Saturday, November 29, 2014

Status >< Blog

Awal kenal dunia maya, aku hanya bermain di fb, baca status teman-teman dan membuat status.

Saat ingin membaca ulang status yang pernah kubuat, untuk menghindari pengulangan tema, sering mengalami kesulitan karena harus menscroll ke bawah.

Alhamdulillah, setelah dikenalkan dengan blog, kesulitan itu teratasi. Saat ingin membaca ulang postingan lama, bahkan setahun sebelumnya, alamatnya jelas dan tinggl klik! Ketemu deh.

Mungkin aku tidak secerdas teman-teman blogger lain, yang dengan blogging bisa mendatangkan uang. Hal ini terkait dengan ilmu keinternetan. Hanya bermodal apa adanya, aku merasa kesulitan mengimbangi langkah mereka. Mengejar ketertinggalan? Mau sih, tapi nanti sajalah, kapan-kapan. Sekarang sih untuk mendatangkan rizki non materi dulu, kebahagiaan berbagi. Cari duitnya di dunia nyata saja, yang memang sudah lama digeluti.

Tidak setiap kita, segera mendapat kesempatan membukukan tulisan-tulisan yang kita buat.

Banyak keluhan teman-teman yang sering posting di grup kepenulisan, kehilangan jejak saat ingin membacanya kembali.

Mungkin perlu kita pertimbangkan ulang, jika sampai saat ini, teman-teman yang senang menulis kurang tertarik dengan blog, terutama dalam urusan pengarsipan.

Tuesday, November 25, 2014

Nostalgia Bubur Beras

Efek kehujanan dua hari lalu tak bisa dihindari, walaupun sudah dicegah sedemikian rupa. Faktor usia memang tidak bisa dibohongi. Demam, tidak terlalu. Migren, semoga tidak. Tapi sepertinya rasa tegang ditengkuk, dan gusi yang meradang tidak bisa ditolak lagi. Akibatnya? Males ngomong atau makan. Tapi hal itu, terutama makan, tentunya tidak bisa diabaikan, bahaya! Bisa lebih parah. Mau makan apa yang paling nyaman untuk kondisi seperti itu?

Yap! Bubur!

Bisa sih beli bubur ayam, tapi kok nggak timbul selera saat mengingatnya?

Hmm, bubur beras buatan sendiri. Aha! Sudah berapa tahun ya, nggak buat bubur beras?

Sangat sederhana cara membuat maupun bahan-bahannya. Hanya beras, santan kelapa, garam dan daun salam.

Menikmati bubur hangat sambil mengenang masa kecil, tahun 70an.

Keluarga besar dengan  penghasilan minim, memaksa ibu memutar otak memenuhi kebutuhan, salah satunya dengan menghemat.

Menu sarapan yang paling sering adalah nasi goreng, nasi uduk, nasi putih dengan tempe goreng plus sambal kecap, atau bubur beras.

Nasi uduk, sambal dan sedikit telur dadar yang diiris sangat tipis menyerupai mie.

Nasi goreng berbumbu cabe, bawang merah, bawang putih dan garam, tanpa lauk.

Nasi putih hangat, seiris tempe dan sambal kecap.

Bubur nasi, tanpa lauk.

Sangat tepat untuk hemat tapi mampu mengganjal perut sampai ketemu makan siang.

Makanan-makanan sangat sederhana, tapi begitu dirindukan saat selera makan pergi entah kemana, terutama saat badan terasa tidak fit.

Entahlah!

Apakah faktor makanannya yang nyaris tak berbumbu dan tidak membuat eneg, atau kerinduan pada masa-masa kecil yang membuatnya terasa begitu nikmat di saat yang tepat.

Sunday, November 23, 2014

Mengapa Masih Menunda?

"Hari kemarin bukan lagi milik kita. Dia sudah berlalu dan tak akan pernah terulang.
Hari esok belum tentu kita jumpa, tak ada yang menjamin. Yang kita miliki hanyalah hari ini, mengapa masih menunda-nunda?"

Terasa menghujam di hati!

Setiap hari adalah istimewa. Tak ada sekalipun hari yang sama dengan segala peristiwa dan rasanya.

Shalat Dhuha hari ini rasanya berbeda dengan yang kita lakukan kemarin. Shalat Dhuha besok?

Siapa yang menjamin besok ada waktu shalat Dhuha untuk kita?

Tilawah malam ini berbeda sensasi dan getarannya dengan tilawah setelah Shalat di Subuh tadi.

Bagaimana dengan tilawah besok?

Siapa yang menjamin kita memdengar kumandang adzan di fajar besok?

Tak salah jika jiwa ini selalu menggesa untuk melakukan amal, karena kekhawatiran tak kan ada lagi kesempatan.

Sayang!

Kita sering abai dengan tuntutan jiwa.

Kita sering menganggap besok masih ada waktu, sehingga leluasa menunda sebuah amal shaleh yang bisa dilakukan sekarang.

Berita kematian yang setiap saat terdengar, tak juga menyadarkan.

Rasa sakit yang pernah menghampiri tak juga membangkitkan semangatnya saat kembali sehat.

Rasa sempit yang pernah membuat menangis, tak juga mampu mengingatkan saat lapang.

Hal-hal tidak penting kadang membuat rumit persoalan yang berujung pada penundaan amal kebaikan.
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Bersegeralah beramal sebelum datangnya rangkaian fitnah seperti sepenggalan malam yang gelap gulita, seorang laki-laki di waktu pagi mukmin dan di waktu sore telah kafir, dan di waktu sore beriman dan pagi menjadi kafir, ia menjual agamanya dengan kesenangan dunia.” (HR. Ahmad No. 8493)

Masihkah akan menunda?

Friday, November 21, 2014

Terlambat Jatuh Cinta

Heran! Beberapa hari ini terasa ada perubahan sikap suami.

Kok seperti orang yang sedang jatuh cinta?

Romantis!

Ada apa ya? Kalau menurut buku sih, ini sebuah tanda yang perlu diwaspadai! Tanda seorang suami menyembunyikan perselingkuhan! Nah lo!

Ups! Pede aja kaleeee! Bukankah ini yang dinantikan selama lebih dari dua puluh tahun? Ya dinikmati dulu tho! Yang lain urusan nanti, he he he.

Memang selama ini nggak romantis? Kok betah?

Sssst, bukan nggak romantis, tapi bentuk ungkapannya beda, nggak seperti yang di novel atau film itu lho.

"Umi ngrasa nggak, kalau belakangan ini Abi sering memperhatikan, terutama saat Umi bicara di forum?" kata suami, suatu malam.

"Owh ya?" Ups! Gayaku he he he, padahal yaaaa...ngrasa sih, cuma nggak dipikirkan.

"Abi perhatikan, Umi semakin cantik!"

What! Nggak salah dengarkah?

Tunggu-tunggu-tunggu, kenapa Abi mendadak romantis ya? Apa ada kaitannya dengan status yang sempat bikin heboh saat ketemu teman-teman yang sempat baca status itu ya?

Di akhir lelapnya, Umi merasakan Abi memandangi wajahnya dengan lembut dan mesra. 
Masih enggan membuka mata, Umi bertanya,"Belum bosan ya, 23 tahun liatin Umi seperti itu?" 
Sambil mengusap lembut tangan Umi, Abi berbisik,"Tidak akan pernah." 
Tentu saja hati Umi berbunga-bunga mendengar gombalan Abi. Ada bunga sepatu, kenanga, kantil, kenop, kemuning juga bunga matahari. 
Dengan malas-malas manja, Umi membuka matanya perlahan, ingin menatap wajah laki-laki yang telah melambungkan hatinya, tapi...wajah itu...kenapa yang duduk di sisinya justru laki-laki lain dengan wajah polosnya?
"Umi, Harish nggak ada temen." 
#plakk! efek mati lampu kelamaan 

Lah, konfirmasi dulu ah, takutnya kegeeran.

Dan ternyata sodara-sodara, benarrrr, aku yang kegeeran! Hu hu hu. Ini penjelasannya.

"Umi tau, Abi bukan tipe romantis yang seperti itu, dan begitu sebaliknya."

Plak! Serasa ditampar! Tapi...iya juga sih. Aku ini pemalu cie cie, atau gengsi? Entahlah! Tapi Abi benar dengan penilaiannya. Aku hanya ngarep diromantisin tapi nggak proaktif romantis duluan atau menyampaikan keinginan.

Aku hanya sibuk dengan diri sendiri, berusaha memahami dan menerima apa adanya. Kuno ya? Iya sih...tapi di situ ada sensasi dan romantisme yang lain, yang berbeda cieeeee.

Aku pilih komunikasi yang berbeda. Berusaha menikmati romantisme yang tersedia. Mau tau seperti apa? Ah, lain kali saja ya?

"Benar, kalau Umi merasakan sikap Abi yang berbeda. Abi tau harapan Umi, tapi nggak bisa spontan  melakukan itu sekedar menyenangkan, diupayakan. Jelas beda, ketika kita melakukan sesuatu yang murni karena bisikan hati dengan yang disebabkan motivasi dari luar."

"Trus, apa yang menyebabkan hati Abi seperti sekarang ini?"

"Umi perhatikan ibadah Abi belakangan ini?"

Aku mengangguk. Memang sejak Syawal kemarin banyak peningkatan ibadahnya, terutama tilawah Al Qur'an.

"Itu sangat berpengaruh pada kondisi ruhiyah. Ditambah dengan melihat anak-anak yang sudah besar dengan kelebihan-kelebihannya. Abi trus berfikir, itu semua tentu sangat berkaitan dengan pilihan Umi untuk menjadi orang rumahan. Abi sangat bersyukur. Ya nggak tau juga sih, rasa syukur itu mengimbas pada kondisi jiwa yang lebih siap menghadapi semua kesulitan hidup, juga pada sikap-sikap Abi, termasuk ke Umi. Semua itu tentu digerakkan oleh-Nya."

Berlinang air mata, menyadari yang terjadi sesungguhnya lebih membahagiakan dari apa yang kuduga.

Ahh, ternyata judul di atas kurang tepat, tapi bisalah agak dipaksa dikit supaya tepat, he he.

Bukan sekedar cinta, tapi itulah kasih sayang, mawaddah wa rahmah.

"Sini, Mi," katanya.

Aku menghampiri perlahan, lalu...

Cut!

Mengapa Umi Ngisi Pengajian?

Status sore ini:

Hmmmm, Jum'at.

Harish nggak ada teman, Umi mo ke masjid, ya udah deh, diajak aja.
Selama Umi menyampaikan materi, Harish main game di hape. Nggak mau senyum, maklum bangun tidur. Tidak menggangu dengan banyak tanya, seperti kalau pengajian di rumah. 

Sampai di rumah,

Harish : Kenapa sih, Umi yang suruh ngomong?

Hmm, dijawab apa ya? Ya namanya Umi diminta ngisi, kan nggak tanya alasannya?

Harish : Kenapa, Umi?

Umi : Karena Umi rajin membaca, rajin belajar, makanya bisa berbagi ilmu yang sudah didapat.

Eh, jawabnya bener nggak ya?

Harish : ngggggg....ngengg ( menirukan suara sirine sambil menjalankan mobilan polisi).

Loh? paham nggak ya?

Kemudian ada yang berkomentar:

Richie : Wayooo loh Mi! Selama ini pernah mikir sampe ke situ nggak? Kenapa Umi diminta ngisi pengajian? Itu pertanyaan Harish terlihat sepele, tapi bisa jadi renungan buat kita semua. Bukan cuma buat Umi.

Asih Wardani : Kalau kita yang nanya,"Mengapa Umi ngisi pengajian," jawabannya harus yang benar ya, Umi.

 ***

Richie benar! Bisa jadi ini harus direnungkan. Tak ada kejadian di alam ini tanpa izin Allah, tanpa tujuan. Semua digerakkan untuk memberi pelajaran pada orang-orang yang berfikir.

Harish bertanya seperti itu, mungkin karena kekritisannya, tapi benarkah dia menanyakan itu untuk mendapatkan jawaban? Mengapa Umi tergerak untuk menjadikannya status? Benar! Umi punya tujuan dengan status itu dan terbukti berhasil, dengan munculnya komentar di atas. Tetapi semua itu tak akan menjadi ide, bila tidak digerakkan oleh-Nya dan kejadian sepele itu akan benar-benar sepele ketika tidak ada hikmah yang diambil.

Saat akan menjawab pertanyaan Harish, yang Umi pikirkan adalah memilih bahasa yang bisa difahami anak seusianya. Selain itu, ada nilai motivasi dan keteladanan yang bisa diserapnya. rajin membaca dan belajar. 

Nah kalau yang bertanya Richie dan Mbak Asih, tentu bahasa dan konteksnya beda.

Mengapa Umi ngisi pengajian?

Jawabnya bisa dilihat dari beberapa sudut pandang.

1. Kalau jawabannya terkait dengan pertanyaan, kok Umi ya yang diminta ngisi, bukan orang lain? 

Ada beberapa kemungkinan jawabannya:

a. Panitia malas repot cari yang lain, jauh dan susah jadwalnya. Kalau Umi kan memang orang sendiri, besok pengajian mintanya malam ini pun, kalau memang sedang tidak ada agenda, tidak sedang sakit, maka jawabannya, oke, insyaallah.

b. Umi biasa ngisi pengajian mingguan dari rumah ke rumah, jadi nggak canggung lagi ngisi ta'lim yang pesertanya banyak. Kan enak mendengarkan penjelasan dari orang yang mengalir bicaranya.

c. Nggak enak sama Umi kalau minta yang lain, he he, Umi kan dianggap yang duluan ngisi pengajian di sini.

d. Memang Umi pantas, karena punya isi yang bisa dibagi.

Artinya, jawaban di atas kemungkinan yang terjadi pada pihak panitia.

2. Kalau pertanyaannya, Kok Umi mau ngisi pengajian?

Maka jawabannya tidak pakai dugaan. Asli jawaban dari dalam diri.

Rasulullah Saw mengatakan bahwasanya, sebaik-baik manusia adalah yang banyak manfaatnya. Umi ingin masuk golongan manusia itu, manusia yang banyak memberi manfaat, dengan apa?

a. Harta? Alhamdulillah, rizki berupa harta Allah berikan secukupnya, dibandingkan dengan orang lain, maka lebih banyak orang yang bisa memberikan manfaat dengan hartanya dibanding Umi.

b. Tenaga? Alhamdulillah, Umi sehat, bisa mengerjakan pekerjaan rumah tangga dan merawat anak-anak, tentunya bersama Abi. Tapi tenaga itu tidak terlalu berlebih jika untuk memberikan manfaat pada orang lain.

c. Ilmu? Alhamdulillah Allah menitipkan sedikit ilmu yang sangat bermanfaat untuk menjalani kehidupan ini, ditambah dengan kesempatan waktu untuk menambah dan kecenderungan Umi suka membaca. Sepertinya di sini Umi bisa memberikan manfaat, mengingat kecenderungan ibu-ibu di masyarakat kurang hobi membaca, entah karena malas atau tidak ada waktu. Ditambah dengan bawaan lahir, he he dan masa kecil yang ceriwis, doyan ngomong, berani bertanya, maka jadilah, dengan izin Allah, Umi bisa tampil bicara di hadapan orang banyak. Satu yang sangat penting, Umi ingin masuk golongan yang disebut Allah,
وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلاً مِّمَّن دَعَآ إِلَى اللهِ وَعَمِلَ صَالِحًا وَقَالَ إِنَّنِى مِنَ الْمُسْلِمِينَ 
“Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru menuju Allah, mengerjakan amal yang shalih dan berkata: “Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri”. [Fushshilat:33]
Alhamdulillah, terimakasih Harish, Richie dan Mbak Asih.

Wednesday, November 19, 2014

Menginspirasi

Berawal dari event Tokoh Inspiratif KBM  yang diadakan oleh member Rahelia Swara Bhayangkara Nasution, ternyata namaku termasuk yang disebut sebagai member yang pernah menginspirasi.

Waaaah! Ya jelas saja sangat membahagiakan, bukankah itu salah satu tujuan dari aktivitas yang setahun lebih sedikit ini aku geluti, menulis!

Memang, aku menulis dengan tujuan memotivasi dan menginspirasi pembaca dengan nilai-nilai kebaikan yang aku tuliskan, bahasa tingginya sih, dakwah bil qalam. Heh! Jangan sinis dulu dong! Memang sekarang belum apa-apa, belum ada karya nyata semacam buku best seller sekelas La Tahzan, cie cieee, tapi...apa yang tak mungkin bagi Allah?

Sesuatu yang besar tentu berawal dari yang kecil, yang tinggi berawal dari yang rendah, yang penting berawal dari yang remeh.

Aku percaya, teman-teman berkata jujur, karena tidak ada tujuan lain atau mengharapkan sesuatu dariku, lha, benar, memang apa yang kupunya?

Aku pun tidak bisa seperti Mbah Jev, yang begitu mengenali dirinya sehingga inspirasi itu datang dari diri sendiri. Angkat jempol untuk beliau, karena, kalau nggak salah ada ungkapan hikmah yang mengatakan, tidak akan mengenl Allah orang yang tidak mengenali dirinya.

Berikut beberapa ungkapan tentangku, yang entah kenapa, tiba-tiba, ketika bangun tidur aku ingin menghimpunnya, yang jelas ini sebuah alasan untuk meningkatkan rasa syukur kepada-Nya, yang dengan izinnya memilihku sebagai saluran ilham dari-Nya.

Ungkapan-ungkapan berikut aku copas dari postingan maupun dari kolom komentar.

Ulfa Diana Mustari:
Perihal tokoh inspiratif penghuni KBM, saya belum menemukan sosok yang mampu buatku candu akan tulisannya. Namun, beberapa hari lalu, saya terpesona akan sesosok wanita penghuni KBM--Neny Suswati namanya.
Benar, saya belum mengenalnya pun membaca banyak tulisan darinya. Namun, seketika dia menyihirku dengan komentar, "Berat! Tapi ujian hidup yang lain juga berat. Mengapa hal yang kita rasa berat harus ditanggung sendiri? Pasrahkan pada yang Maha Kuat!"
Mungkin beliau tak sadar kekuatan kalimat itu bagi kebesaran jiwa yang tadinya rapuh tak berbentuk. Segala yang disampaikan melalui hati, juga akan diterima oleh hati, bukan (?)
yang kutahu, beliau hebat menulis artikel 
Sebenarnya saya malu ungkapkan rasa, tapi mungkin ini bentuk terima kasihku atas kekata ajaib dari Bunda
Hanya sosok beliau yang menggelayut indah di ingatan setelah Pak Isa ^^ jadi malu
mampu menggetarkan nurani
begitu penyayang 
Desi Arisanti
Karya-karya bunda tak hanya indah, tapi juga syarat akan makna. Yang mampu memberi inspirasi untuk kami.
Andrea "Uvy" Hidayah
 nama yang disebutkan--di atas--mah jangan ditanya kecintaannya pada kita (anak-anak muda KBM)
Lina Agustiani
Umi Neny Suswati, Kak Ida Fitri, dan Bang Kho Zin, suatu hari saya ingin sekali bisa menulis seperti beliau-beliau ini, tulisannya selalu memiliki nilai tersendiri di hati saya.
Arief Siddiq Razzan
Hanya saja, tetap ada beberapa nama yang karyanya sungguh layak dijenguk. Namun, tak hendak menjunjung para eyang sepuh KBM seperti mbah Jev, eyang Wiro, bunda Neny Suswaty, mbak Wulan Ayuningtyas, mbak Rina Rinz, mas Achmad Abu Farha, om Abu Vulkanik, bunda Asih Wardhani, Kang Dana, mas Dekik, kang Dani Sukma AS dan lain-lain.
Nada heningku
Tulisan itulah yang mata hendak membaca, serupa karya Umi Neny Suswati Nada juga sering belajar dari suguhan beliau. Meski terkadang mencetus tawa kecilku
takutnya kalau gede tar tetangga pada bangun Umi.  pokoknya Umi Neny Suswati dengan Bang Richie selalu membuat Nada mengulum senyum. Tak jarang terenyuh bila polesan nasihat telah Umi bawa dalam karya Umi. 
Rosi Ochiemuh
Mulai mengenal umi Neny, saat beliau memposting tulisan cerpen dengan kisah nyata beliau sendiri. Berbagai tulisan inspiratif kesehariaannya dengan buah hatinya. Selalu memberikan motivasi kepada setiap wanita, terus berkarya meskipun seorang ibu rumah tangga. Umi Neny yang paling memotivasi saya untuk menulis di Blog... Umi sangat rajin nulis di blog juga, coba dech tengok blognya.
Lastri Daniez Az'zahra
Dari sekian banyak inspirator, ada satu yang benar-benar membuatku berdecak kagum. Beliau seorang wanita yang sangat sabar dan cerdas. Insya Allah. Tulisannya ringan tapi selalu ada makna yang terselip di dalamnya, bahkan beliau kerap sekali menulis tentang obrolan sehari-hari dengan anak sholeh yang diberinya nama Harish. Terkadang aku dibuat tertawa dan harus menggelengkan kepala sambil berujar "Hmm ... ada-ada aja."  Beda lagi kalau aku membaca artikel yang dibuat oleh wanita yang mempunyai rumah tahfidz itu, hanya bisa merenung dan beristighfar sesering mungkin. ;(Sampai sini sudah bisa ditebak kan yah? Siapa beliau? Ya, benar. Beliau adalah ummi ‪#‎Neny_Suswati‬. Senang sekali aku membaca tulisannya, belajar jadi istri sholehah sekaligus ummi yang baik bagi anak-anakku kelak. Nasehat-nasehatnya mantap. 
Terima kasih banyak ummi 
Mungkin hanya ini, walaupun seingatku masih ada beberapa ungkapan dari member di kolom komentar dari beberapa postingan, sayangnya belum sempat di copas, sudah tenggelam, susah di cari.

Di atas yang sudah  terlanjur keluar, dibaca orang lain, sedang yang via inbox juga ada beberapa, tapi bukan pada tempatnya kan jika di outbox kan?

Intinya aku sangat bahagia dengan itu, semoga bukan bangga, karena aku hanya dipilih oleh-Nya untuk menyampaikan.

Aku ingat ucapan seorang motivator, katanya Tuhan akan menguji kita dengan apa yang kita katakan. Rumus itulah yang memantapkan setiap ucapanku, bahwa nasihat dan motivasi yang aku berikan pada orang lain akan menjadi nasihat dan motivasi untuk diriku sendiri. Pengalaman telah membuktikannya.

Mohon maaf bila aku tidak bisa balas memuji, bukan tidak ada yang pantas untuk dipuji atau tidak ada yang menginspirasi, takutnya dikomentari Mbak Asih Wardani, orang se RT disebut. Ha ha.

Tuesday, November 18, 2014

Menikah Karena Allah

Menikah Karena Allah

Menikah itu sangat mudah! Hanya mengucapkan ijab kabul yang hanya butuh waktu beberapa menit, bisa mengubah sesuatu yang haram menjadi halal. Menjadikan suatu perbuatan keji menjadi amal ibadah.

Tapi fenomena yang ada sekarang, alangkah banyaknya pemuda pemudi yang usianya sudah lama baligh sebagai tanda kesiapan secara biologis, belum juga menikah. Okelah, mungkin karena belum mampu secara finansial, tapi apa ukurannya?

Ada lagi yang menambahkan kriteria tanda siap nikah: lulus sarjana, pekerjaan mapan, penghasilan tetap, dan lain-lain yang semuanya bersifat  materi.  Belum lagi menentukan kriteria calon pasangan, entah itu ukuran keyakinan, fisik, hobi, profesi dan sebagainya. Oh ya, satu lagi, menikah dengan pasangan yang dicintai. Ck ck ck, ya pantes aja ribet?

Menikah karena Allah itu sederhana, kok! Niatkan menikah karena taat kepada Allah dengan mengikuti aturan-aturannya.
Pertama, manusia menikahlah dengan manusia.
Kedua, laki-laki menikahlah dengan perempuan.
Ketiga , seorang muslim menikahlah dengan seorang muslimah, boleh juga dua, tiga atau empat, kalau mampu bertanggung jawab di hadapan Allah.
Keempat, kalau ingin mendapatkan pasangan yang taat kepada Allah, berusahalah untuk meningkatkan ketaatan pada Allah, sebagai upaya memantaskan diri.
Kelima, kesamaan fikroh. Seorang aktivis dakwah menikahlah dengan aktivis juga, setidaknya punya potensi untuk menjadi aktivis atau sekedar mendukung, yang penting tidak menjadi penghalang. Menikah merupakan bagian dari dakwah itu sendiri.

Untuk urusan cinta? Percayalah! Allah pengendali hati manusia, bukan hal sulit bagi-Nya menumbuhkan cinta di antara dua hamba yang menikah karena-Nya.

Tuesday, November 11, 2014

Mahar

Sebelumnya kita batasi dulu, mahar yang akan kita bahas adalah mahar dalam pernikahan yang mengikuti aturan Islam, yang biasa disebut dengan istilah mas kawin.

Mengapa harus dibatasi? Karena ternyata istilah mahar kadang digunakan untuk maksud yang lain.

Ini yang dikatakan wikipedia tentang mahar.
Mahar atau mas kawin adalah harta yang diberikan oleh pihak mempelai laki-laki (atau keluarganya) kepada mempelai perempuan (atau keluarga dari mempelai perempuan) pada saat pernikahan. Istilah yang sama pula digunakan sebaliknya bila pemberi mahar adalah pihak keluarga atau mempelai perempuan. Secara antropologi, mahar seringkali dijelaskan sebagai bentuk lain dari transaksi jual beli sebagai kompensasi atas kerugian yang diderita pihak keluarga perempuan karena kehilangan beberapa faktor pendukung dalam keluarga seperti kehilangan tenaga kerja, dan berkurangnya tingkat fertilitas dalam kelompok.
Di Indonesia, istilah mahar tidak hanya digunakan secara terbatas pada pernikahan. Penganut paham mistisismekadang-kadang menggunakan istilah yang sama dalam proses pemindahan hak kepemilikan atas benda-benda yang dipercaya memiliki kekuatan tertentu seperti kerisbatu akik, dan benda-benda lainnya. Mahar juga kadang-kadang diartikan sebagai pengganti kata biaya atas kompensasi terhadap proses pengajaran ilmu ataupun kesaktian dari seorang guru kepada orang lain.
 Apa kata Al Qur'an tentang mahar?

Ini salah satunya, terjemah surat An Nisa ayat 4:
"Dan berikanlah mahar kepada perempuan (yang kamu nikahi) sebagai pemberian yang penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepadamu sebagian dari (mahar) itu dengan senang hati, maka terimalah dan nikmatilah pemberian itu dengan senang hati."
Sederhana banget kan?

Pemberian yang penuh kerelaan!

Tapi kadang manusia membuatnya rumit.

Ada yang mengatakan besarnya mahar merupakan lambang penghormatan pihak pengantin pria kepada pengantin wanita.

Ada yang ingin melambangkannya sebagai kesungguhan cinta, cie cieee, sehingga dibuat seunik mungkin. Dari jumlah, wujud, bahkan cara menyerahkannya.

Mungkin tak jauh beda dengan walimah, sebagai salah satu perangkat pernikahan yang hukumnya sunnah, tapi menjadi bahasan terberat dalm proses pernikahan seseorang.

Sebenarnya, yang jadi proyek penting itu acara pernikahannya atau membentuk keluarganya sih?

Mungkin masing-masing kita berbeda dalam memahaminya, tapi setidaknya sudah selesai difikirkan dan ditimbang-timbang ketika memutuskan akan menikah. Sehingga, saat melangkah menuju gerbang perkawinan, sudah dengan langkah yang mantap, karena sudah tahu mau ke mana dan akan melakukan apa.

***

"Mau mahar apa," tanya pihak keluarga calon suami.

"Apa saja, kecuali uang," jawabku tegas.

Mungkin ada yang mencibir, gaya banget nggak mau dikasih uang?

Mau tahu mengapa itu jawabanku?

Mau ngetes! Seperti apa sih calon suamiku? Maklumlah, pernikahan tanpa pacaran atau pendekatan dalam bentuk yang lain. Pernikahan yang didasari kepercayaan sepenuhnya pada Allah, karena niatnya untuk ibadah.

Surprise! Seperti yang kuinginkan! Bukan maharnya, tapi visi misi yang ada dalam mahar.

Apa sih?

Buku Tarbiyatul Aulad fil Islam, Pedoman Pendidikan Anak Dalam Islam.

Sebuah buku fenomenal tulisan Ustadz Abdullah Nashih Ulwan, yang saat itu aku ingin memilikinya tapi nggak punya uang tuk membelinya. Mahal sih.
Aku sudah membacanya, tamat, dua jilid tebal-tebal, tapi bukunya pinjam teman he he he.

Mengetahui mahar yang diberikan, langkahku semakin mantap memasuki gerbang pernikahan. Aku merasa kami satu visi dalam membentuk keluarga. Melahirkan generasi Islam dambaan umat.

Alhamdulillah. 23 tahun kami jalani, tidak meleset!


Monday, November 10, 2014

Tugas Perkembangan

Usia 2 tahun, saat mulai bisa bicara, pertanyaannya," Apa itu, Mi?"
Satu kali jawaban tidak memuaskannya, baru beberapa detik ditanyakan lagi benda yang sama. Bahkan sebelum selesai kita menjawabnya, seakan reflek mulutnya mengulang pertanyaan itu.

Aku biasa menjawab pertanyaan itu sampai 7 kali, nah pertanyaan ke delapan aku balikkan,"Emm, apa ini tadi ya?"

Biasanya dia spontan menjawab seperti kita menjawab pertanyaannya tadi.

Mengapa 7 kali? Wah lupa, dari mana sumbernya, yang jelas aku pernah mendapat informasi seperti itu, dan aku praktekkan. Ternnyata cukup ampuh untuk menanamkan info itu dalam memorinya.

Waktu terus berlalu, dengan begitu banyak perubahan-perubahan pada dirinya. Dari kecakapan motoriknya. bahasanya, daya nalarnya, kepekaan rasanya, hmmm, semua begitu indah dinikmati dari detik ke detik, menit ke menit, jam ke jam, hari ke hari, bulan ke bulan, tahun ke tahun.

Kerinduan yang sangat, ketika harus berpisah dengannya, walaupun hanya beberapa jam.

Khawatir ada perkembangan yang aku tak menyaksikannya.

Dan itu akan menimbulkan sesal, saat perkembangan itu orang lain yang menyaksikan dan aku hanya menerima laporannya.

Kini, menjelang 5 tahun, pertanyaannya tak lagi apa itu, apa ini, tapi lebih sering,"Kenapa sih...?"

Bukan hal sulit untuk menjawab pertanyaan-pertanyaannya, kalau hanya sekedar untuk menghentikan pertanyaan berikutnya, toh dijawab salahpun dia tidak protes.

Tapi bukan hal mudah, ketika kita menyadari bahwa jawaban yang kita berikan akan tertanam kuat dalam dirinya sebagai sebuah konsep yang mempengaruhi pembentukan karakternya.

Dan itu semua adalah tugas ibu, sebagai sekolah pertama dan utama.

Tak ada istilah berhenti belajar bagi seorang ibu, karena anak adalah anak, selamanya anak, berapapun usianya, apapun jabatannya. Dia akan mencari ibunya untuk bertanya tentang segala masalah hidup yang belum difahaminya, karena dia tahu, ibunya adalah gudang ilmu yang tidak pernah kosong. Pengalaman masa kecil mengajarinya begitu.

"Eh, ini anak pertama, ya Mbak?" mungkin ada yang bertanya begitu.

Bukan. Ini anak ke enam, yang kuperlakukan tak jauh beda seperti lima orang kakaknya. Hanya saja, untuk urusan dokumentasi dan deskripsi, siganteng ini yang kebagian sarananya.

Tuesday, November 4, 2014

Akhir Perjalanan

Dengan takut-takut dan jantung berdebar kencang, Ely memasuki halaman rumah yang sangat megah itu. Disambut gemericik air mancur yang tak pernah berhenti mengucur serta kicauan beberapa jenis burung dari sangkarnya.

Sebelum memencet bel, Ely menarik nafas dalam berulang kali, berusaha menenangkan perasaannya. Seorang pembantu membukakan pintu untuknya.

"Di tunggu Bapak di ruang makan, Bu," katanya setelah menyilahkan Ely masuk.

***
"Langsung ke inti masalah, Abang ada waktu sepuluh menit sambil sarapan!"

Ely memanfaatkan kesempatan sebaik-baiknya. Dia sampaikan tujuan kedatangannya kepada kakak sulungnya itu. Dia tahu, kakaknya sangat sibuk dengan beberapa perusahaannya, makanya dia rela berpagi-pagi meninggalkan anak-anak di rumah untuk menemui abangnya setelah kemarin janjian.

"Kamu tahu kan, Abang nggak tertarik dengan hal-hal seperti itu? Hari ini akan ada meeting untuk membahas rencana menambah investasi, jadi Abang nggak bisa bantu proyek itu. Abang pergi dulu,"

Lelaki gagah itu mengecup kening istrinya, dan pergi meninggalkan Ely

"Makan dulu, Ly," kata kakak iparnya, setelah mengantar suaminya di pintu depan.

"Terima kasih Kak, Ely buru-buru, kasihan anak-anak di rumah."

***

Ely mendapat amanah tanah wakaf dan dana dari ibunya untuk mendirikan pondok pesantren. Bersama teman-temannya yang aktif dalam dakwah, Ely berhasil memulai pembangunan pondok itu. Sayang, sebelum siap digunakan, ibunya jatuh sakit, padahal beliau ingin sekali melihat aktivitas belajar di pondok itu, sebelum tutup usianya.

Ely berusaha semaksimal mungkin untuk mewujudkan keinginan ibunya. Berbagai cara dilakukannya untuk mencari tambahan dana. Semua teman yang ada kemungkinan bisa membantu, sudah dihubunginya, tapi tetap saja belum mencukupi. Hitung-hitungan untuk menjadikan bangunan bisa dipakai sekedarnya, butuh sekitar lima puluh juta rupiah. Dia pikir uang senilai itu tidak terlalu sulit untuk abang sulungnya yang pengusaha dengan omzet milyaran. Tapi prediksinya meleset. Abangnya belum berubah, belum juga tergerak hatinya untuk memikirkan bekal kehidupan akhiratnya.

***

Seminggu setelah Ely menemui abangnya.

"Ely,...Abang..." terdengar suara kakak iparnya di telpon menahan tangis.

"Abang kenapa, Kak?"

"Abang...meninggal."

"Innalillahi wa inna ilaihi rojiun."

***

Beginikah akhirnya?

Abangnya meninggal karena serangan stroke. Diagnosa dokter, terjadi pecah pembuluh darah di otak. Tindakan operasi tidak bisa menyelamatkannya. Hartanya yang berlimpah tak bisa menyelamatkannya di dunia, sedang dia belum sempat menyiapkan keselamatannya di akhirat.

Hari esok benar-benar rahasia Allah, tiada yang tahu apa yang akan terjadi lima menit kemudian. Segalanya mudah bagi Allah. Tak ada lagi penyesalan bila batas kehidupan itu telah sampai.

Membuat target dalam hidup itu harus dilakukan agar hidup ini jelas arahnya, tapi perlu dipertimbangkan dengan jeli masalah waktu pencapaian target itu.

Kita harus berfikir, bahwa apapun target yang kita buat, semua tetap terbingkai dalam takdir Allah yang sangat rahasia sebelum terjadi.

Sertakan selalu target akhirat saat membuat target dunia. Terlalu banyak contoh kejadian yang bisa kita ambil pelajarannya.