bisa berpedoman padanya, kalau isi dan maksudnya kita tidak paham? :)


Andai 6 poin di atas bisa kita jadikan rutinitas, hmm, percayalah, akan banyak peningkatan kualitas hidup yang kita rasakan.

Thursday, June 25, 2015

Potensi Keperempuanan

Kemarin berkesempatan memberi tausiah pada peserta pesantren liburan tahfidzul qur'an. Tema yang dibicarakan adalah anak sholeh/ah adalah kebahagiaan bagi orang tuanya. 

Dalam tausiah itu diselipkan cerita tentang seorang anak yang selalu menggendong ibunya ke mana-mana, termasuk saat thawaf mengeliingi ka'bah. Anak tersebut menanyakan kepada Rasulullah Saw, apakah yang dilakukannya itu bisa membalas jasa ibunya?

Rasulullah Saw mengatakan, bahwa dia adalah anak yang sholeh, tapi sebanyak apapun kebaikan yang dilakukan, tidak akan membayar lunas semua apa yang pernah dilakukan dan diberikan ibunya kepadanya. 

Kemudian kami mencoba hitung-hitungan, jika ASI satu gelas dihargai lima ribu rupiah saja, dengan hitungan sehari semalam ASI yang diberikan sepuluh gelas, maka dalam jangka waktu dua tahun harus diganti seharga Rp 36.500.000.

Jika sekali mengganti popok/ celana karena pipis dibayar 2dua ribu, setiap hari pipis 10 kali, maka dua tahun harus dibayar sebanyak Rp14.600.000.

He he he, maaf kalau tidak cocok dengan hitungan, itu hanya spontanitas hitungan dengan anak-anak usia praremaja.

Bagaimana dengan memandikannya, membersihkan bekas muntahnya, membereskan mainannya?

Dan satu lagi yang tidak akan bisa diuangkan atau dibayar dengan apapun, yaitu kasih sayang seorang ibu.

Itu semua adalah potensi keperempuanan yang bisa kita optimalkan sebagai ibadah dan bernilai pahala ketika kita melakukannya dengan tulus ikhlas.

Kadang perempuan sibuk protes dengan beberapa konsep yang seolah memberatkan perempuan, seperti:
1.dikatakan perempuan itu lemah akal, buktinya kesaksiannya bernilai setengahnya laki-laki.
2. perempuan dikatakan kurang agamanya kerena tidak sholat dan puasa saat haid dan nifas.
3.sebagian besar penghuni neraka adalah perempuan karena kurang bersyukur terhadap suami.
4.perempuan boleh dipoligami sedang laki-laki tidak bisa dipoliandri, seakan ada ketidak-adilan.
5.godaan perempuan merupakan fitnah terbesar bagi laki-laki.

Abaikan hal-hal tersebut dan fokus pada potensi keperempuanan kita.

Untuk urusan lain, laki-laki bisa menggantikan dan mengerjakannya, kecuali hamil, melahirkan dan menyusui.

Mengapa kita tidak optimalkan potensi ini, sedang Allah sudah menyiapkan balasan yang luar biasa untuk ketiga amal mulia ini?

Sayang sekali kalau potensi yang akan mengantar kita ke surga ini terabaikan karena kita mengambil porsi yang nilainya sedekah, yaitu mencari nafkah, yang pada dasarnya adalah kewajiban seorang pria.
  

Monday, June 15, 2015

Menanggapi Berita

Semakin ke belakang saya merasakan semakin pelit berkomentar terhadap berita-berita yang beredar, terutama tentang pernyataan para pejabat. Entah tidak sengaja atau memang itu teknik media, belakangan ini sering ada klarifikasi atas berita terdahulu.

Adakah kesengajaan melempar berita yang memancing komentar negatif, kemudian diklarifikasi, ataukah memang ada pengaruh dari komentar-komentar itu yang akan membahayakan jika tidak diklarifikasi?

Ataukah itu suatu cara membiasakan masyarakat sehingga akhirnya malas mengikuti perkembangan dan menerima kebijakan apa saja tanpa sosialisasi sebelumnya karena merasa mungkin ketinggalan informasi?

Hmm, jujur, sikap pertama yang saya ambil adalah menghindari kesalahan dalam menilai situasi atau berkomentar, karena saya harus bertanggung jawab terhadap apa yang saya komentarkan.

Dan saya lebih suka memikirkan solusi apa dari sebuah masalah yang yang sedang ramai diberitakan.

Doorprize

Doorprize

Biasa diberikan pada peserta sebuah acara kumpul-kumpul. Ada yang dengan diundi, ada yang dengan sebab atau alasan tertentu.

Dalam sebuah acara kajian, pemateri seeing memberikan doorprize berupa buku atau lainnya sebagai cara agar peserta memperhatikan apa yang disampaikan atau untuk memotivasi melakukan amqlan tertentu.

Beberapa alasan yang sering digunakan untuk memilih pezerta yang berhak mendapatkan doorprize, antara lain:
1. Yang hadir pertama (tidak termasuk panitia)
2. Yang bertanya atau menjawab pertanyaan pemateri.
3. Yang tilawahnya terbanyak dalam pekan itu.
4. Yang sholat malamnya terbanyak dalam pekan itu.

Ada satu lagi

Yang anaknya paling banyak!

Lho?

Iya, yang anaknya paling banyak dari seluruh peserta. Saya dan suami sering mendapatkan doorptize karena itu, karena jumlah 6 orang anak untuk saat ini termasuk banyak, sangat banyak malah. 󾌲󾌲

Ada masalah?

Selama ini tidak ada. Baik-baik saja, walaupun pernah terpikir apakah mempunyai banyak anak termasuk prestasi? Tapi pikiran itu kami abaikan, toh tidak ada salahnya, apalagi kami yang dapat hadiah itu 󾌲󾌲󾌲

Tapi tidak dengan hari ini.

Walaupun tidak dapat doorprize, karena dari peserta ada yang anaknya lebih dari 6, tapi tadi ada yang menyampaikan, kalau didekatnya ad yang bergumam,"Siapa yang nggak mau dikasih anak banyak?"

Astaghfirullah!

Apakah kriteria untuk yang memiliki anak banyak telah menyakiti hati saudara kami? Membuatnya sedih?

Semoga beliau bersedia memaafkan kekhilafan ini.

Monday, June 8, 2015

Buatkan Kami Seragam

“Apakah Ibu bersefia membuatkan seragam majelis ta'lim untuk mengikat pilihsn kami?” Ibu ketua MT yang kami kunjungi siang itu menyampaikan aspirasinya di akhir acara.

Sebelum mike diberikan kepada Bu Nurul, ustadz Pembina MT tersebut memintanya dan berbicara kepada peserta dengan bahasa setempat, yang intinya mengingatkan, jangan menjadi orang munafik, berjanji mau mendukung kepada semua calon, tapi hanya mau ambil hadiahnya.

“Terima kasih, Ibu-ibu sudah berterus terang. Mari kita bicara Ibu, agar tak ada salah paham. Mungkin untuk membuat satu stel seragam membutuhkan dana sekitar seratus sampai dua ratus ribu, kita ambil yang minimal saja. Kalau penduduk di kabupaten ini sekitar 400.000, kemudian kami harus menyiapkan hadiah dengan nilai 100.000, setidaknya dana yang harus tersedia sekitar 40 M.” Bu Nurul diam sejenak, menebar pandangan ramah ke seluruh peserta.
“Uang siapa yang dipakai untuk memberi hadiah itu? Berapa biaya untuk sekedar membuat stiker dan banner agar informasi sampai ke masyarakat? Suami saya diperintahkan PKS untuk menjadi calon bupati bukan karena banyak uang, tapi karena dianggap paham kondisi daerah yang diwakilinya selama 3 periode di DPR. Di Senayan memang banyak amplop berseliweran, bukan hanya ratusan juta, tapi miliaran. Tapi itu uang tidak jelas, di luar uang gaji, namanya gratifikasi. Suami saya sangat berhati-hati dalam urusan ini, tidak mau menerima uang selain uang gaji.”

Peserta pengajian serius memperhatikan Bu Nurul, entahlah, mungkin baru sekali ini mendapatkan penjelasan seperti itu. Di sebagian masyarakat memang terasa gejala saling memanfaatkan. Para calon yang sedang menjaring suara, memanfaatkan keluguan masyarakat. Tapi kenyataannya, sebagian masyarakat justru menggunakan situasi seperti itu. Bagi mereka, mumpung ada kesempatan, manfaatkan sebaik-baiknya, sebab belum tentu saat mereka benar-benar jadi pemimpin, nasib mereka diperbaiki.  Mereka mungkin tidak tahu atau tidak mau tahu, uang siapa atau dari mana sumbernya, yang dipakai untuk dibagi-bagikan ke masyarakat saat para calon dan teamnya memperkenalkan diri.  

“Ibu-ibu ingin pemimpin yang kaya dan memberi hadiah tapi membiarkan kebocoran anggaran pemerintah, atau pemimpin yang amanah, menggunakan anggaran untuk kepentingan rakyat? Ibu ingin hadiah seragam yang hanya seratus dua ratus ribu atau sarana pendidikan, jalan dan pembinaan yang baik untuk masyarakat? Bukankah system dan sarana pendidikan yang baik merupakan hadiah yang lebih layak diterima oleh anak-anak ibu?”

Satu dua peserta menundukkan kepala, sebagian lagi masih menunggu penjelasan berikutnya, yang lain senyum-senyum, mungkin merasa aspirasinya selaras dengan penjelasan Bu Nurul.

“Ibu, berikan dukungan kepada calon yang Ibu nilai sanggup memimpin daerah ini, mampu meningkatkan kualitas hidup rakyatnya. Terlalu murah kalau dukungan ibu hanya senilai satu stel seragam dengan melupakan peluang kebaikan untuk keluarga ibu. Suami saya melaksanakan perintah untuk mencalonkan diri, harapannya bisa lebih banyak lagi yang bisa dilakukan untuk memberikan kebaikan untuk masyarakat dibanding menjadi seorang anggota dewan. Silakan dukung dan doakan, bila menurut ibu, suami saya layak memimpin daerah ini.”

Hmm, andai semua calon pemimpin mau terbuka dan berbicara seperti ini dengan calon pemilihnya, setidaknya proses pendidikan politik di masyarakat bisa berjalan. Proses pencerdasan masyarakat akan berlangsung dengan baik.



Wednesday, June 3, 2015

Membangun Citra Diri

CITRA DIRI = Pandangan yang kita buat tentang diri kita sendiri.

1. Dalam akidah

- memaksa dan terus meningkatkan kualitas akidah yg lurus (untuk diri sendiri)
-  toleran dengan akidah orang lain karena terkait dengan hidayah dan pemahaman, berusaha meluruskannya sebisa mungkin, mengembalikan hasilnya pada kehendak Allah.

2. Dalam ibadah

-menyadari sepenuhnya, belum layak masuk ke dalam golongan ahli ibadah, tapi terus berupaya meningkatkan kualitas keikhlasan dan kuantitas ibadah. Berupaya setiap aktivitas diniatkan sbg ibadah sbg tugas hidup dan tujuan diciptakannya.

- menghargai ibadah orang lain, sekecil apapun dan berhusnudzon tentang keikhlasannya. Saling mengingatkan untuk meningkatkan kualitas dan kualitas ibadah dengan cara simpatik dan menghindari menilai keikhlasan ibadah orang lain.

3. Dalam hal akhlak:

- Menyadari sepenuhnya bahwa akhlak diri masih harus terus diperbaiki. Baik akhlak kepada Allah, Rasul, Al Qur'an, orang tua, suami, anak-anak, masyarakat dll.

- Mengutamakan husnudzon saat melihat akhlak orang lain yg kurang berkenan di hati, mereka juga sdg dalam proses memperbaiki diri, ikut membantu dlm upaya perbaikan itu bila ada kesempatan.

4. Dalam dakwah

-Bersyukur dengan kesempatan dakwah yang diberikan Allah dan menggunakan kesempatan itu sebaik-baiknya.

- Memilih cara dakwah dengan sikap bijaksana dan penjelasan yang baik, bila perlu berdiskusi bahkan berbantahan, tetap dengan cara yang baik. Menahan diri untuk tidak terpancing bersikap yang tidak layak dan menimbulkan kebencian terhadap orang-orang yang masih berpotensi menjadi lebih baik.

- Meninggalkan tempat saat di sana terjadi pelecehan terhadap Islam dan yang terkait dengannya, dan tak ada kemampuan untuk meluruskannya.

Tulisan di atas adalah contoh membangun citra diri. Setiap orang bisa berbeda sudut pandang dalam hal ini. Ada yang melihatnya dari sisi kekeluargaan, persahabatan, profesi, talenta, dll.

Dengan membangun citra diri, setidaknya ada gambaran, dalam hal apa akan dilakukan perbaikan diri. Ada juga yang mengatakan, citra diri adalah apa yang kita inginkan orang memandang kita.