Monday, December 29, 2014

Petunjuk

Richie mampir ke tempat kos Radit yang  dekat kampus. Ada sedikit hal yang harus diubah dalam tugas yang harus dikumpulkan siang itu.

"Dit, pinjam Al Qur'an terjemah, dong?"

"Untuk apa?" tanya Radit, heran.

"Untuk mbenerin makalah, siang ini harus disetor," jawab Richie, sambil membuka notebooknya.

"Googling, ngapa?"

"Kuota abis. Lu ngapa sih, Dit, pelit banget! Bukannya cepet ambilin, malah banyak nanya."

"Chie,...gue nggak punya," jawab Radit, malu-malu.

"OMG! Dit, lo jadi muslim sejak kapan, sih? Masa Qur'an terjemahan nggak punya? Yang mualaf aja punya?" Richie setengah berteriak, menghempaskan punggungnya ke sandaran kursi, tangan kanannya menepok jidat sendiri. Radit hanya tersenyum malu.

"Pengen sih, beli, tapi belum punya duit.?"

"Pengen doang, giliran pegang duit, lupa."

"Serius, Chie!"

"Serius apa, kemarin lo baru ganti hape, padahal yang lama masih bisa dipake. Kalau serius, ya duluan beli Qur'an terjemah. Dit, kita nih butuh banget lho sama Qur'an terjemah, kan nggak bisa ngerti kalau cuma tilawah. Gimana mau meningkatkan pemahaman agama?"

"Gue pikir, dengan android sudah cukup."

"Ya nggak. Kecuali gangguan kuota yang kadang kosong, jaringan juga kadang terganggu."

"Penting banget ya, punya Qur'an terjemah?" tanya Radit.

"Untuk seorang muslim, ya. Al Qur'an adalah petunjuk hidup, berhubung berbahasa arab, maka untuk memahaminya kita butuh terjemahan. Tapi bukan berarti cukup hanya dengan membaca terjemah, harus ditambah kajian dalam bimbingan guru yang lebih paham."

"Gue ngaji sama elo aja, ya?"

"Ha ha ha, nggak ah! Gue juga barusan dikit-dikit belajar." jawab Richie.

"Lo ngaji sama siapa, Chie? Ikut dong, sekalian."

"Sama Umi. Mungkin Umi nggak mau, lo kan bukan mahram."

"Emang, lo mahramnya?"

"Lha iyalah, gue kan keponakannya. Ntar gue tanya ke Umi, kali-kali bisa kasih rekomendasi, lo suruh ngaji sama siapa. Gua juga selain sama Umi, ngajinya sama temen Abi. Tapi beneran, lo mau ngaji?"

"Suer, Chie. Gue juga kan takut mati."

Saturday, December 27, 2014

Pesan Tak Sampai

Sering terjadi, kita merasa sudah bicara sebaik mungkin, menerangkan sejelas mentari di siang hari, tapi ternyata, pendengar atau yang kita ajak bicara tidak memahami maksudnya. Pesan tidak sampai sesuai yang kita inginkan.

Keberhasilan komunikasi sebenarnya bukanlah apa yang saya sampaikan tapi apa yang dia terima (kesimpulan dari pelatihan lifeskill). Maksudnya, yang penting apa yang dipahami penerima pesan, terlepas bagaimana pesan itu disampaikan.

Yang jadi pertanyaan, mengapa pesan itu tidak sampai?

Ada dua kemungkinan yang bisa jadi penyebabnya:

1. Tolak ukur yang digunakan pembicara dan pendengar, berbeda.

Ketika seseorang membicarakan sesuatu dengan pendekatan, sudut pandang dan tolak ukur agama, biasanya akan sulit atau tidak segera dipahami oleh pendengar yang awam tentang agama.

Selain pesan tidak bisa dipahami, yang lebih parah kalau pembicaraan berkembang menjadi sebuah ajang perdebatan, yang tentu saja tidak jelas ukurannya.

Itu sebabnya, untuk keberhasilan komunikasi, pembicara harus berusaha menyamakan dulu tolak ukurnya, sehingga pesan itu dapat tersampaikan dengan baik.

Demikian juga dalam dakwah. Seorang dai akan sulit menyampaikan pesan-pesan yang terkandung dalam Al Qur'an, jika orang yang didakwahi belum sepakat bahwa Al Qur'an adalah pedoman hidup yang harusnya menjadi pegangan. Maka langkah pertama adalah mendakwahkan, bahwa Al Qur'an adalah pedoman untuk mendapatkan keselamatan hidup.

2. Ucapannya samar dan tidak jelas, walaupun sipembicara merasa yakin bahwa dia sudah menyampaikannya dengan sangat jelas.

Pernah jadi pembicara di hadapan orang banyak? Mungkin sebagian yang hadir terlihat berbisik-bisik atau ngobrol? Perhatikan intonasi suara, bisa jadi kurang kuat atau artikulasi tidak jelas, sehingga pendengar tidak paham apa yang kita bicarakan.

Demikian halnya dalam dunia literasi. Ketika seorang penulis dengan penguasan bahasa sastra yang dianggap tinggi, pemilihan diksi yang indah tapi jarang digunakan dalam bahasa sehari-hari, biasanya akan sulit dipahami oleh pembaca yang terbiasa membaca tulisan yang menggunakan bahasa sederhana, yang pilihan katanya sangat dikenali dalam keseharian.

Benar Rasulullah Saw yang menganjurkan kita bicara dengan bahasa kaumnya. Tidak lain agar pesan yang kita sampaikan dapat dipahami oleh pendengar.


Wednesday, December 24, 2014

Keteladanan

"Umi, hafidzoh, ya?" tanya seorang peserta seminar yang duduk di sebelahku.

Aku menggeleng.

"Kok anak Umi sudah hafidz, dua malah?" lanjutnya.

"Apa orang tua seorang hafidz selalu hafidz atau hafidzoh juga?" aku balik bertanya.

"Kata ustadzah tadi, kalau kita mengharapkan anak-anak kita hafidz Qur'an, kita sebagai orang tua harus memberi contoh."

"Benar! Keteladanan adalah metode yang paling efektif dalam pendidikan. Tapi, mungkin kita berfikirnya nggak saklek, misalnya kalau mau anaknya hafidz kita sebagai orang tua harus hafidz dulu. Apa seorang dokter harus anak dokter? Kalau berfikirnya seperti itu, sulit terjadi perubahan. Yang orang tuanya nggak sekolah, anaknya nggak sekolah juga? Bukankah anak seharusnya lebih baik dari orang tuanya?"

"Iya juga, Mi.  Tadi sempat pesimis mau punya anak hafidz, sedang saya masih sulit menghafal, terlalu banyak kendala," jelasnya.

"Mendengar pandangan orang berilmu itu perlu, tapi kita harus berfikir luas saat menerimanya. Kita perhatikan, beliau bicara dalam konteks apa, supaya tidak salah mengambil kesimpulan, apalagi kalau sampai menyurutkan semangat ingin maju."

"Maksudnya, Mi?" ibu muda itu serius mendengar penjelasanku.

"Ustadzah tadi sedang membicarakan bagaimana mendidik anak, salah satunya dengan keteladanan. Tapi keteladan ini lebih pada menjalankan prosesnya, bukan hasilnya. Seorang ibu yang mengharapkan anaknya dekat dengan Al Qur'an, apalagi sampai menjadi penghafal, tentu sangat efektif dalam memotivasinya kalau sianak melihat orang tuanya nyata-nyata menjadi orang yang selalu dekat Al Qur'an, bukan hanya menuntut anak."

"Jadi nggak salah kan, Mi, kita menggantung harap, supaya anak menjadi hafidz walaupun orang tuanya belum?"

"Gantungkan harap setinggi mungkin, mimpi sehebat mungkin, ikhtiar segigih mungkin, doa sekhusyu mungkin, lalu tawakal tentang hasilnya pada Yang Maha Berkehendak."

"Iya, ya, Umi sudah membuktikannya," katanya lirih.

"Umi lebih suka menanamkan konsep menjadi generasi pemutus untuk anak-anak."

"Maksudnya, Mi?"

"Konsep ini pernah Umi tulis di blog http://nenysuswati.blogspot.com/2013/09/jadilah-generasi-pemutus.html"

Tuesday, December 23, 2014

Gaya Dialog

Saat membaca-baca ulang tulisan di blog, ternyata lebih banyak yang menggunakan gaya dialog, dibandingkan deskripsi.

Mengapa bisa begitu?

Saat menulis, jarang sekali aku niatkan dalam bentuk seperti apa. Kalau ada ide, langsung tuliskan, mengalir seenaknya, ha ha ha ternyata jadinya seperti itu.

Bukan mengabaikan segala teori kepenulisan, tapi aku ingin menulis dengan santai. Tujuan pertama, menyampaikan pesan dengan cara yang nyaman. Masalah teori menulis, ya pelan-pelan sambil diperbaiki.

Kalau ditelusuri ke belakang, sepertinya itu pengaruh dari gaya belajar yang nyaman buatku. Dialog, diskusi dan yang sejenisnya.

Suka ngantuk kalau dengar ceramah kepanjangan, he he. Beda kalau diskusi, sampai berjam-jam pun tidak ketemu makhluk yang namanya ngantuk. Tentunya dengan tema yang menarik.

Begitu juga ketika mendapat amanah menyampaikan, lebih nyaman dengan metode dialog, cenderung ngobrol, daripada dengan berceramah. Kecuali pesertanya banyak dan tidak memungkinkan untuk dialog.


Pernah juga punya pengalaman, dialog tanpa bertemu orangnya. Saat menjadi nara sumber di radio, sekitar 14 tahun lalu. Lumayan lama, ada beberapa tahun. Selain dialog dengan penyiar, sebagai pemandu, dilanjutkan dengan dialog via telfon. Alhamdulillah, sampai sekarang masih ada yang terus berkomunikasi sebagai sahabat.

Sunday, December 21, 2014

Terjebak


"Aku bertanya kepada Nabi Muhammad Saw.,'Siapakah yang paling berhak atas seorang wanita?' Jawabnya.'Suaminya.' 'Kalau atas laki-laki?' Jawabnya.'Ibunya.'" ( Hadist Imam Ahmad, An-Nasai, Al-Hakim yang menshahihkannya dari Aisyah r.a.)

Seorang wanita sering terjebak dalam situasi, di mana dia menghadapi buah simalakama. 

Jika taat terhadap suami, mengecewakan ibu, jika mentaati ibu, mengecewakan suami.

Hal ini biasanya disebabkan tingkat pemahaman yang berbeda antara suami dan ibu.

Bagaimana mengatasinya?

Menyamakan tingkat pemahaman! Dan ini tidak mudah.

Bisa dicegah?

Bisa!

Bagaimana caranya?

Saat menentukan siapa yang akan menjadi suami!

Kardus, Selotif dan Gunting.

Apa istimewanya kardus bekas? Misalnya diloakkan, paling juga laku seribu, dua ribu rupiah. Dapat apa uang segitu?

Bagi Harish, kardus bekas merupakan barang berharga. Dia akan mencarinya saat simpanannya habis. Jadi, walaupun di rumah menghabiskan rata-rata dua dus air mineral gelas untuk sediaan tamu dan pengajian, tetap saja tidak pernah meloakkan kardus bekas.

Bagaimana dengan selotif dan gunting?

Keduanya pendamping utama kardus untuk kreasi Harish, selain pensil, spidol, pulpen, krayon, cat air, tali rapia dan lain-lainnya. Dibutuhkan secara bergantian, sesuai tema yang dipilihnya.

Murah! Ya, sangat murah dibandingkan dengan tereksplornya potensi yang butuh penyaluran dan pengembangan.

Juga bisa dijadikan sarana untuk mengalihkan energi negatifnya.

Misal, setelah nonton film yang ada adegan kekerasan yang sulit dihindarkan, maka kardus dan lain-lainnya bisa dijadikan tempat saluran energi kreasinya, sehingga terhindar dari tindak kekerasan kepada obyek lain.

Dengan meniru perlengkapan yang ada di film, dia mengabaikan adegan lain yang berpotensi membuat keributan.

Atau, saat dia menginginkan sesuatu yang belum bisa terwujud.

Bagaimana dia memodifikasi mobilan truk yang sudah jelek, menjadi mobil pemadam kebakaran atau mobil tentara.

Benar!

Anak-anak sangat kaya imajinasi, bahkan jauh lebih kaya dari yang mampu kita duga. Hal ini terbukti, ketika tiba-tiba dia menunjukkan sebuah hasil kreasi dengan ceritanya yang panjang.

Mulutmu Harimaumu

Allah ngelehne!

Itu yang pernah Mamak Ucapkan, saat aku melakukan perbuatan yang sebelumnya aku komentari/ kritik saat orang lain melakukannya.

Aku selalu ingat kata-kata itu, setiap Allah mentarbiyahku dengan kejadian serupa.

Tapi itulah manusia, cenderung melakukan kesalahan yang sama walau dengan tema berbeda.

Mungkin bukan hanya aku sendiri yang mengalaminya, bisa jadi para kritikus tajam yang tulisannya menghiasi media, wajahnya terpampang di TV, yang suaranya lantang terdengan di podium terutama saat kampanye, pernah merasakan hal yang sama.

Dibutuhkan muka berlapis-lapis untuk bisa menghadapi orang banyak dengan pendapat yang berbeda bahkan bertentangan dengan sebelumnya.

Lalu, pelajaran apa yang bisa diambil agar tidak terulang lagi?

Apakah harus berhenti mengkritisi dan membiarkan saja apapun tingkah laku orang lain?

Bukan! Bukan begitu!

Semua kembali pada kebebasan menentukan sikap dan siap menerima konskuensi dari sikapnya.

Kalau kita mempunyai kesempatan dan kemampuan mengkritisi kemungkaran yang berlangsung, bersyukurlah, karena termasuk ke dalam golongan orang yang melaksanakan perintah Allah, mencegah kemungkaran dengan lisan.

Sebagian besar pembaca, senang dengan kritikan yang tajam dan pedas! Terutama yang ditujukan pada pihak yang berseberangan dengannya.

Sebenarnya, apa yang diinginkan? Kepuasan bisa menunjukkan kesalahan orang lain, tak perduli perasaan orang yang dikritik? Ataukah perubahan sikap dari orang tersebut?

Teringat seorang motivator mengatakan, kita akan diuji dengan apa yang pernah kita ucapkan. Dan sepertinya, pengalaman membenarkan hal itu.

Ujian itu biasanya, kita diposisikan pada tempat orang-orang yang kita kritisi!

Supaya kita merasakan apa yang mereka rasa saat kita kritisi dulu.

Apakah hal itu bisa dicegah?

Mungkin bisa, dengan cara bijak dalam mengkritisi.

Memang tidak mudah mengkritik dengan bijak.

Tapi ketika kembali pada esensi tujuan mengkritisi, yaitu melakukan perubahan, maka kita akan berusaha memilih kata dan cara mengkritisi sikap/ kebijakan tanpa menyakiti pelaku.

Sulit? Yap! Sangat sulit.

Mungkin sebagai gambaran sederhananya, beberapa hal berikut bisa kita jadikan patokan.

1. Fokus pada masalah yang akan dikritisi, sementara abaikan pribadinya.

2. Posisikan diri sebagai dia, dan memperkirakan segala kemungkinan yang bisa dijadikannya alasan bersikap/ mengambil keputusan itu.

3. Menginventarisir letak kesalahan dan akibat yang ditimbulkan dari sikap/ keputusan/ kebijakan yang diambilnya.

4. Menawarkan beberapa solusi pengganti untuk mengatasi masalah itu.

5. Selalu berpikir merangkul, bukan menambah musuh.

Semoga dengan begitu, kita bisa terhindar dari terkaman ucapan sendiri.

Hari Ibu

Boleh juga kita sebut Hari Umi, Mama, Bunda, Emak, Simbok atau apapun, sesuai kita biasa memanggil atau dipanggil.

Terlepas dari sejarah, mengapa tanggal 22 Desember yang dijadikan Hari Ibu, kita lebih layak membahas peran penting seorang ibu dalam membangun generasi. Apa pengaruhnya pada kualitas sebuah generasi.

Tanpa bermaksud mengecilkan peran seorang ayah, kita memahami bagaimana arti penting seorang ibu terhadap keberadaan manusia di bumi ini.

Awal kehidupan seorang manusia pasti lewat proses kehamilan dan melahirkan, walaupun dengan cara operasi. Yang bisa hamil dan melahirkan tentulah seorang ibu, bukan ayah.

Idealnya, bayi yang baru lahir mendapatkan makan-minum dari tubuh ibunya, yaitu air susu.

وَوَصَّيْنَاالإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا عَلَي وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ أَنِ اشْكُرْلِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ المَصِيْر(14)
Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu.(QS Luqman : 14)

Sampai di sini, sudah mulai terlihat pengaruh ibu terhadap karakter anaknya, yaitu dari sifat-sifat genetik dan kualitas air susu yang diterimanya.

Pantaslah kalau agama menuntun seorang pria saat memilih, siapa wanita yang akan menjadi ibu dari anak-anaknya, karena akan menentukan kualitas generasi penerusnya.

Berikutnya adalah proses perawatan dan pengasuhan di awal kehidupan seorang anak. Sekali lagi, idealnya peran ini dilakukan oleh ibu yang melahirkan. Bagaimana kondisi ruhiah dan kelimuan seorang ibu, mempengaruhi pola perawatan dan pengasuhan pada anak, yang tentunya merupakan dasar pembentukan karakter oleh lingkungan. Perlakuan ini termasuk dalam ranah lingkungan yang mempengaruhi karakter manusia.

Konon kabarnya, perlakuan yang diterima anak usia balita, biasa disebut golden age, sangat besar pengaruhnya pada karakter anak yang akan nampak jelas saat dewasanya.  

Mungkin dari sini kita bisa menelusuri, apa penyebab hebatnya sebuah generasi atau justru kerusakannya. Kita bisa mencari tahu, saat generasi itu berusia balita, bagaimana kondisi ibu-ibu mereka?

Menjadi ibu berkualitas tentu tidak mudah. Tak akan sukses seorang ibu menjalankan perannya tanpa kesabaran. Tetapi wajarlah, karena imbalannya juga istimewa.
Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.” (QS. Az-Zumar 39:10)  
 “Mereka itulah orang-orang yang dibalasi dengan martabat yang tinggi (dalam surga) karena kesabaran mereka dan mereka disambut dengan penghormatan dan ucapan selamat di dalamnya”. (QS. Al Furqaan 25:75)
Jadi?

Wahai Ibu, mana yang lebih engkau suka? Putra-putrimu mengucapkan selamat hari ibu setahun sekali ataukah mereka melafalkan,"Allahummaghfirli waliwaalidayya warhamhuma kamaa robbayaani soghiiro," sehari minimal lima kali tanpa sepengetahuanmu?

Saturday, December 20, 2014

Bukan Penulis Event

"Lewat!"

"Apanya, Mi?" tanya Abi.

"Android."

***

Beberapa waktu lalu ada event yang diselenggarakan komunitas di mana aku aktif di dalamnya.

Menulis true story tentang dakwah berhadiah lima android dan barang elektronik.

Wow! Android! Sesuatu yang kubutuhkan saat ini.

Akhirnya aku kirimkan salah satu tulisan yang sesuai tema dan persyaratan. Berharap dapat android he he he, tapi segera kuluruskan niat, terserah Allah deh, yang penting aku berpartisipasi dalam amal baik ini. Semoga bernilai di hadapan-Nya.

Waktu berlalu. Saat yang kunantikan tiba. Dari sekitar 80-an tulisan yang masuk, 50-an yang sesuai kriteria. Lima nama mendapat android, sepuluh nama mendapat barang elektronik.

Dan, wow! Namaku tak tercantum di antara 15 orang tersebut!

Kecewa! Pasti! Tapi sedikit dan sebentar, kan di awal niatnya sudah diluruskan? Tinggal evaluasi diri. Sejauh mana peningkatan kualitas tulisan-tulisanku?

Event itu perlu, untuk membandingkan kualitas karya kita dengan karya orang lain di mata juri.

Beberapa kali ikut event yang diselenggarakan teman-teman atau penerbit. Pernah juara satu berhadiah pulsa. Senang tentunya, itu membuktikan pernah menjadi terbaik dari peserta lainnya, di mata juri. Pernah juara tiga, dapat pulsa plus buku terbit. Selain itu tidak mendapat juara, tapi jadi kontributor buku yang diterbitkan.

Dari event-event itu, terkumpul sekitar sepuluh buku antologi yang aku jadi salah satu kontributornya. Sementara ini aku cukupkan. Entahlah suatu saat nanti.

Apa yang kudapat dari mengikuti event?

Pertama, tantangan!

Sebagai manusia yang ingin meningkat kualitasnya dalam bidang tertentu, event dibutuhkan. Dengan mengikuti event kita dipaksa membuat sebuah karya yang ditentukan orang lain. Lumayan kan? Siapa tahu suatu saat bisa jadi penulis biografi pesanan orang hebat, he he he.

Kedua, pembuktian! Terutama kalau menang. Setidaknya jadi peserta. Ini semacam pemenuhan kebutuhan eksistensi diri.

Ketiga, Pengalaman. Sudah kita maklumi, pengalaman adalah guru yang baik. Metode pembelajaran yang sangat efektif adalah melakukan apa yang sedang dipelajari.

Kemudian?

Setelah beberapa kali ikut event, dengan hasil yang banyak tidak suksesnya, apakah menyurutkan semangat menulis?

Ho ho ho, nggih mboten!

Lha tujuan utamaku menulis kan bukan itu?

Selama tulisanku masih ada yang membaca, insyaallah, tak ada niat berhenti menyebarkan manfaat, walaupun sedikit. Tidak harus juara event kan?

Komunitas pembaca sangat luas. Tidak hanya bagi pembaca buku atau media cetak, pembaca sosmed pun semakin membludak.

Tak mengapa tidak dapat kali ini, mungkin belum tepat saatnya Allah memberikan rizki dalam bentuk android. Aku yakin, Allah yang Maha Tahu akan memberikan rizki dengan bentuk yang sesuai di saat yang tepat.

Tidak Perlu Yakin

Yakin = sungguh percaya, (merasa) pasti, tidak salah lagi.

Dua tahuanan memasuki dan bergaul di medsos, memberikan pengalaman baru terkait masalah kepercayaan kepada manusia.

Di awal, begitu polosnya menyikapi pergaulan di dalamnya layaknya pertemanan di komplek perumahan atau komunitas pengajian.

Merasa dekat dengan seseorang yang memiliki kelebihan tertentu dalam kesamaan hobi. Saling tukar informasi dan motivasi.

Sampai suatu saat terjadi, dia mengeluarkan jurus sakti, saat tak sengaja membahas sebuah perbedaan pandangan mengamati situasi yang berkembang.

Syok!

Jantung bergemuruh membaca postingan maupun komentar-komentarnya. Badan langsung lunglai teronggok di hadapan laptop. Butuh beberapa menit untuk menenangkan diri agar tidak terpancing menanggapi komentar yang seakan membakar harga diri sebagai orang yang berumur jauh di atasnya.
Apa yang harus kulakukan? Bukan sekedar mengikuti emosi dan menyelamatkan harga diri, tapi bisa memberi manfaat pada orang lain?

Yups!

Untungnya jadi penulis, walau pemula dan masih belajar, yang jelas bisa mengungkapkan dalam tulisan.

Aku buat postingan yang tidak memojokkan tapi meluruskan. Tujuan utama adalah mengobati hati sendiri, syukur-syukur yang bersangkutan menangkap sinyal dan pesannya. Selain itu, berharap pembaca lain mendapat pelajaran. Dengan begitu perang komentar pedas bisa dihindarkan, permusuhan tak terjadi, pertemanan tetap berlangsung, hingga kini. Juga melatih kesabaran, serta sedikit tambahan ilmu berdiplomasi.

Ada juga yang lain.

Membaca postingan-postingannya, lumayan sarat ilmu. Terlepas orisinil karyanya atau hasil copas, yang jelas ada ilmu yang bisa diambil. Anehnya, saat inbox tak semanis ilmu yang ditebarkannya. Tapi biarlah, dia  tetap salah satu teman yang mungkin sedang butuh perhatian. Selagi masih bisa ditolerir, maka pertemanan boleh diteruskan. Pepatah bijak mengatakan,"Perhatikan apa yang diucapkannya, bukan siapa yang mengatakannya."

Bagaimana dengan photo profil?

Nah! Ini lebih membimbangkan lagi. Aslinya yang mana, sih?

Kesimpulan sementara, di sosmed kita boleh percaya pada seseorang dengan tingkatan tertentu, sesuai dengan intensitas interaksi yang terjalin. Cukup percaya, tidak perlu yakin. Karena kita manusia dengan keterbatasan ilmu.




Ta'aruf-Khitbah-Nikah-Walimah (6)

Rumit, jika dianggap rumit.

Biasa saja, jika kita serahkan hasilnya pada ketentuan Allah.

Ikhtiar maksimal dengan kesungguhan, karena untuk sesuatu yang bernilai memang layak diperjuangkan.

Segalanya memang harus diperhitungkan dengan matang, sebelum sampai ke pelaminan.

Urusan mendapatkan restu dari orang tua kedua belah pihak, bukan urusan gampang bagi sebagian orang, karena terkait dengan adat, budaya dan tradisi di keluarga masing-masing.

Sangat bisa dimaklumi. Bagaimana pun, orang tua ingin memastikan, apakah anak yang sangat dikasihinya akan berada di tangan yang tepat, orang yang akan menggantikan posisi mereka dalam hal kasih sayang dan tanggung jawab.

Harapannya, pernikahan akan menyatukan dua keluarga besar yang semula tidak saling kenal atau berhubungan.

Harapannya juga, bisa melebarkan sayap menebar kebaikan dan kemanfaatan. Mensinergikan dua kekuatan besar untuk sebuah perubahan dan kemajuan bersama.

Setelah akad nikah, sebagai gerbang masuknya dua orang yang tadinya sendiri, menjadi berpasangan. Dimulainya ibadah yang belum bisa dilakukansaat sendiri, kecuali setelah terbentuknya keluarga.

Idealnya, keduanya sudah siap secara fisk, mental, spiritual dan keilmuan. Sehingga masa adaptasi bisa dipercepat dan bersegera menuju puncak kesuksesan.

Pernikahan harusnya menjadi sinergi dua kekuatan, saling menutup kekurangan dan mendukung kelebihan.

Pernikahan merupakan momen penting dalam perjalanan hidup seseorang :

- Bukti ketaatan pada Allah mengikuti aturan yang disunnahkan Rasulullah.
- Bukti kesungguhan seorang pria untuk melindungi dan mencintai seorang wanita yang diamanahkan padannya.
- Bukti bakti anak pada orang tua.
- Bukti kasih sayang dan perlindungan orang tua pada anaknya.
- Sebagai batu pijakan membangun masa depan keluarga.
- Start membangun generasi yang ideal.
- Awal goresan sejarah keturunan.
- Bukti perjuangan dalam memperjuangkan prinsip hidup.
- Sebagai syiar dakwah.

Bagaimana dengan walimah?

Walimah merupakan perwujudan konsep pernikahan yang diinginkan. Sebagai penunjang dari momen penting tersebut di atas. Dalam walimah, setidaknya terbaca konsep yang dipegang oleh mempelai dan atau keluarga besarnya.

Ok? Siapkan hari pentingmu dengan iman dan ilmu, semoga sukses!

Friday, December 19, 2014

Jebakan Humor

Menulis humor, bercerita, bercanda, melawak atau stand up comedy bertujuan untuk memancing tawa pembaca, pendengar atau penonton.

Mengapa manusia butuh tertawa? Dengan tertawa kita bisa merefresh otak dan menyingkirkan stress.

Tapi kadang, selain tujuan tercapai, ada efek lain yang timbul, bahkan bisa jadi akibat pendamping itu yang berkembang menjadi musibah.

Lebih parah lagi, kalau tujuan nggak tercapai, malah musibah yang didapatkan.

Hal-hal apakah yang rawan menimbulkan ketidak nyamanan saat dibawa ke ranah humor?

Yang pertama, ketika Sang Pencipta dijadikan obyek. Saat seseorang melawak sering lupa diri, semulia apa yang sedang dibicarakannya, sehingga sering terjadi mencacati eksistensi sang pencipta. Demikian juga halnya dengan pembaca, pendengar dan penonton. Karena terlarut suasana, kadang tidak ingat, siapa yang sedang ditertawakannya.

Yang kedua, ketika ayat-ayat suci dan para nabi dijadikan obyek. Tidak jarang hal ini menimbulkan isu SARA dan berakibat pada sipenulis atau pembicara yang membawakannya.

Yang ketiga, ketika hal-hal gaib dibicarakan, terutama masalah surga dan neraka. Pengetahuan manusia yang memang dibatasi tentang hal yang gaib, kecuali yang diberitakan melalui wahyu, sering menarik untuk dijadikan obyek humor, toh sama-sama tidak tahu, namanya juga gaib.

Yang keempat, seseorang dengan kedudukan, sifat atau keadaan tertentu. Misalnya pejabat atau seseorang dengan kebutuhan khusus.

Yang kelima, bersifat subyektif, maksudnya ada hubungan atau masalah tertentu antara penulis dengan pembaca, pencerita dengan pendengar atau pelawak/ artis dengan penonton.

Tertawa iu boleh, karena kita butuh, tetapi jangan sampai melupakan hal-hal penting dalam kehidupan ini, misalnya melupakan hakekat kehidupan atau melupakan dosa-dosa.


Paham Sholat

Andai semua yang melaksanakan shalat mengerti arti bacaan dan paham maknanya, kira-kira, apa yang akan terjadi?
اتْلُ مَا أُوحِيَ إِلَيْكَ مِنَ الْكِتَابِ وَأَقِمِ الصَّلاةَ إِنَّ الصَّلاةَ تَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَلَذِكْرُ اللَّهِ أَكْبَرُ وَاللَّهُ يَعْلَمُ مَا تَصْنَعُونَ  (سورة العنكبوت: 45)
“Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al Kitab (Al Quran) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain). Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Ankabut: 45)
Entahlah, berapa persen orang yang melaksanakan sholat mengerti apa yang dibacanya dari mulai takbiratul ihram sampai salam.

Karena begitu banyak bacaannya, maka pengajaran sholat selama ini dilakukan dengan cara menghafal sejak kecil, sehngga saat besar, sholatnya seperti kegiatan otomatis karena pembiasaan. Bukankah sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan tak perlu lagi dipikirkan saat mengerjakannya?

Entahlah, berapa persen orang yang saat dewasanya merasa butuh mengerti dan memahami apa yang dibacanya saat sholat. Bahkan keingin tahuan mempelajari kembali tentang sholatnya, sudahkah sesuai dengan yang Rasulullah contohkan?

Mungkinkah ini faktor yang menyebabkan tidak berpengaruhnya pengerjaan sholat terhadap maraknya perbuatan keji dan munkar?

Perbuatan keji (fahsya') adalah dosa besar yang mudhorotnya tidak hanya menimpa diri sendiri tapi juga orang-orang di sekitarnya, contohnya:

1. Perkawinan sedarah (QS An Nisa : 22)
2. Homoseksual (QS Al 'Araf : 80-84)
3. Zina ( QS Isra' : 32 )

Di mana letak mudhorotnya untuk orang-orang di sekitarnya?

Kaum nabi Luth dihancurkan karena sebagian homoseksual.
Perbuatan zina dan perselingkuhan mengakibatkan kehancuran keluarga dan rusaknya nasab.
Perkawinan sedarah banyak menyebabkan keturunan yang cacat dan juga membingungkan nasab.

Munkar adalah perbuatan dosa yang menyebabkan diri jauh dari Allah. Segala perbuatan yang dilarang Allah adalah munkar, karena itu akan menjauhkan diri dari Allah dan akan mendapat balasan, bisa di dunia atau di akhirat.

Banyak kita saksikan, melaksanakan sholat tapi juga terjerumus pada perbuatan keji dan munkar, jadi bagaimana dengan ayat di atas? Sudahkah tidak berlaku?

Yang pasti, Allah Maha Benar.

Jadi kita perlu berpikir, mungkin kualitas sholat itu yang membedakan.
“Dalam shalat ada tiga hal di mana jika tiga hal ini tidak ada maka tidak disebut shalat. Tiga hal tersebut adalah ikhlas, rasa takut dan dzikir pada Allah. Ikhlas itulah yang memerintahkan pada yang ma’ruf (kebaikan). Rasa takut itulah yang mencegah dari kemungkaran. Sedangkan dzikir melalui Al Qur’an yang memerintah dan melarang sesuatu.” (Lihat Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 6: 65).
Dengan mengerti apa yang kita baca, harapannya dapat mencapai kualitas sholat seperti itu, sehingga ayat Allah terbukti, bahwa sholat mampu mencegah kita dari melakukan perbuatan keji dan munkar.

Semakin banyak yang melakukannya, semakin banyak berkurang pelaku perbuatan keji dan munkar, semakin dominan orang-orang yang takut dan taat kepada Allah, dan hasilnya?

Negeri yang aman sejahtera!

Apa Yang Kurang Darimu?

Tidak ada!

Dua dasa warsa lebih bukan waktu yang sebentar tuk membuktikannya.

Sabar?
Sungguh! Kau sangat sabar menghadapi segala kekuranganku.
Andai kesabaran itu tak sepadan dengan ukuran yang seharusnya, tak segan kuturunkan ukurannya.

Nafkah lahir?
Kau telah maksimal mengupayakannya, jadi kurang apa lagi?
Masalah hasil, memang itu bukan wewenangmu.

Nafkah batin?
Hmm. Aku yakin! Bila kuceritakan, maka akan sangat banyak yang merasa iri.
Kau memberikan ukuran maksimal, aku menerimanya dengan standar minimal.

Bimbingan?
Hmm, jangan ditanya!
Bersamamu, potensi yang kumiliki tumbuh subur berbunga indah

Kasih sayang?
Aha ha ha, aku tak pernah berpikir untuk mencari tambahan di luar.
Di rumah kita, tersedia dengan cadangan melimpah.

Romantisme?
Kau memberi dengan cara dan gaya yang bisa.
Aku menerimanya dengan lapang dan menyimpan gaya yang kuinginkan dalam angan.
Sampai suatu saat, Dia berkenan mengubah gaya yang ada padamu dan aku menikmati apa yang selama ini tersimpan dengan rapi menjadi kenyataan.

Benar!
Semua itu karunia-Nya.
Tersebab kita memulai atas nama-Nya.

Fabi ayyi aalaa irobbikumaa tukadzdzibaan
Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang hendak engkau dustakan?.

Thursday, December 18, 2014

Jadi Pengen

"Umi, jangan keseringan posting tentang Harish, sih," komentar Richie.

"Kenapa? Cemburu?"

"Efeknya itu, lho Mi."

"Bukannya bagus? Lumayan untuk sharing ke ibu-ibu muda yang punya anak seumuran Harish."

"Itu sih bukan efek, tapi tujuan Umi, kan?"

"Kok tahu, sih?"

"Lupa, kalau Richie cerdas," jawab Richie.

Fuihh, pede abis!

"Lha terus efek yang mana?"

"Tuh! Cewek-cewek belum nikah udah pengen punya anak!"

Lho? Apa iya?

Ta'aruf-Khitbah-Nikah-Walimah (5)

Sebelum membahas nikah dan walimah, kita intip dulu pertimbangan apa yang sering dipakai untuk menentukan menerima atau menolak khitbah seorang pria.

1. Nyaman + aman = cinta?

Ini pertimbangan pertama yang sering dijadikan wanita untuk memutuskan. Dalam hadist di atas, hal ini tidak disebutkan.

Kenapa?

Mungkin karena sifatnya subyektif atau perasaan ini bisa disesuaikan, artinya bisa dihilangkan atau ditumbuhkan. Yang sudah berumah tangga mungkin bisa menceritakan pengalamannya tentang hal ini.

2. Agama/Dien
"Dan janganlah kamu nikahi perempuan musyrik, sebelum mereka beriman. Sungguh, hamba sahaya perempuan yang beriman lebih baik dari perempuan musyrik, meskipun dia menarik hatimu. Langanlah kamu nikahkan laki-laki musyrik (dengan perempuan beriman) sebelum mereka beriman. Sungguh hamba sahaya laki-laki yang beriman lebih baik daripada laki-laki  musyrik meskipun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedangkan Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. (Allah) menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia agar mereka mengambil pelajaran." (Terjemah Al Qur'an surat Al Baqarah ayat 221).
Ayat ini menjelaskan bahwa pernikahan akan mempengaruhi jalan kehidupan yang akhirnya pada surga atau neraka. Kalau menginginkan surga, maka ikutilah tuntunan-Nya.
Bahkan dalam menentukan kebaikan agama seseorang pun ada peringkat-peringkatnya:

- Yang penting Islam, tidak perduli seperti apa pemahaman agama dan amal ibadahnya.
- Yang penting shalat wajib tidak pernah tinggal, sebagai indikator kebaikan agamanya.
- Muslim dan lulusan sekolah agama sebagai jaminan ilmu agamanya baik.
- Muslim yang terlihat dari amal ibadah dan sikap kesehariannya.
- Muslim yang aktif dalam dakwah, lebih diutamakan penghafal Al Qur'an.

Ah, jadi malu, kalau diri nilai keagamaannya biasa saja menginginkan pasangan yang super sholeh/ah.

Di sinilah sebenarnya inti masalah para pencari jodoh. Terlalu berharap pada calon pasangannya. Mengapa tidak memperbaiki diri dulu dengan harapan mendapatkan jodoh yang sesuai? Lebih baik salurkan energi galaunya untuk fokus pada perbaikan diri. Semoga Allah nantinya mempertemukan dengan pasangan yang baik juga.

3. Ketertarikan fisik.

Memperbaiki keturunan! Itu salah satu alasan seseorang menikah dengan pasangannya yang secara ukuran umum memiliki kelebihan dalam hal fisik, sekaligus memenuhi hasratnya yang pertama, nyaman, cinta. Bahkan, untuk menjaga ketertarikan fisiknya, seseorang rela mengeluarkan biaya yang tidak sedikit.

Hari esok siapa yang tahu? Benar! Kita tidak tahu kondisi fisik yang menarik itu akan bertahan berapa lama. Entah karena dimakan usia atau karena musibah tertentu.

4. Keturunan

Terutama orang tua calon pengantin, banyak memperhatikan faktor ini. Menyangkut kedudukan sosial di masyarakat. Bahkan, pertimbangan keturunan ini sering mengabaikan pertimbangan yang utama, yaitu kebaikan dien.

5. Materi

Nah, yang ini agak rumit. Di satu sisi dalam setiap aktivitas kita membutuhkan materi untuk membiayai, tapi di sisi lain hal ini sering jadi kendala.

Idealnya bisa melaksanakan nikah dan walimah.
Nikah wajib, walimah sunnah.
Nikah urusannya dengan halal-haram, urusan langsung dengan Allah.
Walimah sunnah, urusannya dengan manusia sebagai makhluk sosial.

Dulu, biaya yang wajib dikeluarkan hanyalah mahar.
Sekarang, selain mahar, terkait juga dengan biaya administrasi negara.

Dulu, mengundang hanya beberapa tetangga untuk menghadiri walimah sudah cukup.
Sekarang, apa kata teman kerja dan relasi, ketika menikah tidak diundang? Apa kata keluarga mempelai wanita jika saat khitbah tidak membawa hantaran?

Eh, sudah dulu, nanti disambung lagi.

Ta'aruf-Khitbah-Nikah-Walimah (4)

Sebelum melangkah pada bahasan berikutnya, mungkin perlu sedikit pelurusan atau penjelasan tentang hadist yang mendasari saat memilih jodoh.

Sabda Rasulullah SAW :
“Seorang wanita biasanya dinikahi karena empat hal,yaitu karena hartanya, karena nasabnya (keturunannya), karena kecantikannya dan karena agamanya. Maka utamakan memilih istri (wanita) karena agamanya. Kamu akan merugi (bila tidak memilih karena agamanya).” (HR. Bukhari,Muslim dan Abu Dawud)
"...Kamu akan merugi (bila tidak memilih karena agamanya)".

Yang dimaksud agama/ dien di sini bukan semata-mata statusnya muslim, beragama Islam, tapi lebih pada bagaimana pemahaman agamanya. Bukan pula sebatas ilmu agama yang telah dipelajari, misalnya lulusan sekolah/ lembaga jurusan agama Islam dan cabang-cabangnya, tapi lebih pada pemahaman yang diaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari dan dapat disaksikan oleh manusia lain. Karena sesungguhnya agama adalah tuntunan untuk menjalani kehidupan.

Setelah ta'aruf, saling mengenal secukupnya, berdasarkan pengamatan maupun informasi dari sumber yang bisa dipercaya, mohon petunjuk kepada Allah untuk mengambil keputusan dan kesimpulannya, pria sudah mantap memilihnya, maka proses selanjutnya adalah khitbah.

Khitbah

Khitbah dalam bahasa sehari-hari kita disebut lamaran.

Seorang pria yang telah memantapkan hatinya pada seorang wanita, menyatakan keinginannya ingin menikahi wanita tersebut. Bisa secara langsung atau melalui perantara yang dipercaya.

Bagaimana sikap wanita yang dikhitbah?

Dia boleh menerima atau menolaknya.
Hadis riwayat Abu Hurairah ra.: Bahwa Rasulullah SAW. bersabda: Seorang wanita janda tidak boleh dinikahkan sebelum dimintai pertimbangan dan seorang gadis perawan tidak boleh dinikahkan sebelum dimintai persetujuan. Para sahabat bertanya: Ya Rasulullah, bagaimana tanda setujunya? Rasulullah saw. menjawab: Bila ia diam. (Shahih Muslim) 
Praktis bukan?

Tapi mengapa sekarang kata khitbah identik dengan persiapan materi yang tidak sedikit?

Hantaran, peningset atau pertunangan. Tiga kata ini sering dikaitkan dengan khitbah, sehingga kadang kala masyarakat rancu dengan konsep khitbah yang sesuai dengan ajaran Islam.

Mungkin ada yang mengatakan, itu sebuah tata krama penghormatan keluarga laki-laki kepada pihak keluarga wanita. Nggak masalah, asal tidak menjadikan itu suatu keharusan atau wajib dilakukan. Adat istiadat yang baik dan tidak bertentangan dengan syariat boleh dilestarikan, tetapi tetap tidak bisa disejajarkan dengan syariat bahkan lebih tinggi dari ketentuan Allah.

Oke, setelah khitbah diterima, idealnya langsung menikah.

Tahun 90-an, ketika ada seorang pria mengkhitbah seorang wanita, keduanya pemahaman agamanya baik, orang tuanya paham, kadang-kadang ada yang langsung dinikahkan. Sehingga, ketika pulang, pria tersebut sudah berstatus sebagai suami.

Praktis banget ya? Ya, praktis!

Sekarang? Mungkin masih ada, tetapi sangat jarang.

Biasanya, setelah khitbah, dilakukan rundingan kedua pihak keluarga, menentukan kapan pernkahan dilangsungkan. Tradisi yang umum berlaku, pernikahan langsung dilanjutkan dengan acara walimah.

Hmmm, di sinilah keribetan itu berkumpul.

Bersambung lagi ah!

Wednesday, December 17, 2014

Ta'aruf-Khitbah-Nikah-Walimah (3)

Setelah yakin dengan pilihan berdasarkan alasan yang bisa dipertanggung jawabkan, lalu apa langkah berikutnya?

Ups! Sebentar, sebelum berlanjut, mungkin perlu diperjelas, tanggung jawab kepada siapa?

Yang pertama tentunya tanggung jawab kepada Allah, apakah dalam proses ini kita mengikuti tuntunan-Nya. Nikah adalah ibadah, bahkan dikatakan setengah agama, artinya sesuatu yang sangat penting bagi kehidupan manusia. Ketika sudah mengikuti tuntunan-Nya sebisa mungkin, maka apapun haslnya ataupun bagaimana kehidupan selanjutnya, kita sudah terlepas dari tanggung jawab. Tidak ada beban kesalahan, karena saat memilih sudah berusaha sesuai tuntunan.

Kedua tanggung jawab kepada anak? Lho? Belum nikah kok ngomongin anak?

Ya, siapa pasangan yang kita pilih, berarti pilihan untuk anak. Memilihkan orang tua dan bibit karakter serta pendidiknya. Karakter seseorang tidak lepas dari karakter orang tuanya, terlepas berapa persen keterlibatannya. Normalnya, orang tua adalah pendidik pertama dan utama anak-anaknya, artinya seperti apa mereka nanti jadinya tergantung seperti apa orang tuanya.

Yang ketiga tanggung jawab kepada orang tua dan keluarga.

Menikah berarti menyatukan dua kelurga besar, yang tentunya beda latar belakang dan budaya. Kadang dalam urusan yang ketiga ini kita merasakan ribet, wajarlah, lebih banyak orang yang ingin diapresiasi. Dalam hal ini kita harus paham mana yang harus didahulukan, mana yang bisa diabaikan. Jangan sampai urusan yang tidak terlalu syar'i menghambat sebuah ketaatan pada Allah.

Kembali pada, langkah selanjutnya, apa?

Selalu libatkan Allah dalam setiap urusan. Walaupun kita sudah merasa cocok dengan seseorang sebagai calon pendamping, mohon pada Allah untuk memberi petunjuk dan kemantapan hati pada pilihan yang diridhoi-Nya. Bisa dengan shalat istiharah, shalat hajat, tahajud, dhuha atau berdoa di saat-saat yang mustajab.

Pilihan yang diridhoi-Nya akan memantapkan hati dan memberi ketenangan.

Ta'aruf-Khitbah-Nikah-Walimah (2)

Masih tentang ta'aruf.

Bagaimana kalau tertarik dengan salah satu teman? Artinya sudah kenal kan? Apakah bisa langsung ke tahap selanjutnya, yaitu khitbah atau melamar?

Sebelum memutuskan untuk melangkah, hentikan sejenak untuk mengukur ketertarikan itu.

Tanyakan pada diri, apa yang membuat tertarik? Jawabannya harus jelas!

Biasanya kita akan tertarik dengan seseorang yang bisa membuat rasa nyaman dan aman.

Nyaman ketika terpenuhi kebutuhan dan pengharapan, misalnya kita butuh kasih sayang, maka akan merasa nyaman ketika bertemu dengan yang bisa memenuhinya.

Aman yaitu ketika seseorang menerima kita apa adanya.

Ketika perasaan nyaman dan aman itu kita dapatkan dari seseorang, biasanya kita anggap itu adalah rasa cinta.

Apakah adanya perasaan itu akan membuat rumah tangga nantinya akan bahagia dan berjalan sebagaimana seharusnya?

Tak ada jaminan tentang hal itu! Terlalu banyak contoh yang membuktikan bahwa cinta bukanlah satu-satunya modal untuk membina keluarga.

Untuk hidup berumah tangga yang diniatkan seumur hidup, kita perlu membuat kriteria yang jelas untuk pasangan, agar visi misi yang kita canangkan akan tercapai.

Hari esok benar-benar misteri. Kita sungguh tidak tahu apa yang akan terjadi. Maka akan lebih aman jika kita menjalani hidup ini sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan Sang Pencipta kehidupan, sebagai sebuah jaminan kita aman dalam keridhoannya.

Sabda Rasulullah SAW :
“Seorang wanita biasanya dinikahi karena empat hal,yaitu karena hartanya, karena nasabnya (keturunannya), karena kecantikannya dan karena agamanya. Maka utamakan memilih istri (wanita) karena agamanya. Kamu akan merugi (bila tidak memilih karena agamanya).” (HR. Bukhari,Muslim dan Abu Dawud)
Seorang yang paham agama, biasanya mengert akan posisinya sebagai pasangan, sehingga berusaha menumbuhkan rasa nyaman dan aman bagi pendampingnya. Itu sebabnya Rasulullah Saw menuntun umatnya memprioritaskan kebaikan agamanya sebelum mempertimbangkan masalah kekayaan, nasab/keturunan dan kecantikan/ketampanannya.

Ka'bah dan Kemiskinan

Terpaksa selesai!

Ha ha ha. Benar! Karena dapat hadiah, maka aku baca buku ini sampai selesai agar bisa mengulasnya.

Jujur! Biasanya kalau membaca buku jenis ini, jarang sampai tuntas! Namanya juga kumcer, kan ceritanya masing-masing, terlepas dari judul satu dan lainnya. Dan paling enak dibawa saat perjalanan. Ketika ada kesempatan, baca satu judul, begitu seterusnya.

Tapi kali ini, aku usahakan menyelesaikannya. Untuk menyenangkan hati sahabat yang ingin aku mengulasnya.

Ok, menurutku, secara kepenulisan buku ini cukup wow! Sulit menemukan kesalahan dalam eyd atau salah ketik, walaupun tetap ada, tapi sedikit sekali.

Judul menarik. Membuat penasaran, apa yang dimaksud dengan melukis ka'bah? Apakah itu sebuah kiasan atau kisah yang dituturkan?

Beragam kisah menarik yang menyadarkan, bahwasanya setiap muslim, secara fitrah memiliki kerinduan menjadi tamu Allah, mengunjungi tanah suci, menatap ka'bah, lambang persatuan hamba Allah. Hanya saja, tidak setiap diri merawat kerinduan itu dengan baik, sehingga rindu itu lenyap tertelan kesibukan dan anggapan ketidakmungkinan.

Membaca kisah-kisah dalam buku ini, di satu sisi mengharukan, tapi di sisi lain memprihatinkan. Mengharukan, tak jarang air mata menitik perlahan, setidaknya menggantung di pelupuk mata. Memposisikan diri sebagai tokoh-tokoh yang ada di dalamnya.

Prihatin, karena semakin ke belakang semakin tidak mudah mewujudkan cita-cita itu, terutama untuk kalangan tak berpunya yang mayoritas di negeri tercinta ini.

Timbul tanya, mengapa sebuah kewajiban seorang manusia, dalam menyempurnakan kehambaannya terhalang masalah rizki yang tentunya ditentukan juga oleh-Nya? Inikah ma'na keistimewaan rukun kelima sebagai penyempurna kemusliman kita? Haji bagi yang mampu! Ataukah di sini letak nilai seorang hamba untuk mencapai kesempurnaan itu? Menggapai kemampuan?

Wallahu 'alam.

Tuesday, December 16, 2014

Gagal Khusyu'

Setelah shalat berjama'ah, seperti biasa Hafa salim cium tangan Umi. Tapi kok kali ini agak beda? Sambil senyum-senyum dia berkata,"Hafa pengen ketawa, tadi Umi baca surat Al Baqoroh nyambung ke Al Ma'un."

"Astaghfirullah, iyakah?" tanya Umi, sambil mengingat-ingat ayat yang dibaca saat shalat tadi.

"Iya, Mi. Gini nih, nyambungnya, Alif laammiim-dzaalikal kitaabulaaroibafiih hudallilmuttaqiin---alladziinahum 'ansholaatihimsaahuun-allazdinahum yuroo uun-wayamna'uunalmaa'uun," jawab Hafa mengulang ayat yang dibaca Umi waktu shalat tadi.

Masyaallah! Kemana tadi pikiran berkelana saat mulut membaca ayat-ayat-Nya? Astaghfirullah!
Payah nih emak-emak, untung Hafa sudah hafal bacaan tadi, jadi tau kalau Umi salah.

"Lain kali kalau imam salah, makmumnya mengingatkan."

"Caranya, Mi?"

"Kalau makmum perempuan dengan cara menepukkan tangan."

"Masa shalat sambil tepuk tangan?" tanya Hafa.

"Bukan tepuk tangan seperti tepuk pramuka, tapi menepukkan tangan kiri di tangan kanan, kan sedang berdiri, jadi tangan kanan ada di atas tangan kiri."

"Kalau laki-laki, Mi?"

"Dengan membaca tasbih dengan niat dzikir."
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------

 “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melakukan shalat, lalu beliau mengalami kekeliruan dalam membaca ayat Al-Qur’an. Tatkala selesai beliau bersabda kepada Ubay:Apakah engkau tadi shalat bersamaku?” Jawabnya: “Ya.” Sabdanya: (“Mengapa engkau tidak mau [membetulkan kekeliruanku])?” (HR. Abu Dawud, Ibnu Hibban, Thabarani, Ibnu ‘Asakir dan Adh-Dhiya, hadits shahih) 
“Barangsiapa menjadi makmum lalu merasa ada kekeliruan dalam shalat, hendaklah dia membaca tasbih. Karena jika dibacakan tasbih, dia (imam) akan memperhatikannya. Sedangkan tepukan khusus untuk wanita.” (Shohih Muslim no. 421)

Ta'aruf-Khitbah-Nikah-Walimah (1)

Empat kata ini sangat akrab di kalangan pemuda-pemudi yang sedang berusaha mengamalkan aturan Islam dalam kehidupannya, untuk mendapatkan keberkahan dan ridho Allah, tentunya.

Hanya saja sering terjadi salah kaprah dalam penggunaannya sehingga bukan aturan Islam yang teraplikasi, tapi justru mencemarkannya. Menyedihkan bukan?

Tulisan berikut mungkin banyak kekurangannya, tapi sekedar opini sebagai orang awam yang juga sedang mencoba memahami kemuliaan Islam sebagai aturan kehidupan manusia.

Ta'aruf

Di dalam Al Qur'an, ada sebuah ayat yang mengandung kata ta'aruf, yaitu Surat Al Hujurat ayat 13
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌالحجرات
 “Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.” 
Dalam ayat di atas, kita pahami bahwa ta'aruf berarti saling kenal mengenal. Tidak perlu penjelasan, hal itu berlaku umum, siapa saja boleh saling mengenal.

Tapi, jika yang dimaksud ta'aruf yang berkaitan dengan proses perjodohan, sepertinya perlu penjelasan lebih lanjut yang bersifat spesifik.

Tujuan ta'aruf dalam hal ini adalah untuk mengenali calon pasangannya, sehingga terhindar dari kasus penipuan dan diharapkan proses perjodohan itu berlandaskan suka-sama suka karena telah mengenal sebelumnya.

Memang, ada yang berpendapat, tak ada masalah tak kenal sebelumnya. Bahkan, saya mengalami saat-saat seperti itu, di mana seorang istri melihat wajah suaminya setelah ijab-kabul.

Kok bisa? Ya, tujuan pada umumnya adalah untuk menjaga hati, menikah semata-mata karena Allah, bukan karena tertarik pada calon pasangannya. Semua dilandaskan pada keyakinan bahwa ini jodoh yang terbaik yang ditentukan Allah untuknya, juga kepercayaan kepada yang menjodohkan, biasanya pembinanya dalam pengajian.

Tapi, melihat perkembangan belakangan ini, terutama teknologi, tentu kondisinya berbeda. Pergaulan tak lagi bisa dibatasi seperti dulu, yang mana wanita berusaha bergaul hanya dengan wanita, pria bergaul dengan pria. Media sosial yang sangat mudah diakses membuat pergaulan remaja dan pemuda bebas mengenal dan bergaul.

Yang jadi pertanyaan, bagaimana proses ta'aruf kepada calon pasangan yang sesuai dengan kondisi saat ini?

Mengingat tujuan dari ta'aruf adalah saling mengenal, maka yang perlu dipersiapkan adalah niat yang bersih serta kejujuran. Benar-benar niatnya adalah untuk mendapatkan pasangan yang sesuai dengan tuntunan agama, serta jujur tentang dirinya. Tidak ada unsur penipuan.

Selain itu, dalam prosesnya juga harus menghindari penyebab terjadinya zina, seperti tuntunan dalam Al Qur'an:
“Dan janganlah kalian mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. dan suatu jalan yang buruk.” (Al-Israa’: 32)
Kunci untuk mengamalkan ayat ini adalah niat yang lurus, karena perbuatan yang masuk ke dalam sebutan mendekati zina itu banyak sekali, tapi semuanya kembali kepada kebersihan niat. Salah satu yang paling dekat adalah berkhalwat.
“Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir maka jangan sekali-kali dia berkhalwat dengan seorang wanita tanpa disertai mahramnya, karena setan akan menyertai keduanya.” (HR. Ahmad)
Sering terjadi, seseorang membedakan antara pertemanan dengan ta'arufan. Dalam pertemanan sepertinya tidak ada batas, bercanda dan lain-lain, seolah bebas-bebas saja karena tidak ada komitmen diantara mereka. Berbeda sekali dengan seseorang yang sedang dalam proses ta'aruf, kok sepertinya justru ada kesan jaim, jaga imej! Dan biasanya, yang diproses ta'aruf adalah orang yang tidak kenal sebelumnya atau tidak berteman seperti dengan teman-teman sebelumnya.

Bagaimana kalau seseorang menemukan calon yang sesuai dengan kriterianya dari kalangan pertemanannya?

Tunggu kelanjutannya yaaaa

Pemaksaan

Umi : Hafa, sudah sholat?

Hafa : Belum, Mi.

Umi : Sholat dulu!

Hafa : Ya, Mi.

Beberapa menit kemudian, suaranya masih menunjukkan aktivitas yang sama.

Umi : Hafa, sudah sholat?

Hafa : Iya, Mi, iya.

Umi tidak memperhatikan, apakah Hafa langsung bangkit untuk berwudhu, atau belum. Sepuluh menit kemudian.

Umi : Hafaaa!

Hafa : Yaa, Mi

Umi : Sudah sholat?

Hafa : He he he, lupa.

Dengan wajah yang tidak ramah, Umi bangkit dari duduknya.

Umi : Sekarang sholat.

Umi memperhatikan Hafa yang kemudian ke kamar mandi, berwudhu. Masih dengan tatapan yang sama, diikutinya Hafa yang pergi ke tempat shalat, memakai mukena dan takbiratul Ihram, baru Umi meninggalkannya.

Umi memaksa Hafa shalat, kan? Ya, benar! Kalau tidak dipaksa, sangat mungkin dia tidak mengerjakan shalat. Memang dia tidak berdosa, karena belum baligh, tetapi pembiasaan dan pemaksaan itu merupakan hal yang harus diterimanya. Jika dia tidak terbiasa sejak kecil, maka saat usianya sudah baligh, biasanya lebih terasa berat lagi mengerjakan shalat Lebih baik dibiasakan dan "dipaksa" sejak kecil agar saat dewasa kalau harus "terpaksa" shalat, bisa mengatasinya sendiri. Jujur! Pernah malas shalat kan? Kalau sudah baligh malas shalat, lalu tidak mengerjakan shalat, maka hukumnya dosa!

Ini bukti bahwa tidak selamanya "paksaan" itu buruk.

Monday, December 15, 2014

Mahalnya Uang di Rumah Kami

"Mi, Na mau mondok selama liburan," kata Husna.

"Di mana?" tanyaku.

"Di rumah tahfidz."

"Oo, kirain ada program dari sekolah."

"Mau bangun jam tiga pagi, tilawah, nambah hafalan dan muroja'ah. Nanti kalau nggak sampe 500 ribu sampai berangkat study tour, Umi tambahin ya?" pintanya.

"Oke, insyaallah," jawabku, bahagia.

Memang! Di rumah kami, uang  tidak mudah mereka, anak-anak, dapatkan. Selain uang jajan 2000 rupiah perhari, yang itupun sering ditabung, tidak ada uang yang akan mereka dapatkan tanpa alasan jelas. Dengan uang jajan yang terbatas, justru orang tua lebih mudah mengendalikan makanan dan minuman yang masuk ke tubuh anak. Paling tidak, makanan yang masuk, dominan yang disediakan di rumah. Tentunya semua itu dengan penjelasan,sehingga mereka tidak canggung ketika melihat kenyataannya, teman-teman memiliki uang jajan yang banyak.

Banyak cara untuk mendapatkan uang tambahan, misalnya, kalau tilawah khatam 30 juz, maka mereka berhak mendapat hadiah dari Umi 50 000 dan tentu saja hadiah yg tak terhingga jumlahnya dari Allah, selain memperlancar bacaan mereka. Kalau tambah hafalan 1 juz, Umi kasih hadiah 100 ribu, dan tentu pahala dan keberkahan dari Allah, juga menambah perbendaharaan hafalan. Untuk nilai ujian semester yang nilainya minimal sembilan, lumayanlah 5000 rupiah, efeknya? Ilmu bertambah dan nilai raport bagus-bagus.

Kok begitu pelitnya untuk anak?

Mungkin sebagian orang menilainya seperti itu. Ya nggak apa-apa. Setiap orang punya kebijakan masing-masing dalam mendidik anak.

Bagaimana kalau niatnya tidak lurus? Beribadah karena ingin mendapat imbalan materi?

Insyaallah nggak begitu, karena ada penjelasan dan pembmbingan yang terus menerus. Bukankah sangat produktif, jika sebuah perbuatan bisa sekaligus mencapai banyak tujuan? Ingat lho, ini anak-anak. Sangat berbeda dengan niat amal seorang dewasa. Tujuan pendidikan itu yang utama, masalah metode tentunya sangat fleksibel.

Penulis Yang Selalu Ditolong Allah

Baru saja membaca sebuah postingan Dimas Joko di KBM. Postingan lama, memang, tapi baru terbaca sekarang.

Tertarik dengan salah satu hadist yang disampaikannya tentang penulis.

Dari Abu Hurairah ra. Rasulullah Saw bersabda,"Tiga orang yang akan selalu diberi pertolongan Allah : mujahid yang selalu memperjuangkan agama Allah, penulis yang selalu memberi penawar, pemuda yang menikah untuk menjaga kehormatannya." (Hadist hasan riwayat Thabrani).
Wah wah wah, ini peluang besar buat para single di KBM, yang punya minat dan kesungguhan jadi penulis.

Apa nggak asyik tuh, menjadi penulis yang memberi pencerahan, motivasi, inspirasi sekaligus hiburan, tapi pesannya juga bagian dari memperjuangkan agama Allah dengan menulis tema-tema yang mengingatkan pembaca pada tugas hidupnya sebagai seorang hamba Allah. Semoga dengan semangat menulis yang brmanfaat sekaligus mujahid dalam bidang media, Allah akan menurunkan pertolonganNya dengan mempertemukannya dengan jodoh yang baik dalam rangka menjaga kehormatannya.

Hmm. Jadi pengen muda lagi.

Sunday, December 14, 2014

Konsep I - I - A

“Sekarang ya, Mi?” tanya Richie, terlihat tidak sabar. Umi belum paham, nih cowok ngajak ngapain yah? Diperhatikannya wajah Richie. Sepertinya tidak ada yang mencurigakan.

“Apanya?” tanya Umi, menampakkan wajah tidak mengerti.

“Hmm, bener-bener, nih, calon manula. Belum 24 jam! Sudah lupa?” Richie geleng-geleng kepala.

“Sudah sih nggak usah main tebak-tebakan, sayang waktunya.”

“Umi kan mau menjelaskan teori I – I – A, sekarang aja deh mumpung Umi lagi nggak males, nggak lupa karena sudah Richie ingetin, dan Allah mengizinkan.”

“Umi bilang teori I-I-A ya? Kita ganti aja istilahnya ya, jadi konsep I-I-A, takut ada yang nanya, itu yang merumuskan teori siapa? Latar belakangnya apa? Atas dasar penelitian siapa? Orang sekarang kan kritis-kritis, apalagi kalau terhadap apa yang dilakukan orang lain, beda dengan saat memperhatikan diri sendiri, kekritisannya biasanya kurang.”

“Terserah deh, mau teori atau konsep, yang jelas itu kan dasar berpikir dari suatu sikap yang dipilih,” jawab Richie.

“Oke. Bayangkan sebuah gambar segitiga sama sisi yang tiga sudutnya diberi lambang huruf I – I – A. Lambang I yang pertama untuk mewakili Ilmu, I yang kedua Iman dan A mewakili kata Amal. Tiga hal ini, dalam kehidupan seorang muslim selalu berubah dan saling mempengaruhi. Ilmu merupakan sumber nilai dari iman dan amal seorang muslim, ketika pemahamannya bertambah, biasanya akan meningkatkan keimanan dan memperbanyak amal. Iman mendasari amal seseorang dan memotivasinya untuk menambah kuantitas dan kualitas ilmunya. Sedangkan amal, juga akan mempengaruhi kualitas iman dan motivasi dalam menambah ilmu.”

“Kok muter-muter, sih Mi?”

“Pusing, dong?” jawab Umi, nyengir.

“Maksudnya hubungan antara ilmu, iman dan amal.”

 “Memang! Nih kita ambil contoh. Memahami makna sholat akan membuat seseorang meningkat keimanannya pada Allah yang telah menurunkan perintah sholat, hal tersebut biasanya memotivasi untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas shalat.”

“Contoh lain, Mi? Yang dimulai dari amal.”

“Pernah membaca Al Qur’an dengan khusyu?”

“Pernah siiiih, tapi jarang.”

“Gimana perasaannya?”

“Tenang dan merasa dekat dengan Allah.”

“Pengen tau arti yang dibaca nggak?”

“Pengen, Mi. Biasanya terus membaca terjemah ayat-ayat yang barusan dibaca.”

“Jadi, gimana hubungan amal-iman-ilmu?”

“Iya ya, Mi. Amal baik akan meningkatkan iman, merasa lebih dekat pada Allah dan emotivasi untuk terus belajar, menambah ilmu. Hmm, konsep I-I-A harus diingat terus nih.”


“Sip!” 

Saturday, December 13, 2014

Hubungan Iman-Akhlak

“Mi, ada hubungan nggak, antara iman dan akhlak?” tanya Richie.

“Ada.”

“Hubungannya giman, Mi?”

“Baik-baik aja,” jawab Umi, sambil melanjutkan ketikannya. Richie memperhatikan Umi yang pura-pura sibuk.

“Mi, Richie pulang, ya?” katanya lirih.

Umi mendongak, memandang wajah Richie, yang kelihatan minta ditahan niatnya.

“He em, boleh,” jawab Umi, sambil senyum dikulum.

“Umiiii...” Ha ha ha, Richie kesel dicuekin.

“Lho, katanya mau pulang, Umi kan nggak bisa menghalangi?”

“Katanya pengen Richie tambah paham agama, giliran nanya dicuekin.”  Keluhnya, cemberut.

“Ha ha ha, baru digituin, ngambek. Nggak keren blas jadi cowok, ih!”

“Di depan Umi nggak perlu keren, yang penting Umi jawab setiap pertanyaan Richie.”

“Oke cowok butut.”

“Umiii...”

“Iya-iya, Nih Umi jawab. Akhlak bisa dikatakan pencerminan tingkat keimanan seseorang, karena akhlak adalah tingkah laku manusia yang diridhoi Sang Khaliq.”

“Jadi kalau orang yang suka menyakiti hati orang lain itu, imannya kurang bagus, ya?”

“Tergantung. Jika yang membuat orang sakit hati itu sesuatu yang diridhoi Allah, maka akhlaknya baik, karena ukurannya adalah apa yang diridhoi Allah, bukan manusia. Orang sakit hati biasanya karena sesuatu yang tidak diridhoinya, sedangkan keridhoan manusia itu relatif.”

“Apa akhlak itu hanya terbatas tingkah laku manusia kepada manusia?”

“Oo, nggih mboten! Ada akhlak kepada Allah, Rasul, diri sendiri, sesama manusia dan kepada alam.”

“Kasih contoh, dong, Mi. Jangan pelit-pelitlah, semakin banyak ilmu yang Umi jelasin ke Richie, semakin banyak pahala yang Umi dapat, kan?”

“Aamiin. Contoh akhlak kepada Allah, sami’na wa atho’na, kami dengar dan kami taat, saat berurusan dengan aturan-aturan Allah. Mengikuti Rasulullah dalam beribadah. Memenuhi hak-hak diri sendiri dan orang lain serta mengelola alam sesuai dengan aturan Allah.”

“Singkat, padat, jelas, tapi...kurang.”

“Sudah dulu ya, insyaallah nanti atau besok Umi jelaskan tentang Teori I-I-A.”

“Apa itu, Mi?”

“Kan kata Umi nanti atau besok, kalau nggak lupa, kalau nggak malas, insyaallah.”


“Iiiih, nggak sabar deh.”