Thursday, April 30, 2015

Saat Ketakutan Itu Datang

"Umi habis nangis, ya? Kenapa Umi sedih?"

Itu pertanyaan yang sering dilontarkan Harish, saat melihat mataku sembab atau dia melihat air mata yang belum sempat kuhapus.

"Siapa yang bikin Umi sedih?"

Sekali waktu aku bisa menjelaskannya sesuai dengan nalar balitanya, tapi kadang sulit memilihkan bahasa yang tepat. Hanya pelukan yang bisa kuberikan sebagai jawaban.

Bagaimana bisa aku menjelaskannya padamu, sayang? Kadang aku sendiri merasa aneh dengan diri ini?

Saat melihat suami menurun ketaatannya, muncul rasa takut, itu karena kurang suport atau ketidak pedulianku.

Saat anak-anak berperilaku tidak baik, bertentangan dengan akhlak yang seharusnya, bahkan melakukan pelanggaran pada rambu-rambu_Nya, ada rasa takut luar biasa. Jangan-jangan itu semua karena cara mendidik yang salah.

Belum lagi dari setiap ucapan yang aku keluarkan, kata yang tertulis, sikap yang mengecewakan, dzikir yang terlalaikan, ketaatan yang terus berkurang, kemaksiatan yang masih terulang-ulang, belum lagi selingkuh hati pada selain-Nya?

Bayangan hari di mana setiap kita dimintai pertanggung jawaban atas segala amanah yang dititipkan-Nya, seakan sulit hilang dari fikiran..

Sedangkan...

Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya. (Terjemah QS. Al -Isro : 36)
Benar, Dia Maha Pengampun, tapi adakah jaminan bahwa aku termasuk yang diampuni-Nya?

Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun (Terjemah QS. Al-Mulk :2)

Sesungguhnya taubat di sisi Allah hanyalah taubat bagi orang-orang yang mengerjakan kejahatan lantaran kejahilan, yang kemudian mereka bertaubat dengan segera, maka mereka itulah yang diterima Allah taubatnya; dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (Terjemah QS. An-Nisa: 17)
Lebih mengerikan lagi saat mengingat:

Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan?Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan. (Terjemah QSAs-Shaff:2-3)
Tidak ada maksud sedikitpun untuk itu, tapi kadang kondisi menggiring ke dalam situasi seperti itu. Kadang kewajiban memaksa diri menasehatkan sesuatu yang karena terkendala kemampuan belum bisa meneladankan. Sebagai orang tua tentu mengarahkan agar kehidupan anak lebih baik, tetapi itu baru bisa sebatas memberi penjelasan dan tuntunan.

Keyakinan bahwa Allah Maha Pengasih, Penyayang, Pemberi Rahmat selalu dihantui ketakutan kepantasan diri untuk termasuk golongan hamba yang beruntung.

Semoga ketakutan ini bisa menjadi pengingat saat muncul bangga atas keberhasilan diri, bahwasanya tak ada sedikitpun kelebihan diri yang bisa menyelamatkan tanpa adanya kasih sayang dari Allah. Karena sebesar apapun kelebihan diri yng bisa dicapai, tidak akan pernah bisa mengimbangi begitu banyak kekhilafan yang dilakukan manusia. Sebanyak apapun amal sholeh yang mampu dilakukan, tak akan berhasil mengimbangi karunia yang telah Allah berikan.

Wednesday, April 29, 2015

Mencela Pelaku Kemaksiatan

Tidak semua orang mengambil sikap mencela kemaksiatan yang terjadi atau dilakukan orang lain.

Bukan masalah tidak berani.

Bukan pula karena tidak membenci kemaksiatan itu atau bahkan merestuinya.

Tapi semata-mata karena pilihan cara.

Banyak orang yang dengan tegasnya membicarakan kemungkaran dengan celaan terhadap pelakunya. Tanpa pikir panjang apa dampaknya kepada sipelaku kemungkaran, pendengar celaan atau terhadap dirinya sekalipun.

Akibatnya?

Bisa jadi sipelaku merasa dipermalukan, dendam dan berusaha mencari celah keburukan sipencela untuk suatu saat akan dibalasnya. Atau mungkin tertampar dan sadar, kemudian berhenti dan bertaubat melakukan kemaksiatan itu, kemudian memulai lembaran baru dalam kehidupannya. Tapi mungkin juga justru akan membuat sipelaku terpuruk karena merasa dirinya jadi manusia yang buruk dan tidak berguna, menjauh dari pergaulan karena takut mendapat celaan dari orang lain.

Bagi pendengar, mungkin langsung berpihak pada sipencela, tapi bisa jadi justru dia memberi penilaian negatif atau membandingkan sipencela dan yang dicela. Benarkah sipencela lebih baik dari yang dicela?

Bagaimana akibat terhadap sipencela?
Yang pasti, dia sudah membuat batas dengan yang dicela. Dia berhasil menanamkan bibit permusuhan dalam hati yang dicela. Bersyukurlah jika yang dicela termasuk orang yang lapang dada dan pemaaf, tapi, bagaimana jika sebaliknya?

Sebenarnya, bagaimana tuntunan Rasulullah Saw.dalam menyikapi kemaksiatan?

Dari Abu Sa’id Al Khudri ra : ‘Saya mendengar Rasulullah saw bersabda, “Barangsiapa melihat kemungkaran, maka ubahlah dengan tangannya, jika tidak mampu maka ubahlah dengan lisannya, jika tidak mampu maka (tolaklah) dengan hatinya, dan hal tersebut adalah selemah-lemahnya iman” (HR. Muslim)
Pertama yang harus dilakukan adalah mengubah dengan tangan. Mayoritas pendapat mengatakan yang dimaksud dengan tangan adalah kekuasaan atau wewenang. Bagi yang punya kemampuan, baik itu kekuasaan, jabatan, ketokohan atau hartanya mampu mengubah kondisi kemungkaran/ kemaksiatan ydengan apa yang ada pada dirinya. Bisa dengan membuat peraturan/ undang-undang atau mengupayakan bagaimana caranya agar kemungkaran itu dihentikan. Misal, seorang ketua RT bisa mengajak warganya untuk bersama-sama mengatasi kemungkaran di wilayahnya. Orang tua bisa memberlakukan peraturan tertentu di keluarganya, apalagi seorang pemimpin negara, tentu peluangnya untuk memberantas kemungkaran jauh lebih besar.

Yang kedua mengubah dengan lisan.
Di sinilah tema yang sedang kita bicarakan. Sebagai apapun, kita bisa mengambil porsi ini sesuai dengan kapasitas yang dimiliki. Lisan mungkin bisa diperluas juga ke ranah tulisan, ucapan yang dituliskan. Intinya adalah mempengaruhi orang untuk meninggalkan kemaksiatan atau kemungkaran.
Kita bisa memilih cara komunikasi, dengan bahasa halus atau kasar, membujuk atau menghardik, menghimbau atau memerintah, menasihati atau mencela,memberi saran atau mengkritik.

Setiap pilihan, tentu ada konskuensinya. Setiap pelaku kemaksiatan juga mempunyai karakter yang berbeda. Hanya saja yang perlu menjadi pertimbangan saat kita dalam posisi orang yang mengubah kemungkaran dengan lisan atau tulisan adalah:
1. Sudahkah kita memahami dengan baik permasalahannya?
2. Yakinkah bahwa kita tidak termasuk pelaku atau terlibat dalam kemaksiatan itu?
3. Bisakah dijamin, nantinya kita atau keluarga atau orang-orang dekat kita terhindar dari perilaku kemungkaran tersebut? Khawatirnya Allah menguji kita dengan hal seperti itu.

Saat kita mencela, bisa jadi suatu saat kita juga akan dicela, mungkin dengan yang lebih keras lagi, saat tidak bisa menghindari situasi atau terjebak dalam sebuah kemungkaran.

Jika kita memilih ucapan/ kata-kata yang santun dalam mengingatkan, sepertinya akan lebih baik, setidaknya kita terhindar dari keburukan perbuatan mencela.

Cara ketiga adalah menolak dengan hati, tanpa melakukan tindakan nyata, maka kita harus rela digolongkan orang-orang yang lemah iman.





Monday, April 27, 2015

Motivasi Menulis Dan Menerbitkannya

Apa yang paling memotivasi penulis segera menerbitkan hasil karyanya?

a. Hobi
b. Popularitas
c. Uang
d. menebar pesan kebaikan

a. Hobi merupakan motivasi untuk memperoleh kesenangan saat melakukan sebuah kegiatan. Senang dengan apa yang dilakukannya. Jadi orientasi utamanya adalah bersenang-senang.
Seseorang menulis karena hobi awalnya hanya untuk kesenangan, membuat tulisan, ungkapan perasaan, kemudian dibaca sendiri berulang-ulang. Tidak heran kalau penulis ini menuangkan hobinya di buku diari. Sebagian berhenti hanya di buku diari, tapi sebagian justru dapat menjadikan catatan hariannya itu menjadi sebuah karya yang bisa dinikmati banyak orang.

b. Benarkah manusia butuh popularitas?
Mungkin tidak semua orang butuh itu, tapi hampir setiap kita butuh eksistensinya diakui. Sepertinya tak ada orang yang suka kehadiran atau karyanya diabaikan.
Memang ada tipe manusia yang begitu senang dengan popularitas, sampai-sampai berbagai upaya dilakukan untuk menarik perhatian, entah itu perbuatan baik atau jelek, yang penting tersohor. Mungkin orang yang senang buat sensasi termasuk  di dalamnya.
Tidak heran kalau sering kita jumpai penulis dengan karya yang begitu kontroversial, baik jenis tulisannya maupun cara mempopulerkannya. Mungkin tidak semua penulis ini mendapatkan banyak uang, walaupun karyanya sangat populer, karena tidak ada jaminan karya yang banyak dibicarakan pasti best seller.
Juga tidak juga dijamin, karya dari penulis populer selalu bagus.

c. Siapa yang tak suka uang? Yang dengannya kita bisa mendapatkan kebutuhan hidup serta kesenangan? Dengan menulis uang bisa didapatkan. baik lewat tulisan di media yang imbalannya honorarium, menerbitkan buku sendiri atau menjadi penulis pesanan.
Berbagai jenis tulisan bisa dipesan, dari membuat skripsi, laporan pertanggung jawaban, biografi atau surat cinta. Mungkin akan sering terjadi dilematis bagi seorang penulis idealis, ketika ada di posisi ini. Bagaimana kadang-kadang idealismenya harus dikorbankan demi memenuhi pesanan atau kemauan pasar agar tulisannya menghasilkan uang.

d. Mengubah dunia dengan pena!

Pernah dengan ungkapan ini, kan? Sebuah jargon para penulis yang mempunyai misi dalam setiap karyanya. Bisa dipastikan tulisannya berisi pesan-pesan yang akan mempengaruhi pola pikir dan pandangan manusia terhadap sesuatu.

Tulisan yang akan mengubah dunia tentu jika yang membaca banyak orang, terutama yang punya wewenang mempengaruhi kebijakan. Otomatis penulisnya akan menjadi populer, walau mungkin tidak di masa hidupnya. Korelasinya, semakin banyak dicetak, semakin banyak uang yang diperoleh dari karyanya. Dan jarang sekali penulis yang memulai kiprahnya tanpa menyukai apa yang dilakukannya.

Penulis idealis tidak terlalu memperhitungkan masalah popularitas ataupun uang yang dihasilkan, karena dia yakin, apa yang dilakukannya adalah sebuah kebaikan yang pasti akan mendapat balasan dari sang Pencipta. Dia juga akan merasa puas ketika menyadari bahwa melalui tulisannya dia telah ikut andil dalam perbaikan generasi.

Saturday, April 11, 2015

Hobi, Dari Waktu ke Waktu.

Kemarin ada yang menanyakan, apa hobiku?

Ha ha, kok mau menjawab, nggak selincah saat masih anak-anak dan remaja dulu, ya?

Dulu, kalau mengisi buku kenangan teman atau mengisi biodata, mudah sekali menjawabnya.

Sekarang? Mau menjawab, perlu memastikan diri dulu bertanya pada KBBI online, apa defenisi hobi?

Hobi adalah kegemaran : kesenangan istimewa pada waktu senggang, bukan pekerjaan utama.

Dulu, serasa bangga ketika menjawab, hobi membaca.
Seiring berjalannya waktu, ada koreksi atas jawaban itu, karena dipikir-pikir, membaca tidak seharusnya jadi hobi, karena membaca itu semacam kebutuhan atau keharusan.Membaca adalah konsumsi otak, pikiran, intelektual. Jadi, demi keadilan terhadap diri, maka membaca, yang identik dengan belajar atau menuntut ilmu, kedudukannya sejajar dengan makan sebagai konsumsi jasad dan ibadah sebagai konsumsi jiwa.

Dulu, dengan ringannya menjawab makan bakso.
Ternyata jawaban itu karena suka dengan bakso tapi jarang terbeli.
Sekarang? Walaaah, ditawari gratis saja kadang menolak, ha ha, terutama saat perut kenyang.

Pernah juga menjawab hobi masak.
Dipikir-pikir, kalau masak itu hobi, kasihan banget suami dan anak-anak? Nunggu Umi punya waktu senggang baru dimasakin. Dan ternyata kemampuan masak itu pernah menjadi pekerjaan utama. Nggak cocok dong dengan defenisi hobi. Demikian halnya dengan menjahit.

Nah, sekarang apa hobiku?

Menuliskah?

Mungkin sebagian orang mengannggap begitu, tapi kalau membaca ulang defenisinya, nggak tepat juga, karena menulis bukan saat senggang, tapi menyediakan waktu sengaja untuk menulis, walau sedang sibuk.

Jadi?

Sudahlah, nggak usah dibuat pusing. Lakukan hal yang bermanfaat dengan senang hati, dan anggaplah itu hobi, bila memang kolom hobi harus terisi, ha ha.

Naluri & Nurani

Naluri adalah dorongan hati atau nafsu yang dibawa sejak lahir; pembawaan alami yang tidak disadari mendorong untuk berbuat sesuatu. (KBBI)

Nurani adalah perasaan hati yang murni, yang sedalam-dalamnya. (KBBI)

Naluri dan nurani adalah potensi dasar manusia yang belakangan ini sepertinya sering terkalahkan oleh logika yang pragmatis.

Contoh: memeluk anak itu naluri bukan, sih? Tapi sepertinya dibutuhkan penelitian tentang pengaruh pelukan terhadap daya tahan menghadapi kehidupan untuk membenarkannya.

Padahal, tanpa diteliti pun, kalau kita mengikuti naluri, maka pelukan itu kita lakukan dengan penuh cinta. Entahlah, semakin ke belakang naluri itu semakin tidak peka.

Ada berapa kasus, seorang ibu membuang bayi yang dilahirkannya? Dia bungkan naluri keibuannya karena rasa malu menanggung aib.

Ada berapa banyak para ibu mengabaikan naluri keibuannya? Karena tuntutan profesi, katanya terpaksa meninggalkan anak-anaknya.

Ada berapa banyak laki-laki yang membuang naluri keimamannya? Dia biarkan istri dan anaknya lepas dari bimbingannya, sedang dia harus bertanggung jawab di hadapan Allah.

Bagaimana dengan nurani?
 “Dosa adalah apa yang terasa mengganggu jiwamu dan engkau tidak suka jika diketahui manusia.“ (HR Muslim).
Subhanallah!

Allah telah membekali kita dengan potensi yang dapat menjaga kemanusiaan dan kehambaan kita, naluri, nurani dan akal.

Tugas kita adalah menjaga dan meningkatkan kepekaan serta keberimbangannya.

Monday, April 6, 2015

Persiapan Pensiun

Siapa bilang pensiun saat umur 60 tahun?
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia didefenisikan pensiun adalah tidak bekerja lagi karena masa tugasnya sudah selesai.
Berarti pensiun tidak menyangkut hanya usia tertentu. Tergantung kondisi.

Misal:
Seorang karyawan, usia belum 40 tahun, mendapat serangan stroke dan menyebabkan dia tidak bisa bekerja seperti biasa, karena kaki dan tangannya tidak bisa digunakan untuk bekerja.

Bukankah kondisi seperti ini bisa dikatakan pensiun?

Itu hanya satu contoh. bahwa kita benar-benar tidak tahu, kapan kita pensiun.

Akankah kita biarkan masa itu datang tanpa persiapan?

Banyak jenis persiapan yang telah dilakukan orang untuk menyambut masa itu, misalnya:

1. Kebanyakan orang ingin menjadi PNS, selain kepastian penghasilan bulanan, salah satu alasan kuatnya adalah adanya dana pensiun.

2. Jika tidak berhasil jadi PNS, berusaha menjadi karyawan perusahaan yang menjanjikan pensiun atau sejenisnya.

3. Berbagai jenis asuransi untuk menghadapi masa itu, seperti asuransi kesehatan, pendidikan, dll, yang terkait dengan persiapan masa nonproduktif di usia pensiun.

Mari perhatikan jenis persiapan tersebut!

Materi,bukan?

Ya, pada umumnya kita memikirkan persiapan materi untuk masa pensiun.

Cukupkah?.

Benarkah hanya materi yang dibutuhkan di masa pensiun?

Bukankah masa pensiun sering direncanakan sebagai waktu untuk puas-puas ibadah?
Apakah persiapan yang dibutuhkan untuk ibadah?
Ilmu tentang bagaimana melaksanakan ibadah yang benar?
Sudahkah kita siapkan?
Kalau belajar mengaji, shalat dan ibadah lainnya kita lakukan saat sudah pensiun, kapan melaksanakannya dengan nikmat?

Bukankah di usia senja kita butuh kasih sayang dan perhatian anak-anak?
Sudahkah kita didik mereka dengan memberi contoh, bagaimana sebaiknya menyayangi dan merawat orang tua?

Bukankah saat masa pensiun kita juga masih ingin tetap produktif?
Sudahkah kita siapkan jenis aktivitas yang sesuai dengan kondisi? Terutama kondisi fisik?

Karena memang kapan pensiun kita datang merupakan rahasia Allah, maka sepantasnya kita persiapkan masa itu dari sekarang, agar masa itu tidak menjadi masa yang menakutkan.

Sunday, April 5, 2015

Cara Melembutkan Hati


Mungkin kita termasuk yang sering merasakan kekesatan hati. Terasa kasar, penuh amarah, mudah tersinggung, tidak peka dengan kebaikan, selalu berprasangka buruk, mencari kesalahan pihak lain, tidak menerima kondisi, dan sebagainya. Dan bisa dipastikan, hal itu membuat kita tidak nyaman, jauh dari bahagia.

Tentunya kita ingin segera keluar dari kondisi seperti itu, segera mendapatkan hati yang lembut, yang akan menjadikan kita bisa menikmati hidup dan merasakan bahagia.

Bagaimana caranya?

Untuk melembutkan hati, banyak yang menyarankan dengan memperbanyak ibadah, doa dan dzikir.

Benar! Tapi sebagian kita tidak bisa merasakan langsung cara ini untuk segera mendapatkan kelembutan hati.

Mengapa bisa begitu? Sedang Allah berfirman,". . . Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tentram." (Terjemah QS Ar-Ra'd : 28)

Allah tidak pernah salah, pasti! Ayat Al Qur-an selalu benar!

Lalu di mana salahnya? Mengapa terkadang dzikir, doa dan ibadah terasa hambar dan tidak berefek pada ketenangan?

Mungkin, satu hal yang kita lupakan, yaitu tafakur dan tadabbur!

Apa peran tafakur dan tadabbur dalam melembutkan hati?

Kasarnya hati terasa biasanya dipicu oleh sesuatu, baik itu peristiwa maupun pemikiran.

Ketika kita menyadari, hati ini terasa kasar, maka segera cari penyebab dan akar masalahnya.

Dari yang paling permukaan, peristiwa apa yang menjengkelkan atau membuat ganjalan di hati.

Pikirkan penyebab itu dari berbagai sudut, sampai hati kita bisa menerimanya dengan ikhlas.

Kemudian tadaburi ayat, dzikir atau ibadah yang dapat melembutkan hati.

Contoh:
Seorang ibu sering merasa kesal karena urusan anak-anaknya yang masih kecil. Juga seringnya timbul keributan di antara mereka yang sering membuatnya pusing.Belum lagi dengan segala urusannya sebagai wanita pekerja, sebagai pilihan hidupnya. Terkadang dirasakan kurang adanya pengertian dari suami.
Sering terpikir olehnya, sudahlah berat beban urusan rumah tangga, masih juga melakukan kewajiban suami, mencari nafkah. Kapan waktunya bersantai? Kapan waktu untuk diri sendiri?

Baiklah, kitya urai satu-persatu, kita tafakuri segala hal yang membuatnya marah.

Anak-anak, dari zaman dulu, mungkin sampai kapan pun, di mana pun, ya seperti itu. Masanya bermain, berekspresi, mencoba segala sikap yang bisa dilakukannya dan menunggu respon orang sekitarnya. Pikiran anak-anak masih sangat sederhana. Kita dulu juga seperti itu, sekali-kali minta orang tua menceritakan bagaimana masa kecil. Dan lagi masa-masa itu tidak akan lama, suatu saat, saat usianya bukan lagi anak-anak, kita akan merindukan suasana seperti itu.Mengapa tidak kita nikmati selagi masih bisa? Harusnya bersyukur, lho, di beri anugerah keturunan. Sedangkan orang lain begitu khusyu berdoa dan sungguh-sungguh berusaha untuk mendapatkannya. Buatlah kenangan manis untuk kita dan mereka.

Bekerja? Itu kan sudah pilihan? Andainya pun memutuskan untuk berhenti, apakah itu yang terbaik? Kalau memang lebih baik berhenti, ya berhentilah. Secara hukum toh tidak dosa, tapi siapkah dengan konskuensinya? Tentu lebih rumit mengatur uang belanja yang lebih sedikit. Keputusan ada di tangan kita, silakan pilih. Apa tidak sebaiknya kita mensyukuri rezeki yang diberikan Allah lewat tangan kita? Ada kesempatan kita bersedekah, bukan? Alangkah banyak orang lain menginginkan posisi kita.

Suami kadang kurang pengertian? Apakah sebagai istri kita juga sudah selalu pengertian pada suami? Rasanya. . .Coba ingat-ingat, hal-hal apa yang sangat menyenangkan dari suami : perhatiannya, kelembutannya, kesabarannya, tentu ada. Mengapa bukan itu yang kita perbesar? Agar hal-hal yang tidak kita sukai terimbangi? Alangkah banyak suami-suami orang lain yang lebih buruk dalam memperlakukan istrinya. Mengapa tidak kita ajak komunikasi, agar hal-hal yang mengganjal itu diperkcil?

Astaghfirullah, ampun ya Allah.

Begitu banyak karunia-Mu yang belum sempat disyukuri, justru memperbesar ha-hal yang menjadi keinginan, yang belum diizinkan-Nya terwujud.

Hayati makna aktivitas wudhu sebagai jalan yang diberikan Allah untuk memadamkan kemarahan, untuk membersihkan karat-karat dalam hati yang semakin lekat menempel.

Resapi bacaan-bacaan shalat dalam khusyu untuk lebih melembutkan kekasarannya. Hampir pasti, air mata tak mampu terbendung.

Baca ayat-ayatnya dengan menambah sedikit waktu memahami maknanya.

Perbanyak memperhatikan orang lain, terutama yang nasibnya lebih memelas dari kita.

Bila perlu, ziarahi kubur untuk mengingatkan, itulah tempat peristirahatan sementara sambil menanti nasib perhitungan di hari kekal.

Layakkah hati yang kasar kita bawa ke sana?

Bagaimana dengan penyebab lain?

Polanya hampir sama, tafakur dan tadabbur. Variasi aktivitas bisa beragam, misal, memperbanyak silaturahim, membaca kisah-kisah berhikmah, dsb.


Wednesday, April 1, 2015

Buku Terbit, Bukti Konsistensi ?

Adakah penulis instan? Sekali menulis langsung bagus? Disukai pembaca?

Mungkin ada, tapi sangat jarang terjadi.

Kebanyakan penulis yang hasil karyanya banyak disukai pembaca, biasanya orang yang konsisten dengan dunia pilihannya, dunia kepenulisan.

Berbagai tujuan dari pemilihan dunia ini.

Ada yang menulis karena hobi, senang melakukannya dan puas melihat karyanya.

Ada juga memiliki tujuan komersial dan popularitas, atau sosial.

Ada yang idealis, menulis untuk melestarikan suatu bidang keilmuan, ingin menyebarkan lebih banyak kemanfaatan, bahkan menulis diniatkan sebagai bentuk andil dalam dakwah.

Begitu banyak orang yang ingin jadi penulis, mengingat efektivitasnya dalam menyampaikan pesan. Tetapi sunatullah, tidak semua yang punya keinginan berarti konsisten dalam mewujudkannya.

Banyak cara diambil untuk memulai aktivitas kepenulisan itu. Seperti membiasakan diri dengan menulis diary, membuat status di facebook, membuat postingan di grup kepenulisan. Ada yang mencoba merambah media cetak, tapi ada yang setia dengan blognya.

Sampai tahap ini, konsistensi bisa dilihat. Ada yang berhenti karena merasa kurang apresiasi dari pembaca, ada yang terus melakukannya terus walau tergantung mood, tapi ada yang konsisten dengan aktivitasnya.

Setiap penulis mempunyai ukuran untuk menilai tingkat konsistensi dan komitmennya.

Ada yang cukup puas dengan terus menulis setiap hari, ada yang gigih untuk tembus media, ada yang mencukupkan diri sebagai kontributor antologi  , yang penting namanya sudah tercantum di sebuah buku.

Ada yang mengharuskan diri memiliki buku terbit solo,walau diterbitkan sendiri,  ada juga yang mewajibkan diri menerbitkan buku solo dengan penerbit mayor.

Nah, keren banget kalau sampai jadi penulis langganan best seller.

Begitu juga dengan saya, yang merasa sangat terlambat memasuki dunia ini, walau sadar, potensi itu ada dalam diri. Sayang, terlalu banyak excuse.

Saya memulai menulis dalam artian mencoba untuk serius, saat diberi kesempatan memiliki sarana pendukung. Diawali dengan membuka akun facebook menjelang akhir tahun 2012. dengan niat yang jelas, membuka akses ke pembaca.

Hampir setahun membuat status-status singkat yang mengandung pesan, walau tidak rutin, karena masih adaptasi dengan sarana. Berulang kali tidak bisa update karena berbagai sebab, dari urusan gangguan jaringan, pulsa telat ngisi, coba-coba yang membuat akun kacau, tidak bisa dibuka, dsb.

Setahun kemudian, sebagaimana akun fb, saya dibuatkan blog oleh anak sulung. Dengan komitmen blogging setiap hari, walaupun kadang-kadang tidak sesuai target karena kesibukan. Sebulan kemudian, bergabung ke beberapa grup kepenulisan online, dengan tujuan meningkatkan kualitas tulisan. Sharing dengan orang-orang yang minatnya sama, membuat belajar tidak terasa berat, bahkan merasa sedang bersenang-senang.

Sepuluh antologi menjadi bukti, bahwa saya konsisten dalam kepenulisan. Baik melalui event atau sekedar mengikuti ajakan untuk membuat antologi. Hanya sepuluh, karena saya ingin menulis apa yang sesuai dengan tujuan nyemplung ke dunia ini. Antologi tentu saja harus mengikuti ide sipemrakarsa.

Saya belum puas dan ingin meningkatkan pencapaian itu dengan menerbitkan buku solo, walaupun diterbitkan dengan biaya sendiri.

Mungkin ada yang melecehkan,"Mau-maunya, sudah cape-cape nulis, masih membiayai sendiri."

Nggak apa-apa, semua orang punya pendapat. Dan saya, dengan menerbitkan buku, itu cara untuk menghargai karya sendiri. Untuk apa menulis bagus, kalau hanya dibaca-baca sendiri?

Kok tidak penerbit mayor? Kan tidak harus mengeluarkan uang untuk modal?

Aha ha ha, saya mengukur diri. Seberapa kekuatan saya untuk bersaing, tembus penerbit mayor.

Nggak berani bersaing? Karena karyanya belum berkualitas?

Mungkin, tapi lebih pada pertimbangan waktu.

Ingin buku diterbitkan mayor, berarti siap memenuhi kriteria dan standar penerbit. Kemudian menunggu waktu pertimbangan, di acc atau ditolak. Selanjutnya masuk daftar antri terbit. Ups! Sok tahu! Seperti yang pernah mengajukan naskah ke penerbit mayor? Setidaknya, itu informasi yang pernah saya dapat.

Mengapa buku solo yang jadi ukuran?

Untuk membuat cerpen, atau status, tentu tidak butuh waktu lama. Tapi untuk sebuah buku?
Seorang sarjana tentu pernah merasakan itu, saat membuat skripsi atau tesis.

Saya tahu, salah satu kejelekan yang ada pada diri adalah sifat gampang bosan jika melakukan aktivitas yang sama dalam jangka waktu lama. Dan saya membayangkan, betapa membosankannya menulis sebuah novel yang tebal.

Untuk melatih diri, saya buat buku solo perdana ini dengan model kumpulan tulisan yang setiap judul beda tema.Sehingga mengerjakannya bisa terputus-putus, tapi jika disatukan bisa membentuk satu tema besar. Saya sedang menguji dan membiasakan diri untuk bisa sedikit-sedikit mengurangi sifat cepat bosan ini.

Cukup satu buku?

Oo, tentu tidak. Satu buku ini sebagai langkah awal dan akan terus terlahir buku-buku berikutnya, selama umur masih ada, insyaallah.
.