Tuesday, September 30, 2014

Sales

"Jelek amat, Chie, muka dilipat 17 gitu?"komentar Umi saat memandang wajah Richie.

"Sebel!"

"Sebel sama Umi?"

"Enggak, Umi. Itu, sama temen-temen yang jualan."

"Lho, ada orang jualan kok sebel, memang ngganggu?"

"Mengganggu sekali."

"Jualannya di mana?"

"Di facebook. Richie selalu ditandai, jadi di kronologis banyak barang jualan."

"Ya anggap-anggap sales yang datang ke rumah kita menawarkan jualannya."

"Kalau sales di dunia nyata kan kita bisa tolak kalau sedang sibuk atau tidak mau diganggu."

"Di fb kan bisa ditolak juga?"

"Gimana mau nolak, izin aja nggak."

"Ya gampang sih, dia masuk nggak izin, hapus atau sembunyikan saja dari kronologi."

"Nggak jahat  itu, Mi?"

"Relatif! Terapkan saja pada diri sendiri. Kalau tidak suka diperlakukan seperti itu, ya usahakan jangan memperlakukan orang lain begitu. Gampangnya, jangan mncubit kalau nggak mau dicubit."

"Kalau Richie mau nyubit tapi nggak mau dicubit."

"Woo, ya siap-siap diperlakukan orang begitu."

Rukun Yang Tak Sempurna

"Umi, rukun iman harus enam yah?" tanya Richie.

"Ya, gitu deh, mau nawar yah?"

"Trus , iman itu cukup nggak kalau hanya diyakini dalam hati?"

"Kalau yakin memang di hati, Richiee...bukan di kaki."

"Umiii...Richie serius, nih."

"Iya...iya, biasa aja kaleee!"

"Udah, cepetan jawab!"

"Yang mana?"

"Semuanya!"

"Chie...masalah iman, masalah agama adalah sesuatu yang urusannya langsung dengan Allah. Kita, sebagai ciptaan-Nya, ya berusaha semaksimal mungkin menjalankan dengan baik. Kalau kata Allah melalui rasulnya rukun iman itu enam, beriman pada Allah, malaikat, kitab, rasul, hari akhir dan takdir, ya terima aja. Kalau kata Allah melalui rasul-Nya, iman itu diyakini dalam hati, dilisankan dan dibuktikan dengan amal perbuatan, ya laksanakan. Ada apa, tho?"

"Kemarin Richie ngobrol dengan teman-teman, ternyata...sebagian besar mereka mengaku belum bisa membaca Al Qur'an, berarti belum bisa mengamalkan rukun iman kepada kitab." kata Richie, tertunduk sedih.

"Padahal, bisa membaca Al Qur'an merupakan hal pokok sebagai konskuensi iman kepada kitab, selain belajar memahami dan mengamalkan isinya," Richie melanjutkan.

"Kalau belum bisa, ya segera belajar, mumpung masih muda."

"Tapi yang jadi kendala, masalah waktu. Mereka kan jadwalnya padat?"

"Sepadat apa? Ngurusin apa?" Umi menatap Richie, tajam.

"Jangan tatap Richi seperti itu, Umi kan tau, Richie sudah bisa ngaji."

"Lha iya, lho. Segitu sibuknya sampai nggak bisa menyediakan waktu untuk belajar baca Qur'an? Apa nggak rugi membuang kesempatan mendapat pahala?"

"Maksudnya, Mi?"

"Satu-satunya bacaan yang kalau kita membacanya bernilai ibadah, hanya Al Qur'an, bahkan nilai pahalanya dihitung perhuruf. Apa nggak rugi menghilangkan kesempatan itu? Amalan yang mudah tapi bisa jadi tambang amal kebaikan."

"Sulit dan lama nggak sih, Mi, belajar baca Qur'an?"

"Lha Richie dulu, gimana?"

"Lupa! Sepertinya nggak kok, malah dulu ngaji sama Umi banyak mainnya."

"Itulah kondisi yang banyak terjadi saat ini. Untuk belajar yang lain, begitu mudah waktu dan dana disediakan, tapi untuk urusan ngaji, banyak banget pertimbangannya. Coba, umumin ke teman-teman Richie, dilarang nikah sebelum bisa ngaji!"

"Idih, Umi, bikin hukum sendiri!"

"Ssssst! Untuk kalangan terbatas."

"Asyiiiik, Richie sudah boleh nikah," Richie terlihat sumringah, Umi melotot!

Friday, September 26, 2014

Status Gaje

"Umi sekarang sering banget deh bikin status gaje," halaaah, pagi-pagi siganteng berkicau.

"Apa sih, Chie? Berisik!" Umi yang sibuk bersiap mau ikut pelatihan merasa terganggu.

"Status Umi itu lho, tentang Harish terus! Hal-hal remeh aja di buat status."

"Urusan anak, nggak ada yang remeh, Chie! Betapa bahagianya orang tua melihat perkembangan anak, sekecil apapun. Dari perkembangan yang sedikit-sedikit dan bertahap itu, bila didampingi dan dibimbing dengan baik, maka akan menjadi sumbangan yang besar pada karakter yang terbentuk."

"Ya, apa harus di buat status?"

"Nggak harus juga, sih. Hanya ingat, waktu sebelum dan awal menikah, bagaimana cara Umi belajar dan mempersiapkan diri untuk mendidik anak. Dulu sarana belum secanggih ini, Umi rajin silaturahim ke teman-teman yang sudah punya anak, untuk memperhatikan, bagaimana mereka mendidik dan membimbing anak. Umi pikir, mungkin dengan status yang kata Richie gaje ini, ada satu dua orang yang mengambil manfaatnya, soalnya tidak ada fakultas untuk menjadi ibu."

"Kemarin ada yang komentar negatif, lho, Mi."

"Yo ora po po, hak setiap orang mengomentari apa yang dilihat atau dibacanya. Tapi hak Umi juga tho, buat status di wall sendiri."

"Iya, sih, tapi rasanya nggak enak aja kalau ada yang komentar negatif terhadap status Umi."

"Terima kasih, Umi jadi terharu, Richie perhatian banget sama, Umi."

"Laaaah, malah ge er," Richie mecucu, bibirnya maju.

"Apapun komentar, Umi terima sebagai bentuk perhatian. Umi jadikan masukan untuk pertimbangan melangkah ke depan. Eh, senang baca status gaje apa galon?"

"Mulai...nyindir...udah ah, Richie mau mandi. Eh, Umi buat sarapan apa?"

"Tuh, nasi goreng. Mandi dulu, seperti Harish aja, sarapan dulu, baru mandi."

Thursday, September 25, 2014

Asyik

"Cie...cie... tambah asyik aja nih, Umi," tanpa salam, Richie langsung komentar melihat Umi asyik dengan android barunya.

"Apaan, sih! Ngagetin aja, dilihat Harish bakal kena protes lho, nggak pake salam dulu," Umi ngomel.

"Maaaaaaf, Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikum salam, mana pesenan Umi?"

"Pesenan apa sih, Mi?"

"Semalam kan Umi BBM, tolong beliin klengkeng."

"Aih, gaya pisan, BBMan, biasanya juga sms, Richie lagi males buka BBM."

"Katanya kalau BBM gratis."

"Hmm, khas banget deh, emak-emak."

"Enak ya, Chie pake android, bisa meningkatkan produktivitas."

"Produktivitas apa, malah ngabisin waktu, iya!"

"Richie kaleee, Umi mah, nggak."

"Idiiiih, gaya. Umi tambah rajin fban kan? Sekarang malah bisa di mana-mana, dulu, kalau pergi, Umi nggak bisa fban, laptopnya di rumah."

"Itu hanya salah satu, produktivitas yang lain banyak. Bisa menulis sewaktu-waktu, internetan saat butuh, yang pinter bisnis, bisa jualan sambil jalan-jalan."

"Apa yang paling penting dan menyenangkan?" tanya Richie, serius.

"Ssssst, rahasia ya! Umi bisa nambah tilawah, karena di sini ada Al Qur'annya."

Wednesday, September 24, 2014

Setiap Kesempatan Adalah Rahmat

"Mi, benar ya, kewajiban kita lebih banyak dari waktu yang tersedia?" tanya Jeena.

"Betul...betul...betul," jawab Umi, pake gaya Harish yang suka meniru Upin-Ipin.

"Kalau begitu, sebenarnya kita nggak ada waktu ya, untuk buat status lebay di facebook?" lanjutnya, sambil melirik Richie.

"Apaan, sih?" Richie mengibaskan tangan di depan wajah Jeena, sambil berdiri.

"Mau kemana, Chie?" tanya Umi.

"Ngambil minum sendiri lah, dari tadi nggak dikasih minum," jawabnya sambil ngeloyor ke dapur.

"Sekalian bawain muli ke sini, ya!"

"Eh, ada muli ya? Siapa, Mi?" Richie menahan langkahnya.

"Richie, denger muli, langsung kupingnya berdiri," ledek Rais.

Jeena bengong, belum mengerti apa yang sedang dibicarakan.

"Muli itu gadis Lampung, Jeena," jelas Munir, yang berasal dari Lampung, walaupun tak setetes darah Lampung mengalir di tubuhnya.

"Hmm, pantesan!" kata Jeena, menarik sebelah ujung bibirnya.

"Pisang muli, Richie, ada di meja. Minumnya ambil di galon aja, Abi belum sempat beli air mineral gelas."

"Jadi terasa berat, ya, Mi, hidup ini," Jeena melanjutkan pembicaraannya.

"Ya jangan dibuat berat, jadikan setiap kesempatan sebagai rahmat, maka hidup akan terasa ringan dan diliputi kasih sayang Allah."

"Maksudnya, memanfaatkan setiap kesempatan, ya, Mi?" timpal Rais.

"Termasuk kesempatan korupsi, mencuri dan berbuat curang?" tanya Munir.

"Iya, betul," jawab Umi kalem.

"Wah, ngajarin nggak bener, nih, Umi," kata Richie sambil meletakkan pisang di meja.

"Tumben, Mi," kata Jeena.

"Ini pada su'udzon sama Umi, kenapa sih?"

"Ya, masa Umi nyuruh korupsi," Richie nyolot, sambil tangannya mengupas pisang kedua.

"Kalau ada kesempatan korupsi, jadikan itu untuk mendapat rahmat Allah dengan mengabaikan  kesempatan itu. Jadi, rahmat Allah kita dapatkan karena meninggalkan keburukan yang bisa saja kita lakukan, kalau mau."

"Ooo..." serempak cowok-cowok keren itu koor.

"Kalau dengan facebook, gimana cara mendapatkan  rahmat Allah?" tanya Jeena, sambil melirik Richie.

"Sirik loe," Richie sewot, merasa tersindir.

"Sarana itu tergantung sipemakai, ibarat pisau tajam, bisa untuk berbuat kejahatan, bisa juga untuk melakukan kebaikan. Facebook itu peluangnya besar banget untuk melakukan kesia-siaan, tapi punya potensi besar juga melakukan kebaikan. Bisa menyebarkan motivasi dan inspirasi, bisa saling mengingatkan atau bertukar informasi."

"Ahh, Umi, mbelain Richie terus," sungut Jeena. Richie senyum penuh kemenangan.

Umi sempat melongo, menyadari Jena cemburu.

"Gimana nggak? Umi kan ratu facebooker?"sela Rais, nyengir. 

"Nah, kalau dikasih sakit, gimana cara memanfaatkannya, kan banyak aktivitas yang tertunda?" tanya Munir, mencairkan suasana, sebelum ketegangan berlanjut.

"Jadikan sakit sebagai kesempatan mengistirahatkan diri, karena kita, terutama yang masih muda, kadang mengabaikan hak diri. Saat sakit juga bisa jadi sarana untuk membersihkan dosa, perbanyak istighfar untuk penyempurnanya."

"Umi, ada kesempatan berbuat baik, nih,biar dapat rahmat Allah," tiba-tiba Richie nyeletuk.

"Apaan?"

"Kuota Richie abis, he he he."

Hmmm, seketika bibir Umi membulan sabit terbalik.

Tuesday, September 23, 2014

Kasur-Dapur-Sumur

"Umi, konsep perempuan ruang geraknya di sekitar kasur-dapur-sumur, masih relefan nggak sih untuk zaman sekarang?" tanya Richie, serius.

Kuliah persiapan berumah tangga dimulai...jreng...jreng.

"Masih!" jawab Umi, tidak kalah serius.

"Apa nggak dianggap merendahkan perempuan? Sekarang kan zaman emansipasi? Untuk sebutan aja sering jadi masalah?"

"Maksudnya?"

"Kan ada yang nggak mau disebut wanita?"

"Ya kalo pria masa mau disebut wanita?"

"Serius, Umi?" Ha ha ha Richie sewot. Umi senyum-senyum dikulum.

"Ada yang nggak mau disebut wanita karena riwayat asal kata tersebut dari wani ditata, yang artinya, mau diatur, padahal kan wanita atau perempuan atau putri, menunjuk pada jenis kelamin yang sama?"

"Lah, kalau mau membahas masalah istilah, nggak akan selesai-selesai. Dah, biar manusia bebas memilih istilah yang paling tepat untuk dirinya."

"Terus, gimana bisa masih relevan kasur-dapur-sumur, sedangkan kebanyakan perempuan sekarang banyak berkiprah di luar tiga lokasi itu? Banyak yang berkarir di luar rumah?"

"Ya tinggal caranya lah, zaman sudah modern, peralatan sudah canggih, tinggal pinter-pinter kita ngaturnya."

"Belum ngerti Richie, Mi."

"Begini lho, cah ngganteng. Berapa lama sih seorang suami membutuhkan istrinya di tempat tidur?"

"Nggak tau, Mi, belum nyoba," jawab Richi, senyum malu-malu.

"Woo, ngeres!" Umi sewot.

"Iya, Mi, maaaaaaf, terusin ya, Umi cantiiiiik," Richie mulai menggombal.

"Untuk masak, kan nggak harus menghabiskan waktu berjam-jam seperti dulu Mbah masak pakai kayu bakar. Sekarang ada rice cooker, tinggal cuci beras nggak sampai lima menit, dicolokin, matang sendiri. Sambil nunggu nasi, bisa masak sayur dan lauk dengan kompor gas, dua api nyala semua. Semua bumbu sudah dihaluskan dengan blender seminggu sekali, simpan di kulkas. Sambil masak bisa nyuci baju dengan mesin. Jadi waktu yang dibutuhkan tidak terlalu banyak, bisa digunakan untuk urusan lain. Alangkah banyak urusan perempuan selain urusan kasur-dapur-sumur."

"Tapi, Mi, dengar-dengar teman kuliah Richie yang perempuan, banyak lho yang nggak bisa masak. Dari kecil mereka sibuk belajar, bimbel, les, ekskul dll, jadi nggak sempat belajar masak. Semua urusan rumah tangga beres sama pembantu. Yang penting, mereka berprestasi di bidang akademis."

"Wah, Umi sih nggak tau yang begitu, kan kebijakan setiap keluarga beda-beda. Yang menjadi prioritas pencapaian juga nggak sama. Kalau kata Umi, sehebat apapun perempuan itu di luar rumah, tapi untuk urusan tiga hal itu harus dipahami dan bisa, walaupun sekedarnya. Untuk antisipasi."

"Antisipasi apa, Mi?"

"Tak ada jaminan kehidupan seseorang itu lancar terus, ada uang terus untuk mendelegasikan tugas dapur-sumur. Misalnya pun uang selalu ada, dalam kondisi tertentu juga ada masanya susah cari pembantu atau rumah makan atau laundry."

"Kalau tugas di kasur, nggak boleh didelegasikan kan, Mi?"tanya Richie.

"Richiiiiiiiie!"

"Kenapa teriak, Mi? Aha ha, Umi ngeres niiiiih, maksud Richie, membereskan tempat tidur, mengganti spray, dll," jelas Richie, puas, bisa menjebak Umi.

"Oo, dasar!" Umi sewot, menutupi rasa malunya.

Si Sulung dan Si Bungsu

Usianya terpaut hampir 15 tahun. Kondisi keluarga saat kecilnya berbeda, tapi mereka mempunyai beberapa karakter yang hampir sama. Hobi merekapun ada sama. Maklumlah, mereka lahir dari rahim yang sama, ayah yang sama dan didik dengan prinsip sama.

Si Sulung, sampai usia menjelang 20 tahun, masih senang melihat traktor. Dalam perjalanan, jika melihat traktor sedang beroperasi dan memungkinkannya untuk berhenti, maka dia meluangkan waktu untuk mengamati traktor tersebut.


Si bungsu tak jauh beda. Jika saat naik motor dengan Abi dan melewati proyek bangunan. maka dia minta berhenti. Tidak jarang dia minta naik traktor yang sedang tidak dipakai.

Kalau ada kesempatan, dia akan mencari traktor di youtube, heran! Nggak bosen.

Traktor! Kata pertama yang dia bisa tuliskan di penelusuran google!




Selalu traktor yang dia pesan untuk oleh-oleh kalau Si Sulung pulang. Murah meriah! Si kakak membelikan mainan yang tidak mahal, tapi sudah mencukupi untuk menyenangkan adiknya. Itu yang ditanamkan orang tuanya, bukan harga, tapi fungsi, ketika akan membeli sesuatu.  

Sampai saat ini belum terlalu jelas terlihat hubungan antara hobi dengan kehidupannya, kecuali, saat ini Sang Kakak berkesempatan belajar di perusahaan properti. Perjalanan mereka masih panjang, sehingga belum bisa disimpulkan arti penting kesamaan hobi mereka dengan kesuksesan hidupnya.

Cerdas Beriman

"Umi, Richie sepertinya jatuh cinta lagi, nih," kata Richie dengan senyum-senyum.

"Ndlenger!"

"Kok ndlenger sih, Mi?" alis Richie bertaut.

"Orang yang berulang kali jatuh, tandanya nggak memperhatikan jalan, namanya ndlenger!"

Richie diam. Sore itu terasa agak panas, sudah lama hujan tidak turun. Di halaman terlihat Harish asyik bermain pasir dengan traktor barunya, sementara Umi sibuk dengan android yang baru dua hari diterimanya.

"Umi!"

"Hmm."

"Richie masih di sini, Umiiii, belum pulang," Richie merajuk, merasa dicuekin.

"Asyik ya, Chie, pake android, tapi Umi banyak belum ngerti," Umi meletakkan benda itu di meja, dengan hati-hati.

"Baru sih baru, tapi kalau Richi curhat, dengerin dulu dong," protes pemuda itu, cemberut.

"Iya iya, ini jatuh cinta yang keberapa?"

"Ah, Umiii, belum yang kelima."

"Nah, apa yang membuat Richie jatuh cinta kali ini?"

"Jatuh cinta itu rasa suka, nggak perlu alasan, Mi."

"Kalau sudah suka, sudah?"

"Ya ada tindak lanjutlah, Mi. Siapa tahu jodoh."

"Apa jodoh harus dengan jatuh cinta?"

"Nggak tahu sih, Mi, kalau orang lain, tapi kalau menurut Richie, faktor cinta harus ada dalam perjodohan."

"Ya jelas, mau hidup bersama dalam jangka waktu lama, masa nggak ada rasa cinta, hambar dong! Tapi, apakah rasa cinta itu harus ada dulu, sebagai syarat? Apa rasa cinta itu sebagai satu-satunya alasan seseorang menikah?"

"Memang ada alasan lain selain karena cinta, senang, merasa cocok?"

"Sangat banyak alasan, salah satunya yang berkaitan dengan seperti apa masa depan yang sedang diperjuangkan. Tentu saja memilih pasangan yang sesuai dengan kebutuhan pendamping dalam perjuangannya."

"Contohnya, Mi?"

"Ingin masa depan dan keturunan yang lebih baik?"

"Ya iyalah, Miii!"

"Carilah pasangan yang cerdas dan beriman!"

"Gimana carinya?"

"Gunakan kecerdasan dengan landasan iman, insyaallah akan ditemukan."

"Jadi kita harus cerdas dan beriman juga?"

"Lha iyalah, harga kan sesuai dengan kualitas he he he."

"Kalau nggak ada rasa cinta, gimana?"

"Orang yang cerdas dan beriman akan membuat pasangan jatuh cinta padanya."

"Mau...mau...mau."

"Wooo, penuhi dulu harganya," jawab Umi dengan senyum lebar.

Monday, September 22, 2014

Wiper

Walaupun ada wajah-wajah agak kusut karena kecewa berangkat terlalu siang, tapi kicauan Harish segera menyegarkan  suasana perjalanan siang itu.

"Mas Hilmy, idupin tangannya sih," pinta Harish.

"Tangan apa?" Hilmy heran.

"Itu kacanya kan kotor, dibersihin dong."
Oo, baru aku paham yang dimaksud, ingat beberapa kali perjalanan dngan mobil pinjaman, Harish selalu memperhatikan benda itu.

"Itu lho. Hilmy, yang untuk ngebersihin kaca depan dan belakang. Kalau bergerak kan seperti tangan, berulang kali Harish nanya, sampai sekarang belum tahu namanya. Yang punya mobil aja nggak tahu," jelasku. Mungkin salahku, selalu lupa mencari tahu nama benda itu kalau sudah turun dari mobil.

"Oalah, namanya wiper! Apa Rish, namanya?"tanya Hilmy.

"Wiper!" Harish mengulang beberapa kali.

"Nanti kalau Abi lupa, Harish yang kasih tahu ya?" sela Abi.

"Iya! Mbak Husna, Mbak Hafa, yang seperti tangan itu namanya wiper, di belakang juga ada," Harish menengok ke bangku belakang, pengumuman. He he  


Thursday, September 18, 2014

Garis Polisi

Dua hari lalu, salah seorang sahabat kami mendapat musibah! Rumahnya habis dilalap sijago merah dalam waktu sekejap!

Rumah yang sekaligus tempat usaha itu ludes hanya dalam waktu beberapa puluh menit! Maklumlah, dindingnya terbuat dari papan.

Keesokan harinya, Harish diajak Abi melihat lokasi, hanya tersisa puing-puingnya.

"Umi, Harish tadi barusan liat rumah teman Abi, habis kebakaran!" laporannya, saat baru masuk pintu kamar.

"Kapan kebakarannya?" kutanya dia untuk mengeksplorasi, sebanyak apa informasi yang mampu ditangkapnya.

"Kemarin! Ada polisinya, ada juga mobil pemadam kebakarannya!" masih dengan berapi-api, lucu, matanya membelalak, menunjukkan keseriusannya.

"Harish liat mobil pemadamnya?"

"Nggak ada lagi lah, kan kebakarannya kemarin, mobilnya sudah pulang."

"Lha tadi di sana liat apa?"

"Ya bekas kebakarannya. Eh ada talinya lho, Mi, warnanya kuning."

"Itu namanya police line, garis polisi," jelasku.

"Iya, supaya orang nggak masuk ke tempat bekas kebakaran."

"Kasihan ya?" kataku, dengan wajah sedih yang kutampakkan padanya.

"Iya, teman Abi nggak punya rumah lagi," sepertinya dia ikut sedih.

"Sekarang teman Abi dan keluarganya tinggal di mana?"

"Harish nggak tau, nanti Umi tanya Abi, ya?"

"Lha Harish mau ke mana?"

"Mau main mobil pemadam kebakaran, Mbak Hafa mana, Mi?"

"Kan belum pulang sekolah?"

"Oh iya ya, nggak apa-apa deh, sendiri aja." Harish segera berlari ke ruang tengah, mengumpulkan mainan yang sudah tak tak utuh lagi, korban kreativitas tangannya. Tapi tetap saja bisa difungsikan sesuai peran yang diinginkan.

Tuesday, September 16, 2014

Mazhab Ulang Tahun

"Umi pake pengumuman ulang tahu pernikahan sih?" Richie protes. Wajahnya koreanya jadi tak sedap lagi dipandang mata.

"Masbuloh?" jawab Umi, cuek.

"Eit dah, malah pake bahasa gahooool ha...ha...ha," seketika cemberut di wajah Richie hilang.

"Memang kenapa kalo Umi buat status begitu," tanya Umi, nggak terpancing tawa Richie.

"Selama ini, Umi kan bukan pengikut mazhab ulang tahun," jelas Richie.

"Ya ulang tahun yang seperti apa dulu,"

"Ulang tahun ya, memperingati hari saat peristiwa tertentu."

"Memang dilarang ya, kita mengingat sebuah peristiwa penting?" tanya Umi, menatap Richie tajam.

Richie gelagapan ditanya dengan cara sprti itu, tidak biasanya Umi begitu.

"Richie pikir, Umi yang cuek dengan hal-hal seperti itu," jawabnya menunduk.

"Richie lihat di rumah Umi ada pesta?" tanya Umi, masih dengan tatapan yang sama. Richie menggeleng.

"Richie lihat ada yang membri kado Umi?"

"Maafin Richie, nggak kasih kado Umi dan Abi, saat ulang tahun pernikahan kemarin ini."

"Memang tahun-tahun dulu, Richie kasih kado?"

"Umii, pliss, nanyanya jangan seperti itu," Richie tidak tahan lagi. Umi tersenyum, manis sekali.

"Umi buat status untuk minta didoakan, Richie tahu kan, Umi senang didoakan? Umi jadikan tanggal ulang tahun pernikahan sebagai tonggak untuk mencanangkan resolusi tahunan, supaya waktu yang berlalu bisa diukur kemanfaatannya."

"Maksudnya, gimana, Mi?" Richie agak heran dengan penjelasan Umi. Setahunya ulang tahun ya identik dengan ucapan selamat, makan-makan dan membri kado.

"Ya setiap tahun buat satu kesepakatan yang akan dilakukan untuk mencapai suatu hal. Contoh, tahun lalu Umi dan Abi sepakat membuka Rumah Tahfidz, Alhamdulillah di peringatan ulang tahun pernikahan tahun ini, sudah terwujud, dengan izin Allah."

"Wah, mantap itu! Tahun ini buat resolusi lagi?" tanya Richie, antusias.

"Yaa, begitu deh!" jawab Umi, angkat bahu.

"Resolusinya apa, Mi?"

"Kasih tahu nggak yaa?" gumam Umi, mata melirik ke atas, jari tangan diketuk-ketukkan di dagu.

"Hmm, mulai deh," Richie sudah tahu kelanjutannya.

"Oke! Umi kasih tahu, tapi tahun depan ya?" jawab Umi, melangkah ke rumah, meninggalkan Richie yang keqi.

Sunday, September 14, 2014

23 Tahun Telah Berlalu

Eh! 23 tahun, sudah lama ya? Kalau diibaratkan usia hidup manusia, usia 23 tahun sudah terhitung manusia dewasa. Sudah layak nikah! Dan di usia itu Abi menyunting Umi, cie...cie.

Eh, jangan ketawa yah, melihat foto pengantin Umi-Abi! Pengantin tahun 1991, aha ha, ada yang belum lahir, kan?

Wah, apa yang sudah kami dapat setelah sekian lama berjalan ya?

Mau pakai ukuran apa nih? Jumlah anak? Wah, sukses! Alhamdulillah, kami dianugerahi enam orang anak yang menjadi qurrota'ayun sampai saat ini dan tiga orang yang insyaallah jadi tabungan di sisi Allah. Mohon dibantu doa ya, agar mereka semua jadi hamba Allah yang taat dan berguna untuk alam raya ini.

Nah, Ini tahun 1997. Lihat kamar sederhana kami, ada yang istimewa? Wah, perlu dizoom nih untuk bisa membaca apa yang menempel di dinding? Rupanya ada persamaan metode yang digunakan untuk mengajar membaca dari anak pertama sampai ke enam, tapi tentu ada penyesuaian di sana-sini.

Kehidupan sederhana dari sisi materi bukan hal asing bagi kami. Dalam kesederhanaan itu kami selalu optimis, bersama Allah kami akan baik-baik saja.
Aih lucunya, Hilmy dan Hatif. Walah, sekarang sudah nggak imut lagi, tapi...nggak amit-amit juga kok, he he.

Nggak pa pa deh, sampai sekarang belum diizinkan punya mobil, tapi kedua jagoan ini dianugerahi nikmat yang luar biasa, hafal Al Qur'an di usia remajanya, Alhamdulillah. Toh kalau pas butuh mobil, bisa pinjam he he, atau rental, kata Hilmy, rizki itu bukan yang kita punya, tapi yang kita nikmati...eh betul juga, ya?
Ini dua tahun lalu, saat masih bisa berkumpul semua. Entahlah, kapan bisa kumpul lengkap seperti ini, semoga masih diberi kesempatan,... hiks!

Ah, Umi, mulai melo deh! Nggak apa-apa kita terpisah-pisah, yang penting alasan keterpisahan ini jelas, semua di jalan Allah, dalam rangka mencari ridha Allah.

Perjalanan ini masih panjang, semoga kebersamaan ini juga dipanjangkan waktunya, dengan keberkahan tentunya.

Nah, kita temukan rumus baru, ternyata 1+1 = 2 + 6 + 3.

Ah, pengen lihat Umi-Abi yang sekarang, sudah seperti nenek kakek belum yah?


Ya belumlah, kan belum punya cucu? He he, malah masih punya balita. Cie-cie yang merasa masih muda.

Oke, terlepas dirayakan atau tidak, kami jadikan momen ini sebagai saat tepat untuk minta doa teman-teman semua, semoga keluarga kami termasuk yang selalu dilindungi Allah, diberkahi dan bisa brbuat lebih banyak untuk kemaslahatan umat, aamiin.

Pondok ke Rumah

"Umi, boleh nginap di Rumah Tahfidz?" tanya Husna sepulang dari murojaah.

"Kapan?"

"Sekarang," jawab Husna dan Hafa serempak.

"Lah, kan belum ada kasur? Besok aja, beli kasur dulu."

"Bisa kok, Mi, barengan sama Amah, tinggal bawa bantal, guling, selimut."

"Ya sudah, bawa mukena. Nanti kalau Amah bangun malam ikutan atau subuhnya tepat waktu."

"Iya," jawab keduanya, langsung berlari ke kamar, menyiapkan keperluannya.

Tinggallah Harish sendiri, menangis dengan sedihnya. Pengen ikut tapi nggak mau jauh dari Umi, di rumah ditinggal sendiri.

"Besok pagi, sebelum Harish bangun, Mbak sudah pulang, kok," hiburku.

***

Alhamdulillah, sejauh ini, adanya Rumah Tahfidz memberikan dampak positif pada anak-anak. Aku teringat, dua tahun lalu, Husna dengan bersemangat masuk pondok tahfidz. Tapi baru dua bulan, sudah minta pulang. Berbagai usaha mempertahankannya, gagal.

Keterbatasan kami membimbing anak sendiri menghafal Al Qur'an, memotivasi kami untuk berfikir, bagaimana caranya mendatangkan suasana pondok ke rumah.

Harapannya, dengan adanya rumah tahfidz di dekat rumah, dapat menghadirkan suasana pondok. Dan tidak hanya anak sendiri yang menikmatinya, juga para tetangga sekitar.

Saturday, September 13, 2014

Produktivitas

"Umi sakit, ya?" tanya Richie dengan wajah diliputi mendung.

"Iya, agak kurang sehat. Siapa yang kasih tahu Richie?" tanya Umi, dengan wajah agak pucat.

"Nggak ada yang kasih tahu, Mi, feling aja," jelas Richie, senyum kecil, seperti menyembunyikan sesuatu.

"Mulai deh main rahasia," Umi cemberut.

"Nggak ada rahasia, Mi. Richie tahu dari postingan di blog."

"Kan Umi nggak posting tentang sakit?"

"Bukan tentang sakit Umi, tapi tetap saja terasa, dan lagi kemarin Umi banyak posting."

Umi tersenyum, membenarkan tebakan Richie.

"Heran! Orang sakit kok malah meningkat produktivitasnya?" gumam Richie.

"Nggak juga, malah banyak menurunnya. Di situlah kita harus mencari celah, dalam kondisi terkapar, apa yang masih bisa kita lakukan." jelas Umi.

"Ih, kalau Richi sakit, maunya tiduran aja, istirahat."

"Ya harus, memang salah satu hikmah kita diberi sakit, ya untuk istirahat dari rutinitas, tapi bukan sama sekali tanpa hasil, ya rugi. Jangan sampai waktu berlalu tanpa amal kebaikan."

"Memang apa yang bisa kita buat saat sakit?"

"Positif thinking! Sakit bisa jadi teguran atas kelalaian kita terhadap hak tubuh, bisa jadi sebagai hukuman dan sarana mengurangi dosa-dosa kita yang menumpuk, maka sempurnakan dengan banyak istighfar. Perbanyak dzikir karena bisa jadi saat shat kita lupa atau hanya sdikit berdzikir. Selain itu perhatikan, apa yang bisa kita lakukan. Fisik boleh sakit dan istirahat, tapi selama fikiran masih bisa bekerja, ya masih bisa menghasilkan karya, seperti membaca, menulis dan merencanakan sesuatu yang akan dikerjakan saat sembuh."

"Gitu ya, Mi? Richie mau keluar, Umi nitip apa?"

"Beliin buah, ya?"

"Sip! Klengkeng, Mi?"

"Nggak harus klengkeng, tapi jangan kedondong," jawab Umi, senyum.

"Ya nggak lah! Kedondongnya nanti, kalau Umi hamil lagi," goda Richie.

"Terimakasih, untuk istri Richie aja, suatu saat nanti."


Sang Pembangkit

Hilang!

Dua hari dia menghilang entah ke mana? Tak ada satu pun jenis makanan yang bisa mengundangnya hadir.

Dua hari terkapar, tidak makan kecuali karena harus, harus dan harus. Terkapar pun setelah dianalisa karena urusan makan yang kurang diperhatikan. Bukan tidak ada yang dimakan, tapi lebih karena kelalaian.

Saat badan sehat, makan apapun terasa nikmat. Selera makan itu ada saat perut terasa lapar atau bahkan hanya karna ingat suatu makanan.

Ketika sakit, sangat dibutuhkan asupan bergizi untuk memenuhi kebutuhan tubuh agar berfungsi dengan baik, terutama untuk meningkatkan kekebalan tubuh dan penghasil energi. Itu sebabnya, ketika seseorang sakit tapi masih mau makan, harapan sembuhnya akan lebih besar dan cepat dibandingkan dengan yang sulit makan.

Ketika sakit usahakan tetap makan, kalau tidak bisa makan seperti biasa, terpaksa dengan cara lain, yaitu infus.

Ketika masih mungkin, pilih makanan yang tidak ditolak lambung, misalnya nasi putih dengan tempe goreng saja, karena rasanya relatif netral.

Ketika tubuh terasa lebih baik, segera eksplor semua jenis makanan favorit, pilih mana yang paling bisa mengundang selera. Tidak selalu mahal dan mewah, karena selera dasar masing-masing orang kadang sangat sederhana.

Ikan goreng, sambal dan lalapan, paket hidangan murah yang mudah mendapatkan atau membuatnya layak mendapat julukan sang pembangkit selera makan.

Nggak percaya?

Silahkan coba!

Jangan Jera

"Umi, waktu aku masih banyak uang, aku sedekahkan 70%, tapi sudah semingguan sepertinya kok belum ada balasannya, ya?" Hatif mengirim pesan dari Turki.

Hatif, sang calon ulama, curhat. Beberapa waktu lalu dia bercerita tentang balasan-balasan yang didapatkan langsung setelah bersedekah.

"Ha ha ha, ya nggak selamanya begitu balasannya, sedekahnya ke mana?"

"Di kotak amal masjid asrama. Aku merasa rizki sedang sempit, ya sudah, aku sedekahkan aja."

"Itu ujian keimanan juga. Kalau diperlakukan seperti itu, Hatif jera nggak? Masih mau bersedekah nggak?"

"Kadang aku juga merasa dan berfikir seprti itu," jawabnya.

"Walaupun balasan itu tidak sekarang, yakinlah bahwa sedekah itu tidak akan sia-sia, jangan rusak niat ikhlas di awal. Teruslah berprasangka baik kepada Allah."

"Iya, Mi, insyaallah."

***

Beriman itu bukan masalah instan. Selalu ada proses.

Pertama ragu, setelah ada bukti, mulailah sedikit-sedikit iman itu tertanam. Dalam perjalanannya, dia akan selalu diuji. Ada yang dengan ujian-ujian itu, iman bertambah kokoh, tapi ada juga hanya sedikit saja ujian sudah mampu membuat iman yang baru tertanam itu tercerabut.

Ada juga, ujian-ujian di awal mampu memperkokoh iman itu tertanam semakin dalam, tapi suatu saat, badai ujian datang menerpa bertubi-tubi dan mampu menumbangkan iman yang sempat menghunjam dalam jiwa.

Itu semua berlaku untuk semua jenis keimanan.

Seri Rumah Tahfidz MHA >23<

Hobi Baru

"Umi, cepetan sih makannya!" teriak Harish, dari dapur.

"Nanti keselek, kalau makan cepet-cepet. Memang mau ngapain?"

"Piringnya mau Harish cuci," katanya, di sela-sela suara gemericik air.

Kuhampiri Harish yang sedang mencuci mangkuk dan sendok bekas makannya.

"Piring Umi biar Mbak aja yang nyuci ya, soalnya ada bekas sambalnya, nanti tangan Harish bisa panas," jelasku, hati-hati.

"Ya sudah," jawabnya sambil turun dari kursi kecil tempatnya berdiri saat mencuci piring.

Belakangan memang Harish senang mencuci piring, kalaupun diizinkan, dia akan mencuci semua piring kotor yang ada. Hobi baru itu mngimbas pada aktivitas lain. Sekarang kalau mau makan, ambil nasi sendiri. Karena tempat nasinya di atas lemari es, maka dia akan menyeret kursi untuk bisa menggapainya. Sebelumnya dia lihat dulu, apakah kabel magiccom masih terhubung dengan stop kontak atau tidak. Kalau masih terhubung, dia akan minta tolong dilepaskan dan tutup dibukakan, kemudian menunggu sesaat sampai uap panas tidak ada lagi.

Makanpun dengan gaya resto, nasi dicetak dengan mangkuk kecil tiga buah, katanya dua mata, satu mulut, hidungnya patah, ha ha. Kadang hanya satu mangkuk yang agak besar. Kalau sudah maunya, makan hanya dengan kecap pun dia akan lahap.

Setelah siap santap, tak lupa dia menunjukkan padaku, dengan senyum kemenangan,"Nasi spesial!"

Dan apa komentarnya setelah makan? "Rasanya maknyusss!" sambil mengacungkan jempol.

Setelah makan, langsung piring sndok dia cuci sendiri.

Mungkin bagi orang dewasa, Harish sedang mainan, tetapi sesungguhnya dia sedang berlatih lifeskill. Kadang orang tua melarang dengan berbagai alasan, becek, berantakan, bahaya terpeleset, terluka kalau piring pecah, dsb.  

Kadang kita terlalu mengkhawatirkan keselamatan fisik anak, sehingga agak terlambat mengajarkan hal yang harusnya lebih kita khawatirkan bila gagal melakukannya, yaitu lifeskill.



Friday, September 12, 2014

Daster

"Umi menemui tamu, kok pakai daster sih?" salah seorang remajaku menegur, setelah tamu pulang.

"Ada aurat Umi yang kelihatan, nggak?"jawabku.

"Ya, nggak, sih, tapi takutnya si tamu merasa nggak dihargai."

"Daster itu apa, sih?"

"Nanti liat di kamus, artinya apa, tapi daster itu kan biasanya untuk pakaian rumah."

"Lha, Umi menerima tamu, di mana?"


"Ya di rumah."

"Jadi nggak salah, dong, menerima tamu pakai  daster?"

"Lah, payah ngomong sama Umi."

***

Menurut kamus, daster adalah gaun yang dibuat longgar untuk dipakai di rumah. Artinya setara dengan baju pesta, baju kantor, baju kerja, baju renang, baju tidur, dsb.

Manusialah yang senangnya membeda-bedakan sesuatu yang asalnya sama, merumitkan sesuatu yang awalnya sederhana.

Banyak alasan yang dikemukakan untuk mmbenarkan pengklasifikasian itu, yang intinya adalah mengkelaskan manusia berdasarkan pakaian dan penampilan.

Membuat ukuran kehormatan dan penghormatan kepada manusia dengan dasar yang dibuat sendiri. Atau bisa jadi dengan alasan sebuah kepentingan dan bisnis?

Dalam syari'at, berpakaian adalah bagian dari ibadah, bisa jadi ukuran ketaatan, walaupun tidak mutlak. Ketaatan yang bisa dilihat manusia. Bila untuk ketaatan yang terlihat saja kita masih enggan, bagaimana dengan yang hanya diri sendiri dan Allah yang tahu?

Benarkah kehormatan hanya bisa diberikan dan diperoleh dengan cara berpakaian tertentu? Bagaimana dengan pengusaha sukses Bob Sadino, yang ke mana pergi selalu bercelana pendek?

Sebenarnya semua kembali kepada diri. Ada yang terlalu tergantung pada jenis pakaian untuk tampil percaya diri, ada juga yang tidak terlalu bermasalah dengan pakaian, karena tidak semua manusia mengukur kehormatan dari pakaian yang dikenakannya. Mantapkan diri dengan kemampuan yang memadai, agar layak dihormati dan diterima, walaupun kita berpakaian apa adanya, yang penting syar'i.

Al Kohar

Inilah cara-Mu memaksaku
Agar lebih banyak istighfar dan menyebut asma-Mu

Saat tubuh terkapar tanpa daya
Apa yang bisa kuharap kepada selain-Mu

Inilah cara-Mu mengingatkan
Engkaulah yang menyembuhkan
Tiada daya dan kekuatan dan akal manusia Tanpa izin-Mu

Inilah cara-Mu mencegahku
Merasa bangga dengan ilmu dan kemampuan
Betapa banyak kesembuhan yang Kau izinkan
Melalui tangan dan ilmu yang Kau titipkan
Tapi itu tak berlaku untuk diriku

Tak perlu dengan penyakit yang menakutkan
Apalagi yang menguras harta
Cukuplah Kau beri rasa mual dan sakit kepala
Cukup bagiku untuk menitikkan air mata
Menyesali kedzoliman terhadap diri
Mengevaluasi apa yang telah kulakukan terhadap waktu


Thursday, September 11, 2014

Dari Yang Kamu Cintai

"Ingiiiin rasanya menginfakkan motor laki-laki untuk Rumah Tahfidz, tapi itu punya suami," seorang kerabat mengirim SMS ke Umi, setelah membaca postingan Seri Rumah Tahfidz MHA >20< yang berjudul "Taunya Gratis". Baru saja dia dibelikan motor matic, sedang suaminya ke kantor memakai motor bebek yang bukan matic. Motor laki-laki jarang dipakai.

"Yang matic aja, kan milik sendiri," jawab Umi, menggodanya.

"Judulnya milik sendiri, tapi kan dibelikan suami juga ha ha ha," kilahnya.

"Coba tanya suami, dalil yang mengatakan tentang infak dari harta yang dicintai," balas Umi. Suami kerabatnya termasuk orang yang paham agama, bahkan termasuk ustadz.

"Huuuuu! Lagi senang-senangnya pakai motor," jawabnya.

***

Berinfak saat longgar, itu biasa. Berinfak dengan barang yang sudah tidak dipakai, tapi masih bagus, itu juga biasa, dari pada terbuang tak terpakai. Tapi berinfak dengan sesuatu yang dicintai, bahkan sangat dicintai, itu baru luar biasa.

"Kamu tidak akan memperoleh kebajikan, sebelum kamu menginfakkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa yang kamu infakkan, tentang hal itu sungguh, Allah Maha Mengetahui." QS Surat Ali Imron ayat 92.

Mungkin sebagian kita berinfak dengan orientasi siapa yang kita akan beri infak, untuk apa infak itu akan dipergunakan.

Pernahkah kita berinfak dengan orientasi diri sendiri? Berinfak karena butuh dan mewajibkan diri berinfak? Atau karena menghukum diri karena melakukan sebuah kesalahan, sebagai bukti taubatnya?

Kadang malu, saat membaca kisah orang-orang terdahulu, yang tidak takut miskin karena berinfak dan mengharap imbalan dari Allah.

Salah satu contohnya, ketika sahabat Usman bin Affan menginfakkan kafilah dagangnya yang sangat besar, untuk diinfakkan kepada kaum muslimin yang saat itu sedang mengalami paceklik. Apa alasannya? "Allah membeli dengan memberi keuntungan sepuluh kali lipat."

Lain lagi dengan sahabat Umar bin Khattab yang sangat terkenal dengan ketegasannya. Suatu hari beliau asyik dengan kebunnya, sehingga membuatnya lalai dan tertinggal shalat Ashar berjamaah. Sebagai hukuman untuk kelalaiannya, beliau menginfakkan kebun yang telah melalaikannya itu ke baitul mal untuk kepentingan masyarakat. Beliau tak ingin ketaatannya pada Allah terusik karena kesibukan hartanya.

Di zaman kini pun, masih banyak ditemui para dermawan yang begitu ringan melepaskan hartanya untuk berinfak, dan testimoninya, dengan berinfak dan bersedekah, rizki mereka semakin melimpah. Sampai-sampai sempat muncul tren, menjadi kaya dengan bersedekah. Kembali lagi, hal ini sangat terkait dengan pemahaman yang berbeda-beda.

Seri Rumah Tahfidz MHA >22<

Wednesday, September 10, 2014

Warnanya Beda

"Apa ini, Mi?" tanya Harish saat Umi menyodorkan sepiring singkong untuknya dan Abi.

"Singkong," jawab Umi, pendek.

"Yang coklat ini, singkong?" tanya arish. Umi mengangguk.

"Yang agak putih ini, singkong juga?" Umi mengangguk lagi

"Kok beda?" katanya, sambil mengamati isi piring. Memang sekilas berbeda, yang agak putih berbentuk agak panjang, setengah silinder. Yang coklat berbentuk silinder, pendek.

"Yang agak putih kekuningan ini, singkong rebus berbumbu gurih. Boleh dimakan seperti ini atau nanti digoreng dulu," jelas Umi, sambil mengambil singkong itu dengan garpu dan menyuapkan ke Harish.

"Abi, dong," kata Abi, sambil menyorongkan mulutnya, minta disuap.

"Ih, Abi kayak anak kecil!" teriak Harish, melihat Umi menyuap Abi.

"Biarin," jawab Abi, tertawa.

"Kalau yang ini, Mi?" tanya Harish, sambil menunjuk yang warna coklat, mulutnya sibuk mengunyah.

"Itu singkong rebus salut gula merah," jawab Umi.

"Bisa digoreng, Mi?"

"Kalau yang ini, nggak bagus kalau digoreng, nanti lengket dan mutung, karena banyak gulanya."

Tiada kesempatan tanpa edukasi, itu harus!

A sampai kho

"Umi, Harish mau ngapain, sih?"

Lha, malah nanya? Mbak-mbaknya sudah tidur semua.

"Tidurlah, Harish! Sudah malam ini," jawab Umi.

"Harish nggak bisa tidur, belum ngantuk."

"Ya sudah, Harish mau apa sekarang?" tanya Umi.

"Emm...ngaji pake papan tulis, ya, Mi?"

"Ok, ambil papan tulisnya!"

Harish bergegas ke ruang tengah, mengambil white board yang selalu berpindah tempat.

"Umi yang tulis, yaa," katanya, sambil menyiapkan spidol.

"Gantian, ah," idiiih, Umi jual mahal.

"Kok gantian...gimana sih, miiii!" tanya Harish, dengan suara ditekan. Umi tersenyum, geli.

"Umi yang ngomong, Harish yang nulis."

Mulailah Umi mendiktekan apa yang harus di tulis Harish.

"A...ba...ta...tsa...ja...ha...kho." Satu-satu Umi menyebutkan bunyi huruf hijaiyah berharakat fathah. Rupanya Harish sudah bisa menuliskannya, tanpa mencontoh. Oke, tes dulu, apakah memorinya sudah merekam dengan sempurna simbol huruf itu.

"Sekarang tulis...ba...!"

Harish melihat huruf-huruf yang tadi ditulisnya, dan tangannya mulai mengurutkan, sambil mulutnya membunyikan huruf yang ditunjuk.

"A...ba..." dia berhenti, sepertinya berfikir sejenak, kemudian menuliskan huruf hijaiyah yang berlafadz ba.

Umi melanjutkan dengan mengacak huruf, dan Harish melakukan hal yang sama, mengurutkan huruf-huruf itu untuk mendapatkan lambang yang bunyinya sama dengan yang Umi minta.

"Sekarang papan tulisnya dibersihkan," kata Umi.

"Kok dihapus?" tanya Harish, heran.

Nanti Harish buat lagi lah, kan sudah pinter. Harish menurut. Setelah selesai, Umi mendikte lagi.

" Ha...!"

Harish celingak-celinguk, mencari sesuatu dengan pandangan matanya.

"Buku ngajinya, mana, Mi?...Eh itu dia," kataany gembira, buku itu ditemukannya di meja.

"Kok pakai buku? tanya Umi.

"Harishnya nggak tau, kalau nggak liat."

O, rupanya..., lambang itu belum tersimpan dan melekat erat di memorinya. Maklumlah, usianya belum lima tahun dan baru dua kali diajarkan.

Setiap anak punya gaya belajar masing-masing, orang tua dan guru harus segera memahami itu agar potensinya bisa segera dikembangkan.

Ingin Punya Anak Salih

"Enak Umi, punya anak banyak, salih-salihah semua, lha saya...sudah belasan tahun menikah, belum juga di kasih," seorang ibu anggota pengajian curhat ke Umi, dengan wajah sendu.

"Alhamdulillah, semua karunia Allah, tolong doakan ya, semoga anak-anak Umi bisa jadi anak salih dan salihah semua."

"Amin! Tapi bagaimana dengan orang-orang seperti saya, yang belum dikaruniai anak, bahkan ada yang sampai wafat, tidak memiliki keturunan. Bukankah setiap manusia ingin memiliki keturunan?"

"Benar, sebagian besar manusia tidak ingin keturunannya terputus, tapi itu semua sudah kehendak-Nya. Kita harus menerimanya dengan rida, walaupun usaha untuk mempunyai keturunan terus dilakukan."

"Tapi harapan didoakan anak salih jadi terputus dong, Mi?" tanyanya, ragu.

"Anak salih kandung, ya, tapi anak salih yang tidak kita lahirkan sendiri kan ada? Kita pun bisa ikut andil mendidik anak-anak itu agar menjadi salih. Alangkah banyaknya anak-anak yang orang tuanya tidak mampu, bisa kita bantu, baik dengan mendidiknya dengan asuhan sendiri atau dengan membiayainya. Sebenarnya, mengapa manusia menginginkan keturunan?"

"Ya pertama, supaya jejak sejarahnya tidak terputus, kedua ada doa anak salih yang bisa menolong kita di akhirat nanti," jawab ibu itu.

"Kalau anak cucu kita berhasil menjadi anak salih, orang-orang baik, tentu kita akan memiliki coretan sejarah yang indah, bagaimana jika itu tidak terjadi? Dan seberapa panjang sejarah kita akan dikenang? Dan lagi, sejarah itu kan hanya dalam kenangan manusia. Nah, kalau urusan keselamatn kita di akhirat, Allah memberikan begitu banyak peluang untuk itu, tidak hanya dengan memiliki anak yang salih."

"Maksud Umi?"

"Ingat apa saja yang pahalanya mengalir walaupun kita sudah meninggal?" Umi balik bertanya.

"Kalau nggak salah, ilmu yang bermanfaat, harta yang diwakafkan, anak salih yang mendoakan," jawab si ibu.

"Allah Maha Luas karunia-Nya. Memberi banyak jalan untuk keselamatan hamba-Nya. Dia tidak ingin menzalimi makhluk ciptaan-Nya. Yang tidak dikaruniai anak, maka diberi kesempatan untuk memiliki ilmu dan mengajarkannya, sehingga selama ilmu yang diajarkannya itu diamalkan, maka dia akan mendapat pahala seperti yang melakukannya, tanpa mengurangi pahala yang melakukannya. Yang lain diberi harta yang bisa diwakafkan, dan pahalanya akan mengalir selama kemanfaatan harta itu masih ada."

"Kalau sekali amal dapat ketiganya, bisa nggak, Mi?" tanya si ibu, sambil senyum malu.

"Wah, prinsip ekonominya keluar nih...tapi bolehlah kita main akal-akalan, siapa tahu cocok," jawab Umi, sambil tertawa.

"Akal-akal gimana, Mi?" si ibu heran.

"Akal-akalan bukan maksud mengakali Allah, ya. Itu tak akan bisa, tapi kita coba menghitungnya dengan hitungan manusia, siapa tahu cocok dengan hitungan Allah. Andainyapun nggak cocok, kalau niat kita ikhlas karena Allah, tak kan ada ruginya, walaupun hasil hitungannya berbeda. Yakinlah, Allah Maha Menghitung, tidak pernah salah dan selalu adil"

"Wah, mau tahu, gimana akal-akalannya?" tanya si ibu, antusias.

"Beneran tertarik?"

"Bener, Mi, serius!"

"Kalau Ibu punya harta, infakkan saja ke Rumah Tahfidz. Maka harta itu akan sangat bermanfaat untuk mencetak para penghafal Al Qur'an. Selama mereka mengamalkan ilmunya, maka selain gurunya, ibu juga akan kecipratan pahala sebagai orang yang ikut andil dalam proses menjadinya mereka menjadi penghafal Al Qur'an. Doa merekapun bisa menolong kita, karena orang yang dekat dengan Al Qur'an, dekat dengan Allah, biasanya doanya lebih makbul."

"Aaah, Umi licik," komentar si ibu sambil tertawa-tawa, setelah menyadari Umi menggiringnya agar menyalurkan infaknya untuk Rumah Tahfidz.

"Lho, kok licik? Memang ada yang dirugikan?" Umi bertanya sambil tersenyum maklum.

"Maaf, Mi, bercanda. Saya tahu tidak akan rugi berbisnis dengan Allah, saya hanya ingat para sales, ujung-ujungnya closing, he he he."

"Ibu nggak salah, Umi memang berperan sebagai sales, walaupun kalau jualan barang jarang sukses, tapi kalau sudah bisnis dengan Allah, ya berusaha semaksimal mungkin, kan tidak ada yang dirugikan? Tidak ada yang dipaksa?"

"Iya, mi, iya. Saya sadar, harus mengambil kesempatan yang Allah berikan. Mungkin ini yang terbaik untuk saya, sampai saat ini belum diberi keturunan. Saya akan beramal dengan apa yang Allah karuniakan untuk saya."

"Jadi..."

"Tenang, Mi... saya dukung program Rumah Tahfidz dengan kemampuan yang saya punya."

"Alhamdulillah."

Seri Rumah Tahfidz MHA >21<

Tuesday, September 9, 2014

Taunya Gratis

"Apa ananda tahu kalau Ibu menyalurkan infak ke Rumah Tahfidz?" tanya Umi, sambil memberikan tanda terima untuk seorang ibu muda yang juga orang tua salah satu santri.

"Nggak, Mi, dia taunya gratis, dan itu yang saya tanamkan padanya," jawab ibu muda itu, mantap.

Baru saja dia menyerahkan zakat penghasilan yang dihitung bulanan dan infak untuk Rumah Tahfidz. Dia berjanji untuk jadi donatur tetap, walaupun besarnya tidak pasti. Kali ini dia menyerahkan dana melebihi nilai UMP (Upah Minimum Propinsi), subhanallah.

***

Mengapa Rumah Tahfidz menerapkan sistem seperti itu? Menggratiskan biaya belajar santri?

Hanya sebuah upaya untuk meluruskan niat dan menjaga adab.

Kok bisa?

Ketika seorang guru mengajar murid yang membayarnya, ada semacam keterikatan yang bersifat materi. Ketika ada hal-hal yang seharusnya ditegur dari santrinya, ada semacam beban yang bisa membatalkan niatnya, sehingga akhirnya rasa segan itu mempengaruhi proses pendidikan.

Ketika seorang murid tahu, dia belajar dengan biaya mahal, maka rasa hormat dan segan kepada guru akan berkurang. Sepertinya, ini salah satu faktor krisis akhlak di masa kini.

Mungkin hal di atas hanya sebatas analisa semata, yang perlu diuji kebenarannya.

Setidaknya, menggratiskan bisa mengurangi beban orang tua yang kurang mampu, sehingga cara ini bisa membantu bagi yang ingin mendapat bimbingan menghafal Al Qur'an, tapi tidak punya biaya.

Bagaimana dengan yang mampu?

Rumah Tahfidz memberi kesempatan seluas-luasnya kepada orang tua yang mampu, untuk menjadi donatur, yang tidak ada kaitannya dengan status anaknya sebagai santri, sama dengan donatur lain yang tidak menitipkan anaknya belajar.

Jadi di sini ada empat unsur yang mempunyai hubungan masing-masing dan tidak saling terkait.

Santri santun dan hormat pada ustadz/ah.

Ustadz/ah membimbing santri dengan kasih sayang dan ilmu.

Rumah Tahfidz memikirkan dan mencari jalan untuk mensejahterakan ustadz/ah, mencukupi sarana dan prasarana belajar.

Donatur mengamanahkan infaknya untuk dikelola oleh Rumah Tahfidz. Infak itu bisa berupa dana untuk biaya operasional, dengan prioritas kesejahteraan ustadz/ah.  Tempat yang dipinjamkan atau diwakafkan, kendaraan untuk operasional, mengingat lokasi yang terpencar-pencar. Sarana komunikasi, dokumentasi, ATK atau alat belajar lain yang memang dibutuhkan.

Semua hubungan itu diharapkan semata-mata berlandaskan niat ikhlas karena Allah Ta'ala.

Di sini ada beberapa peluang yang bisa diambil untuk ikut berpartisipasi dalam proyek ini.


#Seri Rumah Tahfidz MHA >20<

Sosmed Menautkan Yang Terlepas

"Mohon maaf, Ummi. Saya seperti mengenali pria bertopi di sebelah Ummi..."

Sebuah komentar untuk foto yang ku upload di facebook pagi ini. Obrolan berlanjut sampai pada kesimpulan, ternyata di antara kami masih ada hubungan kerabat.

Belum lagi dengan teman kuliah, yang sudah belasan tahun tidak bertemu. Dengan facebook, setidaknya kita tahu kabarnya, bahkan saling sapa dan melepas rindu. Kadang, rasa iri terhadap kemajuan mereka, memotivasi untuk lebih meningkatkan kualitas diri.

Adakalanya kita mengalami kejenuhan dengan rutinitas. Muncul kenangan manis di masa lalu bersama teman main, dengan harapan dapat menemukan mereka di facebook, sekedar bernostalgia...sayang, bukan karena yang kita cari tidak memiliki akun, tapi lebih sering disebabkan sebagian pengguna menggunakan nama yang tak dikenal di dunia nyata.

Setiap orang punya alasan, sehingga memutuskan menggunakan sosmed dalam perjalanan hidupnya.

Begitu banyak manfaat yang bisa kita petik dari kemajuan teknologi ini, baik keuntungan materi maupun non materi.

Banyak contoh orang sukses berjualan produk via online, setidaknya promosi.
Tidak sedikit penjual jasa meningkat omsetnya setelah berkecimpung dengan dunia maya.
Di dunia maya juga terbuka kesempatan mencari ilmu, menebar ilmu dan berdakwah.
Banyak juga yang meningkatkan potensi dirinya dengan dukungan sosmed, dengan bergabung di komunitas tertentu.
Kita juga bisa menambah teman bergaul dan wawasan dengan biaya sangat murah.

Sayang, seperti halnya di dunia nyata, di sosmedpun banya para pencoleng yang sering mengganggu kenyamanan. Dan itu merupakan alasan, sebagian teman enggan membuka jati diri yang sebenarnya, takut fitnah!

Jadi?

Semua kembali pada diri masing-masing. Sebelum mengambil keputusan, hitung kekuatan diri.

Apakah mau ikut mengikuti perkembangan zaman, atau nyaman dengan hanya dunia nyata?

Apakah menghindari kemungkinan fitnah di sosmed dengan menyembunyikan jati diri tapi tetap bergabung untuk mengambil manfaat?

Apakah ingin terbuka, siapa dirinya dengan minta perlindungan Allah dari segala jenis bentuk fitnah, dengan harapan lebih banyak kebaikan yang bisa ditebarkan?

Semua kembali pada diri.

Monday, September 8, 2014

Titip Anak

"Umi, jangan sembarangan ya, kalau menitipkan Harish," kata Richie, sambil meletakkan hapenya di meja.

"Maksudnya?"

"Kalau Umi pergi, nggak ngajak Harish, hati-hati memilih orang untuk dititipi."

"Ya iyalah, Umi juga mikir berulang kali, kalau mau nitip Harish ke Richie," jawab Umi.

"Kok gitu? Masa Umi nggak percaya sama Richie?" cowok keren itu protes.

"Bukan nggak percaya, tapi... ya ragu aja. Misalnya, Harish mau BAB, Richie mau nggak ... terusin sendiri ah."

"Ya suruh tahan dulu lah, nunggu Umi pulang," jawab Richie sambil bersungut.

"Nah, itu...yang buat Umi berhitung, masa iya Umi mau menyiksa Harish dengan menahan BAB?"

"Bukan itu maksud Richie. Belakangan santer berita tentang penyiksaan anak yang dititipkan di daycare atau baby sitter di rumah bahkan pelecehan di PAUD, kan kasihan anak-anak itu. Mereka belum bisa melindungi dirinya sendiri."

"Iya sih. Terlepas dari kevalidan berita yang beredar, setidaknya ini peringatan bagi orang tua yang diamanahi anak, untuk lebih berhati-hati menjaganya. Nggak semua orang tua beruntung lho, diamanahi anak oleh Allah. Anak yang sholeh, taat pada Allah, akan membahagiakan orang tuanya di dunia dan akhirat."

"Itu alasan Umi nggak kerja?" tanya Richie.

"Umi nggak kerja?" Umi mendelik, aha ha, tersinggung rupanya dianggap pengangguran.

"Idih, sensi banget sih, Mi? Maksud Richie, Umi memilih kerja yang banyak di rumah. Nggak harus pergi ke luar rumah setiap hari. Richie tahu kok, walaupun di rumah Umi berpenghasilan."

"Ya, itu salah satu alasannya."

"Salah banyaknya?"

"Alhamdulillah, Umi termasuk yang bisa memilih, karena ada lho, ibu yang mau tidak mau terpaksa bekerja di luar rumah. Kondisi memaksa mereka meninggalkan anak-anaknya seharian di bawah pengasuhan orang lain, walaupun..." umi menggantung ucapannya.

"Walaupun apa, Mi?"

"Nggak deh, nanti dianggap kurang bersyukur," jawab Umi, ragu.

"Kok gitu sih, Mi? Kan biar Richie belajar dari rumah tangga Umi?"

"Ya, untuk peluang pengembangan karier tak sepesat kalau anak ada yang menghendel. Namanya kerja di rumah, ya tentu saja hal yang berkaitan dengan anak dan rumah tangga kelihatan, nggak mungkinlah didiamkan kalau ada yang harus diselesaikan. Nah, itu otomatis mengurangi waktu untuk pekerjaan."

"Lha Umi,nyesel nggak dengan pilihan ini?"

"Nggaklah! Umi kan nggak wajib berpenghasilan. Umi nggak cari duit juga, Abi nggak bisa protes. Nah, kalau ada apa-apa dengan anak karena kelalaian Umi, ya wajar kalau disalahkan, karena menjaga dan mendidik anak, itu kewajiban utama Umi."

"Jadi Abi nggak bertanggung jawab terhadap pendidikan anak?"

"Yeee, ya justru Abi yang pertama dimintai pertanggung jawabannya. Suami itu kan imam dalam keluarga, kalau ada yang nggak beres, ya suami yang pertama ditanya."

"Berat ya, Mi, jadi suami?"

"Terus, mau jadi istri?"

"Iih, Umi, suka gitu deh."

"Sama-sama berat. Jadi istri juga nggak ringan, bayangkan...hamil sembilan bulan, ke mana-mana tambahan beban dibawa. Melahirkan bertaruh nyawa, menyusui, mengurus bayi dan seterusnya, apalagi kalau ditambah dengan mencari nafkah?"

"Semoga Allah izinkan, rizki untuk keluarga nanti lewat tangan Richie, biar istri bisa full ngurus rumah tangga dan anak-anak."

"Amin, tapi...siapakah wanita yang akan beruntung itu?" tanya Umi, senyum-senyum.

"Umi!...mulai deh!"


Perkawinan Beda Agama

"Ini gimana sih, Mi?" Richie sibuk dengan hape kerennya.

"Apanya?" Umi mendongak, melepas pandangannya dari monitor lepi.

"Lagi marak berita perkawinan beda agama. Sebenarnya, gimana sih, boleh nggak?"

"Menurut siapa?" tanya Umi.

"Kok menurut siapa? Memang nggak ada standar kebenarannya?" Richie meletakkan hapenya di meja, tanda siap mendengarkan penjelasan.

"Kalau standar atau tolak ukurnya sama, ya nggak akan ada perbedaan pendapat," jawab Umi kalem.

Richie manggut-manggut, mungkin mengerti.

"Iya sih, Mi. Menurut kabar, dari agama yang ada di Indonesia, hanya satu yang membolehkan perkawinan beda agama. Sedang yang beritanya santer mendukung, malah bukan dari agama tertentu, tapi atas nama hak asasi."

"Mau pake standar yang mana?" tanya Umi.

"Islam, lah Mi."

"Allah perintahkan untuk menikah dengan wanita beriman, bahkan wanita budak, sebagai lambang strata sosial yang rendah, yang beriman, lebih baik dari wanita yang yang tidak beriman, meskipun menarik hatimu."

"Lah, jadi menarik hati bukan alasan utama untuk menikah, ya, Mi?"

"Gitu, deh."

"Tapi boleh kan, Mi, kalau menikah dengan yang menarik hati, tapi seagama?"

"Ya, boleh, itukan manusiawi."

Richie manggut-manggut.

"Chie, beragama itu hak asasi bukan?"tanya Umi, serius.

"Ya iyalah, kan tidak ada paksaan dalam beragama, laa ikraaha fiddiin," cie-cie, Richie berdalil pake potongan ayat Al Qur'an. Wah, dah ada kemajuan. nih.

"Melaksanakan ajaran agama kewajiban, bukan?" tanya Umi, lebih serius.

Richie berdehem, wah, harus hati-hati nih, kalau Umi sudah serius.

"Richie pikir, ya kewajiban, sebagai konskuensi dari pilihannya," Richie belum begitu paham arah pertanyaan Umi.

"Kira-kira, negara, maksudnya pejabat negara punya kewajiban nggak melindungi hak rakyatnya dalam beragama?"

"Kalau Richie sebagai rakyat yang kemarin ikut memilih pemimpin negara, harapannya, pemimpin yang terpilih adalah sosok yang bisa melindungi hak-hak rakyatnya, termasuk meningkatkan kualitas beragama. Kan nggak semua orang yang beragama memahami agamanya dengan baik? Idealnya sih negara memfasilitasi, supaya rakyatnya lebih leluasa menjalankan agamanya. Bila perlu membuat undang-undang untuk itu, bukan malah memreteli peraturan yang sudah ada."

"Itu dia pentingnya kita berhati-hati memilih pemimpin, karena sebagian nasib kita ada di kebijakan yang diambil." suara Umi melemah, tercium aroma kesedihan.

"Gimana dengan pemimpin yang tidak melindungi hak beragama warganya?" tanya Richie.

"Sebenarnya jadi pemimpin itu berat banget, itu sebabnya pemimpin yang adil termasuk salah satu golongan yg mendapat perlindungan Allah di hari kiamat, dan sebaliknya dia akan dimintai pertanggung jawaban terhadap kepemimpinannya."

"Iiih, malas jadi pemimpinlah, takut nggak adil," Richie bergidik membayangkan.

"Kita tidak bisa menghindar, karena setiap diri adalah pemimpin. Memang Richie nggak mau nikah?" tanya Umi, mulai deh ngisengin Richie.

"Mau, Umiii, kalau bisa secepatnya," Richie nyengir,...idih, jelek banget. Mana ada bintang korea nyengir.

"Itu artinya siap memimpin. Kalau istri Richie nggak baik, nanti Richie juga harus bertanggung jawab, karena salah satu tugas suami adalah mendidik istrinya."

"Berat, ya Umi?" Richie serius.

"Lha iyalah! Bayangin, susah payah orang tua mengasuh dan mendidik anak perempuannya, eh sudah besar diambil orang. Suaminya yang dilayani, bukan orang tuanya. Artinya, tanggung jawab mendidik dan melindunginya berpindah pada suami."

Richie terlihat memikirkan penjelasan Umi.

"Gimana, sudah siap menikah secepatnya?"

Richie tersenyum tipis, Umi sulit mengartikan senyuman itu.




Pamer Kebaikan

"Umi! Postingan isinya pamer kebaikan terus, sih!" Richie nongol, saat Umi duduk di beranda dengan lepinya, sedang Harish bermain pasir di halaman, dengan traktorannya.

"Dari mana, Chie, sejak pagi nggak keliatan?" Umi malah balik bertanya.

"Nggak keliatan, Umi keluarnya siang, Richie pagi-pagi dah berangkat. Umi belum jawab Richie," manyun. Hmm, biasa, Richie paling juga lapar, baru pulang langsung ke rumah Umi.

"Lapar, ya?" tanya Umi.

"Kok tau?" wajah Richie agak cerah, merasa diperhatikan dan sedikit muncul harapan.

"Beli pecel dulu gih, sekalian untuk Umi. Jangan lupa pake lontong, cabenya sepuluh," jawab Umi, mrepet.

"Halah! Kirain, mau ditawarin makan pake ayam bakar," Richie manyun lagi.

"Kan barusan kemarin? Masak ayam bakar terus? Sudahlah, beli dulu, Umi yang traktir deh. Dari pada Umi yang pergi, ribet sama Harish mau ikut."

"Tinggalin aja sih, Harishnya," bantah Richie.

"Mana mau ditinggal sama Richie, suka usil sih."

Richie nggak bisa berkutik. Dengan berat hati, diambilnya uang dari tangan Umi, beli pecel di tetangga belakang rumah.

***

"Kan Umi belum jawab pertanyaan Richie tadi,"  setelah makan Richie menagih penjelasan Umi.

"Daripada posting kegalauan, lebih baik pamer kebaikan. Sebenarnya istilah pamer itu relatif. Kalau orang menganggap menunjukkan kelebihan dengan maksud menyombongkan diri, maka disebut pamer. Tapi kalau yang bersangkutan tidak bermaksud menyombongkan diri, tapi berniat mengajak kepada kebaikan dengan memberi contoh apa yang sudah dilakukannya, itu termasuk amar ma'ruf. Mengajak melakukan kebaikan yang sudah dilakukan, beda rasanya dengan kalau kebaikan itu belum dilakukan. Seperti melayang-layang, nggak mantap. Walaupun bukan berarti, kalau kita belum bisa melakukan, tidak ada upaya menyampaikan, karena bisa jadi kita belum bisa, yang kita beri tahu sudah mampu. Nah, kalau..."

"Mi, minum dulu," Richie menyodorkan minuman untuk Umi.

"Kalau ngomong berdua begini, ya dikasih jeda, nggak seperti ceramah di podium gitu, Mi."

"Ya ya ya, makaciiih, dah mengingatkan," Umi nyengir...manis.

"Sudah, tarik nafas dulu, baru ngomong lagi," ha ha ha,  Richie, seperti instruktur P3K.

 "Sampai mana tadi ya?...Nah, kalau... tuuuh, kan, Umi lupa."

"Ha ha ha, seperti Harish aja, diganggu konsentrasinya dikit, langsung buyar."

"Makanya kalau ada orang lagi ngomong serius jangan di sela, nggak sopan!" Umi manyun.

"Mulai...ngambek, ah, payah Umi nih, hari gini dah nganbek!"

"Dah, inget. Nah, kalau kita punya pemikiran seperti itu terhadap orang yang memperlihatkan kebaikan, coba tanya diri sendiri, mengapa kita menuduh orang begitu? Kalau ternyata tuduhan kita benar, bahwa orang itu pamer, apa untungnya? Kalau salah, ternyata orang itu tidak bermaksud membanggakan atau menyombongkan diri, artinya kita sudah berburuk sangka, kan? Itu perbuatan nggak baik, kan? Bukannya kita harusnya senang, ketika media dihiasi dengan kebaikan?"

"Iya juga, sih Mi. Tapi, kenapa yang menarik justru postingan yang bikin gerah, ya?"

"Nah, kalau yang itu, jangan tanya Umi."

Sunday, September 7, 2014

Sepuluh Tahun Lagi

"Saya berdoa kepada Allah, agar memanjangkan umur saya dan istri, sampai semua anak kami hafal Al Qur'an 30 juz," kata Abi di salah satu pertemuan dengan orang tua calon santri Rumah Tahfidz.

"Amin," gumam Umi, yang saat itu mendampinginya.

***

"Kalau semua seperti yang pertama dan kedua, khatam usia 14 atau 15 tahun, sedang sekarang umur Harish hampir lima tahun, jadi waktu kita tinggal sekitar sepuluh tahun lagi, ya?" gumam Umi, setengah bertanya pada Abi.

"Ya...nggak apa-apa," jawab Abi, yakin atau...meyakin-yakinkan diri?

"Nggak lama  lagi, ya?" tanya Umi, ragu...sambil menghitung-hitung.

***

Sepuluh tahun! Lama atau sebentar, itu relatif.

Bila ia sudah berlalu, tentu sangat sebentar. Lihat anak-anak! Sepertinya baru kemarin mereka belajar berjalan dan menyusun kalimat, kini...mereka sudah merantau ke mana-mana. Ilmunya lebih beragam dari orang tuanya, pergaulannya lebih luas, jarak tempuhnya lebih jauh.

Bila untuk menunggu, apalagi dalam kondisi menderita, sepuuh tahun tentu terasa amat panjang. Apalagi kalau tidak ada kesibukan yang berarti, tentu sangat melelahkan...untuk hasil yang tidak jelas.

Yang jadi masalah, untuk apa waktu yang sepuluh tahun itu?

"Sepertinya kita harus bergegas, jangan sampai sepuluh tahun lewat, anak-anak belum siap kita tinggalkan," ujar Umi, sedikit gamang.

"Ya, itu bisa jadi pemicu langkah ke depan, sudah tak ada lagi waktu untuk coba-coba, energi kita pusatkan untuk satu tujuan. Hal-hal lain, biarlah mengikutinya," timpal Abi lebih mantap.

"Mengantar anak-anak jadi hafidz Qur'an, mengembangkan Rumah tahfidz, sambil jalan menyiapkan pondok tahfidz, mengelola rumah terapi sambil mengembangkan ilmunya...kalau disebut hanya 4 poin, tapi kalau dikerjakan semua dengan serius, bisa nggak tidur kita, Bi," seloroh Umi, tertawa kecut.

"Nikmatnya tidur ketika kondisi kita lelah tapi hati bahagia. Nikmatnya makan ketika kita lapar dan hati bersyukur. Kita jalani saja, mengantar anak-anak menjadi hafidz, sebagai warisan untuk mereka. Sambil mengiringi perjalanan rumah tahfidz, kita coba lebih dekat dengan Al Qur'an, walaupun mungkin akan sangat sulit menyusul anak-anak untuk hafidz Qur'an," ujar Abi, sambil merebahkan tubuhnya.

"Iya juga, sih. Mengembangkan rumah terapi, selain untuk jalan menjemput rizki, juga sekalian beramal shaleh. Meringankan beban orang-orang yang sedang sakit atau kesulitan. Belajar terus untuk mengembangkan ilmu, tentu menyenangkan, toh itu memang hobi," lanjut Umi.

Kok tak ada suara? Diperhatikannya Abi. . .aha ha, pantas saja, sudah pindah alam!

Umi tersenyum, melanjutkan aktivitasnya, blogging sambil sekali-sekali membereskan catatan santri-santri Rumah Tahfidz yag terus bertambah. Kadang diselingi bertegur sapa dengan teman dunia mayanya.

#Seri Rumah Tahfidz MHA   >19<

Saturday, September 6, 2014

Reaksi Untuk Hal Baru

"Umi, maaf, anak-anak nggak bisa dilarang. Mereka sudah berangkat ke Rumah Tahfidz, padahal hari ini bukan jadwalnya," salah seorang ibu wali santri mengirimkan SMS.

"Nggak apa-apa, Bu. Nanti pelan-pelan kita beri pengertian, sementara ini biarkan dulu, maklumlah, masih baru. Jangan dipatahkan semangatnya," jawab Umi.

***

"Umi, maaf. Anak saya minta di antar ngaji, padahal bukan jadwalnya," seorang ibu salah seorang santri mampir ke rumah Umi, setelah mengantarkan anaknya ke Rumah Tahfidz yang terletak di depan rumah.

"Yo wes, biarin dulu. Mumpung Ustadzahnya masih bisa  melayani, nanti pelan-pelan kita beri pengertian, biar dia seneng dulu," jawab Umi, maklum.

***

"Umi, maaf. Saya nggak tahu kalau anak saya pindah ngaji ke Rumah Tahfidz, dia ikut temannya," seorang tetangga tergopoh-gopoh ke rumah Umi.

"Apa dia sudah bisa baca Al Qur'an?" tanya Umi.

"Sudah bisa Mi, tapi belum khatam, saya juga belum bilang ke guru ngajinya," wajah ibu itu nampak agak bingung.

"Begini, kalau memang anak ibu mau ikut program menghafal, boleh, tapi beri pengertian padanya agar mau melanjutkan ngaji di guru yang biasa. Kemudian tolong beri pengertian gurunya, agar bisa memaklumi, jangan ada kesan Rumah Tahfidz hadir untuk mengacaukan TPA atau pengajian yang sudah ada. Jadi jangan ada istilah pindah ngaji," jelas Umi.

"Enak nggak, ya, Mi?" si ibu ampak ragu.

"Insyaallah, nggak apa-apa, nanti Umi komunikasikan juga dengan gurunya."

***

"Umi, anak saya mau daftar ngaji di Rumah Tahfidz," tetangga dekat datang ke rumah Umi.

"Selama ini sudah ngaji belum."

"Sudah, Mi, di rumah guru ngajinya."

"Sudah bisa baca Al Qur'an?"

"Belum, Mi. Masih PAUD kok," jawabnya sambil senyum.

"Kalau begitu, diteruskan aja ngaji di sana, nanti kalau sudah bisa baca Qur'an, bisa ikut program tahfidz."

"Nggak bisa ya, Mi, ngajarin bacanya?"

"Tenaga kita terbatas, dan lagi kita memang hadir untuk bekerjasama melanjutkan progran TPA dan pengajian yang sudah ada."

"Sebenarnya saya lebih senang kalau bisa ngaji di sini, lebih dekat rumah," jawabnya, sedikit kecewa.

"Mohon maaf, belum bisa membantu," jelas Umi.

***

Sesuatu yang baru, pasti menimbulkan reaksi beragam, bila tidak ditangani dengan baik, berpotensi menimbulkan fitnah.

Lapang dada, sangka baik dan komunikasi, semoga bisa menjadikan masyarakat nyaman menerima dan mendukung kehadiran Rumah Tahfidz.

#Seri Rumah Tahfidz MHA >18<

Tumben

"Umiii...." Harish masuk rumah dengan berlari.

"Ada apa, heboh banget?" tanya Umi yang sedang menerima tamu, calon santri rumah tahfidz dan kedua orang tuanya.

"Harish mau ngaji," katanya serius. Tumben! Biasanya di ajak ngaji banyak banget alasannya.

"Ya udah ngaji di Rumah Tahfidz, Mbak Husna dan Mbak Hafa kan, di sana."

"Nggak mau, ngajinya sama Umi," jawabnya sambil ngelendot.

"Kan Umi masih ada tamu?"

"Tamunya sama Abi aja," jawabnya tegas.

Walaaah, bocah! Hmm, oke!

"Mau hafalan apa baca?"tanya Umi, sambil berjalan ke kamar belakang.

"Pake Qur'an," jawabnya tegas.

Wow! Kereeeen.

"Tapi nurut sama Umi ya? Umi yang nentuin mana yang dibaca, trus Harish niruiin," Umi memanfaatkan situasi untuk bernegosiasi. Ini kesempatan langka, he he.

"Iya-iya," jawabnya, sambil terus mengikuti Umi yang mencari-cari buku Iqro. Biasanya Harish maunya ngaji pake Qur'an beneran, sama dengan Hafa.

Itu salah satu pengaruh adanya Rumah Tahfidz MHA 1 yang lokasinya berhadapan dengan rumah. Memang Harish belum mau belajar di sana, tapi karena sering hadir saat ada kegiatan belajar mengajar, walaupun main dengan anak ustadzahnya, tetap saja pengaruh itu begitu terasa.
Memang Rumah tahfidz tidak melayani santri yang baru mengenal huruf, karena kehadirannya diniatkan untuk melanjutkan program TPA dan guru privat yang ada di sekitar rumah, tapi kalau untuk Harish, yaa...andai dia mau, tentu ustadzahnya tidak keberatan, sekalian mengajari anaknya sendiri yang usianya lebih muda dari Harish.

Seri Rumah Tahfidz MHA >17<

Rahasia Baca Buku Tebal

"Bu, bagaimana caranya bisa senang membaca buku yang tebal-tebal? Apa rahasianya?" tanya seorang peserta diskusi, saat aku menyempatkan ngobrol dengan panitia di meja penerima tamu. Mungkin dia segan bertanya saat di forum tadi.

"Maksudnya?" aku balik bertanya.

"Tadi Ibu cerita, sebelum menikah bacaannya buku yang tebal-tebal, sebagai salah satu persiapan sebelum berkeluarga," jelasnya.

Oo, ternyata dia mencermati sedikit intermezo di diskusi tadi. Memang aku sempat cerita, bagaimana kebiasaanku sebelum menikah. Berhubung tak punya uang, cara yang kugunakan adalah sering berkunjung ke rumah senior, terutama yang sudah berkeluarga. Di sana, mata selalu nyalang di rak buku, yang biasanya ada di ruang tamu atau ruang keluarga. Untuk yang bukunya banyak, siap aku satroni setengah bulan sekali, karena biasanya aku mengincar buku yang tebalnya sekitar 3 cm sampai 5 cm. Satu buku aku targetkan dua minggu. Kalau sudah selesai satu buku, sambil mengembalikan, aku pinjam yang lainnya.

Bagaimana mau mendidik secara Islami, kalau belum membaca buku Tarbiyatul Aulad? Bagaimana mau mengikut Rasulullah, kalau belum membaca kisah hidupnya? Dan kalau mau lengkap, ya harusnya dari buku lengkapnya, bukan hanya kutipan. Lebih baik lagi, kalau membaca dari beberapa penulis, sehingga wawasan kita tentang sesuatu bisa lebih luas.

"Pertama memang suka membaca, kedua waktunya ada. Namanya masih gadis, tanggung jawab belum ada, kerjaannya hanya kuliah, paling sedikit-sedikit ada kegiatan. Mau seharian diam di kamar, tidak ada yang menegur. Motivasi nggak punya buku, sepertinya berpengaruh juga," jelasku.

"Terus, apa rahasianya mudah memahami isinya? Jujur, saya kalau sudah lihat buku tebal, rasanya langsung mual, he he."

"Ya, mungkin karena selalu dipakai itu, ibarat pisau, semakin sering dipakai akan semakin tajam."

"Setelah berumah tangga, apa masih terus membaca?" tanyanya.

"Bahkan lebih beragam yang dibaca, seiring dengan kebutuhan ilmu untuk mengelola keluarga."

"Waktunya, apa masih selonggar semasa gadis?"

"Relatif, kegiatan semakin beragam, tapi pandai-pandai mensiasati. Mungkin sekarang orang malas baca buku tebal, karena terbiasa membaca yang instan. Tinggal klik, apa yang dibutuhkan disediakan oleh internet, tapi tetap saja beda."

Ini mungkin salah satu efek kecanggihan teknologi, semua serba mudah, serba instan, sehingga mental ini terbiasa dengan yang simpel. Kecintaan terhadap ilmu juga, sepertinya semakin lama semakin menurun. Jauh sekali dibandingkan dengan semangat orang-orang terdahulu dalam menuntut ilmu. Contoh, seorang ahli hadist, rela melakukan perjalanan bertahun-tahun ke beberapa negeri dengan mengendarai unta, demi memastikan keshahihan sebuah hadist.

Subhanallah.

Wajar saja kalau Allah meninggikan para ulama beberapa derajat.

Orang Rumahan

"Mi, besok temenin Abi, ya?"

"Ngisi di mana?"

"Komite SDIT FI, temanya sama dengan Komite SDIT PB," jelas Abi.

"Keluarga Qur'ani? Apa kita sudah layak disebut seperti itu?"

"Bukan begitu, lebih tepatnya karena kita sedang memulai Rumah Tahfidz, harapannya, dari acara itu ada kelanjutan yang berhubungan dengan Rumah Tahfidz."

"Sebenarnya Umi merasa beban, ketika bicara yang kita belum sempurna melaksanakannya."

"Kalau menunggu sempurna baru mengajak, kapan kita bergerak?"

"Iya juga, sih."

"Jadi ikut ya? Sekalian refreshing, Umi kan banyakan di rumah. Biar Abi konfirmasi ke panitia."

Dengan berat, Umi mengangguk. Bismillah!

Hampir lima tahu belakangan, Umi lebih banyak di rumah, menjadi orang rumahan. Konsentrasi pada praktek terapi di rumah. Itu pilihan yang dirasa lebih logis, sesuai kondisi dan usia. Maka ketika mulai sering diajak Abi mendampingi di acara-acara resmi, seakan mengaduk memori lama, saat dulu masih sering malang melintang di keramaian, walaupun sambil membawa anak-anak.

***

Pesertanya tidak begitu banyak, hampir dua puluh orang. Ruangan kelas yang tidak begitu luas, duduk lesehan, membuat pertemuan pagi ini terasa lebih akrab.

"Ibu-Ibu, Bapak-Bapak, lebih suka diceramahi atau diajak ngobrol?" Umi melontarkan pertanyaan kepada peserta, sebelum membahas tema yang direncanakan.

Bapak-bapak senyum-senyum, ibu-ibu sebagian berbisik-bisik, satu dua menjawab sambil bergumam, "Ngobrol, katanya.

"Saya tidak akan ceramah, hanya ngajak ngobrol," Umi melanjutkan,"Di akhir nanti Bapak-Ibu boleh bertanya, sekarang izinkan saya dulu yang bertanya."

Sebagian peserta saling pandang, lalu tersenyum. Mungkin tidak biasa, ditanya sebelum mendapat penjelasan.

"Dulu, sebelum berkeluarga, tentunya Ibu-Bapak punya gambaran, akan membentuk keluarga seperti apa? Bisa tolong berbagi?"

Sebuah pertanyaan sebagai pembuka untuk kemudian mengarah pada diskusi, betapa pentingnya sebuah keluarga memiliki visi-misi yang jelas.

Pertemuan yang didominasi dialog tentang keluarga sekaligus sosialisasi Rumah Qur'an itu berakhir dengan berbagai solusi yang disepakati untuk mengatasi berbagai kendala yang dihadapi dalam upaya lebih mendekatkan anak-anak kepada Al Qur'an.

***

Perjalanan berlanjut ke rumah pasien, yang lokasinya tidak terlalu jauh dari lokasi pertemuan. Pasien yang juga teman lama, sekaligus silaturahim dan bertukar kabar.

Setelah dari pasien, Abi membelokkan motor  ke warung bakso, perut minta di isi. Situasi yang sangat jarang ditemui, makan berdua tanpa anak-anak. Ya, benar kata Abi, refreshing! Tak lupa, pesan untuk yang di rumah, kasihan Hafa dan Harish, ditinggal berdua.

Itu juga belum langsung pulang, mampir sebentar ke rumah pasien yang lain, ada sesuatu yang ditanyakan Abi.

***

Sampai di rumah, lumayan cape, tapi lega, karena laporan dari penghuni rumah menyenangkan semua. Sambil istirahat, mendengar obrolan Hafa dan Harish, menikmati bakso. Lucu! Seperti ada lomba bicara, dimulut masih ada isi, sambil ngomong, belum lagi suara dari hidung...ah, biarlah, sekali-sekali tidak ditegur masalah sopan santun.

Istirahat? Ya, sambil blogging dan chatting, saat mata benar-benar tidak kuat, pindah ke tempat tidur. Masih sayup-sayup terdengar suara obrolan Harish yang menemani Hafa mengerjakan PR. Lumayan, lelap beberapa menit. Sesudah Ashar ada acara lagi, semoga sore ini tidak ada pasien.

Cape? Lelah? Aha ha, namanya juga masih di dunia, memang tempatnya cape. Tapi kita bebas memilih, cape untuk apa?

Seri Rumah Tahfidz >16<