Thursday, July 31, 2014

Di Posko Mudik

<p>Ini tahun pertama aku mendapat tugas dari dinas kesehatan, sebagai akupunkturis di posko mudik. Dari informasi yang kudapat, memang baru tahun ini posko mudik ada pelayanan kesehatan alternatif, akupunktur dan akupresur.

Kami satu posko dengan utusan puskesmas dan rumah sakit, didampingi petugas dari dinas kesehatan, yang menjamin sarana dan alat kesehatan serta obat-obatan mencukupi kebutuhan.</p>

Salah satu tujuan dihadirkannya akupunktur dan akupresur, karena telah terbukti cara ini efektif untuk mengatasi berbagai keluhan kesehatan yang sering mengganggu perjalanan pemudik, seperti sakit kepala, pegal-pegal, otot kaku, mual, muntah, dll. Keramaian jalan raya dan kondisi kurang istirahat, sering menjadi pemicu keluhan-keluhan di atas.

Namanya alternatif, ya tentu saja menjadi pendamping yang utama, yaitu medis.

Posko kami bersebelahan dengan posko dinas perhubungan dan di depan posko kepolisian. Di bawah jembatan layang, di lampu merah yang selalu ramai.

Tidak terlalu banyak pasien yang datang, mungkin karena posisi yang kurang pas untuk perhentian dan beristirahat. Dan tidak semua pasien minta di akupunktur, jadi ya...berjaga dari jam 09.00 sampai dengan 15.00 tidak terlalu membuatku lelah, bahkan aku bisa tilawah, blogging, chatting, facebookan dan ngobrol dengan sesama petugas yang jaga.

Dua kali bertugas, belum ada pengalaman yang begitu berarti, entahlah besok. Masih ada dua hari lagi jadwalku di sini. Dengan teman tugas yang selalu berganti, setidaknya bertambah teman dan tukar pengalaman.

Terapisnya Keok

"Nen, bawa alat bekam ya, pengen nyobain," kakak sulungku SMS dari tempat mamak.

"Oke," jawabku, sambil menambahkan alat bekam dalam bawaan yang sedang kusiapkan untuk mudik.

Setelah semua siap, Senin siang kami berangkat. Hanya enam orang, sisulung belum sampai rumah, rencana malam nanti baru berangkat dari Singapura. Adiknya belum bisa pulang, paling cepat dua tahun lagi. Ini lebaran pertama kami mudik tidak lengkap.

Ah, sebenarnya nggak mudik-mudik amat. Jarak perjalanan hanya butuh waktu sekitar satu jam.

Setelah beres dengan salam-salaman dan menegur sapa, terapis segera beraksi ha ha.

Pasien pertama bekam. Dengan sedikit takut-takut, maklumlah, ini pengalaman pertamanya. Walaupun pensiunan perawat yang biasa mendampingi dokter bedah, tetap saja melukai diri terasa sangat mengerikan. Apalagi sebelumnya mendapat informasi yang kurang pas tentang bekam. Katanya bekam itu disayat-sayat dan diambil darahnya. Ha ha, ini harus diedukasi dulu.

Setelah oke, dan percaya sepenuhnya, bekam mulai dilaksanakan. Disaksikan kakak ipar yang juga pensiunan perawat anestesi. Selama proses bekam, kami diskusi tentang kesehatan dan berbagi pengalaman.

Selesai bekam, kakak ipar minta diakupunktur. Walau dengan takut-takut, dia berusaha pasrah, he he.

Berikutnya kakak laki-laki. Setelah diprovokasi, akhirnya mau juga diakupunktur. Sayang...baru tiga jarum, keringat bercucuran, wajah pucat, mengeluh terasa mau pingsan. Segera jarum kucabut, kupijat-pijat leher belakang sambil menunggu Abi melanjutkan dengan terapi pijatnya.

Sebagai sepasang terapis, kami biasa melakukan hal-hal tersebut. Kelurga besar sudah tahu, itu sebabnya ketika berkumpul, masing-masing siap dengan keluhannya ha ha ha.

Sayangnya, kesibukan melayani mereka membuatku lalai terhadap diri sendiri. Sementara aku melakukan terapi, yang lain berkesempatan ngobrol dan makan-makan. Aku? ha ha, terasa lapar saat di mobil, ketika melanjutkan perjalanan ke rumah saudara yang lain.

Selama perjalanan tidak sampai dua hari bersilaturahim, sembilan orang sempat merasakan jarum-jarum akupunktur yang kubawa. Kurang istirahat, badan cape, makan tidak terkontrol membuat daya tahan tubuhku menurun.

Selasa malam, setiba di rumah tanda-tanda itu sudah kurasakan. Kusempatkan minum herbal sebelum tidur. Kepala terasa berat. Tapi rasa lelah mengalahkan sakit kepala itu.

Bangun saat subuh, benar-benar kurasakan sakit yang sangat di kepala dan leher belakang. Ditambah rasa mual. Setelah sholat kupaksakan mengambil jarum dan mulai menusuk diri sendiri. Di bagian wajah dan kepala yang bisa kujangkau.

Agak berkurang sakitnya, tapi sedikit. Sepulangnya dari masjid, Abi memijatku.

"Umi, kita mau ke Pringsewu lho," kata Husna.

"Mobil belum dikembaliin?"

"Belum."

"Sepertinya Umi nggak kuat deh. Umi nggak usah ikut ya?"

Ditunggu sampai jam sembilan, belum ada perubahan. Abi mengembalikan mobil sewaan.

"Kok nggak pergi aja? Umi nggak apa-apa di rumah sendiri," kataku. Abi menggeleng.

Akhirnya, lebaran hari ketiga tidak pergi. Abi hanya ke tetangga yang tidak mudik.

"Umi kemarin ngobatin sembilan orang, kok sekarang nggak bisa nyembuhin diri sendiri?" tanya Husna.

"Umi hanya mengobati, yang menyembuhkan hanya Allah. Kondisi sakit seseorang berbeda-beda dan obatnya juga beda. Umi sakit karena kurang istirahat dan kebutuhan yang tidak tercukupi, maka kesembuhan itu, selain diterapi dan diobati, ya harus dicukupi istirahat dan asupannya."

Yaa Allah, adakah rasa bangga dalam hati ketika Kau sembuhkan orang yang sakit lantaran terapi yang kulakukan? Astaghfirullah!


Oleh Oleh Lebaran

<p>"Astaghfirullah!" aku terbangun mendengar jeritan itu.

"Harish!" tak ku lihat Harish di sisi, segera meloncat dari tempat tidur, menghampiri arah suara.

Terlihat Harish dilantai, di sudut kamar, meringkuk, memegangi kepalanya. Segera kuangkat dan kupindahkan ke tempat tidur. Darah! Ada darah di kepalanya, banyak!

"Abiiii!" refleks aku berteriak. Terdengar langkah kaki berlari menuju kamar.</p>

"Masyaallah!" Abi segera mengambil Harish, aku berlari menacari tissue dan kapas di tas bawaan kami, di ruang keluarga. Abi membawa Harish ke ruang keluarga, lampunya lebih terang. Darah membasahi kepala dan baju Harish. Juga berceceran di lantai.

"Darah harus segera dihentikan," kata Abi. Ku obrak-abrik isi tas perlengkapan obat yang kami bawa. Plester yang kucari tidak ada.

"Propolis!" kakak ingat, sayang, tinggal sedikit. Sekitar setengah jam, darah belum berhenti. Aku hanya bengong melihat Abi dan kakak sibuk berusaha menghentikan darah. Ketenangan terapisku lenyap entah ke mana. Semua teori menghadapi kondisi gawat darurat tak ada yang ingat.Yang tinggal hanya kekhawatiran seorang ibu melihat anaknya dalam kondisi yang belum jelas. Sekilas Abi melirikku.

"Nggak usah nangis, kita ke UGD!" kata Abi. Aku segera mempersiapkan perlengkapan seperlunya. Baju Harish, mukena, minuman, dompet. Tepat tengah malam, kami berangkat ke UGD, rumah sakit terdekat. Abi menyetir ditemani kakak, aku duduk di belakang memangku Harish dengan posisi memeluk, sambil terus menyeka darah yang mengalir.

Lebaran pertama, malam itu kami menginap di rumah kakak Abi. Anak-anak dan Abi tidur di ruang keluarga, di depan TV dan sofa. Aku dan Harish tidur di kamar, di spring bad yang lumayan tinggi, setinggi paha orang dewasa. Selama ini Harish terbiasa tidur di lantai beralas kasur yang tebalnya tidak lebih dari 20 cm. Dalam semalam, dua sampai tiga kali aku memindahkannya ke kasur, karena dia sudah tidur di lantai. Harish yang lincah, bahkan dalam tidur sekalipun. Kelelahan yang menderaku malam itu membuat tidur begitu lelap, sampai kejadian itu. Harish terjatuh dari sisi yang lain dan sepertinya kepalanya membentur pinggiran tembok yang berlis keramik.

"Bi, Harish tidur..." kataku, khawatir tidurnya Harish karena kehabisan darah.

"Nggak apa-apa," jawab Abi, tanpa menoleh, tatapannya lurus ke depan, mencari jalan yang agak bagus.

Sesampai di UGD Abi segera menggendong Harish, sementara aku menyelesaikan pendaftaran. Kemudian aku menyusul. Kulihat Harish sudah diposisikan tengkurap, menangis. Abi dan kakak memeganginya. Kuhampiri dan kubelai tangannya, menunjukkan kehadiran.

"Ini Umi, Rish," kata Abi, mengharapkan Harish bisa lebih tenang.

Perawat membersihkan lukanya. Baru jelas terlihat, seberapa besar lukanya. Pantas, darahnya sulit berhenti. Panjangnya lebih dari 2 cm dengan kedalaman yang sulit diperkirakan.

"Ini harus dijahit, Pak," katanya.

"Nggak apa-apa, gimana bagusnya," jawab Abi.

Dijahit? Kuat nggak ya, Harish? Dari tadi dia terus menangis, walau sudah kubujuk. Mungkin dia ketakutan. Selama ini dia akan histeris jika jatuh dan terluka, walaupun hanya sedikit berdarah.

"Dibius dulu ya," kata perawat, sambil menyiapkan suntikan. Ah, syukurlah dibius.

Harish meronta saat mulai disuntik. Kaki dihentak-hentakkan. Kami sudah membujuknya, tapi tetap saja.

"Harish! Jangan bergerak! Jangan bergerak!" kataku dengan intonasi yang berat. Harish mengerti. Dia langsung berhenti meronta, tapi tetap menangis.

"Kok nangis? Kalau nggak sakit nggak usah nangis, kalau sakit ditambah bius," kata perawat, saat mulai menjahit luka itu.

Ups! Kupikir kalau sakit boleh nangis.

"Sakit, Rish?" tanyaku, Harish menggeleng. Tapi saat jahitan kedua, Harish menjerit.

"Tambah lagi, Mas," kataku. Bius ditambah.

Tiga jahitan. Ini pengalaman pertama, aku menyaksikan simbahan darah. Berbeda dengan melihat darah bekam, yang memang sering kulakukan sebagai terapis. Alhamdulillah, Harish kuat. Setelah dibersihkan dan ganti baju, Abi menggendongnya ke mobil, lalu ku pangku.

"Mbak Hany, mana, Mi?" tanyanya. He he, dia mulai memahami situasi.

"Mbak Hany di rumah Pakde, nih Harish lagi di rumah sakit."

"Bukannya tadi Mbak Hany ikut?" tanyanya, aku menggeleng. Kucium pipinya.

"Harish bobok lagi, ya?" Harish langsung merebahkan kepalanya ke dadaku, ngantuk banget rupanya.

Jam satu dini hari, kami meninggalkan halaman rumah sakit. Semalaman aku tidak berani tidur, menjaga posisi Harish agar tidak terlentang. Lukanya masih diperban.

Alhamdulillah, bangun pagi Harish sudah sehat, bahkan turun dari tempat tidurpun dia melompat. Hmm

Saturday, July 26, 2014

Maaf Sapu Jagat

<p>Setiap manusia pernah melakukan kesalahan.
Hanya saja, selain Rasulullah Saw, tidak ada jaminan kesalahan manusia langsung dimaafkan.

Selain Rasulullah Saw. setiap manusia pernah berdosa, pasti.
Dan tidak ada jaminan bahwa dosa-dosa itu diampuni.

Dalam seremoni pertobatan, ada beberapa tahap yang harus dilakukan.
Dalam upaya mendapatkan ampunan.
Segera menyadari dan mengakui kesalahan
Lanjut dengan permohonan ampun sepenuh kesungguhan</p>
Ikuti dengan amal baik untuk kesempurnaan

Bila kesalahan itu berkait dengan manusia
Membuat hatinya terluka
Maka bertambahlah seremoninya
Dengan meminta ridha dan maafnya

Idealnya
Setiap melakukan kesalahan
Segera minta maaf dan mohon ampunan

Tapi
Bukan manusia namanya
Jika selalu sempurna

Maka tak ada salahnya
Jika kesempatan hari raya
Kita jadikan saat tepat
Untuk permohonan maaf sapu jagat

Untuk semua khilaf
Pada semua teman dan sahabat
Di mana pun kini bertempat

Untuk penyempurna
Dari huruf-huruf Al Qur'an yang dibaca
Dari dzikir-dzikir yang terukir
Dari munajat yang terpanjat
Dari doa-doa berurai air mata

Taqabbalallahu minna wa minkum
Taqabbalallahu yaa Kariim
Mohon maaf lahir dan batin

Friday, July 25, 2014

Ketidakadilan Maya

Maya
Hanya tampaknya ada, tetapi nyatanya tidak ada; hanya ada di angan-angan; khayalan.

Aaah, Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Memang benar, buatan manusia selalu tak sempurna.

Mengapa kau bilang arti kata maya
Sesuatu yang tak ada
Hanya khayalan semata

Sedang aku sudah membuktikan
Bahwa dunia maya itu ada
Nyata

Dia bisa membuat tawa bahagia
Dia juga sering membuat terpana
Dia lihay mengaduk-aduk rasa
Dia ahli memancing amarah membara

Inspirasi
Motivasi
Mimpi-mimpi
Keuntungan materi

Penipuan
Pembullyan
Penghakiman
Penistaan

Kezholiman
Ketidakadilan

Kita bisa membuatnya tetap maya
Tak teraba
Mimpi semata

Tapi kitapun bisa
Menyeretnya menjadi nyata
Terlihat, teraba

Keputusan ada di hati kita
Sudut pandang kita

Ya, kita
Saya, anda

Perpisahan dan Penyesalan


Waktu terus bergeser menepi
Mendekati masa akhirnya
Ingin rasanya kutarik kembali batas tepian ini
Tapi tentu saja aku tak kuasa

Bersyukur telah menikmati kebersamaan ini
Walau kepuasan itu tak tuntas
Gelayut sesal memenuhi hati
Mengapa tak bisa mencapai puas

Bait-bait munajat rangkaian kata berima
Bersama derai air mata sebagai pengiringnya
Tapi ragu mengusik jiwa
Tangisan takut pada azab-Nya
Atau merasakan beban derita
Yang begitu berat terasa

Desah-desah tilawah menghiasi malam dan siang
Puas hati menghitung juz-juz terbilang
Kembali ragu datang menjelang
Adakah dia membekas di jiwa
Ataukah hanya seremoni belaka

Senyum mengembang membaca ulang
Hasil tadabur yang sempat tertuang
Sekali lagi sang ragu datang
Apa yang kudapat dari ini semua
Hikmah yang memperhalus jiwa
Ataukah decak kagum pembaca

Rasa syukur diberi kesempatan jumpa
Masa yang diistimewakan serta mulia
Semangat menyambutnya selalu menggebu
Selalu rasa sesal mengantarnya saat berlalu
Sungguh ingin perjumpaan ini menjadi yang terbaik
Tapi berulang kali yang terjadi kondisi terbalik

Hati ini masih juga membersit benci,
Jiwa ini belum sempurna menyandar
Mulut ini masih pandai mencaci
Mata ini belum juga tundukkan bashar

Malu jiwa ini meminta
Beri lagi kesempatan jumpa
Tapi kepada siapa harus menghiba
Selain kepada Dia Yang Maha Mengabulkan Doa

Allahumma innaka affuwwun tuhibbul afwa fa'fuanni

Thursday, July 24, 2014

Lebaran...ooo...Lebaran

"Richie...!" teriak Umi, dari dapur.

"Ya, Mi?" Richie nongol, memegang smartphone, sambil tatapannya tak beralih dari monitornya.

"Ol terus, nih isiin ketupat!"

"Idiih, yang lagi off, sewot banget. Sudar mana, kok Richie terus yang ngisi ketupat?"

"Sebentar lagi Umi suruh ngisi sekubal, tuh, ketan masih dikukus."

"Udin?"

"Lagi mbersihin ayam, di belakang."

"Kok nggak pesen aja sih, Mi? Richie terus yang suruh ngisi ketupat," gerutu Riche.

"Selain buatan Richie, nggak ada yang pas. Kalau nggak terlalu keras, ya...terlalu lembek."

Weww! Hidung Richie langsung mekar.

"Wiro ke mana," tanya Richie, agak lembut, setelah dipuji Umi.

"Lagi nukar recehan ke bank, untuk THR anak-anak."

"Enak ya, jadi Harish, nggak dapat tugas apa-apa."

"Mau kecil terus seperti Harish? Nggak nikah-nikah dong?"

Richie sontak menatap Umi, melongo!

Hari ke 27

Aku terbangun saat Harish minta minum.

Masyaallah! Jam empat!

Panik! Segera aku bangunkan anak-anak, langsung menyalakan kompor, menghangatkan sayur dan lauk.

Hany sigap menyiapkan piring dan minuman.

"Nasinya mana, Mi?" tanyanya.

"Masyaallah...nasi...Astaghfirullah...Umi lupa. Tadi rencananya sesudah tarawih mau masak."

Bagaimana ini? Nggak mungkin masak nasi dulu...mie...ya, mi instan. Untung tadi sore abi bawa bingkisan, ada mie instannya.

Segera ku masak air untuk merebus mie.

"Abi mana, Mi?" tanya Husna.

"Itikaf," jawabku, abi memang 'itikaf pakai sistem putus sambung.

Terdengar langkah kaki di luar rumah.

"Abi pulang, Mi," kata Hafa. Ya Allah, semoga bawa nasi bungkus lagi, seperti kemarin, harapku dalam hati. Kadang peserta 'itikaf ada yang mendadak pulang, sehingga jatah sahur yang sudah dipesan panitia sering mubadzir. Segera kusambut abi, eh, maksudku bawaannya, he he.

"Alhamdulillah, dah dimakan bareng-bareng tuh," kataku gembira, abi bawa sebungkus nasi ayam.

Lumayan...satu bungkus dimakan bertiga.

"Umi...?" tanya Hany.

"Umi makan mie, abisin aja."

Ah, ternyata waktunya masih cukup. Hafa nambah, makan mie. Aku hanya mampu makan beberapa suap...bayangkan...mie + telur...kalau nggak terpaksa, he he.

"Han, tolong ambil kurma," aku ingat makanan darurat yang sangat bermanfaat. Kok darurat? Karena kurma bukan termasuk daftar makanan favorit.

Ternyata kondisi tak segawat yang kupikirkan. Tapi karena biasa bangun jam tiga, maka rasa khawatir tidak bisa menyelenggarakan sahur mendominasi. Kasihan anak-anak, kalau puasa tanpa sahur.

Aku masih sempat shalat sebelum imsak, sambil menunggu adzan subuh, aku evaluasi satu hari yang sudah berlalu, di mana selipnya? Ada beberapa musibah kecil yang terjadi.

Pagi hari belanja, beli tiga bungkus kelapa parut. Rencana sesampai di rumah akan dibuat santan, di rebus dan disimpan kanilnya.

Sesampai di rumah, niat itu tidak segera kukerjakan. Menyapa abi yang sedang mencari berita online. Baru sebentar, ada pasien bekam. Lupa deh rencana membuat santan.

Beres satu pasien, shalat Dhuha lalu blogging. Belum selesai, ada pasien lagi. Lumayan lama, pasiennya teman lama, sekalian temu kangen, he he.

Kemudian melanjutkan blogging dan chatting dengan anak-anak yang sedang berpetualang, sampai Dhuhur.

Astaghfirullah...saat shalat, ingat kelapa parut yang belum jadi dibuat santan. ckckck, kerjaan siapa ini? Setan atau nafsu? Ingat kok saat shalat. Ini ada setan yang lolos dari belenggu apa? Jangan-jangan karakter setan yang sudah ngapling tempat di nadiku? Ups!

Korban! Tiga bungkus kelapa parut, sukses masuk kotak sampah, tanpa dibuka bungkusnya. Akibat menunda-nunda.

Siang hari abi pulang, menanyakan Harish sudah makan belum. Masyaallah, iya, dari tadi Harish nggak minta makan, biasanya dia yang minta sebelum ditawari? Ckckck, kelalaian kedua. Segera kupanggil Harish yang sedang bermain di luar. Gerakannya tak sesigap biasanya.

"Makan dulu, Rish."

Dia menggeleng, mengabaikan nasi yang sudah kuambilkan, menuju tempat tidur. Gawat! Kalau siang Harish tidur siang, ada dua kemungkinan, kecapean yang sangat atau tanda-tanda akan sakit. Bukan doa, tapi petunjuk!

"Harish mau makan vitamin aja, biar sehat," jawabnya. Segera kuambilkan vitamin, yang jadi menu rutin selama Ramadhan.

Bangun tidur, Harish BAB. Hmm, benar. Dari BABnya menunjukkan, daya tahan tubuhnya menurun.

Astaghfirullah. Akumulasi kecapean! Selama Ramdhan, aktivitas bermain Harish meningkat, karena mbak-mbaknya banyak libur.

Malam harinya, Harish tidak bisa dicegah, ikut tarawih dengan mbak-mbaknya, ke masjid.

"Kalau Harish minta, langsung pulang ya, nggak usah nunggu selesai tarawih," pesanku. Mereka mengangguk.

Pulang tarawih, suhu tubuh Harish meningkat. Alhamdulillah, nggak rewel, malah cepat tidur.
Sepulang tarawih, abi menyempatkan memijat Harish, sebelum berangkat .itikaf.

Saat bangun sahur, suhu tubuhnya sudah normal, tapi masih lesu. Tidak ikut sahur, dia tidur lagi.

"Hari ini, Umi tugas di posko mudik. Tolong jangan ada yang pergi atau main terlalu jauh, jaga Harish," pesan pada tiga putriku saat sahur.

Hmm, sedikit kelalaian yang akan berakibat fatal, jika tak segera disadari dan diperbaiki.

Wednesday, July 23, 2014

Tri Qul

Ini dia surat favorit segala usia. Tiga serangkai surat dalam Al Qur'an yang jadi andalan hafalan.

Awal-awal diajarkan sebelum surat-surat lain, setelah Al Fatihah.

Bukan kebetulan kalau posisinya di nomor terakhir surat-surat Al Qur'an.

Sebagaimana layaknya orang memegang buku, penasaran dengan isinya, maka yang dibuka dan dibaca pertama adalah pembukaannya, kemudian melompat ke halaman akhirnya.

Sebagaimana sebuah cerita, ketertarikan pembaca dan pendengarnya pada opening dan endingnya.

Sebagaimana kita yang tak menyempatkan diri atau malas belajar mengeja huruf-huruf Al Qur'an, maka tiga surat ini cukuplah untuk bekal menghiasi shalat-shalat kita.

Sebagaimana kita yang merasa waktu begitu sempitnya, maka cukuplah tiga surat ini yang menemani shalat kilat kita.

Sebagaimana makhluk belakangan yang suka dengan hal-hal instan, maka cukuplah tiga surat ini yang menjadi senjata sakti mengatasi ketakutan, mengusir setan.

Subhanallah...andai kita mau meluangkan sedikit waktu untuk membuka terjemahan surat-surat ini. Andai saja kita mau mentadaburi makna ayat-ayat di dalamnya...

Tiga surat ini diposisikan di akhir mushaf Al Qur'an, bukan berarti diwahyukan di akhir masa-masa kenabian.

Tiga surat ini berisi pokok-pokok keimanan, yang mana iman mendasari segala keputusan dan sikap hidup seorang manusia.

Di surat ini terkandung ma'rifatullah, pengenalan tentang Allah.

Dialah Allah Yang Esa, tempat meminta, tidak mempunyai anak dan tidak pula diperanakkan, tidak ada yang menyamai-Nya.

Dialah yang menguasai Subuh dan semua waktu, tempat berlindung dari semua jenis kejahatan makhluk-Nya.

Dialah Tuhannya manusia, rajanya manusia, Yang disembah manusia, tempat berlindung dari kejahatan syetan dan pengikutnya.

Banyak riwayat yang mengatakan tentang keutamaan membaca tiga surat ini.

Ada hadist yang meriwayatkan, Rasulullah Saw. membacanya pada pagi dan sore hari dan juga menjelang tidur.

Tapi sebagian kita sering terjepak pada seremoni belaka. Terjebak pada upaya mendapatkan keutamaan dari membacanya, bukan meremehkan atau mengabaikan hal itu, tapi...

Andai kita membacanya sambil mentadaburinya, bisa pasti hasilnya akan lebih baik.

Tentu pengenalan kita kepada Allah semakin meningkat, yang berefek merasa lebih dekat kepada-Nya.

Kita akan merasa aman karena berlindung kepada penguasa alam.

Kita akan merasa lebih mandiri, karena bergantung kepada Dia yang memiliki kekuasaan terhadap seluruh makhluk.


Kerinduan

Pak, baru kusadari begitu dalam rinduku

Yang selama ini kuabaikan karena tak ingin menangis

Tapi saat-saat seperti ini, menjelang lebaran

Abai itu tak sanggup lagi membendung rasa ini

Kurelakan air mata membanjiri mengiringi doaku untukmu

Pak, aku rindu tawamu saat melihat kecentilanku

Aku rindu dehemmu, saat mengingatkan pertengkaran kami, anak-anakmu.

Aku rindu ceritamu pada para tamu, membicarakan prestasiku, yang tak sengaja kucuri dengar

Pak, terima kasih atas warisan yang kau berikan padaku.

Bukan, bukan harta, karena kau tak punya itu

Tapi tauhid yang menghunjam dalam dada, sebagai dasar langkah kehidupanku.

Juga karakter pembelajar yang sangat kubutuhkan tuk menaklukkan jalan terjal di hadapanku

"Nrimo ing pandum" filosofi kehidupan yang mewarnai kehidupan dalam memaknai takdirku

Mak, Alhamdulillah, kau masih ada

Saat rindu ini menggebu ingin berjumpa denganmu

Ah, Mak, sebenarnya aku tak suka dengan sikapmu yang sering ngomel melihat ketidak sigapanku

Tapi kini aku jadi pengikut setiamu, meniru tanpa kumau, aaah, ngeless.

Mak, aku rindu ketupat dan opor ayam buatanmu, yang sampai kini tak kutemui yang dapat melebihi kelezatan buatanmu.

Bagaimana kami berebut siapa paha siapa dada

Kini aku merasakan bahagiamu, seperti saat anakku merindukan sambal ikan buatanku.

Mak, aku juga rindu sekubal yang berjodoh dengan rendang atau tape ketan


Yang sampai saat ini belum kutemui kelembutan sekubal yang kau buat

Bahkan saat sepuhmu, kau tetap membuat itu untuk kami dan cucu-cucumu

Kau tak ingin sampai salah satu kami menanyakannya

Ah, Mak, maafkan, kami memang keterlaluan.

Sudah setua ini masih saja menginginkan masakanmu

Ah, Mak, bukan itu yang menjadi kerinduanku
n

Tapi sungkem dan restumu yang tak henti aku rindukan

Itu semua hanya pernik-pernik yang mengingatkan kerinduan.

Mak, masih menungguku di lebaran ini kan?


Motivator

Wow, kereeen!

Rasanya selalu ingin teriak seperti itu saat ikut acara motivasi, dan...membayangkan, diri ini berdiri di depan sana, menempati posisi motivator itu, he he he.

Tapi sadar, tidak mudah mencapai posisi itu. Selain ilmu yang memadai, kesempatan juga tidak bisa dimiliki. Termasuk faktor u, he he he, sedikit excuse.

Apa kemudian keinginan itu langsung dihapus dari daftar mimpi? Owh, no way!

Semua kita bisa jadi motivator, walau tidak semua kita bisa menjadi yang berbayar nominal.

Kebahagiaan ketika ada seseorang bangkit dari keterpurukan hidup, keputus asaan, kesedihan, karena motivasi kita, itu bayaran yang tidak dapat dinominalkan.

Ketika jiwa motivator itu telah tumbuh dalam diri, tak perlu diundang. Pada saatnya dia akan muncul otomatis, tanpa rekayasa, tanpa dipersiapkan dengan berbagai materi.

"Lagi down banget, agak nggak enak badan, jadi ingat Umi. Pengen diberi motivasi, agar semangat lagi," bunyi SMS dari seorang teman anakku di pondok.

Heran juga sih, tapi senang, he he. Baru sekali bertemu dan ngobrol ringan, dia termotivasi. Kalau tidak, mana mungkin akan SMS seperti itu?

Menjadi motivator tidak harus bicara di depan forum, di ruang seminar atau di hadapan aksi solidaritas.

Senyum tulus dan wajah ceria, selalu gembira, akan menyebarkan aura optimiseme, itu juga motivasi.

Tatap simpati, sabar mendengar, itu juga bagian dari motivasi.

Senang berbagi, membantu mencarikan solusi, itupun motivasi.

Tidak mengeluh, banyak beraksi dalam kebaikan, itu juga motivasi.

Buat status, juga bisa lho jadi motivasi. Mungkin saatnya memilih diksi, agar curhat jadi motivasi #eh bisa ya?

Jadi, semua kita bisa menjadi motivator.


Tuesday, July 22, 2014

Jomblo Mudik

Hari yang cerah! Seharusnya begitu, tapi tidak di hati sebagian jomblo kita ini.

"Kapan mudik?" tanya Wiro, menepuk pundak Richie dari belakang. Richie memandang wajah Wiro sekilas, lalu melengos. Sebel melihat wajah Wiro yang senyum-senyum bahagia.

"Woi! Ditanya kok diam, sih? Sahur sama sambel pete ya semalam?" Wiro mengibaskan tangan di depan wajah Richie.

"Ihh! Reseh!"jawab Richie, membelakangi Wiro.

"Ngapa sih, Chie? Galau berat, kurang ya, THRnya?"

"Kamu enak, mudik dengan aroma pengantin, lha aku?"sungut Richie.

"Oo, itu tho, gimana dengan Re?" Wiro menyelidik, Richie angkat bahu.

Yono muncul dengan wajah berseri, ha ha, yang baru dapat THR.

"Yon, kapan mudik?" Wiro beralih ke Yono.

"Segera, kalau dapat tiket, malam ini langsung berangkat."

"Cie-cie, yang mudik penuh harapan," Wiro mulai iseng.

"Doakan aja, Mas Wiro. Semoga urusan dengan ayah Fa cepat beres," jawab Yono sambil senyum-senyum, tak mampu dan tak berniat menutup rasa bahagianya. Richie melengos.

"Sudahlah, Chie. Lupakan dulu urusan Re, yang penting bisa mudik, kasian Emakmu nunggu THR, ntar nggak dibuatin ketupat lho," bujuk Wiro pada Richie.

"Iya, Mas Richie, harapan selalu ada. Nggak jadi dengan Re, mungkin Allah sudah siapkan pengganti yang lebih baik. Nggak jadi tahun ini, semoga tahun depan sudah nggak jomblo lagi," nasehat Yono.

"Eh, Udin mana, kok nggak kelihatan dari tadi?" tanya Wiro, celingukan.

"Bentar lagi ke sini Mas, tadi gilirannyaa sesudah saya," jelas Yono. Benar saja, Udin berjalan ke arah mereka, tapi...gontai amat, ya?

"Halah... satu lagi wajah galau," seloroh Wiro.

"Iya Mas, cinta bertepuk sebelah tangan," bisik Yono.

"Lesu amat mau mudik, Din?" sapa Wiro, yang memang super ramah dan perhatian.

"Gimana mau semangat? Mudik nggak punya cerita gebetan," jawab Udin, sebel.

"Lho, nggak jadi sama Ri?"

"Telat. Dah punya gebetan."

"Ini penolakan yang keberapa? Perasaan ditolak cewek terus?"

"Sialan, lo," jawab Udin, meninju pelan lengan Wiro.

"Jangan nyerah Din, yang lain masih banyak," tantang Yono.

"Siapa yang nyerah? Ih, amit-amit dah!"

"Chie, nih kayak Udin, optimis sepanjang masa," Wiro mencolek lengan Richie.

"Iya, iya," Richie masih suntuk.

"Kali Emak sudah nyediain calon Chie, kejutan lebaran, he he," hibur Wiro.

"Iya Mas Richie, nggak usah terlalu milih, yang penting sholihah, cantik, cerdas, kaya, direstui emak, dah cukup itu," komentar Yono.

"Huu, kalau yang begitu, gwa juga mau, Yoooon," Udin teriak.

"Kalau nggak cinta gimana, Yon?" tanya Richie, lirih.

"Kalau Mas Richie ikhlas melepas Re, insyaallah bisa mencintai wanita lain, istri Mas, tentunya."

"Jadi sekarang, aku harus merelakan Re?"

"Sepertinya begitu, kalau nggak mau terhambat masa depan."

"Okelah, akan aku coba," jawab Richie, sedikit bersemangat.

"Oke, bersiap mudiiiik!" teriak Wiro dan Udin hampir bersamaan, mereka beranjak meninggalkan tempat itu.

Kecewa

Sepertinya hari ini ada yang kecewa berjamaah! Ups! Maksudnya, banyak orang kecewa dengan sebab yang sama. Ini hari yang dinanti-nanti bangsa Indonesia, penentuan siapa presiden berikutnya.

Dua pasang calon preisden, dengan usaha maksimal bersama timsesnya, sudah mengeluarkan semua jurus yang bisa dilakukan untuk menarik perhatian dan dukungan masyarakat Indonesia.

Setiap kompetisi selalu berakhir dengan kalah-menang.

Yang menang, tentunya bahagia, gembira, lega, usahanya tidak sia-sia.

Yang kalah sudah tentu kecewa, sedih, bahkan marah.

Itu wajar, sangat manusiawi. Semua kontestan sudah pasti siap menang, tapi belum tentu semua siap kalah.

Saatnya menata hati, untuk kedua belah pihak.

Apapun hasilnya, sesuai keinginaan atau tidak, menerima atau tidak, hendaklah kita hormati bulan suci ini. Sudah terlalu banyak hal-hal yang menyakitkan kita lakukan, tanpa paham hakekat dari kelakuan itu.

Menyedihkan memang, ketika kita punya keinginan mulia, bersih dan ksatria memperbaiki bangsa, tak begitu saja dibiarkan melenggang dan diterima. Perbedaan pemahaman, latar belakang dan kepentingan, membuat kita belum mampu melaksanakan butir-butir kesepakatan dalam berbangsa dan bernegara.

Menyedihkan memang, keinginnan mulia memperbaiki masyarakat Indonesia, harus dikotori dengan perpecahan dan permusuhan, putusnya silaturahim antar saudara.

Menyedihkan memang, kepedulian kepada bangsa oleh sebagian rakyat Indonesia yang menginginkan perubahan ke arah yang lebih baik, justru menumbuh suburkan manusia-manusia culas yang memanfatkan situasi, menyebar fitnah, membakar semangat kebencian dengan segala jenis intrik dan kecurangan. Siapa yang curang menuduh siapa? Siapa yang melempar batu sembunyi tangan? Kecanggihan teknologi mampu menutupi itu semua.

Ah...sudahlah. Yang dikehendaki-Nya sudah terhidang di depan mata. Tinggal kini, pilihan sikap!

Yang menang bisa memilih bergembira, berpesta, membully pihak yang kalah, atau bisa juga memilih bersikap bijak, melupakan segala kesalahan yang telah lewat, merangkul pihak yang kalah untuk bersama membangun negeri. Karena untuk berbuat tidak harus dengan menjadi presiden. Sebelum jadi presiden sudah banyak kebaikan yang dilakukan, maka lanjutkan kebaikan itu dengan menjadi presiden ataupun tidak.

Yang merasa dikalahkan pastinya kecewa. Setiap mengikuti kompetisi pasti yang diinginkan dan diperjuangkan adalah kemenangan. Tapi kalah adalah alternatif takdir yang tersedia. Pihak yang kalah pun dituntut menenetukan sikap. Menerima dengan legowo, menerima dengan catatan, atau menolak dengan gugatan terhadap sistem pnyelenggaraan.

Penyelenggara kompetisi adalah manusia, kontestannya juga manusia, pengawasnya manusia, pendukung dan pemilihnya manusia, pengamatnya pun manusia. Semuanya manusia dengan karakter manusiawinya.

Manusia tidak ada yang sempurna. Manusia selalu mmiliki sisi baik dan sisi buruk.

Manusia tidak ada yang bersih dari kesalahan. Manusia punya kepentingan.

Manusia bijaklah yang mampu mengendalikan sifat-sifat manusiawinya.

Manusia bijaklah yang mau memandang dengan kebersihan niat dan pikiran.

Manusia bijaklah yang ketika menang tidak jumawa, karena kemenangan itu tak akan wujud tanpa izin-Nya.

Manusia bijaklah yang mengapresiasi kemenangan dengan elegan dan pemaafan.

Manusia bijaklah yang mau menghormati sistem yang jujur.

Manusia bijaklah yang menghadapi kecurangan lewat jalur hukum.

Manusia bijaklah yang mampu mematahkan kesombongan dengan kesantunan.

Sekian hari kita terlibat dalam situasi kompetitif ini, suka atau tidak, sengaja atau tidak.

Mungkin kita termasuk yang memposisikan diri di salah satu kubu kompetitor, bahkan sebagai pendukung aktif.

Mungkin kita memposisikan diri sebagai penonton, menikmati kompetisi di pinggir gelanggang, menanti hasil akhir, sambil mengamati dan sedikit-sedikit berkomentar meramaikan suasana agar tak tersebut cuek.

Sebagai apapun kita saat kompetisi, saat ini sudah saatnya kita kembali pada posisi.

Kembali jalin ukhuwah, saling memaafkan. Pelajaran sudah kita selesaikan, nilai diri sudah kita dapatkan. Tak ada yang terlewat dalam catatan malaikat, apa yang sudah kita lakukan di hari lalu.

Jangan khawatir tehadap dunia yang tidak adil, karena akhirat pasti adil.

Jangan khawatir ada yang lolos dari jerat hukum terhadap apa yang dilakukannya, sang pencatat tidak pernah tidur.  

Tak perlu lega selega-leganya, walau palu telah diketuk, pengadilan hakiki tak pernah berhenti.

Tak perlu kecewa sekecewa-kecewanya, karena keadilan tak takut menampakkan diri, walau seluruh dunia menghalangi.

Munafik

"Sebel!" Sari masuk rumah dengan muka cemberut.

"Salamnya mana, cantik?" tegur Salma, ibunya.

"Mikum!"

"Waduuuh, gimana Mama jawabnya ya, salamnya aja nggak bener gitu?"

Sari menghempaskan tubuhnya ke sofa, tampak sekali hatinya sedang kisruh. Salma menghampirinya.

"Ada apa, pulang-pulang sewot begitu."

"Itu, Indah nyebelin banget, dasar muna!"

"Muna apaan sih?" tanya Salma, dia sering nggak tahu istilah anak remaja sekarang.

"Munafik!" jawab Sari, ketus. Salma berusaha bersabar melihat sikap anaknya yang jauh dari sopan.

"Munafik? Hati-hati nak menggunakan kata-kata itu. Memang Indah melakukan apa, kok sampe di bilang munafik?"

"Munafik kan luar dan dalam beda? Kemarin bilang benci sama Hengki, eh...tadi diajak jadian malah langsung iya, coba... munafik nggak itu?" Sari berapi-api menjelaskan penyebab kegusarannya.

"Nak, katakanlah sesuatu yang kamu sudah paham, apalagi untuk labelisasi seseorang. Munafik itu golongan manusia yang tempatnya di kerak neraka lho," jelas Salma.

"What!" Sari mendelik.

"Bahkan dalam Al Qur'an ada surat yang namanya Al-Munafiqun. Isinya menjelaskan tentang karakter orang-orang munafik. Diantara sifatnya, pendusta, mudah bersumpah palsu, menghalangi manusia dari jalan Allah. Apa Indah punya sifat seperti itu?"

Sari diam. Tidak menyangka begitu mengerikan sifat orang munafik, dan Indah? Masyaallah! Ya nggak sejauh itulah.

"Bukannya munafik itu antara yang diucapkan berbeda dengan yang ada dalam hatinya?" tanya Sari.

"Itu salah satunya, dan itupun menyangkut sesuatu yang sangat penting, yaitu keimanan. Sesungguhnya mereka sebelumnya adalah orang beriman, kemudian menjadi kafir, maka hati mereka dikunci, sehingga mereka tidak dapat mengerti."

"O, maksudnya dalam hatinya sudah kafir, tapi karena sebelumnya mereka beriman, maka orang melihatnya seperti orang beriman, ya Ma?"

"Kira-kira begitu. Jadi jangan heran kalau ada yang ilmu agamanya bagus tapi tidak mencerminkan keilmuannya, karena ya itu tadi, untuk taat pada Allah bukan semata berilmu, tapi harus beriman."

"Wah, susah juga ya mengidentifikasi orang munafik? Kalau kafir kan, jelas?"

"Dan kita juga tidak boleh sembarangan menuduh orang munafik. Cukuplah itu untuk melihat diri kita, apakah ada sifat kemunafikan. Juga untuk kewaspadaan menghadapi orang-orang yang terlihat menghalangi manusia menuju Allah."

"Ma, punya pulsa?" tanya Sari, dengan wajah yang ceria.

"Kenapa, mau pinjam hape?"

"Iya, mau minta maaf sama Indah, tadi sudah ngomongin dia muna, astaghfirullah.

"Ya sudah, besok coba di baca sama Indah, Surat Al Munafiqun, surat yang ke 63."

"Iya, Ma. Besok jadwal kajian, biar sekalian tanya sama ustadzah."

"Sekalian tuh dibahas, masalah Indah yang jadian dengan Hengki."

Sari nyengir, dia tahu maksud mamanya, biasalaah kalau sudah ngomongin pacaran.

Monday, July 21, 2014

Impian Pertama = Hafidz Qur'an

“Mi, aku keluar, ya?” pintaku. Baru saja menceritakan pengalaman di boarding school, yang baru dua bulan berjalan..

Umi kaget, dan memandangku seakan meyakinkan apa yang baru didengarnya. Beliau tidak segera menjawab, hanya menghela nafas berat. Aku tahu yang dirasakannya, beratnya beban yang ditanggung. Bukan sedikit uang yang sudah keluar, bahkan dengan berhutang. Tapi demi pendidikan anak-anak, semua itu dilakukan. Mungkin juga umi belum bisa mebayangkan, anaknya putus sekolah.

“Besok kita bicarakan dengan Abi, siapkan proposal sederhana,” tegas Umi, meninggalkanku dengan wajah yang belum kumengerti.

Proposal?

Untunglah, waktu di pondok tahfidz, aku pernah jadi ketua panitia kegiatan, sehingga sempat diajari membuat proposal sederhana oleh ustadz pembimbing. Insyaallah bisa, bukankah semua sudah rapi kurencanakan? Tinggal menuangkannya dalam bentuk tulisan.

Selama ini memang Umi mengajarkan, bagaimana cara mengambil keputusan. Semua harus dengan perhitungan dan pertimbangan yang matang.

Keesokan harinya, aku diminta presentasi di hadapan Umi dan Abi.

Sebelum bicara, kuperhatikan wajah Abi. Terlihat sedikit tegang. Pasti Umi sudah menceritakan apa yang kusampaikan kemarin.

Aku berdehem, sebagai salah satu upaya menenangkan diri dan menarik perhatian.

“Aku pikir, empat tahun terlalu lama untuk tinggal di asrama. Banyak sekali yang ingin aku lihat dan lakukan. Cukuplah empat tahun terkungkung di pondok tahfidz.”

Menit-menit pertama aku merasa canggung, demam panggung, seperti saat tampil di depan kelas atau saat jadi MC di sekolah. Kuulang ceritaku pada Umi kemarin. Bahkan lebih detil lagi tentang kondisi di sana.

“Bukankah itu kesepakatan kita? Tidak ada yang memaksa?” Abi mengingatkan.

“Aku juga tidak terpaksa, saat itu. Tapi setelah mengkhatamkan hafalan 30 juz, pikiran berubah. Apalagi setelah menyaksikan langsung, sepertinya yang kucari tidak ada di sana.”

Kulihat wajah Abi mengeras. Menahan emosi. Beliau tahu sifatku. Tak mudah surut ke belakang, ketika sudah menentukan pilihan. Kemungkinan beliau memberatkan biaya yang sudah dikeluarkan untuk pendidikan di boarding school, dan tentunya tidak bisa kembali kalau aku keluar.

“Setelah keluar, mau apa?” tanya Umi, dengan wajah sendunya. Berusaha memahamiku dan  juga Abi.

“Rencana mau ke kampung bahasa, Pare, Kediri. Mau ambil kursus bahasa Inggris, mungkin kursus lain juga. Katanya di sana biayanya murah,” jawabku, mantap.

“Biaya lagi?” Abi bertanya, setengah mengeluh. Aku maklum, maafkan anakmu, Bi, batinku.

“Mohon keikhlasan Abi dan Umi atas biaya yang sudah keluar. Aku pikir, lebih cepat lebih baik. Kalau menunggu empat tahun, setelah itu kuliah, bisa dibayangkan berapa biaya yang harus dikeluarkan? Adik-adik membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Aku ingin lebih cepat mandiri, setidaknya mengurangi satu beban Abi dan Umi.”

Aku kasihan pada orang tua, yang begitu gigih memilihkan sekolah terbaik untuk anak-anaknya. Semua disekolahkan di TKIT dan SDIT, yang bukan rahasia lagi, sangat besar biayanya. Aku tahu, uang daftar ulang dan SPP sering menunggak. Untunglah ada kebijakan dari pihak sekolah.

“Abi cukup membiayai sebesar kesanggupan saat  di boarding school,” lanjutku.

“Untuk pendaftaran, tempat tinggal, gimana?”

“Sebelum ke Pare, aku mau ke Jakarta dulu, ikut musabaqah hafidzul qur’an, di kedutaan Saudi. Menang ataupun tidak, peserta akan mendapatkan biaya transport, insyaallah cukup untuk ambil paket kursus tiga bulan dan asramanya.”

“Gimana dengan pendidikan formal?” tanya umi.

“Aku tetap akan kuliah, tapi untuk tingkat SLTA anggap saja ikut homschooling, nanti ikut ujian paket C. Ijazahnya bisa kok untuk daftar kuliah.”

“Apa nggak sayang? Ayah pikir, dengan hafal Qur’an, lebih baik mengambil jurusan agama, nantinya jadi ulama.”

“Aku nggak mau jadi ulama, adek aja yang jadi ulama dan punya pondok. Nanti aku yang memback up dengan jadi pengusaha,” jawabku mantap.

Pada umumnya, seorang hafidz qur’an menjadi ulama atau pengasuh pondok pesantren. Maka ilmu agama itu akan berpusar di pesantren, sedang aku ingin, agama itu mewarnai kehidupan pada umumnya.

Bukankah agama diturunkan untuk menuntun kehidupan manusia?

Pembicaraan saat itu belum ada keputusan. Terlihat abi masih berusaha mencegah, tapi umi nampak sekali memahami.

Untuk sementara, aku pamit ke pondok tahfidz, memberi kesempatan umi dan abi merundingkan masalah itu. Saat akan berangkat, kucari-cari sandal baru yang kubeli dengan uang saku yang kudapat saat mengikuti musabaqah tingkat kabupaten, raib.

“Cari apa?” tiba-tiba umi bertanya dari belakang.

“Sandal...hilang,” jawabku, sedih.

“Sedih ya, kehilangan sandal harga seratus ribu?”

Aku tahu, umi mengingatkan. Betapa berat abi kehilangan uang jutaan rupiah yang terpaksa diinfakkan, jika aku jadi keluar.

Alhamdulillah, umi dan abi akhirnya meridhai. Aku tahu, itu semua tak lepas dari usaha umi yang intensif berdialog dengan abi. Satu kalimat yang sempat aku curi dengar, yang dikatakan umi pada abi,”Selama ini kita mendidik anak-anak bermental pemimpin. Berani mengambil keputusan. Apakah kita akan menjilat ludah sendiri?”

Yang dikatakan ustadz waktu di pondok tahfidz qur’an benar. Setelah khatam menghafal, semua yang aku cita-citakan diberi jalan kemudahan, walaupun bukan berarti aku santai-santai. Sunatullah tetap berlaku, yang gigih akan menuai kesuksesan.

Hafidz Qur’an, hafal seluruh isi Al Qur’an, adalah mimpi pertama yang ditanamkan umi dan abi pada kami, anak-anaknya. Untuk cita-cita yang lain, silahkan beri nomor urut impian berikutnya. Setiap kami bicara-cita-cita, umi dan abi tersenyum dan menjawab,”Bagus. Umi dan Abi dukung, tapi setelah hafidz Qur’an ya?”

Sebuah janji Allah yang melatar belakangi proyek impian ini, bahwa, jika kita mengejar dunia, maka dia akan meninggalkan kita dan akhirat tak akan kita raih. Jika kita mengejar akhirat, maka dunia akan mengejar kita.

Tiga bulan aku di Pare, lalu kembali ke rumah. Kemudian aku ikut bengkel elektronik, belajar katrampilan reparasi barang elektronik. Dua bulan cukup, lanjut ikut konter hp, belajar reparasi hp, sambil memberi privat membaca dan menghafal Al Qur’an.

Karena tinggal dengan orang tua, maka biaya hidup ikut keluarga. Hasil privat aku simpan, untuk uang muka kredit motor. Betapa bahagia, saat umur 16 tahun aku bisa mengeluarkan motor dari dealer, sebuah pencapaian yang sangat aku syukuri dan...bangga juga he  he.

Di tahun itu, aku sering di ajak abi menemui beberapa temannya yang sukses. Ada yang sukses mengelola bimbel, sekolah atau bisnis. Abi mengajak membuka wawasan seluas-luasnya dari pengalaman orang lain.

Tahun kedua, aku kembali ke Pare, mengambil program lanjutan.

Terpaksa kredit motor abi yang menanggung, kan aku sudah tidak berpenghasilan? Maaf, Bi, merepotkan lagi.

Kepergian ke Pare kali ini menjadi awal perubahan, setelah aku dipertemukan dengan ayah seorang temanku di pondok tahfidz dulu. Aku diikutkan dalam proyeknya, home schooling bisnis, menemani anak-anaknya. Tanpa biaya. Subhanallah.

Situasi belajar yang kudambakan selama ini, telah kudapatkan. Tanpa harus pakai seragam, waktu disesuaikan, tapi dengan disiplin tinggi, tahan banting dan siap dengan perubahan yang tiba-tiba.

Saat belajar tentang birokrasi, kami dimagangkan di kantor notaris. Mempelajari segala hal yang ada kaitannya dengan perusahaan. Langsung praktek membuat NPWP dan CV. Ha ha, usiaku yang baru saja 17 tahun membawa kesulitan. Bagaimana aku harus bernegosiasi dengan dinas, karena ada yang mensyaratkan usia 18. Dengan bantuan pembimbing, akhirnya aku bisa memiliki NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak) dan akta notaris CV, walaupun belum langsung dioperasikan.

Ketrampilan juga aku tingkatkan. Saat libur lebaran, abi menyewa mobil untuk silaturahim ke keluarga besar. Saat istirahat, aku belajar nyetir.

Alhamdulillah, saat mobil dikembalikan, aku sudah bisa, tinggal banyak berlatih. Ketika usia mencukupi, aku langsung buat SIM A. Wah, tambah beragam yang bisa aku kerjakan. Kadang jadi supir, kadang jadi kurir, sekali waktu menggantikan bos meeting. Saatnya belajar properti, aku dimagangkan di perusahaan properti, Seperti karyawan lain, ngantor dari pagi sampai sore.

Usiaku belum 20 tahun. Aku kuliah seperti teman lain, walaupun di Universitas Terbuka, agar waktu belajarnya fleksibel. Waktu lain aku gunakan untuk magang, sebagai program home schooling yang terus berlanjut. Mungkin orang menganggapku bekerja sambil kuliah, he he.

Kuakui, bukan hal mudah dan ringan menjalani semua itu. Bagaimana aku harus tetap berinteraksi dengan Al Qur’an sesering mungkin, sebagai seorang penghafal sekaligus penjaga Al Qur’an. Aku sadar, tak ada kepastian nafas ini berpisah dengan badan. Aku ingin, saat menghadap-Nya, hafalanku sempurna, sehingga janji Allah berlaku untukku, surga tertinggi.

Sebagai seorang karyawan magang, aku harus membuktikan, profesional dalam setiap amanah yang diembankan.

Sebagai mahasiawa, aku juga harus ada waktu untuk belajar, agar mahasiswa, bukan sekedar status untuk keren-kerenan.

Sebagai anak tertua, aku harus memberi contoh yang baik pada adik-adikku, walau tak sempurna.

Aku tahu, ini belum apa-apa, masih jauh dari sukses yang kudambakan. Tetapi setidaknya, impian pertama telah kuraih. Aku siap meraih mimpi-mimpi berikutnya, yang terus bertumbuh.

Saat merenung, aku ingat cita-citaku di sekolah dasar, mau jadi Prof.Dr. yang pembalap juga hafidz Qur’an.He he, keren banget kan? Setidaknya sebagian sudah aku dapatkan, entahlah dengan Prof.Dr. Semakin bertambah usia, semakin kupahami makna hidup ini. Bukan sekedar gelar yang memperpanjang nama, tapi seberarti apa hidup kita untuk orang-orang yang ada di sekitar.

Aku telah membuktikan, menjadikan hafidz Qur’an sebagai impian pertama, adalah benar.

Terimakasih Umi...Abi, love you.

Friday, July 18, 2014

Badai Pasti Berlalu

Syair sebuah lagu lama, tapi banyak benarnya ketika kita kaitkan dengan pengalaman hidup.

Bukan mau berdalil dengan syair sebuah lagu, sekedar membahas hal yang sudah familiar dengan permasalahan hidup yang sering membelit.

Setiap manusia pasti pernah menemui masalah dalam hidupnya. Besar kecilnya masalah, sangat tergantung pada persepsi yang bersangkutan.

Untuk sebuah masalah sejenis, ada yang menganggapnya sekedar angin lalu, sedang menurut orang lain, bisa dianggap sebagai badai yang siap meluluh- lantakkan kehidupannya.

Yang pasti, sunatullahnya, baik angin ataupun badai, akan berlalu. Karena keduanya identik dengan gerak. Pernahkah mendengar badai yang tak pernah pergi dari suatu tempat? Ha ha, ya bukan badai namanya.

Seperti itulah masalah dalam kehidupan, dia akan silih berganti menghampiri. Sebagaimana kegagalan dan kesuksesan, semua akan dipergilirkan.

"Dan Kami pasti akan menguji kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar." Terjemah QS Al Baqarah : 155

"Jika kamu (pada perang Uhud) mendapat luka, maka mereka pun (pada perang Badar) mendapat luka yang serupa. Dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu, Kami pergilirkan di antara manusia (agar mereka mendapat pelajaran) dan agar Allah membedakan orang-orang yang beriman (dengan orang-orang kafir) dan agar sebagian kamu dijadikan-Nya (gugur sebagai syuhada). Dan Allah tidak menyukai orang-orang yang dzalim. Dan agar Allah membersihkan orang-orang yang beriman (dari dosa mereka) dan membinasakan orang-orang kafir." Terjemah QS Ali Imron ayat 140-141.

Begitu jelas tergambar dalam ayat tersebut, mengapa angin dan badai itu selalu menghampiri.

Tiada kesia-siaan dalam ciptaan Allah. Semua ada tujuannya.

Dengan permasalahan yang dihadapkan, Allah akan melihat, siapakah hamba-hamba-Nya yang bersabar, beriman, atau kafir. Dan Allah menyiapkan konsekuensi dari setiap sikap yang kita pilih dalam menghadapi segala permasalahan itu.

Salah Kaprah

Harish mengalihkan pandangannya dari layar TV, saat Richie mengambil kunci motor di atas lemari buku.

“Ke mana, Mas?” tanyanya.

“Jalan-jalan, ikut?”

“Ke mana?”

“Keliling-keliling aja, sambil nunggu beduk.”

“Beduk siapa? Temannya Mas Ichie, ya?”

“Huss! Harish tau beduk, nggak?” Harish menggeleng.

“Ingat nggak waktu ikut Mas ke Islamic Center. Di sebelahnya ada benda besar, yang Harish pukul-pukul bunyi dug-dug dug?” Harish pakai gaya serius, mata melirik, alis berpaut, jidat mengkerut.

“Ooo, yang terus Harish dimarah bapak-bapak itu ya?”

“Pinterrr!”

“Emang beduknya mau ke sini? Naik apa, Mas? Kan nggak bisa jalan?”

Hadeeeh! Pusing juga menjelaskannya. Toh selama ini mau buka nggak nunggu suara beduk, yang terdengar suara adzan. Iiih, kenapa juga tadi latah, ngomong nunggu beduk?

“Nggak jadi nunggu beduk deh. Mau ikut beli susu kotak, nggak?”

“Mau-mau-mau!” jawab Harish sambil loncat dari kursi goyang, mengambil sandal.


#fiksi

Thursday, July 17, 2014

Jangan Bingung

Sebagai rakyat Indonesia, sepertinya kita layak bingung mengikuti perkembangan di negeri sendiri.

Bagaimana tidak?

Tiba-tiba bermunculan ahli politik, pengamat dunia, ahli sejarah, kritikus media, dan lain-lain.

Nggak percaya?

Buka beranda facebook! Baca status yang diupdate teman-teman maya kita!

Mau cari status yang seperti apa?

Ada semua.

Yang menyanjung-nyanjung salah satu calon presiden, ada.

Yang membully dan menjelek-jelekkan calon lainnya, bertebaran.

Yang mengumbar emosi, sampai lupa diri, menghujat orang yang dibenci, banyak.

Yang membela Israel dengan alasan keseimbangan informasi, juga ada.

Yang bersemangat mendukung jihad Palestina, ada.

Yang mengharu biru dengan doa-doa kemanusiaannya, juga ada.

Bingung? Mau ikut yang mana? Mau mendukung siapa? Mau buat status seperti apa? Mau komentar apa?

Biasa saja! Lakukan apa yang harus dan pantas dilakukan, dengan sebuah pegangan.

Apapun yang kita tuliskan, ucapkan, semua berdasarkan informasi yang bisa dipercaya.

Yakinlah, bahwa semua manusia ada sisi baik dan buruknya, maka berusahalah untuk adil.

Ucapkan dan tuliskan sesuatu yang bermanfaat, syukur-syukur menginspirasi dan memotivasi orang lain untuk menjadi lebih baik.

Popularitas itu perlu dan menyenangkan, tapi jangan jadikan tujuan, karena itu bisa menjebak langkah kita ke depan.

Pastikan! Apapun yang kita ucapkan dan lakukan, harus dipertanggung jawabkan, tidak di dunia ya...di akhirat.

Sepuluh Terakhir

Teronggok di sudut kursi
Meratapi hari yang telah pergi

Dua pertiga bagian telah terlewati
Tinggalah kini sepuluh hari dinanti

Di mana semangat itu bersembunyi
Saat dibutuhkan tuk meningkatkan energi
Melipat gandakan tadabur dan mengaji
Harapkan Dia bersihkan diri
Kembali lahir di hari fitri

Canda tawa lupakan diri
Abaikan sepuluh hari sangat berarti
Seribu bulan ingin dicari
Kegagalan lalu terulang lagi

Jangan...jangan sampai terjadi
Kesempatan masih menanti
Hadirkan hati di hari-hari ini
Kesempatan tidak datang berulang kali

Wednesday, July 16, 2014

Setengah Ramadhan

Delapan belas jam! Bisa membayangkan puasa selama itu?

Bagi kita, bangsa Indonesia terbiasa puasa sekitar dua belas jam. Kalau harus ditambah enam jam, sanggup? Byuuuh! Langsung mules nih perut!

Tapi itulah yang biasa dijalani saudara-saudara kita di negara yang mempunyai empat musim.

Sebulan terakhir fokus pembicaraan Hatif di telpon maupun chatting, tak lepas dari masalah itu. Berpuasa di Turki yang sedang musim panas selama 18 jam.

Nggak tahu juga sih, musim panas di sana seperti apa. Apakah lebih panas dari musim kemarau di Indonesia, atau panasnya hangat. Kan beda sinar matahari di negeri tropis dan non tropis. Eh, benar nggak sih?

Dalam kondisi seperti itu dia harus berjuang keras, mempersiapkan ujian akhir, tahun pertama.

Ha ha, bukan ujian fisika, bahasa atau olah raga, tapi ujian hafalan.

Hafalan Al Qur'an yang 30 juz itu di uji, agar tetap terkontrol kualitasnya.
Selain itu juga ujian hafalan nahu saraf,  maaf kalau ada salah penulisan tidak sesuai lafadz, ini dari KBBI.
Juga fikih, dan katanya (dulu pernah cerita) semua dalam bentuk lisan. Subhanallah...hafalan cuy!

Jadi membayangkan bagaimana perjuangan para ulama salaf dulu menuntut ilmu dengan sarana yang sangat terbatas. Mereka bersemangat melakukan perjalanan yang jauh dan panjang, dengan berkendara seadanya, demi mengejar ilmu. Andalan mereka adalah kekuatan hafalan.

""Umiiiiiiiiiii"" Alhmdulillh UJIAN nya lancarrrrrrr" " Ujian hafalan quran: 100 Kitap nahu shrof :95 Kitap fiqih:95 Seneng banget rasa nya ,,stengah romadhon yg sangat dasyat pagi sampe malm belajar, puasa yg lama dan kegalauan2 yg ku rasakan sdh LEWAT .,...........mksh atas DOA nya mi. .........

Tuesday, July 15, 2014

Sarapan Guru PAUD

Jangan dibayangkan roti, mentega dan susu. Atau nasi goreng spesial ditemani teh panas.

Bukan! Bukan itu!

Seperti menu makan kita, setiap hari berganti dan bervariasi. Kadang ketemu menu favorit, tapi kadang terpaksa harus menikmati menu yang hhhh...tapi semua harus diterima.

Senyum ceria, salam dari murid-murid yang datang adalah menu yang sangat diharapkan ketika berangkat dari rumah.

Anak-anak yang datang tanpa senyum, tak mau lepas dari sipengantar, perlu bujukan untuk masuk kelas, hmm...lumayan, masih agak enak.

Bagaimana dengan anak-anak yang ekspresif? Menangis dengan heboh, membuat hingar-bingar suasana.
Kadang-kadang tangisan itu menular, wah! Seruuu!

Ada lagi anak yang menangis sambil berlari keluar, he he, gurunya lupa mengunci pintu. Sianak mengejar pengantarnya yang sudah tak tampak lagi. Seru!

Ada yang buat program sendiri, yang lain masuk kelas, dia main sendiri.

Andai aku jadi mereka...sanggupkah?

Belum lagi jika terjadi sesuatu yang tak diharapkan, anak bertengkar atau terjatuh.


Belum lagi menghadapi konsultasi orang tua, bahkan komplen terhadap kebijakan dan pengajaran.

Andai aku jadi mereka... sanggupkah?

Bagaimana dengan anak-anak yang belum mandiri? Dari urusan BAK dan BAB? Belum lagi ada yang minta minum? Makan harus disuapi?

Memang luar biasa, apalagi ini model fullday, dari jam 7.30 sampai 16.00.

Semoga mereka diberi kesabaran yang lebih, sehingga bisa menunaikan tugasnya sesuai visi misi yang dicanangkan.

Mereka telah mengambil alih tugas orang tua sebagai pembina generasi. Pendidikan usia dini merupakan saat-saat pembentukan karakter, ketika orang tua salah memilihkan peran pengganti, maka mereka ikut bertanggung jawab atas amanah yang harusnya menjadi tanggung jawabnya.

Antara Akidah Ibadah Muamalah

Heran!

Ketidak harmonisan di kalangan umat Islam semakin memprihatinkan! Dan itu sepertinya meliputi segala lini kehidupan. Dalam urusan ibadah, kemasyarakatan, politik dan sebagainya, baik di dunia nyata maupun di dunia maya.

Ada apa ini?

Bukankah konsep Islam itu jelas, meliputi semua aspek kehidupan? Atau mungkin justru di situ masalahnya? Tentang pemahaman Islam yang berbeda-beda?

Dalam Islam, ada tiga istilah mendasar yang harusnya dipahami oleh seorang Muslim, agar bisa melaksanakan ajarannya dalam kehidupan sehari-hari, yaitu akidah, ibadah dan muamalah.

Akidah adalah iman yang teguh dan pasti, yang tidak ada keraguan sedikitpun bagi yang meyakininya.

Dalam Islam, akidah mempunyai kedudukan yang sangat penting. Ibarat sebuah bangunan, maka akidah Islam berperan sebagai pondasi, yang kekuatannya sangat menentukan kualitas dari bangunan tersebut.

Akidah Islam merupakan ajaran yang bersifat taufiqi, artinya suatu ajaran yang hanya dapat ditetapkan dengan adanya dalil dari Allah dan rasul-Nya. Maka sumber ajaran akidah adalah terbatas pada Al Qur'an dan As Sunnah saja. Tidak ada yang lebih tahu tentang Allah kecuali Allah itu sendiri. Tidak ada manusia yang lebih tahu tentang Allah, kecuali Rasul-Nya.

Ibadah adalah taat kepada Allah dengan melaksanakan perintah-perintah-Nya (yang digariskan) melalui lisan rasul-Nya. Ibadah juga merupakan ketundukan kepada Allah yang didasari mahabbah/ cinta.
Ibadah meliputi ibadah amalan yang berhubungan langsung dengan Allah ataupun hubungan sesama manusia dan alam yang mengikuti tuntunan aturan Allah.

Muamalah adalah hubungan kepentingan antar manusia yang dalam Al Qur'an disebut sebagai habluminannas.

Lalu, apa hubungan antara akidah, ibadah dan muamalah?

Idealnya, seseorang yang akidahnya baik akan melahirkan amalan ibadah yang baik dan uamalah yang juga baik.

Tetapi pada kenyataannya, sering kita temui, atau diri kita sendiri, merasa mempunyai akidah yang baik tapi masih sering malas beribadah dan kurang baik dalam bergaul.

Kadang kita melihat orang lain, ibadahnya rajin, kelihatan khusyuk, tapi tidak disukai lingkungannya karena sering bersikap yang menyinggung hati orang lain. Tentang akidahnya, kita tidak tahu, karena itu tentang hatinya, hanya dirinya sendiri dan Allah yang mengetahuinya.
Sering juga kita temui, seseorang yang disukai di masyarakat, tetapi bukan termasuk yang rajin ibadah.

Idealnya, seseorang yang meyakini, bahwa Allah adalah pencipta alam raya. Yang Maha Kuasa dan Maha Perkasa. Logis bukan kalau kita sebagai makhluk yang diciptakannya berterima kasih dan bersyukur pada-Nya? Caranya? Ya dengan mentaati aturan yang dibuat-Nya. Tentunya Sang Pendipta sangat paham dengan hasil ciptaannya dan membuat peraturan yang sesuai, untuk kebaikan ciptaan-Nya.

Bagaimana dengan manusia lain yang juga ciptaan-Nya?

Mereka semua sederajat dengan kita di hadapan Sang Pencipta. Kita memandangnya sama seperti kita memandang diri kita sendiri.

Kita punya kelebihan yang ingin diapresiasi, dan punya kekurangan yang ingin dipahami dan dimaklumi. Demikian juga mereka. Mana-mana sikap yang ingin kita dapatkan, seperti lemah lembut, dihargai, dikritisi dengan cara baik dan sebagainya, mereka juga ingin sikap yang sama dari kita.
Jika kita tidak suka dihina, merekapun tidak suka dihina.

Ada Rasulullah yang diutus untuk memberi contoh, bagaimana seharusnya seorang hamba bersikap kepada Allah dan makhluk lainnya.

Monday, July 14, 2014

Umi Sekolah Lagi

Cihuiiiii!

Hari pertama Harish sekolah! Hmm, seperti apa nanti ya?

Wah! Pengalaman pertama juga nih untuk Umi, menunggui anak hari pertama di sekolah. Semua kakaknya dulu, Abi yang mengantar dan menunggu, karena Umi sibuk urusan adik kecil. He he he, Harish kan nggak punya adik? Amiin.

Wah semangat banget nih Harish. Dari malam sudah wanti-wanti Umi, bangunin sahur dan waktu  tidur pagi, mau sekolah.
Semua lancar-lancar saja, sampai berangkat.

He he, apa yang dibayangkan Umi terjadi, setelah sampai di sekolah. Harish nggak mau lepas dari sisi Umi.

Hmm. Okelah, Umi ikut masuk kelas. Nggak apa-apa deh, Umi sekolah lagi.

Hari pertama, sesi pertama acara perkenalan di dalam kelas. Ha ha, Umi jadi murid tertua, bahkan jauh lebih tua dari bu guru dan pak gurunya
Sampai selesai sesi pertama, Harish tetap setia menempel di badan Umi. Oke, nggak apa-apa, toh bisa Umi sambil tilawah.

Sesi berikutnya, belajar sholat Dhuha. Harish izin nggak ikut dulu, Bu Guru, he he.
Harish mengajak Umi keluar, minta di jemput Abi. Berhubung Abi belum bisa jemput, Harish makan dulu, berbuka puasa, he he, jam setengah sepuluh.

Setelah makan, Harish mau bermain di halaman, sambil melihat teman-temannya yg sedang belajar di luar kelas. He he, sabar ya teman-teman, Harish belum mau bergabung.

Melihat Harish bermain prosotan, Syawal, teman Harish di masjid komplek, keluar dari kelompok dan bergabung dengan Harish.
Harish mulai bisa tertawa lepas. Sudah lupa dengan ingin pulangnya.

Jam sebelas Abi SMS, jam berapa dijemput.

"Nanti aja, lagi asyik," balasku.

Sampai saat belajar shalat Dzuhur, Syawal ikut shalat kemudian tidur. Harih? Ha ha, nggak biasa tidur siang, izin lagi Bu Guru, semoga besok sudah bisa ikut program.

Yang lain tidur, Harish main di dalam ruang, bongkar pasang, pindah ke puzzel, lalu buku. Berganti-ganti saja teman yang mendekatinya, karena ternyata sebagian murid itu juga tidak bisa tidur.
Di dekati temannya, Harish terlihat sepeti berjaga-jaga, mainan yang sedang digunakannya di pegang erat. Tapi ketika temannya mengambil yang lain, dia diam saja. Akhirnya masing-masing sibuk sendiri.

Bosan dengan bongkar pasang dan puzzel yang terbatas, mungkin karena bukan waktunya bemain, maka tidak dikeluakan, Harish pindah ke meja, yang ada bukunya.

Seorang teman yang usianya lebih muda, mendekati. Ditatap sekilas, lalu kembali asyik dengan bukunya.

"Umi, main di luar lagi, yok," katanya.

"Umi di dalam aja, ya?"

"Nggak mau. Maunya sama Umi."

Oke. Pindah lagi. Harish mulai lagi dengan prosotan dan ayunan. Fasilitas bermainnya memang hanya dua. Sebentar kemudian ada dua anak mendekati, awalnya semua jaga jarak, lama-lama membaur juga.
Jam setengah dua, Abi menelpon.

"Umi, ada jadwal pengajian di rumah ya? Ini Ibu-Ibu sudah ada yang datang."

"Astaghfirullah! Lupa! Gimana ini, Bi?"

"Ya, sebentar, Abi ke situ."

Jarak rumah ke sekolah agak lumayan kalau berjalan kaki, sekitar satu kilometer.

"Harish, Umi pulang ya?"

Harish bergegas memakai sepatunya. Padahal dia sedang asyik bermain.

"Harish sudah selesai mainnya?"

"Belum."

"Sudah pengen pulang?"

"Belum."

"Ya, sudah, Umi pulang sendiri. Harish sama Abi."

Ha ha, langsung copot sepatu, Harish kembali membaur dengan teman barunya.

Aku pulang bawa motor, Abi tinggal sampai jam sekolah berakhir, jam empat sore. Hari pertama, Harish belum mau ikut kegiatan sekolah, nggak apa-apa, yang penting dia sudah merasa sekolah.


Sunday, July 13, 2014

Save Gaza



Allahu Akbar!...Allahu Akbar!

Palestina!...Merdeka!

Palestina!...Merdeka!

Palestina!...Merdeka!

Al Aqso!...Bebaskan!

Al Aqso!...Bebaskan!

Al Aqso!...Bebaskan!  

Yahudi!...Hancurkan!

Yahudi!...Hancurkan!

Yahudi!...Hancurkan!

Yel-yel yang menggetarkan jiwa muslimin yang masih merasakan bahwa sesama muslim bersaudara, di manapun berada.

Suara bersahutan menyulut solidaritas yang mendengar langsung suara itu, juga untuk muslim yang masih merasakan persaudaraan muslim.

Sebagian penyaksi mungkin ada yang merasa heran bahkan sinis, apa pengaruh teriakan-teriakan itu bagi rakyat Palestin yang sedang kelojotan mempertahankan hidup dan tanah air mereka?

Tapi bagi kami, ya, kami! Karena aku ada di sana, ikut berteriak walau tak segagah yang muda-muda. Benar, bagi kami, tak ada yang sia-sia dari apa yang kami lakukan sore ini.

Tak ada yang sia-sia dari suatu kebaikan yang dilakukan seorang hamba, bila dilakukan dengan ikhlas.

Tak sia-sia pendengaran kami siapkan untuk mendengar kabar tentang Gaza dan orasi dari para orator yang pernah menginjak tanah Palestina.

Tak sia-sia mulut kami yang sedang kering dan haus karena puasa, bertakbir meninggikan asma-Nya, meneriakkan yel-yel menghidupkan jiwa yang telah terkontaminasi virus egois dan hedonis.

Kami tidak meminta pemimpin dunia memerintahkan mundur Israel dari Palestina. Itu tidak mungkin mereka lakukan, karena mereka satu millah! Dan telah terbukti mereka tidak mau juga tidak bisa. Kami hanya minta kepada Allah agar mengizinkan rakyat Palestina mengusir Israel dengan bantuan tentara yang tak terlihat, yang Allah kirimkan. Sebagaimana Allah pernah kirimkan tentara burung Ababil melindungi Ka'bah dari serangan Abrahah. Juga pasukan yang memporak-porandakan pasukan Ahzab yang akan menggempur kaum Muslimin. Allah Maha Kuasa untuk melakukan itu semua.

Alhamdulillah, terkumpul infaq berupa uang 147 juta rupiah, satu buah motor, 45 gram emas, 4 jam tangan, sebuah blackberry.

Seorang ibu menangis dalam hati, menitikkan air mata yang berusaha disembunyikannya. Dia tak bisa memberi banyak untuk Palestina, hanya saja dia rela membagi uang belanja jatah berbuka keluarganya, untuk anak-anak Palestina.




Saturday, July 12, 2014

Sebentar Lagi Lebaran

Bu
Kok baju lebaranku cuma satu

Bu
Boleh beli jilbab warna biru

Bu
Aku mau  sandal gambar kupu

Bu
Buat kue lebaran rasa keju

Bu
Lebaran nanti perbanyak uang saku

Bu
Mengapa basah di pipimu

Bu
maaf bila aku menyakiti hatimu

Bu
Maaf bila terlalu banyak pintaku

Ibu ingat anak sebayamu
Di Palestina kelabu



Tentara Tak Terlihat

Dalam suatu riwayat dikemukanan bahwa, pada waktu peperangan Ahzab, pada malam yang sangat gelap gulita, para sahabat Rasulullah bersiap-siap menantikan pasukan musuh.

Terlihat pasukan yang dipimpin Abu Sufyan berada di atas pasukan kaum Muslimin (di atas bukit), sedang orang-orang Yahudi Bani Quraizhah (sekutu Abu Sufyan) berada di bagian bawah (di lembah-lembah). Dikhawatirkan mereka akan mengganggu keluarga dan anak-anak kaum Muslimin.

Pada malam itu teraa angin berhembus sangat kencang. Kaum munafikin meminta izin kepada Nabi untuk meninggalkan tempat itu, dengan alasan rumah mereka kosong. Padahal mereka sebenarnya akan melarikan diri. Setiap orang yang meminta izin kepada Nabi Saw, pasti beliau izinkan. Namun mereka terus lari dan bersembunyi.

Ketika Nabi saw. memeriksa pasukan kaum Muslimin seorang demi seorang, sampalah beliau kepada Hudzaifah seraya bersabda,"Cobalah selidiki keadaan musuh." Hudzaifah pun berangkat. Dia melihat angin menghantam perkemahan musuh, sehingga tiada sejengkal pun perkemahan yang luput dari serangan angin itu. Dia juga mendengar kemah-kemah dan juga barang-barang terlempar batu yang di bawa angin, dan mereka berteriak mengajak kawan-kawannya mundur. Kemudiaan Hudzaifah menghadap Rasulullah dan melaporkan hal ihwal musuh.

Maka turunlah ayat 9 surat Al Ahzab, yang artinya,"Hai orang-orang yang beriman, ingatlah akan nikmat Allah (yang telah dikaruniakan) kepadamu, ketika datang kepadamu tentara-tentara, lalu Kami kirimkan kepada mereka, angin topan dan tentara yang tidak dapat kamu melihatnya. Dan adalah Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan."

Dikutip dari Asbabun Nuzul halaman 425-426.

Tak ada salahnya kita merenungi ayat ini, agar tersambung rasa antara hati kita dengan saudara-saudara di Palestina yang sedang mengalami situasi yang mirip dengan peristiwa di saat ayat ini diwahyukan.

Tak perlu berburuk sangka kepada Allah, yang tidak segera memberikan kemenangan kepada mereka.

Cukuplah kita melihat pada diri, sudah cukupkah doa-doa kita lantunkan di saat berbuka puasa dan sujud-sujud kita? Untuk mereka yang sedang bertaruh nyawa, membela tanah suci warisan kita juga. Mereka sanggup menggantikan kewajiban kita, menjaga tanah suci kaum Muslimin dari jarahan kerakusan Yahudi laknatullah.

Cukuplah doa-doa tulus kita semburkan, menggantikan peluru-peluru yang tidak mampu kita belikan.

Cukuplah doa-doa ikhlas kita lantunkan, menggantikan obat-obatan dan makanan yang tak bisa kita kirimkan, jika memang kita merasa sangat miskin.

Tak perlu mencerca aksi teman kita yang memang bisa.

Tak perlu mensinisi doa-doa teman kita yang menyempatkan menuliskan di sosmedia.


Thursday, July 10, 2014

Cek Keberuntungan

Terkadang kita takut mengaku beriman, karena merasa belum hidup dengan cara layaknya seorang yang beriman. Tapi jika disebut tidak beriman atau kafir, tentu juga akan keberatan. Karena tahu balasan untuk orang kafir itu neraka. Membayangkan pun tak sanggup, apalagi menjalaninya?

Ada baiknya kita cek keberuntungan pengakuan iman kita. Patokannya Al Qur'an Surat Al Mu'minun (23) ayat 1 sd 11.

Ciri-ciri orang beriman yang beruntung:

1. Khusyuk dalam salat.

Apakah selama ini salat-salat kita terbilang khusyuk? Apa sih khusyuk? Sederhananya, khusyuk itu menghadirkan hati, maksudnya, saat shalat hati kita juga sedang melakukan salat. Bukan jalan-jalan, atau mencari barang yang hilang. Bukan juga memikirkan sesuatu yang lucu, misalnya ingat status teman yang kocak. Ha ha, ketahuan...ya, memang. Contoh-contoh di atas pernah kualami, he he.

Tidak mudah untuk khusyuk, mungkin itu sebabnya khusyuk menjadi salah satu ciri keberuntungan. Khusyuk harus diusahakan terus menerus dan kalau sudah mendapatkan, harus dijaga dengan ketat. Sehingga bisa menjadi karakter dari salat-salat kita.

2. Menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tidak berguna.

Kalau dipikir, tentunya kita tidak mau melakukan sesuatu yang tidak berguna. Tapi pada kenyataannya?

Nah, untuk menjawab dan memastikannya, mungkin kita perlu menyisihkan sedikit waktu untuk merenungkan apa-apa yang akan kita lakukan. Walaupun "berguna" itu relatif, tapi setidaknya kita sepakat untuk meningkatkan kualitas "berguna" itu.

Kesenangan sesaat, misalnya, untuk orang-orang yang penat bekerja, mungkin bermanfaat, tapi pastikan aktifitas itu tidak melanggar perintah Allah.

Mengingat bahwa "Tidak diciptakan jin dan manusia kecuali untuk menyembah Allah", maka upayakan setiap aktifitas kita lakukan sebagai pengabdian kepada-Nya..  

3. Menunaikan zakat.

Benar, menunaikan zakat ada syarat dan ketentuan yang berlaku. Andainyapun kita termasuk yang belum sampai pada syarat dan ketentuan, setidaknya kita bisa bersedekah dan berinfak. Sebuah aktivitas yang mirip dengan zakat, "Menafkahkan sebagian rizki yang dianugerahkan Allah."

4. Memelihara kemaluan.

"Jangan dekati zina!", ini adalah perintah.

"Jaga pandangan!", ini juga perintah!

"Pelihara kemaluan!", ini juga perintah!

Allah sudah mencegah agar kita tidak terjerumus pada dosa yang berhubungan dengan kebutuhan biologis manusia. Allah sudah memberikan solusi untuk memenuhi kebutuhan itu, menikahlah!

5. Memelihara amanat dan janji.

Baca syahadat adalah janji. Jadi seorang suami/ istri adalah amanat. Menjadi ibu/ ayah juga amanat. Semua itu akan ditanya, dimintai pertanggung jawabannya.

Menjadi pemimpin adalah amanat, maka jika kita tidak mau mengambil amanat memimpin orang banyak, berikanlah dukungan kepada pemimpin yang baik. Sebagai bentuk bantuan kepada yang sanggup mengambil amanat tersebut.

6. Memelihara salat.

Memelihara salat, baik dari sisi jumlah, maupun waktu.

Itu ciri-ciri mukmin yang beruntung dari ayat-ayat tersebut. Masih adakah yang lain? Sepertinya ada, he he, tapi kita coba penuhi yang ini dulu.

Eits! Sebentar! Apa bentuk keberuntungannya?

He he hampir disudahi. Keberuntungan itu berupa kekal di (surga) Firdaus.

Subhanallah! Siapa tak ingin?