Wednesday, January 28, 2015

Sederhana >< Mewah


Bukan hal yang mudah untuk mendapatkan gambar ini!

Sebuah proses asimilasi dua generasi terjadi, sebagai hasil negosiasi yang lumayan alot.

Orang tua, yang merasa telah menjalani dan merasakan asam garam kehidupan mengusung konsep sederhana dalam penyelenggaraan pernikahan dan walimah anak pertamanya.

Sang anak, yang merasa visioner, mempunyai pertimbangan lain, bukan masalah sederhana atau mewah, tapi lebih pada nilai kepantasan dan investasi masa depan!

Jadi?

Tak ada jalan lain, asimilasi! Penyesuaian dan peleburan.

Bukan masalah tidak berpegang pada prinsip, tapi lebih pada upaya, bijaksana menghadapi realita.

Orang tua sangat realistis, seberapa kemampuan dana yang dimiliki. Tak ingin ada beban setelah acara berlangsung. Menghitung dengan dasar pertimbangan syariat, mana wajib, sunnah dan mubah. Berusaha menghindari kemubaziran. Ingin memberikan contoh yang baik di masyarakat. Menghindari penyakit hati dan pandangan sinis orang-orang yang ada di sekitarnya.

Anak, yang memang punya potensi kreatif, ingin mengambil kesempatan di momen penting kehidupannya. Dia terbiasa mengalami hambatan kreativitas dari sisi dana, maka kesempatan ini ingin benar-benar dimanfaatknnya untuk itu. Menyalurkan kreativitas, mengukir kenangan indah sekaligus meletakkan batu pertama dalam salah satu profesinya.

Bagaimana cara kemauan dan idealisme keduanya terealisasi?

Toleransi!

Keduanya harus mau menurunkan grade/tingkat kriteria kepuasannya.

Seperti masalah hijab dan ikhtilat. Bagaimana orang tua mengurangi kriteria hijabnya sehingga kesannya masih ada tapi moderat dan bisa diterima hampir semua puhak.

Masalah kesederhanaan dan menghindari kemubaziran, semaksimal mungkin diupayakan tanpa menimbulkan kesan memelas dan menyiapkan alternatif antisipasinya.

Untuk anggaran, ditekan sedemikian rupa sehingga tidak terlalu jauh dari dana yang disediakan.

Suatu hal yang pasti, kesalahan di sana-sini tentu terjadi, wajarlah untuk sebuah pengalaman pertama.

Alhamdulillah!

Pasca nikah, sang pengantin siap melaju dengan bisnis jasa dekorasi dan wedding organizernya.
 

Wednesday, January 21, 2015

Buku atau Gadget?

Buku dan gadget , keduanya memberikan manfaat dan bisa juga mendatangkan mudharat.

Dulu, rasanya gimanaaa, gitu, kalau dibilang kutu buku, he he he, merasa jadi anggota golongan orang-orang cerdas.

Ke mana pergi, buku menjadi bekal utama. Di mana berada, buku menjadi teman setia. Apapun masalahnya, buku menjadi tempat bertanya dan penghilang dahaga ilmu.

Ada rasa puas ketika berhasil menyelesaikan Sirah Nabawiyah dengan berbagai versi, hasil karya beberapa ulama besar. Tak akan diletakkan sebelum sampai halaman terakhir sebuah novel petualangan atau detektif. Hal yang sangat biasa ketika ngobrol dengan teman membicarakan dan saling berbagi cerita tentang isi buku yang dibaca.

Perpustakaan merupakan tempat favorit jika ada waktu luang, hemat biaya dan menambah ilmu.

Itu dulu!

Bagaimana dengan sekarang?

Tidak menafikan sebagian, tapi sepertinya orang sekarang lebih senang bersahabat dengan gadget dibanding buku.

Ke mana pergi, gadget tak boleh tinggal, sekaligus dengan chargernya. Bila perlu ditambah perangkat power bank, agar tak putus saat kehabisan energi. Serasa hilang pegangan, jika gadget tertinggal atau hilang.

Tak masalah jika tertinggal mushaf Qur'an atau buku bacaan, toh di dalam gadget sudah tersedia. Butuh informasi aktual, Google siap memberikan. Jadi, kenapa mesti repot?

Benarkah gadget sudah selayaknya menggantikan posisi buku sepenuhnya?

Dari sisi kepraktisan, ok, sepakat, gadget lebih unggul dari buku.

Sebuah gadget bisa digenggam dengan satu tangan, bisa dimasukkan kantung baju atau tas mungil. Berisi informasi relatif lengkap bahkan bisa berhubungan dengan banyak orang.

Tapi, bagaimana jika dikaitkan dengan aktivitas membaca?

Seberapa lama kita mampu membaca tulisan panjang di monitor gadget? adakah yang mampu membaca ebook berlembar-lembar seperti halnya membaca buku?

Dalam membaca buku, tidak selamanya lancar, dalam artian langsung paham apa yang dibaca. Sering terjadi, saat membaca, perlu membuka halaman sebelumnya untuk lebih memahami isi bacaan. Bagaimana saat membaca ebook? Keterbatasan gadget kadang membuat kita malas kembali ke beberapa halaman sebelumnya.

Bagi orang yang gemar membaca, kekayaan materinya biasanya berupa perpustakaan pribadi. Ke mana pergi, oleh-olehnya buku. Mudah sekali menemukan buku di setiap ruang rumahnya.
Dari jenis buku yang mendominasi, kita bisa melihat seperti apa kepribadian dan keilmuan pemiliknya. Tapi dari jenis gadget yang dimiliki, mungkin kita bisa mengukur kemampuan ekonominya.
yang
Jadi?

Gadget memang perlu, tapi tak perlu sampai menggantikan buku!

Terutama buku-buku standar sebagai pegangan, yang sewaktu-waktu dibutuhkan, seperti Al Qur'an dan terjemah, beberapa buku tafsir Qur'an, beberapa buku hadist shahih, buku kajian tauhid, fiqh, sejarah kehidupan Rasul dan sahabat dan karya-karya ulama terdahulu.

Lho? Bagaimana dengan novel?

Tidak dilarang! Kita butuh karya berjenis novel atau kisah penuh hikmah, karena biasanya lebih mudah mencernanya. Tapi tidak mencukupkan hanya dengan jenis yang kita anggap ringan, karena semakin terbiasa kita mencerna bacaan yang dianggap berat, semakin mudah kita melahap jenis buku apapun.

Ada yang bangga saat menyukai buku-buku filsafat (he he, pengalaman), karena tidak semua orang sanggup mencernanya dengan mudah. Tapi, apa yang didapat? Kalau yang dibaca hanya filsafat murni, tanpa diimbangi dengan bacaan yang bernafaskan wahyu Ilahi, tentu lumayan mengkhawatirkan. Terutama untuk pemula dan tanpa pembimbing.

Mungkin, ada baiknya kita tengok isi perpustakaan pribadi masing-masing. Jenis buku apa yang mendominasi? Seberapa banyak kekayaan yang sudah kita kumpulkan di dalamnya? Bandingkan dengan benda-benda lain yang ada di rumah kita, lebih banyak mana? Buku? Guci? Perkakas rumah tangga? Emas permata? Kendaraan?

Jangan bilang : yang penting baca, bukan punya!



Tuesday, January 13, 2015

Hambatan Kreativitas

"Hilmy mana, Bi? Kok nggak ada suaranya?" tanya Umi, bangkit meninggalkan dapur, mencari tahu keberadaan anak sulungnya yang berusia hampir tiga tahun. Sempat terbersit kekhawatiran, anaknya keluar rumah dan bermain di jalan raya atau bermain air di saluran pembuangan rumah tangga yang mengalir di depan rumah. Abi mencari di depan rumah, sedang Umi ke kamar.

"Masyaallah, Hilmy!"

"Ada apa, Mi?" tanya Abi, menghampiri Umi yang mendapati sulungnya sedang asyik sendiri di kamar depan, tempat menyimpan perlengkapan jahit. Dilihatnya Hilmy sedang menatap Umi dengan sorot menunggu reaksi. Di tangannya tergenggam gelas plastik berisi bedak bayi yang diberi air.

"Kenapa bedaknya dikasih air?" tanya Umi.

"Buat susu," jawab Hilmy.

Mendengar jawaban itu, Umi dan Abi senyum-senyum menahan tawa.

"Yok, buat susu sama Umi. Kalau ini bedak, dipakai untuk wajah dan badan setelah mandi, biar terasa lebih segar dan wangi." Umi menuntun Hilmy ke dapur dan membimbingnya membuat susu sendiri.

***.

"Umi, boleh minta telur mentah, satu aja?" tanya Hilmy, sepulang dari sekolah. Siswa kelas satu SD ini belum berganti pakaian.

"Untuk apa?" tanya Umi, mengalihkan perhatiannya dari kain yang sedang dipotong untuk membuat baju pesanan pelanggannya.

"Mau buat sate telor."

"Boleh, tapi nanti kalau sudah makan," jawab Umi, heran. Sate telor seperti apa ya?

"Umi nyimpan tusuk sate, ya?"

"Ada, di tempat sendok."

Setelah makan Hilmy mengocok telur itu dengan garpu, diberi sedikit garam. Kemudian menyalakan kompor minyak tanah, menuangkan minyak goreng ke kuali yang sudah ditempatkan di atas kompor. Setelah minyak goreng panas, dimasukkannya satu sendok telur kocok itu, lalu dengan menggunakan tusuk sate, telur yang hampir matang itu diputar-putar. Diulanginya hal itu sampai telur tadi habis. Umi memperhatikan semua yang dilakukan anaknya.

"Belajar di mana buat sate telor?" tanya Umi, saat mencicipi hasil masakan anaknya.

"Di sekolah ada tukang sate telor, tiap hari aku beli sambil ngeliatin cara buatnya," jawab Hilmy sambil menikmati hasil karyanya.

***
"Kenapa harus dikerjakan sendiri, kan sudah ada dekoratornya?" tanya Umi, saat sulungnya menyatakan keinginan membuat dekorasi untuk pelaminannya.

"Nggak dibatalin, Mi, cuma pengen konsep yang desainnya aku buat sendiri," jawabnya, sambil menunjukkan gambar-gambar desain yang sudah dibuatnya.

"Artinya tambah biaya untuk beli bahan ini?" tanya Umi, sambil menunjuk desain berbahan dasar styrofoam buatan Hilmy.

"Kreativitas memang butuh biaya, Mi."

"Apa momennya tepat? Saat ini kita butuh dana banyak dan sulit diprediksi. Harga bahan pokok, terutama untuk konsumsi lagi tinggi-tingginya."

"Justru ini momen tepat, kesempatan berkreasi untuk walimah sendiri. Aku puas, kreasi tersalurkan, syukur-syukur bisa jadi bisnis pasca nikah."

"Umi tau, tapi masalahnya, kita harus bisa mengelola dana yang ada, agar mencukupi. Dana untuk konsumsi itu besar banget lho, belum lagi yang tak terduga, urusan kecil-kecil tapi harus pakai dana."

Hilmy menyandarkan punggungnya, menundukkan kepala.

"Seingat aku, dari kecil, penyaluran kreativitas sering terhambat dana."

Nyessss.

Umi terdiam. Terasa ada yang menyelusup ke hati. Entahlah! Perih, mungkin. Tapi tidak menyalahkan sepenuhnya, memang benar adanya. Bukan karena pelit, bukan pula kurang usaha untuk memenuhinya, tapi lebih sebagai kondisi yang harus diterima dengan lapang. Justru kondisi itu yang dimanfaatkan untuk menanamkan nilai-nilai pendidikan.

Alhamdulillah! Dengan kondisi itu, hasilnya sudah terwujud nyata. Seorang pria berusia belum cukup 20 tahun, relatif mandiri, berani mengambil keputusan dan layak dijadikan contoh untuk adik-adiknya.

Friday, January 9, 2015

Pawang Hujan

"Umi, Abi bisa mindahin hujan, ya?"

Seorang ibu menahanku di perjalanan, sepulang dari belanja sayur, pagi ini. Aku sempat kaget dengan pertanyaan itu. Tapi segera dapat memaklumi, mengapa beliau bertanya begitu, mengingat beberapa hal yang kadang Abi lakukan sebagai seorang terapis juga pengurus rukun kematian.

"Maksud, ibu?"

"Dengar-dengar Abi bisa menahan hujan, misalnya saat ada hajatan," katanya.

Wow! Keren banget? Sakti dong, Abi?

"Ibu, itu berita nggak benar. Hanya Allah yang bisa menurunkan, menahan dan memindahkan hujan. Semua itu ada dalam kekuasaan-Nya. Kalau selama ini ada kabar Abi meruqyah atau mendoakan orang yang sedang sakit parah, atau menuntun orang yang sakaratul maut, itu benar. Karena itu diperintahkan, dibolehkan," aku berusaha menjelaskan sesederhana mungkin, lha namanya di pinggir jalan, beda kalau saat pengajian.

"Eh, iya, Mi, maaf," beliau terlihat salah tingkah. Mungkin dari raut wajah atau intonasi suaraku terasa ada nada tersinggung, walaupun sedikit. Lha, iya...suami dianggap dukun. Sedangkan selama ini kami berusaha mengikis hal-hal yang mengindikasikan merusak keimanan di lingkungan.

***
Sebuah kenyataan yang masih sering kita temui di sekitar. Perbuatan-perbuatan yang membahayakan aqidah tapi dianggap biasa-biasa saja. Kemajuan zaman, tingginya tingkat pendidikan dan kehidupan perkotaan yang dekat dengan berbagai informasi, tidak otomatis sejalan dengan peningkayan keimanan dan pemahaman agama. Cara berpikir pragmatis kadang membuat manusia kurang memperhatikan kesehatan aqidahnya. Mungkin ini salah satu sebab, mengapa ada sebagian kecil orang-orang dianggap ahli ibadah, tapi masih juga melakukan tindakan yang mengindikasikan kesyirikan.

Pawang hujan! Ini salah satu fenomena yang sering kita temui saat ada hajat besar, baik hajat pribadi maupun masyarakat yang terkait dengan berkumpulnya banyak orang, yang diperkirakan acara akan terganggu jika turun hujan. Dari pada repot mempersiapkan segala atribut untuk mengantisipasi datangnya hujan, lebih memilih menghalangi hadirnya hujan. Praktis bukan?
 “Ada lima kunci ghaib yang tidak diketahui seorangpun kecuali Allah: Tidak ada seorangpun yang mengetahui apa yang akan terjadi esok hari, tidak ada seorangpun yang mengetahui apa yang terdapat dalam rahim, tidak ada satu jiwapun yang tahu apa yang akan diperbuatnya esok, tidak ada satu jiwapun yang tahu di bumi mana dia akan mati, dan tidak ada seorangpun yang mengetahui kapan turunnya hujan.” (HR. Al-Bukhari no. 1039).

Thursday, January 8, 2015

Dilema Seorang Dai

Menjadi da'i itu keren! Mengapa!

Da'i adalah orang yang perkataannya paling baik di hadapan Allah.
"Siapakaah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal saleh dan berkata, 'Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri.'"(QS Fushilat ayat 33)
Subhanallah! Siapakah yang tak ingin mendapat predikat ini? Menjadi orang yang perkataannya layak didengar,diperhatikan lalu diikuti? Siapakah yang tak ingin mendapat predikat yang diberikan oleh Allah, sedang sekedar digelari oleh manusia saja sudah berbangga diri?

Apalagi kalau kita perhatikan sabda Rasulullah Saw. berikut ini:
"Siapa yang mencontohkan perbuatan baik dalam Islam, lalu perbuatan itu dicontoh (orang lain), maka akan dicatat untuknya pahala seperti pahala mereka yang mencontohnya. Dan barang siapa mencontohkan perbuatan buruk, lalu perbuatan itu dilakukan oleh orang lain, maka ditulis baginya dosa seperti dosa orang yang menirunya tanpa mengurangi dosa mereka yang menirunya." (HR Muslim dari Jarir bin Abdillah ra.) 
Tapi kenyataannya tidaklah demikian. Tidak semua Muslim melakukan aktivitas keda'ian, bahkan yang menyedihkqn banyak Muslim yang menghalangi dakwah, bila tidak ingin dikatakan ingin menghancurkannya.

Menjadi da'i ideal itu tidak mudah.

Beban berat yang menjadikannya tidak mudah adalah, sebagai seorang manusia, da'i memiliki kelemahan. Termasuk menghadapi dirinya sendiri. Sangat tidak mudah melaksanakan ayat berikut:
"Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Amat besar kebencian Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan." QS As Shaf ayat 2-3.
Mengatakan kebaikan itu mudah, berbeda dengan melakukannya.
Selama tidak tuna wicara, semua kita bisa mengatakan kebaikan, tetapi untuk melaksanakannya, selain butuh kemampuan dan kemampuan, juga kegigihan dalam konsistensi.

Belum lagi terkait dengan orang-orang terdekat.
Beberapa kisah nabi yang menghadapi ujian ini antara lain, Nabi Ibrahim dengan ayahnya sang pembat berhala, Nabi Luth dengan istrinya yang berpihak pada kaum homo dan lesbi. Nabi Nuh dengan anaknya yang tidak mau masuk golongan yang ditolong Allah, juga Nabi Muhammad Saw. dengan paman-paman yang disayanginya, tapi menolak cahaya kebenaran yang dibawanya.

Apakah kemudian para nabi Allah itu mundur dari tugasnya? Meninggalkan dakwah?

Ternyata tidak!

Nabi tetap mengemban tugas dakwah, karena pada prinsipnya, hidayah itu hak Allah, akan diberikan pada siapa yang gigih menggapainya, bukan karena kepiawaian para da'i dalam menyampaikan dakwahnya.

Hanya saja, para da'i harus menyiapkan mental untuk menghadapi ujian sejenis ini. Mengajak manusia ke jalan Allah dalam berbagai aspek kehidupannya, tapi pada kenyataannya ada satu-dua aspek yang dirinya belum mampu melaksanakan. Bukan tidak mau, tapi belum "mampu". Belum lagi suami/ istri, anak-anak, dan keluarga besarnya.

Bagaimana antisipasinya?

Mungkin kita tidak bisa memprediksi apa yang akan terjadi, apalagi mencegah apa yang Allah kehendaki. Tapi kita bisa memilih sikap dalam berdakwah.

Bayangkan ketika kita bicara keras tentang larangan sesuatu, apalagi terkesan menyerang orang-orang yang melakukannya, ternyata, di luar sepengetahuan, orang-orang terdekat kita justru melakukan itu. Bisa dibayangkan bila fakta itu dibalikkan untuk menyerang kita?

Bukan sekedar masalah rasa malu, tapi lebih dari itu, dikhawatirkan apa yang kita lakukan termasuk bentuk pencedaraan dakwah! Orang-orang yang tidak suka dengan dakwah bersorak-sorai melihat apa yang kita pertontonkan.

Maha Benar Allah yang menuntun kita dengan petunjuknya di Al Qur'an surat An Nahl ayat 125 yang artinya:
"Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya, Tuhanmu, Dialah yang lebih nengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk."

Sunday, January 4, 2015

Tahapan Membangun Generasi Robbani (2)

2. Memilihkan ayah/ ibu untuk mereka

Memilih ayah/ ibu untuk calon anak berarti memilih pasangan hidup!

Apa yang menyebabkan seseorang memilih orang tertentu untuk menemani sepanjang sisa hidupnya?

Kalau yang menjadi dasarnya adalah kesenangan dan kebahagiaan pribadi semata, maka alasan nyaman dan aman, yang biasa dianggap sebagai perasaan cinta, akan menjadi alasannya memilih pasangan hidup.

Tetapi, bagi seseorang yang mencari pasangan hidup dalam rangka membangun generasi robbani, maka alasan rasa cinta terhadap seseorang, belumlah cukup, atau tidak menjadi alasan utamanya. Bahkan, hal itu tidak termasuk ke dalam kriteria yang dicontohkan oleh Rasulullah Saw.
“ Wanita itu dinikahi karena empat hal, karena hartanya, karena keturunannya, karena kecantikannya, dan karena agamanya. Maka pilihlah karena agamanya karena jika tidak binasalah kamu." ( HR. Al- Bukhari)
Kalau kita perhatikan dalam hadist tersebut, empat hal yang dijadikan pertimbangan dalam memilih jodoh, yaitu harta, keturunan, paras dan pemahaman agama.

Harta memang dibutuhkan dalam kehidupan berkeluarga, tetapi harta bukan sesuatu yang bisa menjamin kebahagiaan hidup. Alangkah banyaknya contoh, hancurnya rumah tangga, walaupun berkelimpahan harta. Dan lagi, harta tidak seharusnya didapat dari pasangan atau tersebab pernikahan, karena akan lebih terhormat jika banyaknya harta karena gigihnya usaha, tentunya dengan izin Allah.

Keturunan yang seperti apa? Kalau yang dimasud keturunan karena nasab, misalnya keturunan bangsawan atau pejabat, maka itu bukan prioritas, ibarat pepatah, seorang pemuda yang mengatakan ini bapakku, bukan inilah aku. Tapi kalau yang dimaksud keturunan intelektual, maka layak dipertimbangkan.
Amirul Mukminin ‘Ali bin Abi Thalib ra. berkata:Hati-hatilah kalian mengawini orang- orang yang bodoh, karena sesungguhnya bergaul dengan mereka adalah bencana dan anak mereka adalah sia-sia”.Rasulullah Saw berkata kepada Ali as:“Wahai Ali, tiada kefakiran yang lebih hebat dari pada kebodohan dan tiada harta yang lebih berharga dari pada kepandaian” 
Bagaimana dengan paras? Kecantikan/ketampanan, postur tubuh, warna kulit, dan semua hal yang terkait dengan kondisi fisik? Tidak masalah ini dipertimbangkan, ibarat istilah, untuk memperbaiki keturunan.

Untuk ukuran kehidupan dunia, tiga hal tersebut memang sangat didambakan. Siapa yang tak ingin punya pasangan kaya, cantik/tampan dan dari keluarga terhormat? Tapi, berartikah ketiganya untuk jaminan keselamatan di akhirat? Ketiganya akan berakhir saat nafas kehidupan tak lagi berdenyut. Kecuali jika ketiganya dikelola berdasarkan kepahaman agama.

Ya, faktor yang sangat menentukan adalah pemahaman agama. Hidup akan selamat dunia akhirat jika kita hidup mengikuti tuntunan agama. Bukan berarti senang atau bahagia terus, tapi ujian dan kondisi apapun akan menjadi sarana untuk lebih dekat kepada Allah, bagi orang-orang yang paham agama. Itu sebabnya Rasulullah mewanti-wanti masalah ini, karena kehidupan tanpa petunjuk agama, jelas akan binasa. Kalau tidak binasa di dunia, tentu akan dialami di akhirat.

So? Pilih istri/suami semata atau sekaligus memilihkan ibu untuk anak-anak? Kalau hanya untuk memilih istri/suami silahkan perjuangkan cintamu. Tapi kalau untuk membangun generasi robbani, tolong pertimbangkan lagi sabda Rasulullah Saw. di atas. Bukan berarti mengabaikan cinta, tapi cobalah berpikir dari sudut yang lain.

Siapakah yang menumbuhkan cinta di hati?

Kalau Allah bisa membuat kita mencintai seseorang yang belum halal, apakah sulit bagi-Nya menumbuhkan cinta kepada pasangan yang kita pilih untuk mencari ridho-Nya?

Friday, January 2, 2015

Tahapan Membangun Generasi Robbani (1)

Generasi dambaan tidak terbentuk dalam sekejap! Perlu dipersiapkan dan direncanakan jauh-jauh hari sebelum kelahirannya.

Bagaimana tahapan ideal untuk membangunnya?

1. Mendoakaannya sejak di tulang sulbi ayahnya.

Suatu saat Rasulullah Saw. datang ke Thaif dalam rangka menyebarkan dakwah, mengenalkan Islam dan mengajak penduduknya untuk menyembah Allah saja.

Bukannya menerima dakwah itu, justru mereka memaki dan melempari beliau dengan batu. Atas izin Allah, malaikat penjaga gunung menemui beliau, menawarkan kesediaannya untuk menimpakan dua bukit Makkah ke penduduk Thaif, atas perbuatan yang tidak sepantasnya kepada seorang utusan Allah yang mulia. Tapi, apa jawab beliau kepada malaikat tersebut?
"Aku berharap, semoga Allah mengeluarkan  dari sulbi mereka orang-orang yang mau menyembah Allah semata dan tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun." (HR Bukhari & Muslim).
Ketika seorang laki-laki telah memasuki masa baligh, itu tanda sudah ada calon generasi dalam dirinya. Saatnya merutinkan doa untuk anak keturunannya sebagai generasi penerusnya.

Demikian juga ketika seorang wanita telah baligh, itu pertanda kesempurnaannya secara biologis sebagai seorang calon ibu telah sampai. Dalam dirinya bersemayam calon anak keturunannya. Anjuran yang sama, biasakanlah berdoa.

Bersamailah doa-doa itu dengan mempersiapkan diri, menyempurnakan karakter yang nantinya akan diturunkan sebagai karakter anak-anaknya, dengan membiasakan diri melakukan hal-hal yang baik.

Jangan lupa, selalu tambah ilmu untuk menyambut mereka. Jangan bilang kelamaan ya...karena waktu kita sebanyak apapun tak akan berlebih untuk mempelajari ilmu yang dibutuhkan.