Sunday, August 31, 2014

Otak Panas

"Waduh, Chie! Gimana ini?" Umi heboh, saat menemui Richie yang sedang membetulkan tali jemuran di samping rumahnya.

"Apa sih, Mi? Pagi-pagi hebring banget gitu?" jawab Richie, menghentikan kegiatannya. Memperhatikan dan menunggu ucapan Umi selanjutnya. Bisa sewot Umi, kalau disambi kerja.

"Otak Umi panasss!"

Mendengar ucapan Umi, Richie beranjak akan masuk rumah,"Sebentar ya, Mi?"

"Heh, mau ke mana?" tanya Umi, heran.

"Ambil telur, mau nitip nyeplok di otak Umi," jawab Richie, menengok Umi.

"Oo, nggak sopan! Umi ngomong serius, malah dicandain," Umi melotot, lucu.

"Lha, Umi ngomongnya hiperbol banget, otak kok panas, memang diapain?" Richie cemberut.

"Semalam baru bisa tidur hampir jam dua. Mau bangun, terus ngetik, takut dimarah Abi."

"Kok dimarah? Memang Abi lagi galak yah?"

"Lha kemarin Umi tepar dua hari, gara-gara kurang tidur. Bukannya lagi galak, tapi itu tanda sayang Abi sama Umi," jawab Umi bangga.

"Cie-cie, Umi akhir-akhir ini pamer kemesraan terus sih? Bikin ngiri Richie aja."

"Sengaja!" jawab Umi, tertawa kecil.

"Terserah Umi deh! Terus, apa yang bikin otak panas?"

"Umi nih kerjaan lagi banyak banget, tapi hawanya pengen nulis terus. Ada kejadian kecil yang terlihat atau terdengar, gatel tangan ini pengen buka laptop. Sepertinya sulit banget dicegah, apa karena gairah yang terlambat hadir yah?"

"Ihh Umi, ngomongin gairah lagi?" kata Richie, tersipu.

"Halah, dasar anak muda, gairah menulis maksud Umi, ngeres amat sih?" giliran Umi yang cemberut.

Ck ck ck ini orang dua, kalau ketemu, ada saja yang bikin salah paham.

"Oo, maaf-maaf, kirain gairah apa gitu?"

"Terus, apa saran Richie? Apa harus Umi lawan keinginan itu? Nggak boleh diikuti?"

"Jangan, Mi! Orang lain aja kesulitan cari ide, lha ini malah ada ide mau dibunuh, sadis tau!"

"Lha terus gimana? Kerjaan lain bisa terbengkalai?"

"Mana yang bisa dikerjakan orang lain, ya didelegasikan. Kalau menulis,nggak semua orang bisa dan senang," saran Richie.

"Gitu, ya? Ibumu mana? Mbakyuku?"

"Lha Umi ke sini cari Richie apa Ibu, sih?"

"Tadi Richie, sekarang Ibu, di mana?"

"Tadi ke warung, belanja."

"Tolong smsin apa telfonin dong?"

"Hapenya ditinggal, memang Umi mau apa, sih?"

"Ya bilangin Ibu, belanjanya dobel, sekalian masak untuk Umi."

"Lha, kok enak tenan?" kata Richie, heran tapi tertawa.

"Katanya delegasikan kerjaan lain, lha Ibu Richie kan nggak senang nulis, senangnya masak. ya sekalian bantu adiknya yang sedang kerepotan ini."

"Bahaya nih, Umi!"

"Bahaya kenapa?"

"Kata Ibu, salah satu faktor yang menyebabkan seorang suami semakin cinta ke istri, lewat masakannya. Gimana nanti kalau cinta Abi pindah ke Ibu Richie, bisa skandal nanti?"

"Halah, ngomong opo! Sekali-kali kan nggak apa-apa, Daripada beli di warung makan, pake penyedap rasa buatan," bantah Umi.

"Lagian, ayam bakar buatan Umi belum ada yang ngalahin lho?"

"Ya jangan ayam bakar, tempe bacem. Kan buatan Ibu Richie uenak tenan."

"Ya terserah Umi deh. Cie-cie yang lagi bergairah," goda Richie. Umi pura-pura nggak mendengar, ditinggalkannya Richie, menuju warung tempat kakaknya biasa belanja.


Bukan Urusan Kita

"Bi, empat hari yang lalu, Mbak bilang ke Umi, kalau boleh mau minta gaji dua bulan sekaligus, untuk nebus seragam dan buku di sekolah anaknya," kataku pada Abi.

"Terus, apa jawab Umi?" tanya Abi.

"Umi bilang, kalau hari itu nggak bisa, karena nggak pegang uang sebanyak itu. Umi nggak janji, tapi kalau memang ada, ya insyaallah akan membantu."

"Nanti seperti kata orang-orang, katanya untuk ini malah untuk yang lain."

"Umi nggak tahu sih, tapi gimana kalau dia benar-benar butuh? Kalau kita, insyaallah banyak jalan, karena relasi banyak, sedang dia?"

Mbak yang membantuku menyetrika pakaian memang tetangga sekomplek, sehingga berita tentangnya sering sampai ke kami. Tapi menurutku, apa yang sering jadi pembicaraan tetangga karena kondisinya, baik itu kondisi ekonomi maupun latar belakang pendidikannya, sehingga berpengaruh pada bagaimana cara mengelola kehidupannya.

Kulihat Abi masih ragu memberikan keputusan.

"Andainyapun benar apa rumor itu, bukankah itu tidak perlu dikaitkan dengan masalah ini? Itu urusannya, dan lagi dia mengambil haknya kok, hanya diambil dulu sebelum menunaikan kewajibannya. Ini peluang kita meringankan bebannya," jelasku, meyakinkannya.

"Sekarang, uangnya sudah ada?" tanya Abi.

"Alhamdulillah, Umi kumpulkan dapat 70%nya, lumayanlah. Semoga dia dapat tambahannya dari jalan lain.

Abi angkat bahu, aku tersenyum, itu gayanya memberikan restu.

***

"Maaf ya, Mbak. Umi nggak bisa bantu sepenuhnya, ini hasil kumpulan empat hari, untuk Mbak semua," kataku, saat dia berpamitan, setelah menyetrika.

"Terima kasih banyak, Umi. Alhamdulillah, nggak apa-apa, ini juga sangat membantu," katanya dengan wajah haru dan bahagia.

"Semoga ada rizki lain untuk menutup kekurangannya."

"Amin."

Kenikmatan yang Terenggut

"Husna, tolong kalau makan yang seperti itu jangan dekat Umi, ya," tegurku pada gadis kecil yang duduk manis di sebelah.

"Kenapa, Mi?" tanyanya, heran, menghentikan kunyahannya.

"Di telinga rasanya gimanaaa, gitu," jawabku.

Tanpa komentar Husna beranjak ke depan TV sambil membawa toples berisi kacang polong yang sedang dinikmatinya.

Astaghfirullah, semoga dia tidak sakit hati. Aku langsung ingat kejadian empat puluhan tahun lalu, persis!

Saat itu Bapak sedang duduk membaca, aku menghampiri dan segera duduk di sebelahnya, sambil mengintip majalah berbahasa jawa yang sedang dibacanya. Mulutku tak henti mengunyah marning, cemilan yang dibuat dari jagung kering dan digoreng. Kulihat semakin lama Bapak semakin gelisah, sampai akhrirnya keluar pernyataan persis yang kukatakan pada Husna. Dan yang kulakukan saat itu juga seperti yang Husna lakukan, menyingkir dan mencari kegiatan lain dengan tetap menikmati cemilan itu.

Untuk mengingatkan kepada hal besar, Allah sering menggunakan hal remeh.

Kadang untuk mengingatkan keberartian seseorang, kita butuh waktu lama untuk sampai pada posisi yang bersangkutan. Ada sebagian orang baru menyadari kebenaran nasihat orang tuanya saat dia menjadi orang tua dan mengalami apa yang dialami orang tuanya dulu.

Untuk merasakan perjuangan dan menyadari pengorbanan ibu, seorang wanita butuh merasakan bagaimana beratnya hamil, sulitnya melahirkan, lelahnya menyusui dan merawat bayi.

Mengapa harus mengalami sendiri, sedangkan dengan memikirkan dan merenungkan kita segera bisa memahami?

Diinfakkan

"Insyaallah, mulai hari ini hape android bukan milik aku lagi, sudah diinfakkan untuk Rumah Tahfidz, bisa dipake Umi untuk BBM-an, Wasapan, blogging, dll. Mohon doa untuk kelancaran rizki penggantinya. Untuk sampai di Lampung, hanya masalah teknis," sebuah pesan dari Hilmy telah dikirim tiga puluh menit lalu. Umi baru saja on line, setelah bangun dari tidur siang yang tak biasa. Kondisi badan yang kurang sehat, membuatnya banyak di tempat tidur.

"Amiin, subhanallah, sudahkah saatnya?" balas Umi, penuh haru. Hape itu tentu sangat dibutuhkannya sebagai seorang karyawan magang dan mahasiswa. Memang sih, masih ada hape lain, tapi tak secanggih android.

"Iya, sudah saatnya. Kebutuhan di sana lebih mendesak daripada aku yang pakai. Kan Umi bisa setiap saat nelpon Hatif," balasnya.

"Ya terserahlah! Sebenarnya yang Umi rasa paling mendesak itu, kamera. Setelah punya kita rusak, Abi dapat pinjeman kamera, sudah seminggu mendokumentasi banyak kegiatan Rumah Tahfidz, tapi nggak bisa dipindahin ke note book Umi. Jadi deh, tertunda. Padahal Umi pengen selalu mengiringi langkah Rumah Tahfidz dengan blogging," balas Umi.

Umi tidak bisa menolak niat baik Hilmy, yang kadang-kadang punya pertimbangan berbeda, sebagai anak muda yang langkah dan pandangannya lumayan luas. Mungkin dia greget membayangkan, bagaimana kalau Umi punya tablet atau android, sedang hanya dari kamar dengan sebuah note book plus modem saja, lumayan produktif dengan tulisan-tulisannya.

Kemarin Rumah Tahfidz hampir mendapatkan infak sebuah mobil melalui Hilmy, tapi setelah ditimbang-timbang, untuk sementara belum bisa menerimanya.
Mengingat unit-unit yang tersebar, kendaraan itu memang sangat dibutuhkan, apalagi kalau perkembangan ke depan lebih baik, dalam artian, peminat yang akan membentuk unit terus bertambah. Sementara ini hanya mengandalkan motor tua Abi, Alhamdulillah, walau tua masih bisa diandalkan.

#Seri Rumah Tahfidz >12<

Saturday, August 30, 2014

Romantis atau Terlaluuuuh

"Subhanallah, sukses Bi," komentarku saat Abi menyodorkan sepiring rengginang yang baru saja digorengnya. Besar-besar, putih dan rasanya, hmmmm.

"Nggorengnya sesuai petunjuk yang ngasih, pake minyak yang banyak sampai rengginang kelelep," katanya bangga.

Rengginang itu oleh-oleh dari kampung saat lebaran lalu, artinya hampir sebulan belum aku masak. Ini salah satu kebiasaan buruk. Terkadanng sampai berbulan-bulan makanan jenis kerupuk, emping tersimpan rapi. Pernah juga, karena penyimpanan yang kurang baik, akhirnya dibuang, karena sudah tumbuh jamur. Memang Umi terlaluuh kalau urusan yang seperti ini.

Bagaimana dengan Abi? Mau-maunya nggoreng sendiri?

Abi hobi makan yang begituan, bahkan hampir setiap mau makan menanyakan kerupuk. Tapi sendirian, kalau yang lain hanya sekali-sekali saja merasa butuh dengan kerupuk.

"Neeh!"

Aha ha, Abi datang lagi dengan membawa nampan kecil berisi nasi goreng lombok ijo. Hmm, aromanya. Pagi ini badanku terasa kurang sehat, mumpung hari Minggu, setelah sholat subuh,  kembali ke tempat tidur. Anak-anak jalan pagi dengan teman-temannya. Kami menikmati nasi goreng lengkap dengan bakso, telur dan sedikit sayuran buatan Abi.

Sebagian mungkin menganggap Umi terlaluuuh! Tapi bisa saja ada yang menilainya Abi romantis, cie cie.

Itu terjadi sekali-kali, saat Abi longgar dan jenuh dengan aktivitas rutinnya. Kalau sedang tidak longgar, ya memilih membeli sayur dan lauk matang di rumah makan. Fleksibel aja deh!

Friday, August 29, 2014

Kok Gratis

"Kok gratis sih?" komentar Hilmy, tanda kurang setuju dengan proposal yang sedang dipelajarinya. Proposal sederhana yang dibuat Abi.

Umi mengerling pada Abi, minta penjelasan. Sebenarnya sudah dibahas masalah itu, tapi Hilmy belum mendengar penjelasan langsung dari Abi. 

"Abi ingin memuliakan penghafal Al Qur'an. Penghafal sebagai pembimbing maupun penghafal sebagai santri. Banyak cara memuliakan mereka, salah satunya mengurangi beban mereka dalam urusan biaya," jelas Abi.

"Tapi nggak realistis deh, Bi. Pondok tahfidz lain berlomba-lomba menaikkan biaya, lha kita, yang baru mulai malah menggratiskan."

"Justru itu yang mendasari niatan Abi. Ketika kesadaran orang tua untuk mengarahkan anak-anaknya dekat dengan Al Qur'an, menghafal Al Qur'an, sebagian mereka terkendala masalah biaya. Belum lagi dengan masalah sistem, bagaimana tidak semua anak dan orang tua sanggup hidup terpisah, ketika anaknya mondok."

"Iya sih, tapi kan segala sesuatu harus terencana dengan rapi, jelas dari mana sumber dananya," sanggah Hilmy, dengan suara ditahan.

"Seperti itu maksud Umi kemarin, Bi. Jangan sampai kita berjalan sambil meraba-raba," sela Umi, merasa mendapat dukungan.

"Lah, sumber dana kan sudah jelas, Allah Yang Maha Memberi Rizki," dengan semangat Abi menjawab, berusaha meyakinkan Hilmy dan Umi.

"Nggak ada keraguan tentang itu. Tapi rizki dari Allah sampai ke kita itu kan ada jalannya, bukan tiba-tiba gedebuk jatuh dari langit," sanggah Umi.

"Jangan sampai masalah dana menjadi kendala di awal perjalanan. Baru jalan, biaya kurang, padahal kita sudah merekrut para pengajar dan santri," Umi mengulang pernyataannya beberapa hari lalu.

"Dan lagi, apa salahnya orang tua membiayai untuk itu? Untuk belajar yang lain, mereka berani bayar mahal, masa untuk Al Qur'an malah nggak bayar?" tambah Hilmy.

"Sambil jalan kita pelajari, di awal kita gratiskan biaya belajar, maksudnya tidak ada biaya dari santri untuk honor pengajar. Semua begitu, baik orang tuanya kaya atau miskin. Kalau dari orang tua ingin ikut berpartisipasi, ya kita masukkan ke dalam daftar donatur."

"Kita nggak boleh dong mengandalkan donatur, kita harus punya kekuatan sendiri, kalau ternyata suatu saat donaturnya macet. Sedang kita? Belum berlebih, kalau tidak bisa dikatakan untuk memenuhi biaya pendidikan adik-adik aja sering nunggak," Hilmy coba mempertahankan pendapatnya.

"Kalau nunggu cukup baru berbuat, kapan cukupnya? Terus kapan berbuatnya? Setelah Abi evaluasi, lebih dari 20 tahun berumah tangga, dengan berbagai jenis usaha dicoba. Kerja keras nggak kurang-kurang, ternyata? Allah memberi secukupnya. Mungkin ada kekurangan di sana-sini dalam hal usaha, tapi semua nggak lepas dari kehendakNya. Sepertinya kita bukan orang yang pantas diberi kelebihan harta. Karenanya, Abi tetap ingin berbuat dengan sesuatu yang lain, yaitu dengan memfasilitasi," jelas Abi dengan suara datar. Hilmy diam, mencoba memahami jalan pikiran Abi, yang berbeda dengan teori-teori bisnis plan yang selama ini dipelajarinya.

"Umi paham jalan pikiran Abi, tapi nggak semua orang bisa mengerti. Bagaimana kalau banyaknya santri tidak sejalan dengan dana yang masuk? Sedang orang tua tahunya, mereka menitipkan anaknya secara gratis?" kata Umi, ragu.

"Kita harus bangun komunikasi efektif dengan orang tua. Menjadikan anak penghafal Al Qur'an bukan tanggung jawab sepenuhnya Rumah Tahfidz, tapi tanggung jawab orang tua juga. Dan tidak setiap yang mendaftar langsung diterima, ada kriteria dan perjanjiannya. Orang tua kita ajak bersama-sama mencari donatur, sebagai partisipasinya dalam program ini," jelas Abi.

"Kalau begitu, beri keterangan, syarat dan ketentuan berlaku, supaya tidak ada salah persepsi tentang gratis ini. Takutnya ada yang menyangka, ini hanya pilihan bahasa promo," jelas Umi.

"Untuk urusan ini, tolong ikuti pendapat Abi. Sekuat tenaga Abi akan berusaha, kalau nggak bisa bantu mencari dana, bantulah urusan yang lain. Untuk ke depan, ini menjadi urusan Hilmy dan adik-adik, sekarang ini Umi dan Abi membukakan jalan," tegas Abi.

Sekilas Umi melihat Hilmy belum sepenuhnya bisa menerima, tapi bagaimanapun kondisi ini tidak bisa dibiarkan berlama-lama. Mereka sudah sepakat dengan proyek ini, hanya urusan teknisnya yang masih perlu dikancah lebih dalam.

"Sudahlah Hilmy, kita ikuti dulu maunya Abi. Mungkin keyakinan kita yang perlu ditingkatkan," saran Umi.

Hilmy angkat bahu, tapi dia berusaha menerima saran Umi. Bahkan kenyataan selanjutnya, dia begitu bersemangat mengerjakan tugas-tugas yang dia bisa lakukan, untuk menghemat biaya. Urusan membuat logo, spanduk, kartu nama, brosur, semua disanggupinya.

#Seri Rumah Tahfidz >11<

Thursday, August 28, 2014

Umi Pamer

Terlihat Richie memasuki halaman rumah Umi dengan wajah cemberut.

"Kalau mau ketemu Umi, coba wajahnya diganti dulu, Nggak enak banget liatnya," tegur Umi setelah menjawab salam Richie.

"Umi juga yang buat wajah Richie begini."

"Kok bisa?" alis Umi naik, gagal paham.

"Umi malu-maluiin Richie."

"Masalah apa? Ngomong yang jelas ngapa?" halah, Umi ketularan aura cemberutnya Richie.

"Tadi Bang Kho Zin bilang, Umi pamer!"

"Pamer apaan, sih?"

"Umi kemarin up load buku-buku antologi kan?"

"Healaaaah! Perhatian banget Bang Kho Zin sama Umi, ya?"

"Mulaiiii, kege erannya kumat," Richie sewot.

"Ha ha ha, nggak usah sewot ah! Tambah jelek! Apa namanya kalau bukan perhatian?"

"Ya Uminya siiih, ngapa juga di up load? Simpen aja sendiri kenapa?"

"Memang Richie nggak ngiri kalau ada temen kita dah punya buku atau menang event menulis? Nggak pengen seperti mereka?"

Richie tercenung mendapat pertanyaan Umi, seakan menohok jantungnya.

"Iya, Mi. Ngiri pake banget, jadi greget untuk bisa seperti itu, kalau bisa melebihi."

"Nah! Itu tujuan Umi. Membuat iri dan berefek memotivasi," kata Umi sambil menjentikkan jari, padahal ha ha ha nggak bunyi.

"Tapi kok tadi Richie merasa, kesannya nggak enak ya, waktu Bang Kho ngomongin Umi?"

"Coba cek suara hati Richie, setuju nggak dengan penilaian Bang Kho?"

Richie kembali merenung, mencari apa yang menyebabkan ganjalan di hatinya.

"Iya sih, dari awal mendengar penilaian Bang Kho, Richie merasa nggak setuju. Richie kan tau banget sama Umi," aha ha, Richie sudah bisa tersenyum, manis lagi.

Lomba Dan Menang

"Siapa yang menang?"

"Kok dia sih, di mana bagusnya?"

"Halah! Jurinya asal-asalan!"

"Wajar dia menang, sohibnya."

Itu pernyataan-pernyataan yang sering kita dengar di arena pengumuman lomba.

Setiap lomba, biasanya ada pemenangnya, walaupun ada juga satu-dua lomba yang tidak memunculkan juara satu atau dua dengan alasan tidak memenuhi kriteria yang ditentukan penyelenggara lomba.

Beberapa waktu lalu, seorang teman memintaku menjadi juri lomba untuk penulisan opini. Awalnya aku tertawa, karena mengukur diri, tapi alasannya bisa kuterima. Untunglah bukan jadi juri tunggal, jadi beban moralnya bisa dipikul bersama.

Pilihan jatuh padaku, bukan karena sudah ahli, tapi semata-mata karena aku termasuk yang sering posting tulisan sejenis itu, dan menurutnya bagus he he, ge er.com. Dan alasan utama, karena ada senior yang sebenarnya sangat layak untuk itu, tapi khawatir merepotkan, mengingat kesibukannya.

Sebagai juri, sekecil apapun event, harus berusaha untuk adil. Itu prinsip! Maka dalam menentukan kriteria penilaian pun, tidak asal-asalan, termasuk penghitungan bobot penilaian untuk setiap kriteria.

Bagaimana pun, sebagai juri, juga harus menyiapkan mental untuk menghadapi ketidak puasan peserta, yang diungkapkan terus terang atau dalam bentuk sikap yang berbeda. Hal itu sangat wajar, mengingat ini jenis lomba yang rawan subyektifitas. Mau diupayakan seobyektif apapun, tetap akan sulit, karena penilaiannya bukan benar atau salah, tapi sangat bagus, bagus, kurang bagus atau jelek. Walaupun sudah diusahakan untuk mengkuantitaskannya dalam bentuk angka, tetap saja penentuan bagus dan tidak, ini menyangkut rasa dan selera yang bersifat subyektif.

Aku suka berseloroh, menjadi juri by feeling. Menjadi juri dengan memposisikan diri sebagai pembaca, mengingat keilmuanku tentang kepenulisan masih sangat-sangat sedikit. Selama ini aku menulis lebih fokus pada pesan yang ingin kusampaikan, walaupun masalah teknik penyampaian dengan kualitas tulisan yang bagus terus kulakukan. Sebuah keyakinan, dengan semakin banyak menulis, maka ketrampilan itu akan terasah dengan sendirinya. Mengingat kondisi, maka gaya belajar pun kusesuaikan. Wajar kalau kemajuan dalam ketrampilan menulis tidak secepat yang diharapkan.

Setelah lomba, aku membuat tulisan dengan tema sejenis. Bukan untuk menunjukkan pada peserta tulisan seperti apa yang benar atau bagus, tapi semata ingin merasakan apa yang sudah dilakukan peserta. Juga menguji orisinalitas ide, karena sering terjadi, dalam penulisan opini, bukan pendapat penilis yang disampaikan, tapi lebih banyak menyampaikan kembali ide dari referensi yang diambilnya. Selain itu juga menunjukkan bahwa tidak setiap kita menyatakan karya seseorang itu kurang bagus, otomatis kita bisa membuatnya yang lebih bagus. Menilai adalah menikmati, membuat adalah berkarya, dua kemampuan yang berbeda.

Belum lagi kalau kita melihatnya dari sudut sponsor. Seseorang menjadi sponsor, karena punya tujuan. Lomba ini diadakan karena sponsor ingin berbagi kabahagiaan sekaligus mengajak teman-teman yang mempunyai hobi menulis untuk mengasah ketrampilannya. Siapapun yang menang, tidak ada yang dirugikan.

Sebagai orang yang mempunyai hobi yang sama, selama ini aku senang mengikuti event-event menulis, itupun kalau aku sempat. Semua jenis tulisan yang dilombakan ingin aku coba, untuk menjajagi diri, di jenis tulisan seperti apa aku lebih potensial. Mengharap menang, itu pasti. Tapi andainyapun kalah, ya nggak masalah, setidaknya dari situ kemampuan diri terukur, walaupun ukurannya tergantung juri.


Memilih Obat Atau Pengobatan

Adakah manusia yang tak pernah sakit selama hidupnya? Bahkan seorang manusia yang dimuliakan Allah, Rasulullah Muhammad saw. juga pernah sakit.

Sakit merupakan bagian dari kehidupan yang tak diinginkan sebagian besar manusia. Andai mungkin, ingin rasanya seumur hidup tidak pernah mengalami yang disebut sakit. Sebuah kewajaran bila sakit berhubungan dengan obat dan pengobatan, sebagai upaya menghilangkan keluhannya. Sangat jarang ada manusia yang tertimpa sakit tanpa melakukan upaya untuk segera menghilangkan gejala yang dirasakan sangat tidak nyaman dan mengganggu.

Begitu banyak obat dan pengobatan yang ditawarkan untuk mengatasi sakit. Mana yang dipilih, sangat tergantung pada keyakinan dan pemahaman si sakit.

Memilih obat atau pengobatan tujuannya adalah untuk memperoleh kesembuhan. Pemahaman tentang konsep kesembuhan ini sangat berpengaruh pada pilihan obat dan pengobatan ketika sakit.

Bila seseorang punya keyakinan bahwa obat tertentu yang menyebabkan suatu penyakit sembuh, biasanya itu akan menumbuhkan sugesti pada dirinya, kalau bukan dengan obat itu maka tidak akan sembuh. Bahkan ada yang sampai tahap fanatisme.

Berbeda halnya ketika seseorang paham dan meyakini:

"Dan apabila aku sakit, Dialah yang menyembuhkan," QS Asy-Syu'ara ayat 80.

Tak akan ada fanatisme untuk menggunakan obat atau pengobatan tertentu, karena dia meyakini bahwa obat dan pengobatan hanyalah sarana untuk mencapai kesembuhan yang diberikan Alah.

Obat adalah bahan yang digunakan untuk mengurangi, menghilangkan penyakit, sedang pengobatan merupakan proses, cara mengobati. (KBBI On line)

Apakah pengobatan selamanya menggunakan obat? Secara logika memang seperti itu, tapi pada kenyataannya, tidak semua cara untuk mengurangi dan menghilangkan penyakit selalu menggunakan obat. Ada cara tertentu yang bisa menjadi lantaran mengurangi dan menghilangkan penyakit, misalnya dengan memijat, akupunktur, bekam atau dengan olah fikiran dan konsentrasi.

Pemahaman dan keyakinan ini yang mendasari, mengapa seseorang memilih obat dan pengobatan tertentu.

Ketika seseorang memahami bahwa kandungan zat obat inti suatu obat paten sama dengan obat generik tertentu, maka dia akan memilih obat generik, apalagi jika kondisi keuangannya sedikit. Berbeda dengan yang mampu, mungkin dia akan memilih obat paten untuk kenyamanan saat meminumnya, karena biasanya obat paten memiliki tampilan yang berbeda. Atau, memang dia punya pengalaman sebelumnya, yang membuatnya memutuskan untuk menggunakan obat paten.

Ada juga orang yang memilih menggunakan obat herbal, dengan alasan lebih alami dan menghindari efek samping obat kimia sintetis, yang informasinya sudah sampai ke masyarakat luas. Terutama untuk pengobatan jangka panjang.

Sedang orang tertentu memilih pengobatan tanpa obat, semata-mata karena tidak suka minum obat, atau karena dia sudah membuktikan khasiat dari metode tersebut.

Menentukan obat dan pengobatan yang digunakan adalah hak dari sisakit dan keluarganya. Yang menjadi kewajiban produsen obat dan pelaku pengobatan adalah memberikan informasi yang sebenarnya tentang khasiat dan efek samping dari obat dan pengobatannya. Sayangnya, kepentingan bisnis kadang membuat informasi yang diberikan tidak lengkap dan tendensius.

Wednesday, August 27, 2014

Nenek Qodirun dan Mbah Mun

"Sayang, cucu Nenek nggak ada yang tinggal di sini, padahal pengen banget ada cucu yang ikut menghafal Al Qur'an di Rumah Tahfidz," kata nenek Qodirun saat kami bersilaturahim ke rumahnya, sebelum lebaran kemarin.

"Mudah-mudahan mereka di sana juga rajin mengaji dan menghafal Al Qur'an," hibur Abi.

"Tapi Nenek bolehkan ikut nyumbang di Rumah Tahfidz, walaupun tidak banyak? Nenek niatkan, akan sisihkan rizki untuk mengisi infaq, tapi Abi tolong mampir ke sini tiap bulan ya?"

"Insya Allah. Seberapa pun Nenek sedekah untuk Rumah Tahfidz, insya Allah itu amal sholeh yang pasti akan mendapat imbalan dari Allah, dan itu bagian Nenek dalam upaya memperbanyak penghafal Al Qur'an."

Saat kami berpamitan, Nenek Qodirun menitipkan uang seratus ribu rupiah untuk Rumah Tahfidz.

***

"Mbah ambil pensiunnya dua bulan sekali. Mbah akan sisihkan untuk Rumah Tahfidz, walaupun nggak banyak. Kalau pas lewat sini, mampir ya," kata Mbah Mun, nenek usia 86 tahun itu.

Saat berjumpa dengan orang tua, baik itu orang tua sendiri, saudara maupun orang tua dari teman-teman, kami selalu minta doakan untuk rencana-rencana kebaikan yang akan kami lakukan. Tak ada kejadian tanpa izin Allah, itu sebabnya kami berusaha memperbanyak doa dengan mengajak orang lain. Apa yang kami lakukan tidak hanya mendapatkan doa, tapi juga nasehat dan dukungan dengan berbagai bentuknya.

Para orang tua itu mendukung rencana-rencana kami, karena merasa terwakili. Mereka belum sempat atau belum mampu melakukannya. Kami yakin, ide-ide kami tentang kebaikan, juga merupakan milik mereka-mereka juga, hanya saja tidak semua dipilih Allah untuk merealisasikannya.

Kami yang diberi kesempatan untuk itu, tentu ingin berbagi bahagia dengan mengajak mereka untuk ikut andil di dalamnya, sebagai dan seberapa pun yang mereka mampu berikan. Sama halnya ketika kami diajak untuk mendukung rencana-rencana kebaikan orang lain, tentu sangat bahagia diberi kesempatan.

Hidup ini tak selamanya memikirkan dan memenuhi kebutuhan sendiri. Sunatullahnya manusia, senang bila bisa melakukan kebaikan untuk orang banyak, untuk kemajuan agamanya.

Fastabiqul khairot, berlomba dalam kebaikan, berbeda dengan persaingan bisnis dunia. Kalau kita bisa menang bersama-sama, mengapa mesti menang sendiri?

Bila kekuatan kita kecil, tentunya kurang berarti untuk sebuah kemenangan. Berbeda jika, kekuatan-kekuatan kecil dari banyak orang disinergikan untuk sebuah tujuan, maka dia akan menjadi energi dahsyat untuk menggapai kemenangan bersama.

#Seri Rumah Tahfidz MHA >10<

Tuesday, August 26, 2014

Antusiasme


"Umi, mana konsepnya, aku buatin brosur Rumah Tahfidz," pesan Hilmy, sang peletak batu pertama, di inbox facebook.

"Sepertinya nggak usah dulu deh," balasku.

"Kenapa, Mi? Aku bisa kok nyempetin di luar waktu kerja dan kuliah."

"Umi khawatir kewalahan!"

"Kok kewalahan? Memang sudah sejauh mana perkembangannya?"

"Antusiasme masyarakat luar biasa. Hanya sosialisasi di beberapa tempat tanpa brosur, belum sebulan setelah lebaran ini, sudah ada tujuh unit Rumah Tahfidz. Itu juga sudah ada beberapa tambahan calon tempat yang diajukan oleh pemiliknya untuk dijadikan unit baru."

"Sudah jalan semua?"

"Unit 1, 5, 6, 7 Alhamdulillah sudah mulai belajar. Unit 2 sedang menerima pendaftaran, rekap terakhir ada 120 orang terdaftar. Unit 3 dan 4 tempatnya sedang direhab."

"Subhanallah."

Memang luar biasa sambutan masyarakat atas apa yang sedang kami lakukan. Alhamdulillah, semua atas izin Allah. Tapi kami menyadari sepenuhnya, kami pun harus menyiapkan mental untuk menghadapi segala hal yang mungkin akan terjadi. Bukan hal mudah tentunya, untuk merealisasikan mimpi ini. Kami tidak akan bisa melakukannya sendiri. Kami yakin, Allah akan memberikan kemudahan-kemudahan ketika kita berjuang meninggikan kalimat-Nya, tapi sunatullahnya, sebuah kesuksesan akan diberikan bila disertai kegigihan dalam doa dan usaha. Kami yakin, mimpi ini akan terwujud, bila disinergikan dengan kekuatan banyak orang yang mempunyai mimpi sejenis. Dan kami akan menyambut gembira orang-orang yang bergabung dengan kekuatan masing-masing untuk bersinergi berjuang memperbanyak para penghafal dan penjaga Al Qur'an.

#Seri Rumah Tahfidz MHA >9<

Ibu Bekerja Itu Pilihan

Fenomena kenakalan anak dan remaja yang sudah masuk ke golongan tindak kriminal, semakin marak akhir-akhir ini. Baik itu yang diberitakan di media, maupun yang terjadi di lingkungan sekitar kita.
Membully, memeras, pelecehan seksual, tawuran, itu di antaranya. Wajar kalau hal tersebut membuat masyarakat, terutama para pendidik berusaha mencari akar masalah penyebabnya.

Beberapa opini dilontarkan, antara lain, kurangnya porsi pendikan agama dan budi pekerti, kesenjangan sosial, kemajuan teknologi, dan lain-lainnya. Dari sekian opini itu ada yang berpendapat bahwa, hal itu terjadi disebabkan, banyaknya ibu-ibu bekerja membangun karir di luar rumah, sehingga tanggung jawab pengasuhan dan pengawasan anak terabaikan.

Sebagian masyarakat menolak pendapat tersebut, sedang sebagian lagi membenarkan dan merasa bersalah telah meninggalkan anak-anak di rumah di bawah pengasuhan pihak lain.

Apakah rasa bersalah itu kemudian menyebabkan para ibu itu memutuskan untuk meninggalkan karirnya dan kembali menghendel urusan rumah dan pengasuhan anak-anaknya?

Sebagian, ya! Tapi sebagian merasakan dilema untuk menentukan pilihan, tetap bekerja atau kembali ke rumah?

Tentu sangat tidak nyaman ketika berada dalam situasi dilema, sedangkan ketidaknyaman sangat berpengaruh pada tingkat produktivitas.

Sebagai manusia kita diberi kebebasan untuk memilih, tentu dengan segala konskuensinya.

Ada apa dengan wanita/ ibu bekerja? Salahkan? Mengapa dipojokkan seolah berada dalam posisi dilema?

"Dan katakanlah,'Bekerjalah kamu, maka Allah akan melihat pekerjaanmu, begitu juga rasul-Nya dan orang-orang mukmin, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui yang gaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu, apa yang telah kamu kerjakan.'" QS At Taubah : 105

Halo para wanita! Baca ayat di atas! Allah perintahkan kita bekerja! Ayat itu tidak khusus untuk laki-laki, artinya untuk wanita juga kan?

Sudah jelas kan? Tidak ada larangan wanita untuk bekerja!
Jadi, kalau mau memilih bekerja, jangan ragu, boleh kok!

Setiap pilihan satu paket dengan konskuensinya!

Ini menyangkut masalah pilihan pekerjaan! Kita diperintahkan bekerja agar ada catatan, apa yang telah kita kerjakan di dunia, karena Allah menciptakan kita tidak dengan sia-sia. Ada misi kehidupan yang kita emban, yang nantinya akan dimintai pertanggung-jawabannya.

Setiap manusia diciptakan dengan tugasnya masing-masing. Sebagai laki-laki, ada tugas yang harus ditunaikannya, pun sebagai wanita.
Ada kalanya tugas laki-laki hanya bisa diemban olehnya, seperti keqowaman/ kepemimpinan dalam keluarga. Selama seorang suami ada, maka dia lah qowam.
Sebagai wanita pun, ada tugas yang mutlak menjadi tanggung jawabnya, tidak akan bisa digantikan oleh laki-laki, sehebat apapun dia. Tugas itu adalah hamil, melahirkan dan menysui.
Untuk tugas kehidupan lain, maka lebih fleksibel. Bisa dibicarakan untuk saling melengkapi dan membantu.

Khusus untuk tugas menafkahi keluarga, secara hukum dia terkait dengan tugas keqowaman seorang suami, artinya wajib. Sedangkan bila istri berpenghasilan, maka bersifat sedekah, sebuah amal kebaikan.

Wanita bekerja bisa dipersepsikan dengan berbagai pemikiran, yang intinya suatu aktivitas yang menggunakan waktu. Jenisnyapun bisa beragam, tapi pada umumnya seorang wanita disebut bekerja bila menghasilkan atau berpendapatan.

Kalau patokannya berpendapatan, maka wanita bekerja dibedakan dari tempat kerjanya, dominan di dalam rumah atau di luar rumah.

Ketika terjadi ketidak beresan di rumah, maka wanita yang bekerja di luar rumah paling cepat mendapat tudingan sebagai kambing hitam. Alasannya apalagi kalau bukan waktunya lebih banyak di luar rumah? Tetapi apakah ada jaminan ibu yang bekerja di rumah, bahkan ibu rumah tangga asli yang tidak bekerja mampu mengatasi urusan rumah dan tidak akan ada masalah di rumahnya?

Jadi, tidak perlu ibu memposisikan diri di titik dilema. Ambil keputusan dan optimalkan potensi untuk "bekerja" sebaik-baiknya. Jangan lupa, pandai-pandai dalam menimbang prioritas, selalu dahulukan apa kata Allah dalam setiap mengambil keputusan.

Kadang Sok Tahu

Bisa dibayangkan, berapa besar dosa-dosa kita jika setiap niat buruk dicatat sebagai sebuah kemaksiatan? Sedangkan otak tak pernah sedetikpun berhenti beraktivitas, selama kehidupan itu masih mengalir dalam sel-sel tubuh kita.?

Niat, yang berasal dari bersitan di hati kemudian kita tambah dengan kesungguhan untuk merealisasikannya, sebenarnya merupakan hasil kerja otak yang tidak pernah berhenti, bahkan saat tidur sekalipun. Itu sebabnya ada fenomena mimpi dan de javu.

Sebagai manusia, kita tidak sepenuhnya tahu, mengapa suatu saat terbersit suatu hal, di lain waktu terbersit hal lainnya.

Saat telinga mendengar suara atau informasi tertentu, wajar kalau kemudian otak berfikir tentang sesuatu yang terkait dengan informasi yang di dengar tadi.
Beberapa orang mendengar hal yang sama, maka reaksi otaknya bisa dipastikan berbeda-beda, walau tidak seluruhnya, terkait dengan data yang sudah ada di memori dan paradigma berfikirnya.

Demikian halnya jika mata kita memandang sesuatu, maka langsung saja informasi itu akan sampai di otak dan diolah, kemudian menimbulkan sebuah reaksi bersitan hati, bisa itu duga, vonis atau ingin.

Kembali lagi, andai segala bersitan hati, termasuk di dalamnya niat buruk langsung dicatat sebagai sebuah kemaksiatan, alangkah banyaknya dosa-dosa kita?

Untunglah hal itu tidak terjadi, karena Allah Maha Penyayang dan Pemurah. Dia mencatat niat baik sebagai sebuah catatan kebaikan yang berimbalan pahala, sedang untuk niat buruk, ditahannya pena untuk mencatat sebagai sebuah kemaksiatan, sampai benar-benar niat itu terbukti nyata sebagai sebuah amalan.

Dari Ibnu 'Abbas ra, Rasulullah saw bersabda,"Sesungguhnya Allah menulis kebaikan-kebaikan dan kesalahan-kesalahan kemudiannya menjelaskannya. Barang siapa berniat melakukan kebaikan namun dia tidak (jadi) melakukannya, Allah tetap menuliskannya sebagai satu kebaikan sempurna di sisi-Nya. Jika ia berniat berbuat kebaikan kemudian mengerjakannya, maka Allah akan menulisnya di sisi-Nya sebagai sepuluh kebaikan hingga tujuh ratus kali lipat sampai kelipatan yang banyak. Barangsiapa berniat berbuat buruk namun dia tidak jadi melakukannya, maka Allah menulisnya di sisi-Nya sebagai satu kebaikan yang sempurna. Dan barang siapa berniat berbuat kesalahan kemudian mengerjakannya, maka Allah menuliskannya sebagai satu kesalahan." (HR Bukhari dan Muslim).

Niat sangat menentukan nilai suatu amal. Bisa jadi beberapa orang melakukan sebuah aktivitas yang sama, tapi nilainya di hadapan Allah berbeda, karena masing-masing memiliki niat yang berbeda.

Sayangnya, kita kadang sok tahu tentang bersitan hati orang lain, tentang niat orang lain. Begitu mudahnya kita memvonis orang lain tidak ikhlas, menuduh punya niat tertentu, seakan-akan bisa membaca hati orang lain, padahal...untuk mengerti berbolak-baliknya hati sendiri pun sering gagal!

Apakah kita tidak boleh berprasangka pada orang lain sama sekali?

"Hai orang-orang yang beriman! Jauhilah kebanyakan dari  prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa, dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah ada di antara kamu yang menggunjing sebagian yang lain..." QS Al Hujurat ayat 12.

Menurut Ats-Tsa'labi (seorang mufasir/ ahli tafsir), maksud firman Allah di atas adalah : janganlah kalian mempunyai dugaan buruk terhadap orang yang baik, jika kalian tahu bahwa pada dzahirnya mereka itu baik.

Prasangka yang dilarang adalah prasangka yang tidak memiliki tanda dan sebab yang pasti. Maksudnya, bila orang yang kita curigai itu pada dzahirnya baik, tidak ada informasi sebelumnya tentang keburukan yang pernah dia lakukan, maupun tabiatnya yang memang tercela, serta orang tesebut adalah orang yang "baik", maka kita tidak boleh berprasangka buruk kepadanya.
Berbeda bila orang tersebut memang terkenal akan keburukannya, suka menipu, suka berbuat onar, mencari masalah, yang pada intinya orang tersebut terkenal karena tabiat buruknya, suka berbuat keburukan secara terang-terangan, maka diperbolehkan kita berhati-hati dan tidak mudah/ langsung percaya pada apa yang dikatakannya.

Sekalipun boleh berprasangka pada orang-orang tertentu, tetap saja kita harus menyiapkan satu sisi hati untuk kemungkinan dia berubah menjadi baik.

Apalagi kalau sudah menyangkut penyelesaian sengketa dan hukum, harus dihindari menuduh tanpa bukti, karena bisa berakibat fatal, pendzoliman pada orang yang tak bersalah!



Monday, August 25, 2014

Untuk Ibu Saya

"Umi, saya menyampaikan sedekah dari kakak, untuk Rumah Tahfidz."

Ibu muda itu mengambil bungkusan dari tasnya, dan menyerahkannya padaku. Setumpuk uang satusan ribu dan lima puluhan ribu, terbungkus plastik transparan. Di dalamnya ada secarik tulisan, lalu kubaca.

"Amal jariyah atas nama ibu saya, tujuh juta," jelasnya, membantuku membaca tulisan tangan itu.

Hampir tak percaya, tapi nyata, uang itu ada di tanganku. Sebelumnya memang dia sudah bilang, akan menyalurkan dana itu ke Rumah Tahfidz, tapi aku perkirakan satu atau dua juta, seperti yang pernah dia berikan.

Kutatap wajahnya, dia mengangguk, menghilangkan tanya dan keraguanku.

"Biasanya kalau amal jariyah, orang maunya dalam bentuk barang yang digunakan dalam jangka waktu lama, sehingga diharapkan mengalir pahala selama barang itu dimanfaatkan. kalau untuk hal seperti itu, kami belum bisa menerimanya. Saat ini Rumah Tahfidz belum mempunyai tempat untuk mendirikan bangunan. Semua unit yang ada hanya hak pakai, dana yang kita butuhkan lebih banyak untuk biaya operasional," jelasku.


Dia tersenyum, menggenggam tanganku,"Saya percaya, uang ini akan bermanfaat untuk Rumah Tahfidz, apapun statusnya, amal jariyah atau sedekah, biarlah Allah yang mencatatnya sebagai kebaikan untuk ibu, dari kami anak-anaknya. Saat beliau hidup, kami belum bisa berbuat untuk membahagiakannya, semoga niat kami ini diterima Allah."

"Allah mengatur jalan rizki dari arah yang tidak disangka-sangka, begitu indah," gumamku.

"Ya, Umi. Selama setahun, insomnia saya nggak kambuh, beberapa terakhir ini datang lagi dan sangat mengganggu, maka saya ke Umi lagi. Rupanya itu jalan yang sudah diatur Allah, kami mendapat kesempatan berbagi, Rumah Tahfidz mendapat rizki," dia mengambil hikmah dari kejadian ini.

Dia menganggapku sebagai kakak, setiap terapi, selalu sekalian konsultasi tentang kehidupannya. Seperti itu hubungan yang terbangun dengan pasien, terutama yang terapinya berulang. Sebagai terapis, aku sangat menikmati dan mensyukuri itu, semoga bisa menambah catatan amal baik.

"Tolong doakan kami dapat menunaikan amanah ini," pintaku, haru.

"Amiin," jawabnya sambil memelukku.

#Seri Rumah Thafidz MHA >8<

Saturday, August 23, 2014

Romantis Itu...

Romantis itu bukan yang berjanji ingin membahagiakanmu selamanya, sedang dia mengulur waktu untuk melamar dengan berbagai alasan.
Romantis itu saat dia dengan berani mengemukakan kekurangannya di hadapan ayahmu, tapi minta ridhonya untuk menyuntingmu dan bersama merajut sayang meraih bahagia.

Romantis itu bukanlah yang datang dengan penampilan mempesona, menghadiahimu sekotak coklat, tak lupa mengulurkan setangkai mawar bertabur ungkapan I love you, tapi tak juga memastikan kapan kan meminangmu.
Romantis itu ketika dia dengan khidmat mengucapkan ijab kabul dengan mahar sekedar seperangkat alat shalat, tak perlu mengulur waktu untuk sebuah resepsi megah.

Romatis itu tidak harus latah memanggil sayang, cinta, honey, darling, takutnya diapun dengan ringan lidah mengucapkan itu pada teman kantor, anak buah atau istri orang.
Romantis itu memanggil dengan santun dan lembut, penuh kesabaraan saat engkau sedang ngambek ingin diperhatikan.

Romantis itu bukan yang selalu memuji masakanmu agar engkau bergairah memenuhi selera makannya tanpa memperhatikan kesibukanmu yang lainnya.
Romantis itu ketika dia sekali-kali pulang membawakan bakso atau nasi bungkus saat dia tahu kau berbagi perhatian untuk urusan kebaikan pada orang lain.

Romantis itu bukan yang memanjakanmu dengan pakaian yang selalu up date, tapi tak jelas mana batasan boleh atau tidak.
Romantis itu ketika dia cemburu saat kau keluar rumah ada sedikit saja auratmu yang terlihat.

Romantis itu bukan dia yang asyik membaca koran pagi berteman kopi, sedang kau berjibaku dengan segala urusan dapur, rumah dan anak-anak.
Romantis itu saat dia memandikan dan mengajak bermain anak, ketika kau menyiapkan sarapan.

#Udah dulu ah


Visi Misi Keluarga

Saat membentuk sebuah organisasi, biasanya dirumuskan visi misi organisasi sebagai arahan perjalanannya.

Visi adalah pandangan atau wawasan ke depan. (KBBI online)

Misi adalah tugas yang dirasakan orang sebagai suatu kewajiban untuk melakukannya demi agama, ideologi, patriotisme, dsb.(KBBI online)

Untuk sebuah organisasi, visi misi harus ada, kenapa dengan keluarga kadang tidak ada?

Sering terjadi, sepasang kekasih memutuskan menikah dominan disebabkan rasa cinta dan ingin hidup bersama orang yang dikasihinya. Semata-mata ingin hidup bahagia. Padahal pada kenyataannya, kehidupan setelah menikah, tidak selamanya bertabur bunga dan bahagia.


Bersatunya dua insan yang beda latar belakang dan karakter, memaksa keduanya untuk pandai-pandai beradaptasi, kalau tak ingin mahligai yang baru dibangunnya hancur termakan masalah yang menyerbu.

Idealnya, sebuah keluarga dibentuk dengan visi misi yang jelas, akan dibawa ke mana dan model keluarga seperti apa yang akan diciptakannya.

Mengingat manusia diciptakan dengan sebuah tujuan oleh-Nya, yaitu untuk beribadah, untuk taat kepada-Nya, untuk menjadi hamba-Nya, maka selayaknya visi misi keluarga yang dirumuskan sesuai dengan aturan-aturan-Nya.

Setelah visi dirumuskan, apakah akan membentuk keluarga ilmuwan, keluarga pendukung dakwah, keluarga ulama, dsb, maka misipun perlu dirumuskan.

Misi di rumuskan, berarti pembagian tugas dan tanggung jawab juga ditentukan.

Jangan pernah anggap remeh urusan ini, agar tak terjadi seperti perahu kehilngan arah saat berjalan nanti.

Curhat Sang Hafidz

<p>"Aku di sini benar-benar menjaga hafalan Qur'an di dalam keseharian yang lebih padat dan disiplin. Seperti jadi tentara, Mi. Tapi ini katanya masih awal-awal banget...belum pertengahan nanti. Waktu ngulangku kapan coba, Mi??? Pagi sesudah subuh  sampai jam delapan kadang nggak tidur pagi...selain itu, nggak ada lagi waktu yang diberi hoca untuk ngulang...entah kenapa? Sudah banyak pelajaran, PR menumpuk, dll. Ya semoga doa Umi, Abi dan kawan-kawan nggak sia-sia untukku."</p>

Laa haula wala quwwata illa billah.

Tumpah air mataku membaca pesan di inbox. Betapa berat perjuangannya.

Ini tahun kedua masa belajarnya di Turki. Di usianya yang masih belia, baru tujuh belas tahun, tapi perjuangannya tak sanggup kubayangkan, bila harus kupikul.

"Semoga doa Umi, Abi, Mas, adik-adik dan orang-orang yang mengharapkan kesuksesan Hatif, bisa menambah kekuatan, bi iznillah. Semoga bisa menjadi penjaga Al Qur'an sampai ajal menjemput dan menghadap Allah dengan status ulama yang diridhoi-Nya," balasku, penuh rasa haru.

"Amiin ya robbal 'alamin."

Mungkin kebanyakan kita beranggapan, seorang penghafal Al Qur'an kalau sudah hafal 30 juz, aman.

Bisa jadi kita menyangka, perjuangan beratnya saat menambah hafalan sampai 30 juz telah disetorkan dan lulus saat diuji.

Ternyata tidak begitu. Perjuangan untuk menjaganya supaya benar-benar tidak ada yang lupa, butuh waktu bertahun-tahun dengan kedisiplinan tinggi. Benar, kemampuan manusia berbeda-beda, tapi tetap saja untuk ukuran manusia pada umunya, tugas para hafidz qur'an itu luar biasa. Apalagi hafidz qur'an yang ulama, karena pelajaran tentang ilmu agama, cara mempelajarinya juga dominan dengan cara menghafal. Membosankan banget kan? Wajar kalau Allah begitu memuliakan mereka dan meninggikan derajatnya.

Kalau  Allah saja memuliakan mereka, apakah tidak pantas kalau kita sebagai hamba-Nya juga memuliakan?

Waktu dan hidup mereka sudah dialokasikan untuk menghafal dan menjaga Al Qur'an, yang pada mereka tersandang janji Allah untuk menjamin kemurniannya. Jika tak ada mereka, maka semua kita berdosa. Mereka telah mengambil alih kewajiban kita, karena secara hukum syariat, menghafal Al Qur'an, fardhu kifayah.

Jadi sangat sayang jika waktu mereka tersita untuk mencari penghasilan sekedar memenuhi kebutuhan hidup.

Jika kita tidak bisa melakukan seperti apa yang mereka lakukan, mengapa kita tidak membantunya sebagai bentuk pemuliaan pada mereka? Dengan kemampuan yang ada pada kita? Tidakkah sedikit saja ada keinginan kita andil dalam upaya menjaga Al Qur'an, walau dalam bentuk yang berbeda?

Benar! Sudah ada peningkatan perhatian dan kemudahan untuk mereka, di tahun-tahun belakangan ini, seperti pemberian bea siswa dan kemudahan untuk belajar di beberapa perguruan tinggi. Tetapi, toh hanya beberapa saja dari mereka yang mendapatkannya.

Rumah Tahfidz MHA hadir dengan visi "Memuliakan Penghafal A Qur'an", karena mereka memang layak untuk mendapatkan itu.

Bentuknya, dengan cara menggratiskan biaya pendidikan santri penghafal Al Qur'an dan memberikan imbalan yang layak untuk para ustadz-ustadzah pembimbing.

Dari mana semua itu?

Tentu saja menghimpun dari para muslim yang mendukung visi itu.

#Seri Rumah Tahfidz MHA >7<



Friday, August 22, 2014

Supaya Berkah

"Ustadz, saya punya dua rumah yang bisa dipakai untuk Rumah Tahfidz. Keduanya tidak berjauhan, hanya berjarak beberapa rumah. Yang satu rumah dua lantai, ada enam kamar. Beberapa waktu lalu ada yang menawar 2,3 M, tapi saya nggak sreg dengan calon pembelinya. Sementara ini saya gunakan untuk tempat masak ketering saya. Satu lagi hanya satu lantai, rencana akan saya rehab, supaya jadi lima kamar. Saya serahkan, tolong dikelola, supaya rumah saya berkah," kata Ibu Nana, salah sorang jamaah tarawih, ketika Abi selesai memberi ceramah dan menyinggung tentang rencana mendidikan rumah tahfidz.

Subhanallah, Alhamdulillah!

Begitu mudahnya rizki itu datang, kalau Allah sudah menghendaki. Ibu Nana minta waktu sekitar dua bulan untuk merehab kedua rumahnya untuk bisa dioperasikan sebagai salah satu unit Rumah Tahfidz.

Keberkahan! Yah, itu yang dicari manusia yang masih memiliki iman dalam hatinya.

berkahber.kah
[n] karunia Tuhan yg mendatangkan kebaikan bagi kehidupan manusia; berkat


Referensi: http://kamusbahasaindonesia.org/berkah#ixzz3B76GsW7D


Untuk apa memiliki banyak harta tapi tidak berkah? Terlalu banyak contoh untuk itu.

Alangkah bahagianya jika apa yang dikaruniakan Allah untuk kita, bisa memberikan manfaat kepada banyak pihak. Tentunya kita memilih lebih banyak manfaat dari apa yang Allah titipkan, daripada hanya diri dan keluarga sendiri yang menikmati.

Jadi jangan heran, kalau rumah kami, yang tidak terlalu indah untuk dipandang jika dibandingkan dengan rumah sekitar, tidak juga megah, apalagi super luas, tapi menjadi pusat dan sumber keberkahan. Selain sebagai rumah tinggal, rumah kami juga menjadi kantor LKP Batra An Nahl, tempat praktek Rumah Terapi dan sekarang menjadi kantor Rumah Tahfidz. Bahkan dulu, diawal berdirinya, rumah kami berubah fungsi menjadi Taman Pendidikan Al Qur'an jika sore hari.

Mungkin kami tidak memiliki banyak harta untuk disedekahkan, tapi dengan apa yang ada, kami coba meraih keberkahan sebanyak-banyaknya.


#Srei Rumah Tahfidz >6<

Untuk Orang Dewasa

Harish sakit! Artinya, siap-siap semua urusan selainnya ditunda atau didelegasikan pada orang lain.

Begitulah, aku harus stand by di sisinya ,menunggu apa yang dimaui. Beranjak hanya untuk shalat atau mengambil sesuatu, atau kalau dia terlelap.

Pijit! Itu andalannya. Sangat sulit diberi obat. Selain pijit sana, pijit sini, kerjaku membujuknya untuk makan sesuatu dan memperbanyak minum. Pada prinsipnya, tubuh kita sudah dibekali  kekebalan untuk melawan penyakit, tapi karena satu dan lain hal, kekuatan tubuh menurun untuk itu. Salah satu cara untuk meningkatkannya adalah dengan memenuhi kebutuhan asupannya. Itu sebabnya, ketika seorang pasien masih mau makan dan minum, optimis lebih mudah proses penyembuhannya. Terutama saat demam, keseimbangan cairan tubuh sangat dibutuhkan agar tetap stabil.

Siang tadi, kondisi Harish kuperhitungkan sudah saatnya dibantu dari luar untuk meningkatkan kekebalan tubuhnya. Maka kuputuskan memberinya obat, seperti biasa, acara dimulai dengan membujuk, kemudian Harish menangis dan puncaknya, kalau jalan baik-baik tidak bisa, terpaksa dengan ancaman atau dipaksa.

Hmm, edisi Umi kejam!

"Ayo Harish, minum obat," bujukku, dengan sesendok obat herbal ramuanku sendiri yang kucampur dengan madu.

"Harish maunya obat yang dari dokterrrr... hu...hu...hu," elaknya, memelas.

Rupanya dia ingat, aku masih menyimpan obat penurun panas dari rumah sakit, saat kepalanya dijahit karena jatuh, ketika lebaran idul fitri kemarin.

"Itu bukan obat, hanya menurunkan panas," jelasku.

"Tapi kan obat Umi untuk orang dewasa...hu...hu...hu."

Lho? Kok pakai diskriminasi sih, batinku, tapi pengen ketawa. Bisa-bisanya Harish menyimpulkan seperti itu.

"Ya nggaklah, obat Umi bisa untuk orang dewasa, juga untuk anak-anak. Kalau orang dewasa, cara minumnya langsung di telan, tapi kalau untuk anak-anak, cangkang kapsulnya dibuka, trus isinya dicampur madu, baru deh diminum, yook?" bujukku lagi.

"Nggak mauuuuu...hu...hu..hu!" teriaknya.

"Memang Harish nggak jadi dibeliin balon? Kan Abi mau beliin balon?" ha ha senjata pamungkas aku keluarkan.

"Ya sudahlah!" yesss! Berhasil. Masih dengan tersedu, Harish meminta gelas berisi minum yang kupegang, supaya setelah minum obat, langsung di dorong air sebanyak-banyaknya. Obat Umi pahit siiiih!

Harish sudah tahu, kalau aku sudah memintanya minum obat, cara apapun dia tak akan bisa mengelak. Aku jarang memberinya obat, herbal sekalipun.

Kalau sakit, upaya pertama dengan menjaga makan minum yang mencukupi, wajar kalau Harish sakit, Abi jadi kolektor makanan dan minuman, sampai-sampai ada yang cemburu.

"Kalau Harish sakit, banyak banget jenis makanan, minuman," kata Hafa.

"Memang kalau Hafa sakit, nggak begitu?" tanyaku. Hafa berusaha mengingat-ingat, kemudian...tersenyum malu.

"Iya ding, banyak juga. Tapi kalau sakit, nggak kepengen makan." jawab Hafa.

"Lucu ya? Kalau sehat makanannya biasa aja, tapi kalau sakit, semua makanan dibeli, padahal nggak enak semua," kata Husna, dengan gaya hiperbolnya.

Aku tersenyum tanpa menjawab, dalam hati membenarkan, tapikan lain lagi urusan dan pertimbangannya? Anak-anak mana tahu itu?

Upaya kedua, dengan memijitnya. Namanya Umi Abinya terapis, he he, ya anak sakit ya dipijit. Sampai Harish hafal, titik-titik mana yang biasa aku pijit. Kalau sudah begitu, mulai deh...Mi, yang sini...Mi, ininya...Mi, jangan dipencet ya, dielus aja, wah-wah-wah, enak tenan!

Thursday, August 21, 2014

Jangan Remehkan Silaturahim

Belum 10 jam up date status, minta doa untuk Harish yang sedang sakit plus fotonya, sudah 50 lebih yang melike.

Aku yakin, mereka bukan like/suka Harish sakit, tapi menunjukkan pesan itu sampai dan sudah mereka baca. Sayangnya, Google hanya memberikan satu tanda untuk pemberitahuan itu, ya hanya like/gambar jempol.

Apa hanya itu yang kudapat? Oo, tentu tidak. Karena sebagian dari mereka menyempatkan menuliskan amiin dan beberapa ucapan yang mendoakan dan memotivasi.

Hanya itu?

Masih ada lagi. Pagi-pagi sudah ada yang inbox,"Umii...kok aku mimpi sama Harish yaa. Harishnya tidur di kamarku sambil aku peluk, trus Umi cuma ngeliatin aja sambil senyum."

Masyaallah...indahnya silaturahim. Orang yang belum pernah bertemu, hanya bertegur sapa dan berteman di dunia maya, sudah punya tali kasih seperti itu.

Ada lagi, pagi-pagi ada yang salam, o o, ternyata tetangga yang sudah seperti adik sendiri, sambil bersepeda santai, mampir ke rumah, mengantarkan sesuatu," Untuk Harish, Mi."

Aih, jadi malu. Jadi evaluasi lagi, perlukah up date status seperti semalam? Kok jadi merepotkan ya? Padahal nggak ada niat sama sekali lho!

Semalam itu up date, saat menunggui Harish yang bolak-balik bangun karena tidurnya gelisah. Demamnya mengganggu tidur. Saat berhenti memijitinya, terfikirlah untuk minta doa teman-teman, bukankah salah satu fungsi doa untuk menolak bala?

Rasulullah Saw bersabda,"Doa berguna terhadap apa saja yang telah menimpa seseorang dan hal-hal lain yang belum turun kepadanya. Sesungguhnya, bencana pasti akan turun dan akan ditemui oleh doa, lalu keduanya selalu bersaingan sampai hari kiamat." HR Bazaar dan Thobrani dari Aisyah

Demam merupakan tanda bahwa tubuh sedang bermasalah. Penyebab demam, biasanya akan jelas diketahui dengan pemeriksaan darah setelah demam itu berlangsung 3-5 hari. Apakah harus menunggu sebegitu lama untuk minta doa? Apa harus jelas dulu sakit apa baru minta doa? Apakah hanya sakit parah dan berbahaya yang pantas untuk minta didoakan?

Dalam berobat kita dianjurkan sedini mungkin, agar tidak terlambat, agar lebih mudah diatasi. Mengapa tidak dengan doa?

Sebagai orang beriman tentunya kita yakin, bahwa Allah yang menyembuhkan.

"Dan apabila aku sakit, Dialah yang menyembuhkan aku," QS Asy-Syu'ara ayat 80.

Artinya, dengan doa sedini mungkin, diharapkan sakit itu tidak sampai parah atau cepat disembuhkan.

Jadi, nggak ada yang salah dengan up date statusku semalam. Masalah respon yang muncul, itu tergantung yang bersangkutan. Dari situ juga kita bisa evaluasi, seperti apa kualitas hubungan kita dengan orang lain selama ini, dan seperti apa posisi kita di hatinye, ciee ciee, kok jadi jauh banget gitu?

Satu lagi, jangan anggap remeh pertemanan di facebook, karena dari sana silaturahim bisa tumbuh dan berkembang.

Sang Perekat

Tidak mudah berada di posisinya.

Menjadi perekat keinginan delapan orang dengan korban kecewa sesedikit mungkin.

Oke! Awal kisah, Allah mentakdirkannya menikah dengan seorang dai yang banyak bergelut di urusan belajar mengajar membaca Al Qur'an. Sebuah dunia yang asing baginya, walaupun urusan dakwah adalah dunianya juga, tetapi beda urusan yang ditanganinya. Setelah menikah, dia rela meninggalkan awal karirnya sebagai seorang guru di sebuah SMK. Pemahamannya saat itu mendasari keputusannya, walaupun disayangkan keluarganya bahkan dicemooh oleh para tetangganya. Seorang sarjana memilih menjadi orang rumahan!

Kemampuan autodidak sangat membantunya untuk beradaptasi, mengikuti dan mendampingi aktivitas suaminya, aktif di dunia pemberantasan buta huruf Al Qur'an.

Bisa ditebak, bagaimana kondisi ekonomi keluarga yang karirnya dari mengajar mengaji? Sekali lagi kemapuan dan keberaniannya memanfaatkan ilmu yang dimilikinya menolong kondisi keluarga barunya. Selain mengajar ngaji, dia menerima jahitan, bahkan sempat berkembang menjadi usaha konveksi yang cukup lumayan mendatangkan rizki, bahkan sampai terbeli rumah.

Hampir semua aktifitas suami, dia ada untuk mendampingi. Bukan sekedar ikut-ikutan, tapi memang memiliki kemampuan untuk itu. Sekali lagi, itu karena kemampuan autodidaknya. Dan itu sangat mempengaruhi kebersamaan keluarganya, sehingga untuk urusan rumah tangga, sampai memiliki enam orang anak, belum pernah memiliki asisten rumah tangga yang bertugas mengasuh anak-anaknya. Semua ditangani bersama suaminya.

Semakin besar dan banyaknya anak-anak, semakin nyata bahwa setiap manusia adalah makhluk yang unik. Mereka berasal dari orang tua yang sama, lahir dari rahim yang sama, tapi...masing-masing memiliki kombinasi karakter yang berbeda. Allahu Akbar!

Delapan kepala dalam satu keluarga, andai masing-masing punya satu saja keinginan yang berbeda, berarti ada delapan keinginan yang harus disesuaikan akan terapresiasi dengan adil. Bagaimana kalau masing-masing memiliki banyak keinginan? Dan itulah yang menghiasi hari-harinya sebagai orang rumahan!
Orang rumahan! Dia menyebut dirinya begitu, karena waktunya lebih banyak di rumah. Menjadi orang rumahan bukan berarti tidak produktif dan berkembang. Karena dia tetap mengembangkan diri, terus menambah ilmu, juga produktif berpenghasilan. Berbagai jenis usaha telah dilakoninya, penjahit, konveksi, ketering, produksi snack, herbal, sebagai terapis, bahkan tutor untuk pelatihan untuk beberapa bidang keilmuan. Dalam urusan dakwahpun tidak pernah ditinggalkan, hanya saja ritmenya disesuaikan dengan kondisi anak-anaknya. Dari urusan mengelola Taman Pendidikan Al Qur'an, dakwah kampus, dakwah remaja masjid, juga majelis taklim dilingkungannya, satu lagi dakwah lewat partai.

Memang orang rumahan, tetapi dengan visi misi hidup yang jelas.

Perannya sebagai perekat tidak bisa diabaikan dalam perjuangan mendampingi suami mengantarkan anak-anaknya menjadi hamba Allah yang Hafidz Qur'an. Mungkin ini mimpi gila! Bukan pekerjaan mudah! Tapi keyakinan bahwa itu sebuah cita-cita mulia yang diridhai Allah, membuatnya yakin terus melangkah, walau tertaih.

Bukan sekali dua dia harus menjembatani keinginan yang berbeda antara suami dan anaknya atau anak yang satu dan lainnya atau dengan keinginannya sendiri. Sangat tidak mudah, karena pola pendidikan yang diterapkan, memang mengarahkan anak-anaknya untuk berani bersikap dan mengambil keputusan.

Suatu kebahagiaan ketika dia mampu merekatkan potongan-potongan keinginan setiap anggota keluarganya, membenuk sebuah keinginan yang disepakati dan diperjuangkan bersama.

Usia 16 Juga

Aku jarang nonton TV, sangat jarang, bahkan. Tapi sekali-kali masih suka menghampiri ketika sedang ada yang menyalakannya, lumayan, beberapa menit sambil ngemil dan memantau apa yang ditonton anak-anak. Untung Harish nggak suka iklan dan berita, dia akan pergi melakukan hal lain saat sedang jeda iklan atau breaking news.

Baru saja ditayangkan berita selingan, sementara menanti saat keputusan sidang MK terkait sengketa hasil pilpres. Seorang remaja, 16 tahun, dijemput petugas di sekolahnya, dengan tuduhan mendorong pacarnya yang sedang hamil dari ketinggian lebih dari sepuluh meter. Dia tidak mau bertanggung jawab atas perbuatannya. Dia nekad melakukan itu, karena sang pacar mendesaknya untuk segera menikahi.

Masya Allah...#ehh... Subhanallah!

Bagaimana perasaannya saat itu? Di hadapan guru dan teman-temannya? Masihkah ada muka yang perlu ditutupi dengan kerah baju atau kedua telapak tangannya? Bukankah itu hanya mampu melindungi dari pandangan pemirsa TV, yang sebagian besar tak dikenalnya? Sedang di mata guru dan teman sekolahnya, masihkah dia bisa menutupi identitasnya? Sanggupkah mentalnya menanggung rasa malu itu?

Bagaimana perasaan pacarnya? Gadis muda belia yang dianggap tak lagi suci? Korban rayuan dan hasrat mudanya? Malu! Jelas! Sanggupkah dia bertahan dengan tekanan yang akan diterimanya? Cemooh keluarga dan lingkungan? Belum lagi tekanan dari dalam dirinya yang jelas banyak perubahan baik dari sisi psikologis dan hormonal?

Bagaimana dengan orang tua kedua remaja tersebut? Marah? Kecewa? Malu? Rasa itu pastinya campur aduk mewarnai emosinya.

Lalu? Mengapa? Salah Siapa? Di mana mereka melakukannya?  Bagaimana bisa terjadi ? Apa yang harus dilakukan? Apa solusi terbaik untuk masalah ini?

Bingung? Pusing? Mana dulu yang harus dijawab?

Baiklah, kita coba urai dan jawab pertanyaan di atas satu persatu, tidak sesuai urutan pertanyaan, tapi lebih ke urutan langkah yang sebaiknya diambil.

Apa yang harus dilakukan?

Sepertinya, langkah pertama yang cukup bijak adalah menerima dan mendengarkan informasi dari pihak yang berwenang memberi keterangan dengan sikap menahan diri, syukur kalau bisa bersabar dan menerima dengan lapang dada. Sikap ini akan sangat mebantu mengendalikan kondisi supaya tidak panas. Misalnya tidak semua pihak bisa, setidaknya jika sebagian pihak mau bersabar dan tenang, akan memberi aura ketenangan dalam situasi seperti ini. Jauhkan sikap kompor, yang bisanya memanas-manasi, apalagi dari pihak yang tidak berkepentingan dalam hal ini.

Mengapa, kapan dan di mana perbuatan yang memicu kejadian itu terjadi? Wah, yang bisa menjawab ya hanya mereka berdua, remaja putra dan putri yang terjerumus zina sehingga menyebabkan kehamilan itu.
Mengapa mereka melakukannya? Mungkin jawabannya tidak sama, tapi pernah ada pengakuan pelaku zina, hal itu terjadi karena mereka tak tahan godaan, saat iman mereka lemah. Kalau memang ada iman dan rasa takut pada dosa, bagaimana dengan yang tak perduli apa itu iman? Apa itu dosa?

Oke, kita coba luruskan.

Mungkinkah zina terjadi tanpa ada pertemuan antara laki-laki dan perempuan pelaku zina itu? Aha ha, pertanyaan aneh! Ya jelas nggak mungkin ada zina, kalau tak ada pertemuan, piye tho! #Eh jangan jawab zina mata, telinga atau hati yah, ini beda urusannya. Kita sedang membahas zina yang jelas hukumnya dalam agama (Islam).

Di sini inti masalahnya!

Islam sudah wanti-wanti, jangan dekati zina, jangan berkhalwat, jangan tabaruj ala jahiliyah, masih juga ditawar, masih juga dikerjakan dengan tanpa merasa bersalah. Bandel sih! Ups! Maaf, kebiasaan ngomelnya kumat, he he. Nah, kalau sudah terjadi seperti ini, lalu tanya, bagaimana menurut hukum Islam? Nah lho! Sebelum ada musibah, nggak perduli bagaimana hukum Islam harusnya dijalankan, setelah kejadian, cari solusi dengan hukum Islam, kok seperti pemadam kebakaran ya? Sayangnya, hukum Islam belum sepenuhnya dilaksanakan sebagai hukum negara di Indonesia, yah... jadilah, pakai hukum apa adanya. Ups! Wah, gawat, bisa memancing diskusi nih? Tapi nggak apa-apa, asal nggak pade ngotot ame pendapatnya yee :D

Eh, boleh tau dong, kejadian ini karena salah siapa?

Boleh-boleh, untuk pembelajaran, supaya tidak terulang di lain orang, waktu dan tempat.

Kemungkinan semua atau sebagian dari tokoh-tokoh berikut yang perlu merasa bersalah.

Mungkin orang tua punya andil kesalahan, ketika kurang membekali ilmu agama pada anak-anaknya, sehingga pada saat anaknya memasuki usia baligh, usia yang harusnya bertanggung jawab atas semua perbuatannya, sianak belum tahu dan belum siap, maka terjadilah hal terebut. Anak juga tidak terlatih menahan diri dan merasa takut berdosa ketika melakukan pelanggaran. Orang tua bisa jadi terlalu permisif, sehingga tidak memberi aturan yang mengikat pada anak-anaknya.

Bisa juga, sudah cukup bekal dan bimbingan dari orang tua, dasar saja sianak tidak taat atau salah memilih lingkungan pergaulan, sehingga pengaruhnya lebih kuat dari pengaruh orang tuanya.

Bisa juga lingkungan yang terlalu cuek, sehingga tidak perduli dengan anak orang lain, walaupun itu terjadi di depan matanya.

Kecanggihan teknologi yang terlalu mudah diakses, juga punya andil dalam hal ini. Dan pemerintah, sebagai penentu kebijakan, harusnya bisa mengendalikan, demi keamanan generasi bangsa.

Jadi, ini sebuah kejadian yang mewakili kejadian sejenis yang marak terjadi di tengah masyarakat kita, seharusnya semakin membuat kita, seluruh unsur bangsa, untuk ikut memikirkan dan berbuat sesuatu agar kajadian serupa tidak terjadi lagi. Kalau kita sebagai individu menjaga diri, sebagai orang tua menjaga keluarga, sebagai anggota masyarakat menjaga lingkungan yang bisa dijangkaunya, sebagai aparat pemerintah menjaga bangsanya, maka harapan mendapatkan generasi yang berkualitisa akan terwujud. Tapi kalau masing-masing kita cuek, masa bodoh dengan hal-hal tersebut, bahkan mengambil keuntungan, yaaaah, bisa dibayangkan, generasi seperti apa sepuluh-duapuluh tahun ke depan.

Wednesday, August 20, 2014

Sang Peletak Batu Pertama

<p>Muda, energik dan suka tantangan. Sebagai sulung, dia dididik untuk segera mandiri. Kreativitasnya tampak dari masa kanak-kanaknya. Tidak termasuk yang banyak bicara, tapi juga tidak bisa disebut pendiam. Gaya belajar lebih cenderung visual dan kinestetik. Tidak semua harus dijelaskan.

Keputusannya saat kelas 5 SD pindah ke pondok pesantren untuk menghafal Al Qur'an, layak dijadikan batu pertama dalam bangunan cita-cita keluarga, menjadi penghafal Al Qur'an. Dan untuk selanjutnya, dia menjadi motivator bagi adik-adiknya untuk mengikuti jejaknya.

Sebelum usianya 16 tahun, selesai menghafal Al Qur'an. Keinginannya belajar dengan gaya ulama salaf, membuatnya mengambil langkah belajar berpindah-pindah tempat dan bidang, setamatnya dari pendidikan tingkat pertama, menyebabkannya mencari ijazah Paket C agar bisa melanjutkan ke pendidikan tinggi.</p>

Gigih berjuang dalam upaya mencapai apa yang diinginkannya. Berani mengambil keputusan, bertanggung jawab melaksanakan dan siap menanggung konskuensinya. Begitu banyaknya keinginan yang ingin dicapai, mengantarkannya menjadi seorang petualang.

Prestasi akademiknya tidak menonjol, tapi dia pandai memilih teman yang memberikan pengaruh baik padanya. Keluwesannya bergaul dngan orang yang lebih dewasa, sudah nampak dari saat kecilnya.

Pergaulannya yang berbeda dengan orang tuanya, sangat membantu saat memberikan masukan-masukan, agar apa yang akan dilakukan sesuai dengan perkembangan zaman. Atas karunia Allah, dia dipertemukan dengan orang-orang yang menyayangi dan membimbingnya, terutama dalam hal yang diluar jangkauan kedua orang tuanya.

Walaupun banyak hal yang menjadi tanggung jawabnya, gairah mudanya tetap diperhatikan sebagai penyeimbang. Kegiatan positif bersama teman-teman mudanya, tetap diikuti, disela-sela kesibukannya. Itu semua, menuntutnya pandai membagi waktu, agar tidak ada yang terlalaikan.

Kesempatan mendapatkan beasiswa untuk belajar di Turki, ditawarkan pada adiknya, yang juga sudah selesai menghafal Al Qur'an. Dalam pandangannya, posisi itu lebih pas untuk karakter adiknya, dan itu terbukti.

Begitu banyak karunia yang diperoleh, kesempatan mendapat pengalaman dalam berbagai level pergaulan dan mendapatkan banyak pelajaran.

Semangat muda membuatnya sanggup menanggung beban berat. Saat ada yang ingin dipelajarinya, maka dia berubah menjadi orang yang super tekun, sampai keinginannya terwujud.

Hidup prihatin? Bukan hal asing baginya. Kurangnya fasilitas dari orang tua, tidak menyurutkan usahanya, bahkan menjadi sebuah tantangan yang harus ditaklukkannya.


Dia bukan manusia super, apalagi sempurna, tapi segala kekurangan yang ada tidak menjadikannya rendah diri. Kelebihan yang ada, juga berusaha untuk selalu disyukuri.

Perjalanan masih sangat panjang, perjuangan masih terus ditingkatkan. Apa yang dilakukannya dalam memulai dan mengembangkan Rumah Tahfidz MHA, merupakan dukungannya pada cita-cita adiknya, yang juga menjadi bagian dari mimpi-mimpinya.

#Seri Rumah Tahfidz MHA >4<

Tuesday, August 19, 2014

Sang Promotor

<p>Sebagai seorang ayah, tentu sangat bahagia mendengar pernyataan anaknya tentang cita-cita yang istimewa. Tentu wajar, bila kemudian berupaya sekuat tenaga mendukung agar cita-cita itu bisa tercapai. Segala hal yang akan mendukung dan mampu, akan dilakukannya. Sebuah cita-cita yang terbatas waktu pencapaiannya, tentu berbeda dengan cita-cita umum yang biasa dibicarakan.Ketika seorang anak bilang, akan jadi dokter, tentu sudah terbayang, bagaimana jalan yang akan ditempuhnya, berapa lama waktu yang akan dilaluinya, berapa biaya yang dibutuhkan.</p>

Berbeda dengan cita-cita yang disampaikan anaknya, seakan waktu untuk mencapainya begitu dekat, bila tidak sesuai waktu itu, akan ada efek yang tidak baik.

Saat usia 14 tahun, mengatakan ingin memiliki pondok sebelum menikah, tentu terbayang jelas, kira-kira berapa tahun waktu untuk mewujudkannya, bila tak ingin terlambat menikah karena cita-citanya belum tercapai. Memang bukan nadzar, dalam artian akad nadzar, tapi sebuah pernyataan yang akan ditunggu pembuktiannya. Benar, jodoh adalah rahasia Allah, tapi tetap saja usaha yang dilakukan harus sesuai dengan yang direncanakan.

Pengalamannya dalam mengelola Taman Pendidikan Al Qur'an dan pelatihan Baca Tulis Al Qur'an dari tahun 1988, bahkan tingkat nasional. Pengalaman mengelola Pendidikan Guru TK dan mendirikan serta mengelola TK. Pengalaman dalam organisasi kepemudaan, kepartaian dan beberapa asosiasi pengobatan alternatif, memantapkan tekadnya untuk segera mengambl langkah awal. Bukan hal mudah memang, tapi bukan juga hal yang mustahil.

Keyakinannya bahwa Allah akan menolong orang-orang yang berjalan dalam kebenaran, meninggikan nilai-nilai Al Qur'an, mengajarkan Al Qur'an serta memuliakan para penghafal dan penjaga Al Qur'an, menjadi penyemangatnya dalam memulai langkah ini. Syukurlah, keluarga mendukungnya, walau tidak seyakin dirinya.

Keberadaannya yang belum hafidz Qur'an tidak menyurutkan langkahnya. Idealnya memang, seorang hafidz Qur'an yang lebih layak mendirikan pondok tahfidz, tapi tak selamanya kondisi itu ideal. Dan kondisi yang belum ideal tidak harus menghalangi niat baik, bukan?
Apakah harus menjadi petinju untuk menjadi seorang promotor pertandingan tinju? Apakah hanya para penyanyi yang boleh menjadi promotor sebuah konser?

Dua orang anaknya yang sudah hafidz Qur'an, memacu semangatnya untuk memperbanyak hafidz dengan mengajak orang tua lain, agar ikut merasakan bahagianya memiliki anak-anak hafidz Qur'an. Anak-anaknya menjadi hafidz, bukan hal yang tiba-tiba, tapi sudah menjadi impiannya saat aktif mengelola TPA, sebelum menikah.

"Ya Robbi, berilah waktu pada hamba untuk mengantarkan keenam MHA menjadi hafidz dan hafidzah, sebelum Kau panggil," desahnya saat malam gelap gulita diiringi linangan air mata mengharap, sangat!

Langkah awal yang dilakukannya adalah merencanakan terbentuknya Rumah Tahfidz, sebagai bentuk penyederhanaan dari pondok tahfidz, walaupun sedikit berbeda dalam pengelolaannya. Setidaknya ini sebagai langkah awal upayanya melayakkan diri dan keluarganya, untuk mendapat amanah nantinya memiliki atau mengelola pondok tahfidz.

Sosialisasi! Itu langkah awal yang dilakukan sebelum bisa yang lainnya. Dalam setiap kesempatan bertemu dengan muslim. Lewat obrolan silaturahim, kutbah Jum'at, pertemuan komite sekolah, saat mengisi majelis ta'lim, bahkan saat ada kesempatan pertemuan di assosiasi dan organisasi yang digelutinya.

Benar! Tak semudah membalik telapak tangan! Selalu sambutan positif yang didapat dari setiap sosialisasi, tetapi sambutan itu wujudnya tidak semuanya langsung mengarah pada terwujudnya Rumah Tahfidz. Tapi semua tetap disyukuri, setidaknya sosialisasi itu memotivasi para orang tua untuk lebih serius mengarahkan anak-anaknya tertarik untuk menghafal Al Qur'an.

Semakin banyaknya orang yang termotivasi dan menginginkan anak-anaknya menjadi penghafal Al Qur'an, banyak terkendala dengan kondisi yang ada. Pada umumnya, untuk menjadi penghafal Al Qur'an, belajar di pondok pesantren. Di sini muncul berberapa masalah, baik psikologis maupun finansial. Tidak setiap anak maupun orang tua siap berpisah, dan tidak setiap orang tua sanggup menanggung biaya yang tidak sedikit untuk belajar di pondok.

Pengalamannya sebagai orang tua, yang memondokkan anak-anaknya, sangat difahami. Hal itu juga yang menguatkan tekadnya untuk bersegera mewujudkan Rumah Tahfidz, agar keinginan-keinginan baik tersebut dapat terlaksana dengan mengeliminir kendala-kendala yang ada.

Dengan Rumah Tahfidz, seorang anak tidak harus berpisah dengan orang tuanya, juga tidak terlalu banyak biaya yang harus dikeluarkan.

# Seri Rumah Tahfidz MHA >3<

Saturday, August 16, 2014

Karena Aku Menulis

"Wah! Mbak, selamat ya, hebat-hebat anaknya."

"Gimana cara mendidiknya sih, kok anaknya bisa seperti itu, bikin ngiri."

Masih banyak lagi pernyataan teman-teman tentang anak-anakku yang tidak sedikit itu. He he, untuk ukuran sekarang, enam orang anak bukanlah jumlah sedikit. Pernyataan-pernyataan itu tentu menyenangkan! Siapa orang tua yang tidak senang jika dianggap memiliki anak yang hebat?

Hebat itu luar biasa. Hebat itu lebih dari yang lain. Hebat itu punya nilai lebih. Hebat itu berprestasi.

Hei-hei, tunggu dulu! Coba cek ke dalam hati, apa yang kurasa? Sekedar senangkah? Atau . . .bangga? Ups! Bahaya! Bangga merupakan awal mula dari merasa lebih dari orang lain, merasa bisa melakukan hal luar biasa, ujung-ujungnya sombong, menganggap orang lain lebih rendah, lebih tidak mampu, dll.

Aku berlindung kepada Allah dari hal itu.

Lalu mengapa bisa terjadi hal seperti ini? Benarkah memang anakku hebat-hebat?

Sebenarnya, hebat tidaknya seorang anak, tergantung dari sudut pandang yang melihatnya.

Contoh, seorang anak yang senang bergerak, lari sana-sini, loncat dari atas kursi, pindah dari meja ke kursi, sambil berteriak menirukan suara-suara tertentu.

Mungkin sebagian orang memandang anak ini nakal, susah diatur karena sudah berulang kali diingatkan, minta perhatian berlebihan, pokoknya sangat menjengkelkan.

Tapi bisa jadi, orang lain melihat anak ini sangat cerdas. Bagaimana dia mampu mengkordinasi seluruh unsur tubuhnya, berarti kordinasi seluruh bagian otaknya aktif difungsikan.

Setiap anak mempunyai potensi yang belum diketahui seberapa besar dan jenisnya, sebelum muncul dalam bentuk perbuatan. Sedangkan bagaimana perkembangan dari potensi itu sangat ditentukan oleh respon dari lingkungannya. Pilihan respon yang kita berikan pada setiap prilaku anak yang merupakan ekspresi potensi dirinya, kadang bersifat spontan, tidak menimbang apa efek psikologis pada anak, dan bagaimana pengembangan potensi yang lainnya.

Anak nakal!

Ucapan ini bisa jadi pisau jagal bagi potensi dan kreativitas anak. Sedangkan masa anak adalah masa bebas hukum, masa pembentukan karakter. Alangkah sedihnya saat potensi itu baru tunas langsung dibabat habis dengan pelabelan yang tidak semestinya? Berapa kerugian kita sebagai bangsa, jika calon generasi penerus hancur sebelum tunasnya jelas terlihat? Berapa potensi bangsa yang gagal tumbuh karena ketidak fahaman orang tua? Miris!

Kembali lagi pada tanya di atas, benarkah anakku hebat-hebat?

Alhamdulillah, Allah telah memberikan karunia-Nya. Dalam beberapa hal anakku memang lebih dari anak seusianya, tapi aku yakin, banyak anak-anak lain juga lebih dari anak-anakku.

Anakku terlihat hebat karena aku menuliskannya. Karena aku menceritakan dan memberitahukannya pada orang lain.

Tujuannya? Pamerkah?

Bukan!

Pertama, itu caraku bersyukur, menunjukkan dan tidak menyembunyikan karunia yang telah diberikan-Nya.

Kedua, aku ingin anakku menyadari, bahwa dirinya sangat berarti dan kehadirannya di dunia ini bukan tanpa tujuan. Allah menghadirkan mereka untuk sebuah tugas mulia, sehingga tak layak menyia-nyiakan kehidupan yang telah diberikan-Nya.

Aku ingin, anak-anakku dengan kelebihannya bisa memotivasi anak-anak lain, bahwa mereka pun bisa mengikuti jejaknya, mengoptimalkan potensi yang dimilikinya, dengan kesungguhan tentunya.

Bagaimana dengan kekurangannya? Mengapa tak diceritakan?

Bukan tak ingin menceritakan, ada saatnya itu disampaikan. Tapi aku percaya, setiap kita tak ingin kekurangannya diceritakan kepada semua orang, karena yang bersangkutan sedang dalam proses memperbaiki kekurangan tersebut, sampai suatu saat nanti, kekurangan itu tinggallah masa lalu. Kekurangan bukan hal yang haram diceritakan, tapi lebih selektif untuk mendukung tujuan tercapainya suatu tulisan.

Sang Inisiator



<p>Usianya baru 14 lebih tiga bulan, saat menyatakan kepada abinya. ingin menjadi ulama dan mendirikan Pondok Pesantren Tahfidzul Qur'an sebelum berkeluarga.

Usia 14 tahun, masa remaja yang penuh impian dan angan-angan. Orang lain mungkin menganggapnya ini celoteh anak yang sedang menghayal, tapi tidak dengan abinya. Ungkapan ini dinyatakan oleh seorang remaja yang sudah hafal Al Qur'an dan diucapkan pada tanggal 27 Ramadhan 1432 H/ 27 Agustus 2011, saat sedang i'tikaf.</p>

Namanya Muhammad Hatif Ash shiddiq, lahir tanggal 1 Juni 1997. Masa kecil dilakoninya seperti anak-anak yang lain. Ceria, kreatif, suka iseng dan suka bergaul. Mengenyam pendidikan pra sekolah di TKIT Qurrota'ayun hanya satu tahun, dilanjutkan ke SD Muhammadiyah Labuhan Ratu Bandar Lampung, hanya sampai kelas empat. Kelas lima sampai kelas sembilan dijalaninya di pondok Darrul Huffaz, karena mengikuti jejak kakaknya menghafal Al Qur'an.

Sebelum masuk pondok, bisa dikatakan belum ada yang melejit dari potensi dirinya, kecuali mudah bergaul dan memiliki banyak teman. Prestasi akademis biasa saja. Bahkan, ketika kelas empat, membaca Al Qur'an pun belum begitu lancar. Uminya sempat deg-degan saat menantikan pengumuman dari pondok, diterima atau tidak. Alhamdulillah, diterima.

Dua tahun pertama di pondok, Hatif masih memuaskan kebutuhan mainnya. Belum nampak berbeda dengan anak-anak seusianya. Saat kelas 7, sepertinya kesadaran itu datang bersama masuknya masa remajanya. Kesungguhannya dalam belajar mulai terlihat, dan puncak kesungguhan itu jelas terlihat saat kelas delapan. Sampai kemudian, tanggal 12 Agustus 2012 di wisuda dengan predikat penghafal terbaik dari wisudawan PonPes Darrul Huffaz saat itu.

Selain sebagai penghafal terbaik, Hatif juga beberapa kali menjuarai event-event Musabaqah Hafidzul Qur'an di berbagai tingkat dan penyelenggara. Prestasi yang sangat membanggakan saat usianya baru empat belas tahun sudah mendapat amanah menjadi imam tarawih satu juz permalam, mengimami jamaah dewasa dan para ustadz, Subhanallah.

Bagaimana Hatif saat berkumpul keluarga? Ha ha, sama saja dengan remaja lainnya, yang senang menggoda adik-adiknya.

Saat Hatif kelas 9, kakaknya yang tinggal di Jakarta, juga sudah Hafal Qur'an, menawarkan bea siswa ke Turki.  Sebenarnya tawaran itu untuk dirinya, tapi karena jurusannya tidak sesuai dengan minatnya, maka dia alihkan ke Hatif, yang saat itu sedang menimbang-nimbang mau melanjutkan pendidikan ke mana.

Setelah mengikuti rangkaian tes seleksi, dengan izin Allah, Hatif di terima UICCI (United Islamic Cultural Centre of Indonesia) sebuah yayasan sosial Turki yang bekerjasama dengan pemerintah Indonesia.

Ada beberapa program yang disediakan, salah satunya untuk yang sudah hafal Al Qur'an 30 juz. Untuk program ini, bagi yang mampu menjalani masa karantina satu tahun di Indonesia, tujuannya memantapka hafalan Qur'an, belajar bahasa Arab untuk persiapan mempelajari kitab dan belajar bahasa Turki untuk persiapan komunikasi, karena nantinya, di Turki, bahasa yang digunakan adalah bahasa Turki.

Hatif merasakan perjuangan yang sangat berat selama setahun di asrama Indonesia, bahkan pernah tercetus keinginannya untuk menambah waktu setahun lagi agar lebih mantap. Tapi orang tua dan kakaknya selalu memotivasi dan meyakinkannya bahwa dia bisa dan sanggup, dengan izin Allah tentunya.

Akhirnya...22 Agustus 2013 malam, Hatif take off dari Cengkareng.

Perjalanan menuju cita-cita dilanjutkan. Tak terfikirkan sebelumnya, di usia 16 tahun pergi sendiri ke luar negeri. Tanpa biaya, karena sejak di terima di UICCI seluruh biaya ditanggung oleh yayasan, semacam beasiswa.

Kebiasaan belajar keras dan tekun saat di Indonesia, sangat membantunya menyesuaikan diri dengan tugas belajar yang sangat berat. Selain memperlancar bahasa Arab dan Turki, pelajaran utamanya adalah menghafal kitab Nahu Sorof, pelajaran tata bahasa Arab dan segala yang berkaitan dengannya.

Metodenya? Menghafal! Ya, tak ada bedanya dengan menghafal Al Qur'an, ada setoran hafalan, ada saatnya ujian.

Belajar keras itu diimbangi dengan libur dua hari setiap dua minggu sekali. Mereka diberi uang saku untuk keluar asrama, refreshing sekaligus menjelajah Turki.

Mereka layak mendapatkan itu, mengingat kesungguhan mereka untuk dipersiapkan menjadi penjaga agama.

Hatif lumayan berprestasi, sehingga dia sering diamanahi menjadi imam, terutama saat ada tamu-tamu istimewa. Bahkan sering diundang untuk membaca Al Qur'an ketik ada acara-acara peringatan di masjid-masjid.

Saat libur, Hatif mendapat amanah untuk mengajar anak-anak di sana. Ini kesempatan langka, karena hanya beberapa orang saja yang ditunjuk untuk itu.

Sementara Hatif belajar, di Indonesia orang tuanya sibuk mempersiapkan apa yang menjadi cita-citanya.

Mendirikan pondok bukan pekerjaan ringan, butuh kemampuan yang tidak main-main. Dan tidak bisa Kun Fayakun, karena itu hak Allah. Tetapi itu bukan suatu hal yang mustahil, dengan izin Allah. Dengan bismillah, langkah-langkah kecil mulai di rintis. Secara perhitungan kemampuan diri, maka yang paling mungkin adalah memualinya dengan Rumah tahfidz.

Konsepnya sederhana, mencari pendukung sebanyak-banyaknya untuk proyek umat ini. Menemukan orang-orang yang menyediakan tempat, merekrut tenaga pengajar yang hafal Al Qur'an, mengumpulkan murid yang antusias menghafal dan menghimpun dana dari para dermawan agar proyek ini berjalan sesuai harapan.

Siapapun kita bisa andil dalam proyek ini, sebagai salah satu unsur yang dibutuhkan untuk suksesnya.

Hatif sebagai Sang Inisiator, tapi dia tidak akan bisa mewujudkannya sendirian. Dia butuh pendukung, untuk itu dia mengharapkan cita-citanya menjadi cita-cita bersama.

# Seri Rumah Tahfidz  MHA >2<