Friday, May 22, 2015

Adzan Itu Pengganggu

Adzan Itu Pengganggu

Memang seharusnya begitu.

Pengganggu bagi yang tidur tidak pada waktunya.
Alangkah banyak waktu lain untuk tidur? Mengapa memilih waktu berkumandang adzan yang hanya lima kali sehari dan hanya beberapa menit?

Adzan itu pengganggu.
Bagi yang sedang asyik ngobrol, bercanda, bercengkerama dengan keluarga atau sahabat.

Adzan itu pengganggu.
Bagi yang sedang konsentrasi mengerjakan tugas-tugasnya. Mahasiswa yang sedang belajar, istri yang sedang masak, suami yang sedang mencari nafkah.

Adzan itu pengganggu.
Bahkan bagi yang sedang memikirkan umat sekalipun. Pengajian, rapat, demo, bakti sosial dàn lainnya.

Semua aktivitas bisa kita niatkan sebagai penghambaan kepada-Nya, tetapi memenuhi panggilan adzan adalah bukti paling nyata kehambaan seorang manusia.

Melatih diri untuk menjadikan adzan sebagai panggilan yang dinanti sepertinya layak kita pertimbangkan dalam upaya perbaikan umat yang sedang carut marut ini saat ini.

Tuesday, May 19, 2015

Istighfar

Astaghfirullahaladzim, aku mohon ampun kepada Allah Yang Maha Agung.

Seharusnya, istighfar dimohonkan dengan kerendahan yang serendah-rendahnya, mohon belas kasih-Nya.
Dengan segala keagungan-Nya, minta diampuni segala kedurhakaan yang telah dilakukan.
Walau tak sanggup membilang maksiat-maksiat yang dilakukan, dari terbuka mata hingga terpejam di peraduan.

Diri ini tak akan sanggup membuat list detil dari kemaksiatan-kemaksiatan yang kulakukan sepanjang kehidupan. Dari terbuka mata di pagi hari, hingga terpejam kembali di pembaringan.
Dari urusan keimanan hingga hal-hal yang dianggap remeh, hiburan atau sekedar bercanda.

Ampuni segala niat-niatku yang salah arah.
Ampuni kelicikan hati yang masih juga terjadi.
Ampuni segala kesombonganku dalam rasa, tutur dan sikap.

Sungguh, aku malu ketika ada amarah dalam hati.
Bukankah itu tanda kesombongan karena yang terjadi tak sesuai kehendak?
Memang siapa aku, sedang Engkau Yang Maha Berkehendak?

Sungguh, aku sangat malu karena sering marah pada orang lain
Bukankah itu pertanda aku tak memaafkannya?
Setiap hari meminta-Mu mengampuni segala dosa yang tak terhitung, sedang untuk memaafkan satu kesalahan yang tak seberapa saja aku tak suka.
Memang siapa aku?
Seberapa kuasaku? Apa yang sudah kuberikan pada dia yang membuat marah?

Jangan biarkan aku lelah dengan istighfar sebagaimana aku tak juga  lelah dengan maksiat dan kesalahan.
Jangan pernah bosan mendengar istighfarku walau kadang sebatas lisan.
Bimbing aku selalu untuk menyelaraskan diri dengan istighfar yang terus aku lafazkan.

Wahai zat Yang Maha Pengampun.

Monday, May 18, 2015

Hadiah Yang Mengecewakan

Gadis kecil itu tak mampu menyembunyikan rasa kecewanya. Dia menangis menerima hadiah yang dikirimkan panitia penyelenggara lomba melalui gurunya. Bisa jadi dia sangat terpukul melihat apa yang ada di hadapannya tidak seperti yang ada dalam bayangannya.

Kemarin, saat panitia menelepon Abi, menyampaikan berita gembira itu, mendapat juara II, dia begitu gembira dan langsung membuat rencana dengan hadiahnya.

Dia sudah merancang, 20 % akan dibagikan ke pendamping dan teman-temannya yang berasal dari tempatnya belajar, 80 % akan dimasukkan rekening.

Sebenarnya dia tidak ada rencana ikut, mengingat dua hari setelah lomba akan menghadapi ujian akhir SD. Tapi sehari sebelum hari H lomba, dia berubah pikiran, karena dapat informasi, lombanya hanya sebentar.

Dia ikut lomba menggambar kaligrafi. Tentu iming-iming hadiah yang besar mempengaruhi niatnya.
Dalam pengumuman, hadiah pertama sebesar Rp.1.500.000 percabang lomba, hadiah kedua Rp.1.250.000 dan seterusnya.

Kiriman itu berupa sebuah piala, piagam dan amplop yang berisi uang Rp.500.000 dan surat permohonan maaf dari panitia, karena hadiah tidak sesuai yang dijanjikan.

Dia menangis. Umi membiarkannya, sampai dia tertidur.

Setelah shalat, dia masih masih cemberut memandangi hadiah-hadiah itu.

"Kenapa menangis?" tanya Umi, sambil membelai kepalanya.

"Itu!" jawabnya, sambil menunjuk hadiah-hadianya yang masih berserak di tempat tidur. Dia menangis lagi.

"Kemarin waktu daftar lomba, bayar nggak?" tanya Umi. Dia menggeleng.

"Awalnya nggak mau ikut, kan? Trus Allah membuka hati Husna untuk ikut, supaya ada jalan rizki itu sampai. Bayangkan, hanya duduk nggak sampai dua jam, melakukan kegiatan yang memang Husna suka, hadiahnya piala dan piagam, yang kalau dirawat dengan baik, nanti anak-anak Husna bisa melihat. Ditambah uang Rp. 500. 000. Itu rizki yang luar biasa banyak, lho. Pernah menghitung, nggak? Untuk dapat uang segitu, mbak yang kerjanya nyetrika baju itu butuh waktu berapa lama? Tukang roti yang keliling itu butuh berapa hari?"

Dia masih menangis. Umi memahami kekecewaannya. Sangat wajar untuk anak seusianya.

"Panitia lomba itu sudah kerja keras, lho. Bayangkan! Mereka sudah mengadakan lomba dengan segala kerepotannya, mungkin sudah dilakukan sebulan sebelumnya. Mengumpulkan dana dari para donatur untuk terselenggaranya acara dan menyediakan hadiah yang tidak sedikit. Mereka yang cape, tidak dibayar. Tapi rizki Allah yang menentukan. Panitia ingin memberikan hadiah yang besar, tentunya dengan perhitungan yang matang, tapi Alllah mengujinya dengan pemasukan yang tidak sesuai dengan pengeluaran yang direncanakan. Yang jelas, panitia juga merasa nggak enak hati, membuat para juara kecewa dengan hadiah tidak sebesar yang direncanakan."

Dia tidak menangis lagi, diam mendengarkan, walau wajahnya masih cemberut.

"Allah akan menambah nikmat bagi hamba-hamba-Nya yang bersyukur." Umi meninggalkannya, memberi kesempatan untuk meresapi kata-katanya.

Memang tidak mudah menghadapi anak-anak seusianya. Kalau tidak tepat menyikapinya, rasa kecewa itu bisa membuat luka yang sulit disembuhkan.

Alhamdulillah, sore harinya dia sudah ceria. Bersemangat latihan soal matematika menghadapi ujian akhir.

Selamat berjuang sholihah cantik, semoga sukses. Jadilah manusia yang selalu bersyukur. Mampu melihat takdir-Nya dengan kacamata syukur, walau itu butuh proses dan latihan yang terus menerus.

Barokallah.




Monday, May 11, 2015

Menyenangkan Semua Orang?

Tidak mungkin!

Itu kenyataan yang terjadi.

Apapun ucapan dan sikap yang kitra ambil, bisa dipastikan ada yang setuju dan yang tidak setuju.
Ada yang memuji dan selalu ada yang menghujat.
Ada yang terinspirasi tapi ada juga yang tersakiti.

Bingung?

Tentu saja, kalau kita bertujuan menyenangkan semua orang.

Serba salah?

Tentu saja, kalau kita berharap semua orang merestui apa yang kita lakukan.

Jadi?

Tidak usah mempersulit diri. Lakukan sesuatu dengan niat lurus karena Allah dan dengan cara yang ada tuntunan dan tidak melanggar larangan-Nya.

Contoh:

Saat mengabarkan karunia yang baru saja kita terima, dengan niat sebagai salah satu bentuk rasa bersyukur terhadap nikmat Allah, biasanya akan ada dua golongan manusia dengan sikapnya.

Ada yang ikut senang dan bersyukur sebagai manifestasi dari rasa persaudaraan dan persahabatan, ikut mendoakan keberkahan dari karunia itu, karena dengan mendoakan dia berkeyakinan bahwa malaikat mengaminkan doa itu juga untuk dirinya.

Tetapi ada juga orang yang cemburu dan menganggap apa yang kita lakukan sebagai sikap pamer! Ingin dipuji dan sebagainya.
Apa sebab orang menganggap begitu?
Hanya yang bersangkutan yang tahu alasannya, tidak perlu memikirkan sampai mendalam, karena setiap orang berhak bersikap dan akan mendapatkan balasan dari setiap sikapnya.
Cukup kita mengoreksi diri, bisa jadi memang ada kekotoran dalam hati kita, ada niat yang ditunggangi sehingga kurang sempurna keikhlasannya.

Contoh lain, ketika menceritakan tentang kebaikan anak-anak dengan segala prestasi dan hal-hal yang menyenangkan, sebagian orang akan senang membacanya karena mendapatkan wawasan bagaimana mengelola dan mendidik anak. Terinpirasi dan termotivasi serta merasakan punya teman yang sedang berjuang bersama mengantarkan anak-anak menuju kesuksesan masa depannya.

Tapi jangan heran, ketika tiba-tiba muncul komentar yang mempertanyakan niat, bahkan menganjurkan, cukuplah hanya diri sendiri dan Allah yang tahu tentang kebaikan itu. Belum lagi mengkait-kaitkan dengan kesalahan dalam pendidikan tauhid kepada anak-anak.
Ada lagi komentar, kenapa yang diceritakan yang baik-baik saja, bukankah setiap anak pasti punya sisi buruk?

Sekali lagi, biarlah siapapun bersikap sesuai pilihan hatinya, toh yang bersangkutan yang akan memetik hasilnya. Sedang kita? Cukup jadikan itu sebagai cerminan diri untuk lebih berhati-hati dalam bersikap, bila perlu, seleksi para penerima pesan, agar yang bersangkutan tidak perlu berkomentar negatif. Bukan untuk mencari nyaman, tapi kasihan padanya, hatinya tersiksa.

Terus lakukan, bila yakin lebih banyak orang yang mendapat manfaat dibanding orang yang memilih sakit hati. Sambil terus luruskan niat. Jadikan sikap-sikap negatif mereka sebagai pengingat, agar kita lebih berhati-hati dalam bersikap.

Jangan pernah mau rugi, jangan sampai kita menunda bahkan menggagalkan amal baik yang jelas bermanfaat untuk orang banyak, disebabkan  kekhawatiran menyakiti hati beberapa orang yang sama sekali tidak kita niatkan.

Utamakan penilaian Allah, Rasul dan orang-orang beriman.
Dan katakanlah,"Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang beriman akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan." (Terjemah QS. At Taubah : 105)

Terimakasih Pada Yang Menyakiti

Terimakasih.

Sepertinya itu yang layak disampaikan untuk orang yang telah mengucapkan kata-kata yang membuat kita sedih, menangis, tersinggung ataupun marah.

Dia hanya dipilih Allah untuk mengingatkan dan memberi pelajaran, membuat kita introspeksi diri, melihat keburukan dan kekurangan diri yang selama ini mungkin tidak kita sadari.

Bersyukur karena Allah tidak membiarkan kita dalam ketidaktahuan tentang keburukan itu. Bahkan, itupun kadang diulang, karena bisa jadi menurut Allah, belum ada perubahan yang signifikan dalam diri kita.

Memang tidak mudah untuk berlapang hati, mengakui kekurangan n kelemahan diri, tapi ketika kita menyadari bahwa itulah sifat manusia, tidak ada yang sempurna, maka kita akan terlatih.

Menangislah, tapi sebentar saja, sekedar menghilangkan ganjalan.
Tersinggunglah, karena itu menandakan kita masih punya rasa.
Marahlah, tapi hati-hati mengekspresikannya.

Tidak usah berpikir untuk membalasnya, tak ada untungnya memelihara dendam. Biarlah Allah yang memilihkan siapa yang harus menyadarkannya, sebagaimana Allah memilihnya untuk menyadarkan kita.

Monday, May 4, 2015

Syarat Mendapatkan Surga

Dan orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal yang saleh, sesungguhnya akan Kami tempatkan mereka pada tempat-tempat yang tinggi di dalam surga, yang mengalir sungai-sungai di bawahnya, mereka kekal di dalamnya. Itulah sebaik-baik pembalasan bagi orang-orang yang beramal,

(yaitu) yang bersabar dan bertawakkal kepada Tuhannya.
(Terjemah QS. Al Ankabut : 58-59)
Siapa yang tak ingin surga? Apalagi yang tertinggi?

Di dunia, hampir semua manusia senang dengan fasilitas yang mewah dan nyaman.

Di dunia, untuk menikmati hotel dengan fasilitas yang wah,  tentunya harus mengeluarkan biaya mahal. 

Bagaimana untuk mendapatkan surga yang kenikmatannya tak terbayang oleh angan manusia manapun? Di level tertinggi lagi? Jadi logis, kan, jika untuk mendapatkannya harus dengan harga yang jauh berlipat-lipat mahalnya?

Dalam dua ayat di atas, gamblang disebutkan persyaratan untuk mendapatkan fasilitas super mewah dan kekal abadi  itu, yakni beriman, beramal sholeh dengan sabar dan tawakal kepada-Nya.

Beriman dengan apa-apa yang Allah perintahkan kita mengimaninya dan beramal sholeh berdasarkan iman itu.

Ketika Allah perintahkan kita beriman kepada-Nya, maka kita yakin bahwa Allah itu ada dengan segala yang diinformasikan tentang ada-Nya. 

Dia Maha Pengasih, Maha Penyayang. Maka saat kita merasakan kehidupan yang sempit, serasa tidak ada tanda-tanda dan bukti kasih sayang-Nya, maka hendaknya kita bersabar dengan itu. Yakinlah, bukan karena Dia tak menyayangi, tapi kitanya saja yang belum melihat bentuk kasih sayang itu. 

Misalnya, saat kita merasa sempit rizki, penghasilan tak mencukupi kebutuhan, di mana Maha Pengasih-Nya? Geser sedikit cara pandang kita! Selama ini, kita cukup makan dari mana? Lebih sering makan atau tidak? Wajar, kan kalau Allah memberi kurang sekali-kali, sedang selama ini lebih banyak cukupnya? Bagaimana dengan kesehatan kita? Adakah Allah memberi penyakit yang berat, yang dengan begitu kita harus mengeluarkan biaya yang sangat banyak? 

Di sinilah kesabaran teruji, adakah dengan kondisi seperti ini kita tetap dalam ketaatan pada-Nya? Apakah kita masih menyandarkan n tawakkal hanya kepa-Nya? Ataukah kita segera meninggalkan-Nya? 

Coba melihat sisi lain bentuk kasih sayang itu. Mungkin kita akan terjerumus pada kesombongan jika selalu tercukupi segala kebutuhan bahkan keinginan. Mungkin kita akan lalai dalam ibadah karena kesibukan dan tidak merasa perlu mendekat kepada-Nya, karena umumnya manusia akan mendekat saat dalam kesulitan. Bisa jadi hal itu sebagai panggilan dari-Nya untuk segera mendekat.

Bagaimana dengan keimanan yang lain? Beriman kepada malaikat? Rasul? Kitab? Takdir? Hari Kiamat? 

Allah membekali kita dengan hati dan fikiran agar digunakan untuk tadabbur dan tafakkur. Tujuannya? Agar bisa mengenal-Nya dan meningkatkan kehambaan kita di hadapan-Nya. 

Berapa umur kita sekarang?

Sampai kapan kita berkesempatan hidup di dunia?

Seberapa jauh kita sudah mengenal Allah dan segala tuntunan-Nya?

? ? ? ? ?