Monday, June 30, 2014

Pizza

<p>Hari ketiga Harish bangun sahur dengan sukses, nggak rewel bahkan tanpa dibujuk.

"Harish mau makan sama apa?" tanyaku, kemarin dua hari dia makan sama abon.

"Sama apa-apa aja," jawabnya, eh, baik sekali. Malam ini aku masak telur dadar ayam suwir dan oseng tahu pedas.

"Mi, telurnya seperti pizza, ya?" Harish nyeletuk, saat ku ambilkan sepotong telur ke piringnya.</p>

"Memang Harish sudah pernah makan pizza?" tanya Hafa, hmm tanda-tanda nih.

"Ya liat iklan di TV. Enak ya, Mi, pizza?" tanya Harish, serius.

"Enak laaah," Hafa mulai lagi.

"Enakan mana sama telur dadar?" Harish penasaran.

"Enak pizza lah," eeee, Hafa keterusan.

"Lebih enak yang sudah ada di hadapan kita," jawabku, menengahi.

"Uuuu, enak telur dadar, kata Umi," ha ha ha mulut Harish monyong. Aku segera memberi kode Hafa, agar tidak meneruskan. Bisa kacau suasana sahur kalau tidak dicegah.





Sesal

Sambil makan dan melayani ngobrol suaminya, sekali-kali aku mencuri pandang padanya. Wanita di hadapanku ini sibuk melayani celoteh anaknya. Dia tidak banyak berubah, hanya terlihat sedikit dewasa dari terakhir aku menjumpainya...saat ta'aruf.

Tadi kami bertemu di masjid, saat sholat maghrib, lalu ku ajak mereka berbuka bersama.

"Terima kasih, Bang, ifthornya," kata suaminya saat berpamitan.

"Sama-sama, salam untuk anak-anak," jawabku.

Mereka melambai saat keluar halaman dengan motor tuanya.

Seperti ada jarum yang menusuk dada. Ya, Allah, apakah aku menyesalinya?

Dua puluh tahun lalu, aku ke rumahnya. Memenuhi permintaan Bapak, untuk berkenalan dengan putri sahabatnya. Seorang mahasiswi tingkat akhir, aktivis dakwah kampus, tampang cukupan, cerdas, dari keluarga baik-baik. Tapi aku tidak bisa meneruskan perjodohan ini, karena tak ada cinta di hatiku padanya.

Aku menikahi gadis pilihanku, yang kucintai dan populer.

Kini kusaksikan, dengan kesederhanaannya, dia mampu menciptakan keluarga sakinah dan anak-anak yang sholeh dan sukses, sedang aku?

Adaptasi

Ini yang ketiga Harish menangis dari pagi tadi, sambil teriak lagi.

"Ada apa lagi," tanyaku di tengah keributan mereka. Harish menangis di kursi goyang yang sedang diduduki Husna. Menangis sambil memeluk bantal dan mendorong-dorong tubuh Husna.

"Harish mau duduk! Hwaaaa..."

Lah, biasanya duduk bertiga aman-aman aja, nggak ada suara.

"Ya awas duluuuu!" Husna nggak mau kalah. Haris tetap memaksa ambil posisi mendesak Husna.

"Kalau Harish nggak bangun dulu, gimana Mbak Husna bisa pindah, kan badannya ketindih Harish?" bujukku sambil menahan hati. Harish kubantu bangun dari kursi.

"TV-nya matiin dulu," tegasku. Harish kutuntun ke kamar.

Perubahan pola tidur dan makan mempengaruhi badannya, aku maklum. Mungkin ada yang tidak nyaman dirasakannya. Tapi benar-benar menguji kesabaran yang puasa nih. Harish agak susah dibujuk kalau sudah terlanjur menangis, ya sudahlah. Sambil nunggu tangisnya reda, lumayan menambah tilawah.

Penjaga Al Qur'an

<p>Alhamdulillah, semangat menghafal Al Qur'an semakin semarak di kalangan umat Islam akhir-akhir ini. Walaupun masih banyak yang mempertanyakan, untuk apa menghafal Al Qur,an? Seberapa pentingkah? Hafal sedikit kan cukup? Bukankah untuk sholat hanya dibutuhkan beberapa ayat? Berapa lama waktu untuk bisa hafal 30 juz? Nanti kalau sudah hafal jadi apa, kerja apa?

Hal itu wajar, karena informasi pentingnya menghafal Al Qur'an mungkin belum sampai pada sebagian kita. Bahkan yang lebih parah dari itupun ada, misalnya masih ada Muslim yang enggan belajar membaca Al Qur'an dengan berbagai alasan. Ada yang merasa tidak perlu, ada yang merasa malu karena usia, dsb.</p>

Sungguh sebuah kerugian bila seorang Muslim tidak peduli dengan Al Qur'an. Alangkah banyak kebaikan yang tidak bisa kita dapatkan karena abai dengan Al Qur'an?

Al Qur'an adalah satu-satunya bacaan, kitab, yang membacanya bernilai ibadah, bahkan nilai ibadah dan balasan kabaikan itu dihitung perhuruf yang dibaca.

"Barang siapa membaca satu huruf dari kitab Allah, maka baginya satu kebaikan, dan satu kebaikan itu dibalas sepuluh kali lipatnya. Aku tidak mengatakan alif lam mim itu satu huruf, tapi alif satu huruf, lam satu huruf, mim satu huruf." (HR Tirmidzi dari Ibnu Mas'ud ra.)

Berapa peluang kebaikan tak dapat kita raih gara-gara tidak bisa membaca Al Qur'an?

Untuk sampai hafal, pastinya ada proses menghafal, yang tidak bisa menghindar dari mengulang-ulang bacaan. Bayangkan! Untuk hafal satu ayat, berapa kali kita butuh mengulangnya? Berapa huruf yang ada dalam ayat tersebut? Berapa kebaikan yang dijanjikan Allah untuk pembacanya? Berapa balasan dari kebaikan-kebaikan itu? 

Menghafalkan Al Qur'an adalah suatu proses untuk memelihara, menjaga dan melestarikan kemurnian Al Qur'an yang diturunkan kepada Rasulullah Saw. di luar kepala agar tidak terjadi perubahan dan pemalsuan serta dapat menjaga dari kelupaan baik secara keseluruhan ataupun sebagiannya.

Menurut Imam Nawawi, menghafal Al Qur'an adalah fardhu kifayah, artinya bila ada sebagian muslim yang melakukannya, maka terbebaslah kewajiban semua muslim, sedang bila tidak ada yang melakukannya, berdosalah semua muslim yang mukallaf. Artinya, seorang penghafal Al Qur'an mempunyai keutamaan karena dia menutupi dan menggugurkan dosa muslim yang lain.

Subhanallah! Siapa yang tidak ingin memperoleh karunia itu? Dan bagi yang tidak berkesempatan untuk itu, wajar bukan kalau ikut memikirkan dan membantu para penghafal Al Qur'an karena mereka telah membantunya membebaskan dari dosa?

Mungkin sebagian orang tua risau kalau anaknya belajar agama, khawatir tentang masa depannya. Mau kerja apa? Harapannya jadi dai kondang, yang penghasilannya seperti selebritis, tapi kan nggak semua orang bisa? Atau jadi pegawai di departemen agama atau jadi guru, tempatny terbatas juga kan?

Ok! Coba geser sedikit sudut pandang kita. Lepaskan diri dari hal-hal yang hanya nampak mata!

Apa capaian tertinggi yang kita inginkan?

Kehormatan/ kekayaan/kemuliaan?

Seorang penghafal Al Qur'an adalah orang yang diizinkan Allah untuk terkumpul Al Qur'an di dadanya, sebagaimana Rasulullah Saw, manusia paling mulia di hadapan Allah. Bedanya, Beliau menerima wahyu.

Bayangkan! Al Qur'an, yang di dalamnya terkumpul semua pokok ilmu pengetahuan, petunjuk hidup, obat, ketenangan, berita terdahulu dan yang akan datang. Adakah kekayaan yang melebihinya?

Oranng-orang yang paham, pasti sangat hormat pada para penghafal Al Qur'an.

Sekarangpun, begitu banyak kemudahan yang akan diperoleh penghafal Al Qur'an, salah satunya tawaran beasiswa.

Tapi ingat! Semua penawaran di atas bisa menjadi godaan dan pelencengan niat dalam menghafal Al Qur'an.

Tidak semua orang sanggup melakukannya, untunglah hukumnya fardhu kifayah, artinya seluruh Muslim berdosa jika tidak ada yang melakukannya. Alangkah berat tanggung jawab yang diambil oleh seorang penghafal Al Qur'an, karena dia telah menutup dosa orang lain? Subhanallah.

Menjadi seorang penghafal Al Qur'an berarti menjaga kemurnian Al Qur'an dari usaha pihak-pihak tertentu yang akan memalsukan, mengurangi atau menambahnya. Keorisinilan Al Qur'an hingga saat ini merupakan janji Allah yang akan menjaganya sampai akhir zaman dengan perantaraan para penghafal Al Qur'an.

"Dan sungguh telah kami mudahkan Al Qur'an untuk diingat (dipelajari), maka adakah orang-orang yang mau mengambil pelajaran?" QS Al Qomar ayat 17.

"Jagalah Al Qur'an itu (dengan banyak membacanya), demi Allah, Al Qur'an itu lebih cepat hilangnya daripada unta dalam ikatan." HR Muttafaqun alaih.

Ridho Allah dan surga memang tidak murah! Butuh usaha keras untuk mencapainya.

Sunday, June 29, 2014

Balonku

Harish bete, Hafa nggak mau diajak main di luar rumah, panas katanya. Maklum, hari pertama puasa.

"Harish, nyanyi yok," ajak Husna.

"Nyanyi apa," jawab Harish, masih cemberut.

"Harish udah bisa nyanyi balonku, kan? Kata-katanya kita ganti."

"Ganti pake apa, Mbak?"

"Iiih Harish ini, dah dengerin dulu ya?"

Kemudian Husna bernyanyi dengan nada lagu balonku, tapi syairnya diganti.

Rukun Islam yang lima
syahadat sholat puasa
zakat untuk sipapa
haji bagi yang kuasa

siapa belum sholat  dor
siapa belum zakat
kan rugi di akhirat
Allah pasti melaknat

plok plok plok

Amal Unggulan

Husna menghampiriku, dengan sebuah buku di tangannya, sepertinya belum selesai di bacanya.

"Mi, amal unggulan itu apa sih?"

"Amal yang kita sangat berharap diterima Allah karena kita anggap istimewa," jelasku.

"Istimewa karena apanya?"

"Ya mungkin karena kita rutin melakukannya, atau kita sungguh-sungguh melakukannya. Bisa juga jenis amal itu sangat jarang orang melakukannya."

"Misalnya apa?"

"Bilal, sahabat Rasulullah Saw selalu menjaga wudhu. Setiap batal, langsung wudhu, padahal bukan waktu shalat."

"Ih, berat banget, iya kalau di rumah terus, kalau di luar? Contoh lain, Mi?"

"Ada seorang tukang roti, kata Rasulullah Saw, dia calon penghuni surga. Ternyata amal unggulannya, saat mau tidur di malam hari, dia memaafkan semua orang yang bersalah padanya."

"Kalau Husna bisa apa, ya?"

"Berbuat baik sama orang tua, amal sholih, bukan?"

"Iya, lah."

"Ya udah, coba Husna selalu nurut apa kata Umi, sering-sering bantuin Umi, jangan bikin marah Umi, tuh amal unggul banget loh."

"Iiih, enak di Umi dong."

Ha ha ha, Umi!

Saturday, June 28, 2014

Sayang Istri

Sayang istri?

Wajib hukumnya! He he he.

Yang jadi masalah, bagaimana bentuk kasih sayang seorang suami kepada istri di bulan Ramadhan?

Dah! Nggak usah banyak teori, langsung praktek aja yah?

Bulan Ramadhan adalah bulan ibadah, bahkan nilainya berlipat-lipat. Tetapi, kalau kita mencermati kajian tentang ibadah di bulan Ramadhan, maka penekanannya pada ibadah mahdhoh, yang berhubungan langsung dengan Allah, sebagai upaya meningkatkan kualitas ruhiyah. Misal, sholat tarawih, sholat lail, tilawah, 'itikaf.
Bukan berarti ibadah lain tidak berlipat atau tidak meningkatkan ruhiah, tapi begitulah, bulan Ramadhan sering dianggap sebagai bulan charger, isi batere, he he.

Tapi , terkait dengan puasa, yang menjadi isu sentral bulan penuh berkah ini, banyak hal yang justru kontradiktif dengan maksud diberlakukannya syariat ini.

Selain agar bertaqwa, puasa disyariatkan agar muncul rasa empati dari orang yang mampu terhadap orang yang kekurangan. Bagaimana mereka bisa merasakan rasa lapar karena tidak ada yang dimakan. Di mana kontradiktifnya? Mari kita lihat pada keluarga kita dulu, adakah justru di bulan Ramadhan pengeluaran lebih banyak dan belanja lebih beragam? Ok, mungkin kita melihatnya dari sudut pandang lain, kan untuk menyenangkan anak-anak yang sedang berpuasa? Boleh, tapi harusnya ada perbaikan dong dari tahun ke tahun? He he.

Ok, kembali ke masalah awal, sayang istri di bulan Ramadhan!

Sebagai seorang istri, aku tahu banget, apa yang aku harapkan dari suami sebagai ungkapan sayangnya.

Aku ingin suami membantu, agar akupun bisa menikmati ibadah di bulan Ramadhan untuk meningkatkan ketaqwaan. Bentuk bantuan itu tentu beragam, saling mengingatkan, saling pengertian, saling mendukung.

Di bulan Ramadhan kami berbagi tugas, saat sahur aku yang menyiapkan makanan, suami membangunkan anak-anak, kemudian anak-anak menghidangkan makanan. Sehingga, kami tetap dapat melakukan shalat malam, walaupun bergantian. Di sinilah peran kemampuan mengelola emosi dan konsentrasi teruji, bagaimana dapat menikmati khusyu'nya ibadah dengan keterbatasan waktu.

Untuk urusan makanan, kami biasakan dengan yang praktis dan mudah dihidangkan. Misalnya, kalau rizkinya mencukupi, bisa membuat ayam yang sudah diungkep, sehingga bisa untuk beberapa kali hidangan, itupun bisa disesuaikan dengan pesanan anak-anak, maklumlah, di satu sisi kita mengajarkan kesederhanaan, tapi di sisi lain kita sedang memotivasi dan memberi reward untuk upayanya melaksanakan puasa. Kalau bisa, kita juga siapkan bahan makanan yang mudah mengolahnya, misalnya telur, sosis atau nugget, dibutuhkan untuk persediaan di kala selera makan anak-anak saat sahur menurun.

Dalam upaya penghematan, kita harus cermat ketika masak. Bila perlu tanya anak-anak, mereka ingin makan dengan apa, kadang-kadang satu piring hidangan berisi satu ayam goreng, dua sosis, satu telur ceplok, dua iris tempe. Ha ha ha, kesannya seperti di warteg. Untuk sayur pun, masak secukupnya, misalnya oseng-oseng satu mangkok. Kalau pengen sayur yang agak repot membuatnya, suami rela membeli yang sudah jadi.

Untuk ibadah lain, seperti tilawah, dzikir atau tadabbur dan hafalan, bisa disesuaikan. Tidak semuanya dikerjakan malam hari.

Bahkan untuk 'itikaf pun, suami memberiku kesempatan. Di sepuluh hari terakhir Ramadhan, suami menyempatkan diri siang hari pulang, walaupun tidak setiap hari. Memberi kesempatan padaku untuk 'itikaf di masjid atau mushola yang tidak digunakan untuk 'itikaf laki-laki.

Kami juga membiasakan untuk persiapan lebaran tidak terlalu heboh, untuk urusan hidangan lebaran, kami lebih banyak pesan.

Alhamdulillah, sayang istri yang tidak lebay dengan rayuan dan limpahan materi. Sayang istri yang menggambarkan sikap seorang imam yang berusaha menyelamatkan diri dan keluarga dari neraka, Amiin.

Siasat

<p>Yang kita rindukan, harapkan, sudah hadir. Allah izinkan kita berjumpa dengan Ramadhan yang penuh berkah. Apa-apa yang diperlukan, sudah dipersiapkan.

Hmm, malam pertama.

Tarawih, dapat, walau di rumah.

Tilawah, dapat.

Mengulang hafalan, dapat.

Jam tiga dini hari alarm hp berbunyi, Alhamdulillah. Suara di masjid sekitar rumah bersahut-sahutan membangunkan orang untuk sahur. Di selingi suara tilawah di masjid yang lain.</p>

Di lingkunganku, sulit mengharapkan suasana hening di sepertiga malam terakhir saat bulan Ramadhan. Kadang sampai menangis menahan hati menghadapi suasana seperti itu. Bertolak belakang dengan kesungguhan diri mempersiapkan menyambut Ramadhan, dengan harapan mendapatkan keberkahannya, tapi apa lacur?

"Bi, itu suara dari masjid komplek kita bukan, sih?" tanyaku, setelah melewati dua rakaat lail tanpa khusyu' sedikitpun.

"Nggak tau! Ya biarlah, mereka kan membangunkan orang untuk sahur."

Hhh, jawaban yang sangat tidak memuaskan. Sepertinya tipis harapan untuk bisa menyiasati lingkungan.

Mau tidak mau upaya itu harus dari dalam diri sendiri.

Idealnya, Ramadhan bulan penuh berkah. Allah menjanjikan pahala berlipat ganda dari setiap ibadah yang dilakukan.

Idealnya, ada peningkatan ibadah di bulan ini, baik dari kualitas maupun kuantitasnya.

Tapi pada kenyataannya?

Di bulan lain, bangun sepertiga malam terakhir sepenuhnya bisa digunakan untuk ibadah, sholat, tilawah, tadabbur, dzikir.

Apa yang dilakukan seorang ibu di sepertiga malam terakhir di bulan Ramadhan? Sibuk menyiapkan hidangan sahur, membangunkan anak-anak, membujuk si kecil yang sedang berlatih puasa, dll. Bagaimana dengan Sholat malam? Tilawah? Tadabbur? Dzikir?

"Menyiapkan sahur, kan ibadah juga? Ibarat menyiapkan perlengkapan perang yang akan pergi berjihad. Berpahala juga kok."

Bukan masalah pahala! Tak khawatir masalah pahala, Allah Maha Kaya dengan perbendaharaannya, tak kan kehabisan pahala untuk semua hamba-Nya.

Yang jadi masalah, apakah kita merasakan kenikmatan sholat malam ketika menyiapkan hidangan sahur?

Apakah kita merasakan indahnya munajat ketika sibuk membangunkan anak-anak?

Ini masalah besar yang harus dicari solusinya. Kalau tidak berhasil menyiasatinya, bisa-bisa kecewa lagi di akhir Ramadhan. Belum lagi nanti kendala-kendala yang muncul di akhir Ramadhan menjelang Lebaran?

Sungguh! Perjuangan seorang ibu memang tidak mengenal tempat dan waktu!

Bunyi

Alhamdulillah, walaupun agak lama membujuknya, Harish bangun juga.

Kami berlima duduk melingkar, bersiap makan sahur pertama.

"Harish mau makan sama apa?" tanya Hafa, siap melayani.

"Sama abon."

"Minumnya apa?" gantian Husna yang menawari.

"Sirup ijo," jawab Harish.

"Oya, Fa tolong ambilin madu lemon yang sudah Umi buat,  di atas kulkas!"

Hmm, Harish duduk bersila, makan sendiri.

"Harish kalau puasa makannya nggak bunyi lho, Mi," katanya tiba-tiba. He he he dia belum bisa membedakan istilah sahur, puasa atau buka puasa.

"Jempol untuk Harish, makan sendiri, habis banyak, nggak bunyi lagi," pujiku sambil mengacungkan dua jempol.

"Umi, Mbak Husna, Mbak Hafa, juga nggak bunyi," lanjut Harish.

Abi berdehem. Ha ha ha, ada yang tersindir nih!

Sssst, makan nggak bunyi kan bukan syarat masuk surga.

Undangan

Heran! Apa hubungannya Ramadhan dengan kembang api dan mercon?

"Mi, beli kembang api, ya?" izin Husna.

"Punya uang?" tanyaku.

"Ada," jawabnya. Aku mengangguk.

"Harish juga, ya, Mi? Mana uangnya?" yang kecil tak mau ketinggalan.

"Berapaan? Tapi sekali ini aja, ya?"

"Seribuan, Mi," jawab Hafa.

"Kok sekali aja, sih, Mi?" Harish protes.

"Umi tadi baca di koran, ada undang-undangnya lho. Bisa-bisa ditangkap polisi, kalau ketauan. Sayang juga sih, uang kok dibakar."

"Iiih, kan nggak bakar uang sih, Mi?" Harish membantah.

"Maksud Umi, uang dibeliin kembang api terus dibakar," jelas Husna.

"Mi, undangannya mana, liat sih?" tanya Harish.

"Undangan apa?"

"Yang kata Umi tadi, undangan untuk polisi," katanya sambil melotot lucu.

Hahaha, Harish!


THR

Di bulan Ramadhan banyak hari liburnya, kalau orang tua tidak cermat, maka waktu anak akan habis untuk bermain dan nonton TV. Hmm, apa akal?

"Siapa mau ngumpulin THR dari sekarang?" tanyaku.

"Caranya?" hampir berbarengan Husna dan Hafa bertanya, antusias.

Program setor hafalan di Rumah Tahfidz juga libur, ustadznya jadi imam di Malaysia.

"Setor tambah hafalan," jawabku sambil memperhatikan perubahan raut wajah mereka.

"Satu halaman berapa hadiahnya?" tanya Husna, sedang Hafa kelihatan agak ciut.

"Husna mau berapa?"

"Sepuluh ribu."

"Ok, itu hadiah dari Umi, tentunya dari Allah lebih melimpah lagi," jawabku singkat.

"Amiin."

Setidaknya awal Ramadhan sudah jelas agendanya, nanti sambil jalan disesuaikan lagi. Kadang ngeri juga memotivasi anak dengan imbalan materi, tapi untuk kondisi tertentu masih bisa ditoleransi. Orang tua yang harus selalu waspada dan cermat memperhatikan pengaruh reward materi itu terhadap anak. Tidak mudah mengajarkan keikhlasan untuk usia mereka, perlu keteladanan, penjelasan dan latihan.

Puan dan Lanang

<p>Udara pagi terasa sejuk di hutan kecil itu.

"Bangun, Lanang. Ini ada makanan untukmu," suara lembut Puan menelusup ke gendang telinganya. Lanang dengan malas menggeliat, membuka kelopak matanya sejenak, menatap Puan, kemudian dipejamkannya.

Puan mengusap-usapkan kepalanya ke badan Lanang dengan lembut, agar adiknya segera bangun.

"Masih ngantuk, Kak," jawabnya, malas, sedang matanya masih terpejam.

"Matahari telah memancarkan sinarnya, bangun dan makanlah, kemudian bermain di luar agar hangat badanmu. Kakak akan istirahat sebentar, sebelum mencari makan siang."</p>

Dengan malas, Lanang bangkit dan menghampiri makanan yang dibawa Puan. Tak perlu waktu lama untuk menghabiskan makanan yang hanya sedikit. Segera dia pergi keluar, menyambut hangatnya mentari pagi.

Lanang hanya hidup berdua dengan kakaknya, Puan. Ibunya tak kembali setelah terpeleset ke jurang yang dalam, saat berusaha menangkap seekor tikus hutan. Mereka berdua tinggal di bawah pohon tua yang bagian bawahnya berlubang. Cukup nyaman untuk berlindung dari terik mentari dan hembusan angin yang dingin, terutama saat hujan lebat.

Setiap hari Lanang hanya tidur-tiduran di rumahnya, atau bermain sendiri dengan benda-benda yang ditemuinya di sekitar pohon besar itu.

"Lanang, ayo ikut kakak ke tepi sungai," ajak Puan.

"Lanang di rumah aja ya, Kak?"

"Kapan Lanang berlatih mencari makan sendiri? Bagaimana kalau suatu saat tidak ada Kakak? Lanang makan apa?"

"Kakak jangan pernah tinggalkan Lanang, ya?" rajuknya, sambil menelusupkan kepalanya ke perut Puan.

Puan menghela napas. Sampai saat ini dia belum berhasil mengajak adiknya ikut mencari makan. Tanpa menjawab, Puan meninggalkan Lanang.

Puan menuju tepi sungai, tapi sepanjang jalan dia selalu waspada, sigap dengan segala bunyi dan gerak yang mencurigakan. Dia memang akan mencari ikan, tetapi bila di jalan ada kesempatan mendapatkan tikus hutan atau burung lemah yang terjatuh, tentu akan dikejar dan ditangkapnya. Sayang, sepanjang jalan siang ini, tak ada petunjuk apapun tentang keberadaan mereka, hingga Puan sampai di tepi sungai.

Gemericik air menyembunyikan suara kehadiran Puan, sehingga beberapa ekor ikan yang sedang bermain di tepian tidak merasakan adanya bahaya yang mengintai. Puan tersenyum melihat calon mangsanya yang teledor. Dia membayangkan kemudahan mendapatkan seekor ikan yang cukup besar. Puan bersiap menerkam calon mangsanya, dari atas batu besar yang berlumut, Puan mempersiapkan tenaganya untuk melompat menjemput ikan yang belum juga menyadari kehadirannya, dan hup! Ahhh! Sayang sekali.

Puan gagal mendarat di tempat ikan-ikan itu bermain, bahkan dia terlempar ke tempat yang agak dalam. Karena gembira melihat ikan-ikan itu tidak menyadari kehadirannya, Puan jadi kurang waspada. Dia tidak menyadari, batu tempatnya berpijak, licin karena lumut yang basah.

Sementara itu, setelah lelah bermain, Lanang memutuskan untuk beristirahat, tidur-tiduran sambil menunggu Puan pulang. Apalagi gerimis mulai jatuh satu-satu, tentu sangat tidak nyaman bermain di luar. Lanang tertidur, kecapean, tadi dia menemukan mainan baru, cangkang bekicot yang dijadikannya bola.

Gelegar petir membangunkan Lanang. Hari sudah sore, di luar hujan lebat, tapi dia tak melihat Puan.

"Ke mana Kakak, sudah sore kok belum pulang?" gumamnya.

Lanang mulai gelisah. Dia berjalan mondar mandir di rumahnya yang sempit. Perasaannya mengkhawatirkan Puan. Di mana dia, kenapa sampai sesore ini belum juga pulang? Apakah dia terjebak hujan dan tidak berani pulang?

"Kakak, Lanang lapar," rintihnya.

Sampai malam Puan belum juga pulang. Lanang takut, dia belum pernah sendirian di malam hari. Dia tidak bisa tidur, perutnya lapar dan telinganya selalu waspada menangkap setiap suara gemerisik daun yang tertiup angin. Dia menanti suara kaki Puan yang menginjak ranting di sekitar pintu rumahnya. Hembusan angin dingin yang menerobos pintu rumahnya semakin membuat Lanang gelisah dan kedinginan. Dia meringkuk di sisi pintu, agar hembusan angin dingin itu tidak langsung menerpa tubuhnya. Hujan baru berhenti ketika pagi menjelang.

Saat mentari menampakkan sinarnya, Lanang memberanikan diri ke luar rumah, untuk melihat keadaan. Dia bingung, mau menyusul Puan, tapi tidak tahu harus ke mana. Dia berdiri di depan pintu sambil menebar pandangan ke segala arah. Ada onggokan yang tak pernah dilihatnya selama ini, tak jauh dari tempatnya berdiri. Perlahan, Lanang berjingkat mendekati benda itu, jantungnya berdebar. Setelah agak dekat, Lanang terpana...ternyata,"Kakaaaak!"

Lanang berlari mendekati Puan yang terbaring lemah. Badannya kuyup. Lanang mengusap-usapkan kepalanya ke badan Puan, bermaksud membangunkannya. Dia tidak perduli dengan badan Puan yang basah, padahal selama ini dia jijik kalau bersentuhan dengan sesuatu yang lembab.

"Kakak, banguuun."

Perlahan Puan bergerak, mengumpulkan tenaganya untuk bangkit, tapi badannya masih lemah.

"Maaf ya, Lanang, kakak tidak membawa makanan," ujarnya lirih.

Lanang menitikkan air mata, Puan begitu sayang padanya. Dia malu, sudah besar, laki-laki, tapi belum bisa cari makan sendiri. Lihat sekarang, kakak yang disayanginya tergolek lemah karena berjuang mencari makan untuknya. Dengan tertatih, Lanang mendampingi Puan masuk. Dia membantu membersihkan badan kakaknya dengan menjilatinya.

"Lanang lapar, ya?" tanya Puan sesampainya di rumah.

"Lanang masih tahan, kok," jawabnya sambil memaksakan diri tersenyum. Sebenarnya dia sangat lapar, tapi ditahannya. Lanang tak ingin Puan sedih.

Siang harinya, setelah merasa kuat, Puan bangkit, berjalan ke pintu.

"Kakak mau ke mana?" tanya Lanang, mengekor di belakangnya.

"Mau cari makan dulu, Lanang lapar banget ya?"

"Ikut, Kak!" pinta Lanang, mantap.

Puan terkejut, spontan membalikkan badan. Ditatapnya mata Lanang, mencari kesungguhan ucapannya. Lanang tersenyum dan mengangguk. Puan mengerti, Lanang sungguh-sungguh dengan ucapannya.

"Ayo!" jawabnya, sambil melompat dan berlari kencang. Lanang paham, dia langsung menyusul Puan. Walaupun lapar, tapi Lanang bisa berlari kencang karena begitu bersemangat ingin belajar mencari makanan. Dia sangat sayang pada Puan dan tak ingin selamanya merepotkan dan bergantung pada kakaknya itu.



Friday, June 27, 2014

Menimbang Cara Interaksi dengan Al Qur'an

<p>Ramadhan, ada yang menyebutnya bulan Al qur'an, karena di bulan Ramadhan ayat pertama di wahyukan. Selain itu juga, sangat dianjurkan, di bulan ini, umat Islam memperbanyak interaksi dengan Al Qur'an.

Banyak cara yang bisa kita lakukan untuk berinteraksi dengan Al Qur'an, antara lain :

* Belajar membacanya bagi yang belum bisa atau belum baik bacaannya.

Jangan pernah malu belajar membaca Al Qur'an, seberapa pun usia kita. Kalau memang belum bisa membacanya sesuai hukum bacaan yang benar, bahkan belum mengenal huruf dengan baik, segera lakukan, selagi masih ada umur dan kesempatan.</p>

"Sebaik-baik kalian adalah orang yang mempelajari Al Qur'an dan mengajarkannya."
(HR Bukhari dari Utsman bin Affan ra.)

Sebuah kerugian yang luar biasa, bila kita tidak bisa membaca Al Qur'an.

"Barang siapa membaca satu huruf dari kitab Allah, maka baginya satu kebaikan, dan satu kebaikan itu dibalas sepuluh kali lipatnya. Aku tidak mengatakan alif lam mim itu satu huruf, tapi alif satu huruf, lam satu huruf, mim satu huruf." (HR Tirmidzi dari Ibnu Mas'ud ra.)

Satu huruf diberi sepuluh kebaikan, dan tidak dijelaskan kebaikan apa. Artinya banyak peluang makna kebaikan di dalamnya. Yang paling nyata dari kebaikan itu adalah pahala, imbalan yang sangat kita butuhkan di hari perhitungan nanti. Tapi tidak menutup kemungkinan maksud kebaikan itu dalam wujud yang lain, seperti ketenangan jiwa, kesehatan, rizki, kemudahan dalam urusan hidup, lingkungan yang tidak mengganggu, teman yang baik, keluarga yang tidak banyak masalah, dan lain-lain.

Tak ada bacaan selain Al Qur'an yang membacanya bernilai ibadah! Artinya, bila kita tidak bisa membaca Al Qur'an, satu peluang ibadah tertutup untuk bisa  dilakukan.

* Tilawah / membaca Al Qur'an

"Bacalah Al Qur'an, karena dia akan datang pada hari kiamat sebagai pemberi syafaat bagi pembacanya." (HR Muslim dari Abu Umamah ra.)

Banyak program digelar untuk menambah semangat tilawah Al Qur'an. Yang sedang populer saat ini, ODOJ, one day one juz, sehari tilawah satu juz Al Qur'an. Di bulan Ramadhan, biasanya ditingkatkan, misalnya dua juz perhari, ada juga yang berani mentargetkan lima juz perhari. Di masjid-masjid tertentu diselenggarakan tarawih dengan bacaan Al Qur'an, satu juz per malam. Ada lagi sholat Lail, dengan tilawah satu juz permalam. Itu semua dilakukan, mengingat kemurahan Allah yang memberikan nilai ibadah di bulan Ramadhan berlipat ganda dibanding hari-hari di luar Ramadhan.

* Tahfidz/ menghafal Al Qur'an

Menghafalkan Al Qur'an adalah suatu proses untuk memelihara, menjaga dan melestarikan kemurnian Al Qur'an yang diturunkan kepada Rasulullah Saw. di luar kepala agar tidak terjadi perubahan dan pemalsuan serta dapat menjaga dari kelupaan baik secara keseluruhan ataupun sebagiannya.

Menurut Imam Nawawi, menghafal Al Qur'an adalah fardhu kifayah, artinya bila ada sebagian muslim yang melakukannya, maka terbebaslah kewajiban semua muslim, sedang bila tidak ada yang melakukannya, berdosalah semua muslim yang mukallaf. Artinya, seorang penghafal Al Qur'an mempunyai keutamaan karena dia menutupi dan menggugurkan dosa muslim yang lain.

Subhanallah! Siapa yang tidak ingin memperoleh karunia itu? Dan bagi yang tidak berkesempatan untuk itu, wajar bukan kalau ikut memikirkan dan membantu para penghafal Al Qur'an karena mereka telah membantunya membebaskan dari dosa?

*Tadabbur/ memahami Al Qur'an

"Apakah mereka tidak mentadabburi/ memahami, menghayati Al Qur'an? Ataukah hati mereka sudah terkunci?" (QS Muhammad ayat 24)

Al Qur'an diturunkan sebagai petunjuk hidup, logikanya, kita akan bisa melaksanakan hidup sesuai petunjuk apabila memahami isinya.

Kebanyakan kita, terkendala bahasa ketika akan memahami Al Qur'an, karena tidak semua kita bisa dan paham bahasa Al Qur'an, artinya ada harus upaya tambahan untuk bisa memahami Al Qur'an. Karena di sekolah tidak diajarkan, wajar kalau kita yang tidak mengecap pendidikan pesantren, walaupun bisa membacanya tapi tidak tahu kandungan isinya.

Alhamdulillah, terjemah Al Qur'an mudah didapatkan, sehingga tidak ada alasan untuk tidak berusaha memahami Al Qur'an.

* Mengamalkan Al Qur'an

"Sungguh, Al Qur'an ini memberi petunjuk ke(jalan) yang paling lurus dan memberi kabar gembira kepada orang mukmin yang mengerjakan kebajikan, bahwa mereka akan mendapat pahala yang besar." QS Al Isra ayat 9

"Didatangkan pada hari kiamat Al Qur'an dan para pembacanya, yang mereka itu dahulu mengamalkannya di dunia, dengan didahului oleh surat Al Baqarah dan Ali Imron yang membela pembaca kedua surat ini."
(HR Muslim dari An-Nawwas bin Sam'an ra.)

Setiap kita punya waktu yang sama, tetapi kemampuan dan kesibukan yang berbeda. Diri sendirilah yang tahu, jenis interaksi mana yang saat ini sangat kita butuhkan dan bisa kita lakukan. Allah telah memberikan banyak pilihan untuk kita, agar selalu dekat dengan Al Qur'an, hidup bersama Al Qur'an. Allah juga telah memberikan peluang satu bulan untuk kita mengumpulkan sebanyak-banyaknya kebaikan dengan pelipat gandaannya.

Anggap ini Ramadhan terakhir kita, jadikan setiap hari, jam, menit dan detik, sedang dalam interaksi dengan Al Qur'an. Sebagai manusia kita bisa mengkreasikan agar seluruh aktivitas kita tak lepas dari Al Qur'an.

Andai mulut sedang tak bisa melafadzkan ayat-ayat Al Qur'an, maka telinga bisa mendengarkan dan hati mentadaburi.

Andai tangan sedang tak bisa memegang mushaf, maka mata masih bisa membacanya dari Al Qur'an digital, atau mulut mengulang-ulang hafalan, telinga mendengarkan dan hati mentadaburinya.

Andai mood sedang ingin menulis, maka menulislah hal-hal yang berkaitan dan mengingatkan isi Al Qur'an.

Tak ada alasan kita untuk menghindari Al Qur'an, ataukah ingin masuk ke dalam golongan orang-orang yang
hatinya terkunci?

Deg Degan


<p>Ini buku yang membuatku deg-degan selama membacanya!

Tahu, kenapa?

Yups! Karena aku merasa, Pak Isa sedang membaca tulisanku dengan teliti! Dari pemilihan judul, penggunaan tanda baca, pilihan kata, penulisan kalimat, opening, pemilihan ide, plot, penokohan, setting tempat dan waktu, pesan, dan semuanya sampai ending. Semua itu dilakukannya untuk mencari tahu, seberapa banyak kesalahan yang aku lakukan,? Heh! Killer kan?

Buku yang kudapat sebagai hadiah ini sangat istimewa, kenapa?

Pertama, buku setebal 300 halaman lebih ini, ditulis hanya dalam waktu satu minggu! Keren, kan?

Kedua, buku ini ditulis oleh orang yang benar-benar menguasai bidangnya, seorang penulis buku bestseller dengan latar belakang jurnalis internasional.</p>

Ketiga, buku ini sangat dibutuhkan oleh para penulis pemula ataupun profesional, karena yang dibahas merupakan kesalahan-kesalahan besar maupun kecil yang sangat sering ditemui dalam dunia kepenulisan, yang itu semua mempengaruhi kualitas sebuah tulisan.

Keempat, keistimewaan yang berhubungan denganku, sebagai pembaca. Buku ini begitu menarik untuk segera kuselesaikan, karena ingin segera tahu, kesalahan apa yang masih sering ada dalam tulisan-tulisanku.
Jarang sekali aku membaca buku non fiksi yang bisa sekali habis, dan ini salah satunya. Lima puluh persen buku ini kubaca diperjalanan dari Pulo Gebang, Jakarta Timur sampai Bakauheni, Lampung. Sisanya kuselesaikan keesokan harinya setelah menyelesaikan tulisan tentang perjalananku selama 74 jam.

Hmm, sama sekali nggak menyesal dihadiahi buku ini, he he.

Tujuh Puluh Empat Jam 3

<p>Sebelum turun, aku sempat ngobrol sebentar dengan Ali. Selama ini kami memang jarang saling komen di fb, jadi wajar kalau Ali tidak begitu mengenaliku. Setelah dia tahu namaku, langsung cek fb, untuk memastikan, he he. Dan dia langsung ingat, pernah memberi komen salah satu postinganku. Setelah itu obrolan menjadi lancar.

Aku turun, menunggu Ira dan Susi. di temani Richie dan Armi yang sibuk melayani pengunjung. Tidak lama, Ira datang. Selintas, agak beda dengan fotonya di fb, tapi lama-lama familiar juga. Kami langsung akrab, membicarakan berbagai hal. Dari selera jenis tulisan, suka tidaknya mengikuti event menulis,sampai bagaimana mengelola toko on line. Karena di toko, kami ngobrol santai. Ada yang duduk di kursi, berdiri, bahkan Armi, Ali dan Dedi sambil lalu lalang, he he.

Mas Agung turun, berpamitan pulang duluan, sambil mengingatkan agar aku minta tanda tangan Pak Isa untuk buku Acupoint. Ups! Kalau tidak di ingatkan, aku bahkan tidak terpikir, maklumlah, tertutup buncah bahagia dengan pertemuan ini.

 Aku telpon Hilmy yang menunggu di cafe. Hilmy mirip Abi, memberi kesempatan padaku untuk menikmati dunia yang mereka tidak terlibat di dalamnya. Ku kenalkan dengan Armi, kemudian mereka ke mushola.

Saat Maghrib, Susi datang. Alhamdulillah, aku langsung mengenalinya. Setelah cipika-cipiki dan ngobrol sebentar, Susi berpamitan untuk sholat, sedang Ira sudah kembali dari mushola.

Pak Isa turun, melanjutkan obrolan. Ira mengadukan tentang kasus copas oleh salah satu member, kebetulan tulisanku, Ira dan Susi termasuk yang di copas, ditayangkan di blognya tanpa nama penulis bahkan ada yang nama penulisnya diganti dengan namanya. Kemudian mereka ke atas untuk membaned member tersebut, agar kejadian tidak terulang.

Susie dan yang lainnya datang, kami berkumpul dan melanjutkan obrolan lagi. Sekilas obrolan ngalor-ngidul, he he, tapi tetap saja banyak hal yang bermanfaat. Bagaimana kami mendengar cerita tentang proses penerbitan dan pemasaran novel Keping Hati yang di tulis keroyokan, hebat kan?

Obrolan kami selingi dengan foto-foto.


Depok, Selasa 24 Juni pukul 19.00

Aku berpamitan. Sebuah pertemuan yang membekas dan menghadirkan kebahagiaan. Karunia Allah sungguh luar biasa. Salah satu efek dunia maya, yang dianggap sebagian orang tidak bermanfaat, bahkan memberikan pengaruh buruk. Bagiku justru banyak memberikan kesempatan untuk bermuamalah, saling memberi manfaat kepada sesama. Teknologi hanya alat, bagaimana efeknya, tergantung kepiawaian kita mengelolanya.

Sepertinya sudah tak terkejar lagi pulang ke Lampung. Aku telpon Abi, membatalkan keberangkatan malam ini.

Masih ada satu tempat yang akan kusinggahi, sebelum pulang ke asrama Hany. Langsung meluncur ke Kalibata, kompleks DPR.

Alhamdulillah, Teh Nana, istri Bang Abdul Hakim ada. Mereka salah satu sahabatku di Lampung. Hampir sepuluh tahun mereka meninggalkan Lampung dan tinggal di kompleks ini.

Aku tidak canggung, karena tahu, mereka orang-orang yang baik. Perbedaan strata sosial tidak membuatnya berubah sikap, tetap ramah dan akrab. Sssst, Bang Hakim ini yang membuka jalan terbentuknya keluargaku. Iya, betul, beliaulah yang memberi pengantar Abi melamarku, he he.

Kami di ajak makan malam bersama, sambil ngobrol tentang masa lalu dan perkembangan Lampung saat ini.
Baru selesai makan, Bang Hakim pulang. Kami melanjutkan obrolan, beliau banyak menanyakan tentang anak-anakku.


Kalibata, Selasa, 24 Juni 14 pukul 21.00

Kami berpamitan, tentunya dengan beberapa pesan dan salam untuk teman-teman di Lampung, juga buah tangan. Perjalanan masih berlanjut ke asrama, mampir sebentar membeli martabak untuk anak-anak.


Pulo Gebang, Senin 24 Juni 14 pukul 22.00

Aku sampai asrama. Sebagian besar anak-anak belum tidur. Mereka menyambut gembira martabak yang kubawa dan memakannya bersama. Hany kubangunkan, keadaannya sudah lebih baik, tapi masih tampak pucat. Setelah sholat aku langsung istirahat, cuuuapek banget.

Setelah sholat Subuh, Hany akupunktur lagi. Sambil ngobrol dengan anak-anak. Banyak hal, intinya memotivasi dan mengarahkan mereka, terutama masalah pilihan pendidikan. Aku tak ingin mereka mengalami nasib seperti generasiku, tidak tepat memilih jurusan, mengeluarkan banyak biaya, tapi dalam kehidupan berikutnya, ilmu yang dikejar sekian tahun, relatif kurang nyambung dengan pilihan profesinya. Sayang sekali waktu yang terlewati dan biaya yang sudah dikeluarkan. Memang benar, tidak selamanya pilihan jurusan pendidikan sejalan dengan profesi yang direncanakan, tapi kan kurang efektif dan efisien dalam penggunaan waktu dan biaya?


Pulo Gebang, Rabu, 25 Juni 14 pukul 10.00

Aku berpamitan dengan hampir seluruh penghuni asrama. Hany sudah lebih segar.

Bismillah, perjalanan pulang dimulai. Hmm, siang hari, setidaknya lebih banyak yang bisa kulakukan. Lumayan, dapat tempat di barisan tengah, kaki bisa selonjor dan berganti posisi.

Mobil berjalan, setelah basa-basi sebentar dengan penumpang di sebelah, segera aku keluarkan bekal yang akan menemaniku sepanjang perjalanan. Hadiah dari Richie, buku terbaru terbitan ANPH, karya Pak Isa Alamsyah.


Hmm, namanya sudah berumur, mata tak cukup dua. Maka, di samping buku, kacamata tak boleh tinggal, tanpanya, buku tak bisa dimanfaatkan.

Buku yang sudah kunanti sekian lama, Alhamdulillah.

Tadi waktu di ANPH, Susi bilang, kalau salah satu postingannya di jadikan contoh, iih, punyaku ada nggak ya?

Tidak seperti biasanya, kalau dapat buku kupilih-pilih mana dulu yang dibaca, kali ini, karena yakin tak ada gangguan, maka aku melahapnya dari depan. Hmm, sempat senyum lihat covernya, Pak Isa beda dengan yang di No Excuse atau Catatan Hati Pengantin, yang ini agak serem! He he, mungkin menyesuaikan dengan tema buku, yang meneliti detil kesalahan para penulis.

Isi buku ini sebagian sudah pernah di posting di KBM, hanya saja, di sini pembahasannya lebih detil beserta contoh-contoh. Salah satunya yang dibicarakan Susi. Tapi, sampai halaman 170, belum satupun contoh kesalahan itu di ambil dari postinganku di KBM, yang kuperkirakan sudah empat ratusan, he he, kenapa ya? Apa di halaman yang lebih belakang? Atau aku bukan tergolong Penulis Pemula? Jadi, penulis apa dong? Profesional atau senior? Ha ha ha, atau Prapemula? Ck ck ck. Kemungkinan lain, tulisanku sama sekali tidak menarik untuk dicermati Pak Isa, hah! Jangan-jangan, malah sama sekali tidak menarik untuk dibaca? Hiks.

Ah, sudahlah! Mengapa memikirkan sesuatu yang tidak pasti? Apapun golonganku saat ini, toh tidak mempengaruhi dan mengendorkan semangatku untuk tetap menulis dan menulis. Aku percaya pada sunatullah, siapa yang berikhtiar sungguh-sungguh dalam kebaikan, Allah akan memberikan kemudahan, amiin. Menjadi sukses, kaya dan populer sebagai penulis, bagiku itu efek yang akan mengikuti. Prinsipku, dengan menulis, akan memperluas jangkauan penyebaran kebaikan dan manfaat, dan itulah yang menjadi dasar pijakku untuk menekuni dunia ini, walaupun mungkin dinilai terlambat.

Konsentrasi membaca di kapal berbeda dengan saat di mobil. Begitu banyak hal yang mengusik perhatianku, dari suara pedagang, lalu lalang penumpang dan lain-lainy. Salah satunya, ketika aku menengok ke belakang, ternyata ada seorang ibu yang sedang dipijit-pijit leher belakangnya oleh seorang gadis, mungkin anaknya.

"Ibu, pusing?" tanyaku. Dia tersenyum, walau kelihatan berat, lalu mengangguk.

"Sini Ibu, saya bantu." Ku raih tangannya dan kupijat di salah satu titik yang sangat membantu untuk mengatasi gangguan yang sedang dialaminya. Setelah kurasakan otot di titik tersebut melentur, ku sudahi.

"Gimana, Bu, agak enakan?"

Dia menangguk,"Terimakasih."

"Ibu mau saya beri obat? Kapsul herbal?"

"Terima kasih, sudah ada," jawabnya, sambil mengeluarkan tablet anti mabok perjalanan.

Ok, aku maklum. Mungkin dia tidak mau merepotkan, dan lagi, wajar kalau dia berhati-hati dengan orang yang belum dikenalnya.

Alhamdulillah, selama perjalanan tiga hari ini, sudah empat orang aku tangani. Bersyukur dengan ilmu yang telah Allah titipkan kepadaku.

Kesempatan membaca berakhir ketika turun dari kapal, lumayan, lebih dari 50% telah kubaca. Belum tentu kalau di rumah bisa langsung baca sebanyak itu, he he.

Dalam gelap dan hujan, apa yang bisa kulakukan di dalam mobil ini? Tidur? Nggak ngantuk. Ok, saatnya lepi beraksi, he he. Sebenarnya malu juga sih, diperjalanan buka notebook, sedang sebelahku dari tadi menggunakan entah hape, atau apa, aku belum paham jenis-jenisnya. Yang jelas ukurannya tidak segede notebook, pakai layar sentuh, hi hi hi, aku kelihatan manusia jadul banget ya? Emang gue pikirin? Sudahlah, nggak usah pikirkan gengsinya, yang penting fungsinya. Dengan notebook, dalam mobil lumayan lebih terang, setidaknya ada sinar, ketika haus dan ingin minum, he he.

Mau blogging, agak susah, karena mobil berjalan, tentu menggangu sekali saat pengetikan. Hmm, harus bersabar menyimpan ide di otak. Lumayanlah, bisa fban dan googling,, mencari berita terkini. Walau agak kesulitan, sekali dua masih kuusahakan untuk komen di beberapa status dan postingan teman-teman.

Bandar Lampung, Rabu, 25 Juni 14 pukul 22.30

Alhamdulillah, sampai juga. Abi menyambutku, sedang anak-anak sudah tidur.

"Mereka minta dibangunkan, kalau Umi pulang."

"Nggak usah, Bi, kasihan, nanti malah susah tidur lagi."

Alhamdulillah, sampai rumah, kondisi badanku tidak ngdrop, hanya cape. Aku memang benar-benar berusaha untuk itu, sepanjang jalan selalu kusempatkan minum herbal, untuk menjaga. Besok sudah ada janji dengan pasien, tapi tetap saja, penjagaan dilanjutkan, menu terapi dari Abi, he he, mantaps!



Yang selalu kurindukan, rumah dan semua isinya.

Thursday, June 26, 2014

Tujuh Puluh Empat Jam 2

<p>Sore harinya aku menterapi salah santri yang berasal dari Manado, namanya Intan. Dia merasakan kakinya sakit untuk berjalan dan sholat. Sebulan yang lalu dia jatuh dari tangga, tapi tidak ada tindakan untuk mengatasinya. Setelah aku urut dan pijat, dia merasakan agak berkurang sakitnya. Kujadwal sekali lagi, besok pagi untuk melanjutkan terapi.

Malam harinya, aku ngobrol dengan ustadzah Lulu, membicarakan program di asrama Al Hayyah. Salah satu tujuanku dalam kunjungan ini, sekaligus mempelajari program di sini, sebagai salah satu perbandingan untuk rencana mendirikan Rumah Tahfidz yang sedang kami rencanakan.</p>

Pulo Gebang, Selasa, 24 Juni 14 pukul 04.30.

Aku terlambat bangun, tidur terlalu pulas. Kulihat Hany belum bangun, sedang teman-temannya sudah berangkat ke masjid. Badannya agak hangat, kubiarkan dulu. Setelah selesai berwudhu, Hany kubangunkan. Dia meringis kesakitan.

"Sakit, Han?" Dia hanya mengangguk.

"Sholat dulu, nanti Umi tusuk."

Aku segera sholat, dzikir dan tilawah sebentar.

Segera kusiapkan perlengkapan akupunktur.

"Sakit perut?" tanyaku, dia mengangguk. Aku sudah hafal dengan kondisi Hany.

"Tadi malam tidur jam berapa?"

"Jam setengah satu, menghafal."

"Coba nanti dievaluasi, masalah pengaturan waktu dan strategi menghafalnya. Hany kecapean, kemarin seharian kegiatan luar. Tidur kemalaman, istirahat kurang, apalagi dekat dengan kipas angin."

"Hany enak menghafalnya jam segitu," kilahnya.

"Iya, tapi buktinya? Nggak sholat lail, sholat Subuh nggak berjamaah, paling nggak ini nanti seharian istirahat, nggak bisa menghafal. Kalau dihitung-hitung, rugi, kan?"

Hany diam, segera kutusukkan beberapa jarum ke titik tertuduh. Sambil terus dialog, memotivasi dan membimbingnya dalam mengatur strategi belajar. Juga hal-hal lain yang berkaitan dengan pengaturan uang saku.

Selesai akupunktur, kuberi herbal ramuanku yang selalu menyertai ke mana pergi. Hany pun sudah kubekali dengan herbal yang sesuai.

Setelah Hany, aku menterapi Intan, melanjutkan terapi yang kemarin. Intan selesai, ha ha ha, ada satu lagi santri yang terkilir kakinya, ya sudah, sekalian saja. Begitulah kehidupan seorang terapis, ke mana pergi bertemu pasien, he he.


Pulo Gebang, Senin, 24 Juni 14 pukul 10.00

Hilmy datang menjemputku.

"Kok pake Beat? Pulsar ke mana?"

"Di tawarin Pak Adam pake ini, lebih nyantai," jawabnya.

Saat akan berangkat, Hany masih tidur. Aku titipkan pada teman-temannya untuk mengingatkan makan dan minum herbal.

"Berapa jam perjalanan?" tanyaku.

"Ke Ciledug sekitar satu setengah jam."

Ok, perjalanan yang lumayan, aku ambil posisi duduk seperti laki-laki, he he, darurat.

Belum sampai seperempat jam perjalanan, Abi nelpon. Memberitahukan kalau sekarang sedang di Metro dengan Harish. Di sana bergabung dengan Husna dan Hafa yang sedang liburan tempat sepupunya. Sekalian berkunjung ke Mamak dan saudara-saudara. Keluargaku memang banyak di Metro.

"Rencananya, kalau urusan hari ini beres dan Hany sudah bisa ditinggal, Umi berangkat nanti malam."

"Ya nggak apa-apa, asal nggak kecapean."

"Justru itu, Umi pengen cepat pulang, biar capenya numpuk di rumah."

"Ha ha ha, jadi nanti Abi ngurusin orang kecapean? Yo wes, nggak papa, mana baiknya. Sudah pesan travel?"

"Belum, mau lihat situasi dulu, takutnya kalau nggak terkejar."

"Ok, barokallah."

Baru setengah jam, aku merasakan paha terasa pegal luar biasa, ck ck ck, terasa sekali, tubuh ini sudah ringkih. Ya wajarlah, semalaman posisi duduk di mobil, ditambah sekarang duduk lagi. Apalagi tidak terbiasa dengan model dudukan motor Beat yang cenderung lebih rendah di depan.

Baru sekali ini di Jakarta naik motor. Walaupun memang jarang ke sini, tapi beberapa kali, selalu pakai mobil.

Hilmy sengaja izin tidak ke kantor untuk menemaniku. Itu juga yang jadi pertimbangan, aku segera menyelesaikan semua urusan, agar Hilmy tidak pelu izin dua hari. Maka kami benar-benar mengatur strategi, bagaimana waktu sehari bisa benar-benar efektif.

Hilmy sudah tiga tahun di Jakarta, dan memang tipe petualang. Wajar kalau dia kelihatan begitu memahami liku-likunya. Dia bisa memperkirakan, dengan motor, jam berapa, dari mana ke mana, butuh waktu berapa lama. Aku sudah terbiasa diboncengnya saat di Lampung, dan sudah mengenali gayanya saat berkendara. Di sini aku melihat kemampuan yang sesungguhnya. Bagaimana lincahnya dia meliuk-liuk di sela kendaraan menghindari kemacetaan. Bagaimana dia hafal lampu merah mana menyalanya berapa lama. Bagaimana dia berusaha menghindari kemacetan dengan mengambil jalan alternatif. Bagaimana dia memutuskan kapan mematuhi aturan lampu merah, kapan dia bisa memanfaatkan detik untuk mempercepat perjalanan. He he, sekali-dua dilanggarnya aturan itu, tapi jelas dengan perhitungan yang cermat, untuk keselamatan dirinya dan orang lain.

Dia juga bisa menentukan dengan tepat, kapan harus bersabar dengan jalan sangat perlahan, kapan bisa memacu kendaraan bak seorang pembalap.

Ciledug, Selasa 24 Juni pukul 11-30

Perhitungan Hilmy tepat! Satu setengah jam. Sebelum ke rumah Pak Adam, aku ganti pakaian dan sholat di kontrakan Hilmy yang berjarak hanya lima puluh meter.

Keluarga Pak Adam adalah keluarga kedua Hilmy. Dalam bimbingannya selama tiga tahun. Hilmy jadi seperti sekarang. Secara hubungan darah, kami sama sekali bukan siapa-siapa.

Kesamaan visi misi dalam mendidik anak dan membangun generasi, yang membuat kami bisa mempunyai ikatan yang melebihi hubungan darah sekalipun. Kami sama-sama punya mimpi besar untuk anak-anak, bagaimana nantinya mereka menjadi manusia sukses berbasis Al Qur'an. Aku sempat bingung memikirkan balas jasa untuknya atas apa yang telah dilakukannya untuk Hilmy, tapi akhirnya aku kembalikan semuanya pada Allah. Bukan tak tahu diri, tapi secara materi memang saat ini kami tidak mampu untuk itu. Kami percaya, niatnya tulus ikhlas, sebagaimana kami mengikhlaskan anak-anak disiapkan untuk kepentingan umat. Dalam pembicaraan kami dan anak-anak, bukan bagaimana mereka nantinya hidup kaya dan terhormat, tetapi bagaimana mereka ikut berperan dalam memajukan umat. Dan proses itu sedang disiapkan dan dijalani dari sekarang.

Keluarga Pak Adam, tempat kedua yang ada dalam rencana aku kunjungi dalam perjalanan kali ini.
Ada hal yang sedang kami bahas akhir-akhir ini, tentang rencana memulai aktivitas Rumah Tahfidz, sebagai langkah awal memujudkan pesantren impian kami.

Setelah makan, kami segera membahas hal-hal yang prioritas dibicarakan. Komunikasi kami, selain tatap muka, juga via telpon. Karena beliau tahu, rencana perjalananku setelah ini, maka kami berusaha mengefektifkan kesempatan ini.

Ciledug, Senin 24 Juni 14 pukul 14-30.

Aku berpamitan untuk melanjutkan perjalanan ke Depok.


Aku memang janjian dengan Rihie, salah satu member Komunitas Bisa Menulis di toko ANPH, untuk bertemu sekitar jam tiga sore. Aku sudah minta padanya untuk menghubungi member lain yang bisa, yang tidak terlalu repot untuk bertemu.

Jam setengah empat aku sampai di ANPH. Langsung masuk ke toko, tapi hanya kutemui penjaga toko. Dan dia tidak tahu menahu tentang janjian kami.. Langsung ku SMS Richie, he he, ternyata dia sudah ada di lantai dua.

Sebelum aku melangkah ke lantai dua, seorang pemuda turun, langsung menghampiri dan berusaha mengingat-ingat, siapa aku. Ku pikir Richie, tapi...kok nggak mirip ya? Ku ingat-ingat lagi, ha ha, kami saling mengingat-ingat.

Ups! Baru yakin, ini bukan Richie.

"Armi, ya?" tebakku. Armiadi Asamat, member KBM awalan. Aku senang baca postingannya, bagus-bagus. Komennya juga baik, bukan tipe yang suka menghujat.

"Iya, ini... siapa ya?"

"Coba tebak!" aku senyum-senyum melihat tampang Armi. Dengan memakai jilbab yang kukenakan di photo profil Fb, maksudnya supaya mudah dikenali.

"Umi Neny, ya?"

"Betul! Richie sudah datang?"

Sementara seorang remaja berjilbab masuk dan menanyakan ayahnya pada penjaga toko.

"Itu Chacha, Mi," kata Armi. Chacha, panggilan putri pertama Pak Isa Alamsyah dan Bunda Asma Nadia, penulis berbakat. Ada beberapa bukunya, tapi aku belum baca, he he, anak-anakku yang sudah membacanya.

"Pak Isa ada?" tanyaku. Isa Alamsyah, penulis buku motivasi, pendiri dan pembina KBM.

"Ada, yok ke atas, Richie juga sudah di sana?"

"Alhamdulillah, rizki Umi ketemu Pak Isa."

"Mas Agung, Dedi, Ali juga ada," Armi menyebutkan beberapa nama orang-orang KBM.

Agung Pribadi, penulis buku Gara Gara Indonesia, best seller dan sangat memotivasi serta menumbuhkan kebanggaan terhadap Indonesia melalui belajar sejarah.

Dedi Padiku, penulis buku Mengejar Mimpi, buku pertama, langsung best seller, di bawah bimbingan Pak Isa dan Bunda Asma.

Ali Isfah, salah seorang member KBM yang aktif, juga bekerja di KBM seperti halnya Armi dan Dedi.

"Alhamdulillah, banyak banget rizki Umi hari ini."

Kami ke atas. Di lantai dua ada Rihie, Chacha, Pak Isa, Dedi dan beberapa orang lain yang sedang sibuk ngepak buku.

Aku sempat tidak fokus, apa yang harus kulakukan saat bertemu mereka. Aku memang berharap bisa bertemu, tapi harapan itu tidak terlalu menggebu. Karena memang tidak janjian dan lagi mengingat kesibukan mereka, aku jadi tahu diri.

Menit-menit pertama sebatas perkenalan, mungkin mereka berusaha mengenaliku. Tapi akupun tidak terlalu ge er, bukan apa-apa, di KBM aku member biasa yang postingan-postinganku masih sangat biasa, belum kelihatan istimewa menurut ukuran standar kualitas.

Aku sempat takjub ketika Pak Isa bertanya," Bu Neny yang anaknya Hafidz Qur'an, ya?"
Eh, ternyata ada satu hal dari diriku yang masuk dalam memori Pak Isa. Mungkin beliau membaca salah satu postinganku. He he, sebagai orang yang baru belajar menulis, wajar, ide yang dikeluarkan apa-apa yang ada di sekitar. Sebagai ibu rumahan, ya tentunya sumber ideku lebih banyak dari anak-anak.

Kemudian kami membicarakan sedikit tentang penghafal Al Qur'an, dan seperti biasanya, aku selalu ditertawakan urusan hafal menghafal. Aneh mungkin, seorang ibu yang tidak hafal Qur'an, bahkan untuk mengingat judul buku saja salah, kok anak-anaknya bisa hafal Qur'an. Tapi aku sudah terbiasa, mungkin terhitung tebal muka. Bagiku, tak ada persyaratan, jika menginginkan anaknya hafal Qur'an, orang tuanya harus hafal dulu.

Kemudian aku diajak ke lantai tiga, untuk menemui Mas Agung dan beberapa yang lain. He he, ternyata Mas Agung lebih keren dari foto-fotonya yang sering tayang di fb atau gambar di bukunya. Di sana obrolan dilanjutkan. Salah satunya masalah judul yang menjual.

Walaupun tidak direncanakan secara detil, tapi waktu beberapa menit itu aku manfaatkan untuk menyerap ilmu dari orang-orang hebat itu. Kami memang baru ini bertemu, tapi luar biasa, aku merasakan keakraban di sana. Obrolan kami penuh dengan canda dan saling ejek, wajarlah, anak-anak muda. Sedang asyik ngobrol, tiba-tiba Richie batuk, dan dari suaranya kuperkirakan batuk itu sudah lama. He he, jadi ingat janjian akan menusuk Rihie.

"Jadi akupunktur, Chi?"

Rihie snyum-senyum malu, sambil tengak-tengok mencari tempat yang bisa digunakan untuk terapi.

"Harus buka baju, ya, Mi?"

"Ya, iyalah. Masa mau dari luar baju. Umi mau ambil titik di punggung dan tangan."

Atas izin pak Isa, aku menterapi Richie di ruangannya. Iih, lucu, karena merasa sudah dekat di dunia maya, aku sama sekali tidak canggung menterapi Richie sambil ngobrol, bercanda sekaligus memberi nasihat. Yaah, namanya emak-emak, nggak diminta juga, doyan banget kasih nasihat pada anak muda. Eh, lupa, siapa Richie? Dia orang KBM pertama yang aku beri tahu tentang rencana ke Jakarta. Aku juga heran, kok bisa akrab dan dekat dengannya, hanya lewat komen-komennya di fb.

Muncul Armi, iseng menggoda Rihie. Ha ha, tambah seru suasananya.

Selesai menterapi, acara dilanjut dengan foto bersama. Aku pasrah, nggak punya kamera, hp pun jadul, nggak bisa untuk foto.

Setelah beres, aku berpamitan ke bawah, menunggu Ira dan Susi, yang sedang dalam perjalanan.

Alhamdulillah, dapat hadiah dari Mas Agung, buku Acupoint, tulisan Pak Isa Alamsyah. Buku yang sangat dibutuhkan seorang akupunkturis sepertiku. Terima kasih Mas Agung.


Wednesday, June 25, 2014

Tujuh Puluh Empat Jam 1

<p>Bandar Lampung, Minggu, 22 Juni pukul 20.30

Harish berlari ke kamar belakang sambil tertawa-tawa, minta dikejar.

"Ayo dong, Rish. Sini peluk Umi, tuh mobilnya sudah datang," bujukku.

"Nggak mauuuu!"

"Cium aja, ya?"

"Nggak mauuuu!" teriaknya, manja, sambil menutup pipinya dengan tangan.

"Ya, udah, dadaaaah. Harish," kataku, pura-pura akan berangkat.

"Umiiii, peluuuuk," Harish berlari menghampiri dan memelukku erat.</p>

Dia melambaikan tangan dengan wajah ceria, saat mobil travel yang membawaku berangkat.


Bandar Lampung, Minggu, 22 Juni 14 pukul 21.30

Di perbatasan Bandar Lampung, masuk SMS dari Abi, katanya Harish tertidur, kecapean nangis. Lho? Belum satu jam kok sudah nangis? Ha ha, saatnya tidur, dia di kamar sendiri, Abi sedang pengajian di ruang depan dengan teman-temannya. Bukan tangisan keras, hanya sedu sedan. Ketika ditanya, dia bilang kangen sama Umi, walah-walah. Aku senyum-senyum sendiri membayangkan Harish, bukannya tega sih, tapi ya, itu pengalaman hidup yang harus dilaluinya, cepat atau lambat. Untunglah lampu dalam mobil dimatikan, jadi nggak ada yang tahu kalau aku senyum-senyum sendiri, he he.

Satu kebiasaan, ketika di perjalanan, aku nggak mudah tidur. Misalnyapun bisa, hanya tidur ayam dan sebentar. Aku belum tahu mau melakukan apa, selain membuat detil rencana, bagaimana agar perjalanan ini efektif dan efisien. Ini kesempatan langka, pergi tanpa Abi atau anak-anak. Aku harus menjaga kesehatan diri sendiri, bahaya kalau sampai lengah dan drop di perjalanan. Kalau jalan dengan Abi, nggak terlalu masalah, karena bisa langsung diterapi beliau.  

Aku sadar, masalah pengaturan waktu, agak sulit direncanakan dengan detil, karena menyangkut banyak hal. Belum bisa dipastikan, berapa waktu yang dibutuhkan untuk sampai tempat tujuan. Aku hanya menyiapkan beberapa rencana alternatif, yang dalam pelaksanaan nantinya, disesuaikan dengan situasi dan kondisi.

Kalianda, Minggu, 22 Juni 14 pukul 23.40

"Maaaas! Barang-barang jatuh!" teriak seorang penumpang yang ada di bangku belakang. Sopir segera menepikan mobil. Rupanya pintu bagasi terbuka, dan semua barang yang ada berjatuhan. Penumpang laki-laki ikut membantu supir memungut barang-barang itu. Untunglah segera ketahuan, jadi nggak ada yang hilang, semua barang masih bisa ditemukan. Yang terjauh sekitar 200 meter dari mobil berhenti.
Ternyata pintu bagasi tidak tertutup rapat, karena ada kerusakan, dan tidak bisa langsung diperbaiki.. Supir menelpon temannya yang membawa mobil yang lain. 

Sambil menunggu, aku memperhatikan situasi sekitar. Tak nampak rumah penduduk dengan jarak pandang sebatas cahaya lampu mobil dan lampu jalan. Mungkin ini daerah yang sepi penduduk. Di sisi kiri jalan, yang nampak hanya pepohonan. Hatiku sempat was-was. Ini tempat asing, aku pergi sendiri, dalam artian tak ada satupun penumpang yang aku kenal. Daerah sini juga sering terjadi kriminal. Aku perempuan, pergi sendiri tanpa muhrim, sebenarnya itu hal yang tidak baik menurut syariah, bahkan ada yang berpendapat terlarang. Tapi aku bulatkan hati, aku pergi atas izin suami, naik travel legal yang sudah langganan. Aku pergi juga dalam keperluan yang tidak dilarang. Ya, sudahlah. Semua syarat ikhtiar sudah dipenuhi, tinggal tawakkal dan doa. A'udzubikalimatillahi min syarri maa kholaq, Ya Allah. aku berlindung hanya pada-Mu terhadap kejahatan makhluk-makhluk-Mu, amiin.

Tak lama mobil yang ditunggu, datang, karena memang tidak terlalu jauh beriringan. Akhirnya barang-barang dipindahkan ke bagasi mobil itu.

Alhamdulillah! Ups, jangan salah sangka. Bukannya senang dengan kejadian itu, tapi tasku tidak diletakkan di bagasi. Bisa dibayangkan kalau ada di sana, ooooh, tidak, laptopku?

Hmmm, empat jam termakan untuk antre karena ada jalan yang sedang diperbaiki. Mau baca, gelap. Mau mengeluarkan laptop, posisi kurang nyaman. Aku dapat bangku paling depan, kaki tidak bisa  selonjor, ditambah lagi ada tas. Ya sudahlah, merem-melek saja, sambil dzikir. Sekali-kali mengevaluasi apa-apa yang sudah kulakukan dalam hidup. Akupun harus hemat batere hp, setelah sms, segera ku off. Abi dan Hilmy sudah menyimpan no hp supir travel dan asrama tempat Hany tinggal, tujuan pertamaku. Andai sewaktu-waktu hpku drop, mereka bisa menghubungi dua nomor tersebut.

Bakauheni, Senin, 23 Juni 14 pukul 04.00

Untunglah tidak terlalu lama, mobil langsung masuk kapal. Setelah duduk sebentar, sambil makan nasi yang kubawa dari rumah, menjelang subuh, aku ke toilet. Ini saat-saat mendebarkan. Jujur, ini saat yang paling tidak kusukai dalam setiap perjalanan, masuk toilet umum! Memang, tidak ada yang lebih aman dan nyaman dari toilet di rumah sendiri. Bukan karena mewah, tapi karena benar-benar mengetahui kondisinya.

Alhamdulillah, aku berhasil melewati saat-saat menegangkan itu. Tapi tetap saja, harus ganti kaus kaki.
Setelah sholat di mushola kapal, kusempatkan tilawah sebentar.

Merak, Senin, 23 Juni 14 pukul 07.30

Alhamdulillah, matahari bersinar cerah saat kami keluar dari lambung kapal. Saatnya Notes From Qatarnya Muhammad Assad menemani perjalanan. Ternyata perjalananku masih panjang. Mobil mengantarkan beberapa penumpang ke daerah yang agak ke dalam. Ada yang turun di Serang, ada yang di Curug, Tangerang, sebelum mengantarku sampai ke tujuan.

Setelah beberapa penumpang turun, teman seperjalanan yang duduk di sebelahku pindah ke belakang. Saatnya buka laptop untuk menghubungi Hilmy via facebook. Hp sudah tidak bisa digunakan, drop. 

Ternyata ada pesan dari Hatif, menanyakan kabar.

"Umi lagi di jalan, mau ke Jakarta."

"Sama siapa, Mi?"

"Sendiri."

"Sendirian, nggak takut, Mi?"

"Masa penakut melahirkan anak-anak pemberani?"

"Oh, iya he he he."

Aku selalu menanamkan pada anak-anak, bahwa mereka pemberani, dan sebagian sudah membuktikannya. Di usianya yang relatif muda, mereka berani merantau dan siap menghadapi segala permasalahan yang ada.


Pulo Gebang, Senin, 23 Juni 14 pukul 12.30 

Alhamdulillah, tujuan pertama tercapai. Mengunjungi Hany, anakku yang ketiga di asrama putri Al Hayyah, yang sedang menyelesaikan programnya, menghafal Al Qur'an.

Menyenangkan sekali bertamu ke rumah yang penghuninya para penghafal Al Qur'an yang ramah dan sopan menyambutku.

Aku mengannggap mereka semua seperti anak sendiri. Hany segera menyiapkan air panas untuk mandi, dia tahu, Uminya harus mandi pakai air hangat, apalagi dalam kondisi cape.

Setelah sholat, makan dan istirahat, sorenya misi kedatanganku segera dilaksanakan. Hany baru sebulan di sini, aku ingin tahu perkembangannya, terutama tentang adaptasinya dengan lingkungan yang baru.

Alhamdulillah, menurut teman-teman dan ustadzahnya, Hany baik dan bisa menyesuaikan diri dengan peraturan yang diberlakukan. Hany mengaku nyaman menghafal di sini.

bersambung.

Pembalap Ibu Kota

<p>Adu cepat! Itu faktor utama dalam balap.

Di Jakarta, sebenarnya banyak sekali pembalap hebat, tapi tidak semua namanya tercantum di daftar pembalap nasional.

Tahu kenapa?

Karena mereka tidak pernah berlaga di sirkuit resmi. Medan mereka adalah jalan raya, sirkuit kehidupan yang sesungguhnya.</p>

Setiap pembalap berburu cepat mencapai garis finish melalui rintangan-rintangan yang sudah ditentukan. Semua harus dengan perhitungan matang, kalau ingin jadi pemenang.

Demikian juga dengan pembalap ibu kota, mereka harus cermat menghitung setiap langkah-langkahnya.

Jam berapa keluar dari rumah sebagai garis start, sangat menentukan jam berapa sampai di garis finish, yaitu tempat kerja atau sekolah.

Pilihan jenis kendaraan juga akan menentukan. Dalam hal ini, mungkin tidak semua pembalap ibu kota bisa memilih sesuai dengan seleranya, tapi lebih banyak harus menerima bagiannya. Ada yang bisa memilih mobil pribadi atau motor, tapi banyak yang harus rela menggunakan kereta, busway, taksi, bajaj atau ojek.

Mereka harus hafal, jam berapa, jalan mana langganan macet. Lampu merah mana yang menyala berapa menit. Tikungan mana yang bisa diambil untuk jalan alternatif.

Satu hal lagi, selain peka dan cermat, pembalap ibu kota relatif lebih sabar, karena tidak ada guna sumpah serapah ataupun keluh kesah menghadapi kondisi jalan yang tidak bisa dikendalikannya.

Alangkah menakjubkan, bila sikap mental ini diterapkan dalam melakoni kehidupan, yang pada dasarnya adalah balapan, fastabiqul khoirot.


Takjub

Kok sampai jam tiga sore nggak ada kabar ya? Segera kuhubungi teman yang sudah janjian akan pergi bersama. Kabar terakhir tadi pagi, aku diminta menunggu saja, siang ini, untuk keputusan bagaimana berangkatnya. Urusan pesan travel akan dihendelnya. Berulang kali tiga nomernya kuhubungi, tidak ada yang aktif. Perasaanku mulai tidak nyaman, ada apa ini?

Semua keperluan sudah kusiapkan, tinggal mengangkatnya saat keberangkatan. Anak terkecil yang akan kutinggal, sudah terkondisikan. Semua agenda rutin sudah kusesuaikan, begitulah emak-emak kalau mau pergi, maka dapat dibayangkan bila rencana itu gagal?

Akhirnya, jam lima sore nomornya aktif lagi.

"Maaf Jeng, kartunya diganti sama-anak-anak, nggak tahu kalau dihubungi. Jadwal keberangkatan ditunda, lusa."

Aku diam!

"Kok diam Jeng, jawab dong, dehem kek, iya kek?"

"Maaf, aku takjub diperlakukan seperti ini"

"Ya sudah, Jeng, maaf ya, Assalamu'alaikum."

Innalillah, pernahkah aku memperlakukan orang lain sepertii ini? Astaghfirullah.

Ya sudahlah! Disesalipun tak berguna.
Menjelang maghrib, suami menelpon travel langganan, Alhamdulillah, masih ada kursi untuk jadwal keberangkatan sesuai rencana.

Hmmm, jadi ingat zaman muda, paling nggak hobi dengan tunggu-tungguan.

Monday, June 23, 2014

Jauh dan Sendiri

Harish dengan gembira melepas saat aku berpamitan, tapi belum sampai satu jam perjalanan, Abi sudah SMS

"Harish kecapean nangis, trus ketiduran."

"Lho, kok nangis?"

"Waktu mau bobok, ingat Umi, terus nangis."

Ha ha ha sudah kuduga Yah, sudahlah, nggak bahaya juga. Dia ada di tangan yang aman. Aku pergi meninggalkan anak yang satu untuk mengurusi anak yang lain, he he. Semua anak toh mempunyai hak sesuai waktu dan kebutuhannya.

***
"Umi pergi sendirian, kok nggak takut?" tanya Hatif lewat inbox

"Ha ha ha masa penakut melahirkan anak-anak pemberani?"

"Iya juga, ya? He he."

Apa bukan pemberani kalau anak-anak belum sepuluh tahun sudah mau hidup terpisah dengan orang tuanya?

Apa bukan pemberani kalau lulus SMP sudah berani merantau dan berpetualang?

Orang tua yang bukan pemberani rasanya tidak mungkin bisa mendidik anak-anaknya menjadi pemberani, karena untuk mendidik dibutuhkan sebuah keyakinan, pelaksanaan dan keteladanan.

Mungkin selama ini, ke mana-mana aku selalu pergi bersama Abi, tau sebabnya? Karena aku nggak sanggup kalau pergi jauh bawa anak kecil sendirian, apalagi kalau sudah urusan MCK di perjalanan, iiiih, tersiksa. Bukan apa-apa, aku sangat tidak nyaman dengan pakaian lembab, sedang kalau urusan MCK diperjalanan, jelas sangat sulit menghindar dari hal itu, entah ujung jilbab, ujung lengan atau kaos kaki.

Jadi masalahnya bukan karena tidak berani, tapi dimanjakan, he he he.

Kadang-kadang potensi yang kita miliki terpendam dengan rapi, karena tidak diberi kesempatan untuk berkembang. Semakin dalam dan lama sebuah potensi dipendam, maka semakin besar energi yang dibutuhkan untuk mem-push up-nya untuk bisa digunakan.

Lebih parah lagi kalau kita tidak tahu bahwa dalam diri kita ada potensi yang luar biasa. Alih-alih melihat potensi, bahkan lebih sering menghitung kekurangan diri. Sayangnya, penghitungan kekurangan diri itu bukan menjadikannya rendah hati dan tidak sombong, justru membuat rendah diri alias minder kompleks.

Padahal ada ungkapan yang mengatakan, seorang hamba akan mengenali Tuhannya dengan baik jika dia mengenal dirinya. Nah! Artinya pengenalan potensi diri itu hal yang super penting dong?

Untuk dapat mengenali potensi diri, kita butuh lingkungan yang memberi kesempatan untuk  melihat dan mengembangkan potensi diri tersebut. Itu sebabnya, memilih lingkungan dan teman yang baik, merupakan syarat yang dianjurkan. Bahkan Rasulullah memberi tuntunan, ketika kita ingin melihat pribadi seseorang, maka lihatlah agama temannya. Jadiiii?

Sunday, June 22, 2014

Rumah Mewah

Rumahku sangat mewah, Mepet sawah, tak ada rumah lain antara rumahku dan sawah. Walaupun sawah itu bukan milkku, tetapi setidaknya, saat aku memandangnya, tidak perlu membayar atau mengeluarkan biaya transport.

Sayang, aku jarang menikmatinya. Padahal hampir setiap tamu berkomentar sama.

"Enak banget ya, di sini. Bisa lihat sawah setiap hari, udara masih sejuk dan segar."

Orang lain harus menyediakan waktu khusus, perbekalan dan biaya transport untuk dapat menikmati kesegaran yang tersedia di hadapan mataku setiap hari. Tapi kok aku nggak menikmatinya setiap hari? Hanya saat Harish minta ditemani bermain di luar rumah, maka saat itulah aku menikmatinya.

Apakah aku termasuk orang yang kurang bersyukur? Tidak menikmati sesuatu yang dekat? Atau mungkin itu suatu hal yang umum, merindu yang jauh, abaikan yang dekat?

Saturday, June 21, 2014

Pengadilan Hati

Mira tersedu dalam peliukan Dina, sahabatnya.

"Dia tidak mencintaiku Din."

"Dari mana kau tahu?"

"Dari sikapnya, dia hanya kasihan padaku."

Mira menikah dengan Ardi yang usianya lima tahun lebih muda. Mereka menikah lantaran perjodohan kedua orang tuanya. Mira menyetujui perjodohan itu, salah satu alasannya karena usianya tak muda lagi, disamping karena kesholihan Ardi. Mira dibayangi ketakutan dan rasa rendah diri, sedang Ardi tipe pria yang sederhana, jauh dari romantis.

"Apa hak-hakmu sebagai istri diabaikannya?" tanya Dina.

"Tidak! Bahkan dia baik sekali dan selalu berusaha menyenangkan hatiku."

"Lalu, apa bukti tuduhanmu?"

"Dia tak pernah menyatakan cintanya padaku."

Dinaa geleng-geleng kepala.

"Apa kau pernah menyatakan cinta padanya?"

Mira menggeleng,"Aku malu."

"Mungkin Ardi juga malu," jawab Dina, tak sanggup menahan senyum.

Sedalam apa kita tahu isi hati orang lain? Hati sendiri saja kadang kita heran, pagi mengagumi, sore membenci.

Alangkah mudah menghakimi hati, sedangkan dalam memvonis zina, Allah mengharuskan adanya empat orang saksi?

Friday, June 20, 2014

Menikmati Kekayaan

Setelah sholat Dhuhur.

"Makan dulu, Ustadz!" Mbak War, mengingatkan.

"Ya, Mbak."

Aku segera ke ruang makan. Seperti biasa, di meja makan sudah terhidang berbagai jenis lauk-pauk layaknya di meja prasmanan sebuah pesta. Kalau kuhitung, sekitar delapan sampai duabelas jenis. Selalu seperti itu. Sudah setahun aku mengajar privat mengaji di keluarga ini. Keluarga kaya raya, pemilik beberapa perusahaan tingkat nasional. Jadwalku seminggu tiga kali, dari jam sebelas siang sampai jam tiga sore. Sebelum Dhuhur aku mengajar Ibu dan seorang anaknya yang sekolah masuk siang. Sambil menunggu dua orang anaknya pulang sekolah aku sholat, makan dan istirahat di situ.

Kadang aku bingung, bagaimana cara mereka menikmati kekayaannya? Aku tidak merasakan nikmatnya makan dengan begitu banyak jenis lauk-pauk. Sebagai orang yang hidup pas-pasan, sama sekali tidak tertarik untuk mencicipi semua makanan, cukup nasi dengan satu atau dua jenis lauk.

Adakah kenikmatan dunia yang melebihi makan nikmat, tidur nyenyak, BAB dan BAK lancar?

Tamparan

Pak Salim mendekati Johan yang sedang duduk sendiri di kursi barisan belakang, saat acara ta'ziyah di salah satu tetangganya. Setelah basa-basi, Pak Salim dengan sangat berhati-hati, menyampaikan informasi yang sekian hari dipendamnya.

"Dik Johan, maaf sebelumnya, saya mau menyampaikan apa yang beberapa kali saya saksikan sendiri, mungkin berguna."

"Ada apa, Pak? Jangan sungkan."

"Beberapa kali saya melihat, Ani di antar laki-laki yang berganti-ganti, tapi turunnya di ujung gang, dan maaf, Ani mencium laki-laki itu sebelum berpisah," Pak Salim berkata lirih, khawatir ada orang lain yang mendengar.

Suara lirih Pak Salim terdengar bagai gelegar di telinganya! Wajahnya bagai ditampar!

Selama ini memang dia dengar selentingan ibu-ibu membicarakan Ani, anak gadisnya, tapi dia tidak menganggapnya serius. Dia pikir, ibu-ibu memang doyan gosip.

Tapi tidak dengan Pak Salim. Beliau orang yang terpercaya, sangat dihormatinya.

Ini yang ditakutinya seiring dengan pertaubatannya dulu. Kini dia merasakan apa yang dirasakan ayah gadis-gadis yang dulu dikencaninya.

Dia tahu, ini bukan karma, tapi sebuah pembelajaran. Dia sadar, harus bijak menyikapi masalah ini, jangan sampai anak-anaknya terjebak dalam kesalahan yang sama. Sebuah kesalahan yang selalu membayangi langkah hidupnya, walaupun dia sudah benar-benar bertaubat. Dia tahu, untuk mendapatkan ampunan, bukan hal yang murah. Dia anggap, yang terjadi saat ini merupakan bagian dari persyaratan penerimaan taubat itu, mungkin!

Thursday, June 19, 2014

Pembiaran

Hari kelima.

"Mbak Husna sama Mbak Hafa sudah pulang, Mi?" tanya Harish saat membuka matanya di pagi hari.

"Belum," jawabku, sambil mengusap-usap punggungnya, mungkin dia mau tidur lagi.

"Lama banget siiiiih!" teriaknya, disusul tangisan sedihnya.

Aku tidak menanggapinya dengan ucapan, hanya belaian lembut untuk menghentikan tangisnya. Tapi dia tetap tersedu, bahkan menghentak-hentakkan kakinya di kasur. Kuhela napas, dan bangkit.

Lebih baik menyapu, ngepel dan membuang sampah, menggantikan tugas Husna dan Hafa yang sedang liburan. Kubiarkan Harish di kamar menghabiskan sedu-sedannya. Kasihan, tidak ada teman bermain seperti biasanya.

Kuhampiri lagi, setelah sedu-sedannya reda.

"Harish mau minum susu?" Dia mengangguk. Segera kubuatkan susu hangat, lalu diminumnya.

"Setelah minum susu, terus mandi, ya?" Dia mengangguk. Selesai.

Tidak semua hal harus dijelaskan, kadang dengan pembiaran, suatu masalah lebih cepat terselesaikan.

Wednesday, June 18, 2014

Cara Praktis Mengatasi Sembelit

<p>Sembelit atau susah buang air besar, merupakan salah satu gangguan kesehatan dan kenyamanan yang sering kita alami. Sebuah siksaan, bila kondisi itu ada pada diri.

Banyak penyebab sembelit yang sudah kita ketahui, antara lain:

* Kekurangan cairan
* Kekurangan serat makanan
* Kurangnya aktivitas usus</p>
* Irritable bowel syndrom
* Perubahan gaya hidup, termasuk hamil, penuaan dan perjalanan
* Sedang mengalami sakit tertentu
* Penyalahgunaan obat pencahar
* Masalah pada usus dan anus
* Obat-obatan
* Gangguan hormon
* Hilangnya kadar garam karena muntah dan diare
* Dan lain-lain
(Sumber : www.gejalapenyakitmu.blogspot.com)

Bagaimana mengatasinya? Silahkan googling sendiri yaah? He he he, kan sudah pinter-pinter?

Saya hanya akan menunjukkan satu tehnik praktis dalam mengatasi sembelit. Kita bisa melakukannya sendiri

Bisa lihat gambar di atas?

Itu cara untuk mencari lokasi titik yang bisa kita gunakan untuk mengatasi sembelit, begini caranya:

1. Ketika panggilan alam kita rasakan, segera pergi ke tempat yang seharusnya, toilet.

2. Posisikan diri senyaman mungkin

3. Cari titik yang saya maksud dengan menggunakan tangan yang berlawanan, caranya : letakkan empat jari tanpa jempol dengan posisi rapat. Salah satu sisi tepat di pergelangan tangan, nah, sisi yang satu lagi itulah, lokasi titik yang dimaksud.

4. Tarik nafas, hembuskan perlahan sambil pijat titik tersebut, ingat! Jangan sambil mengejan.

5. Cara kedua, titik tidak dipijat, tapi diurut ke arah pergelangan tangan.

6. Satu lagi! Jangan terburu-buru, nikmati proses alami ini.

7. Semoga sukses!

Eh, ada yang penasaran ya? Titik apa itu?

Oke, saya jelaskan, nggak usah pusing, satu titik saja kok, he he.

Namanya titik Zhigou/ Ce Keu, lokasinya, empat jari dari pergelangan tangan. Salah satu khasiatnya adalah mengatasi sembelit yang disebabkan oleh adanya panas di usus besar.

Boleh juga dicoba untuk mengatasi muntah dan sakit perut.

Semoga bermanfaat



Di Bulan Sya'ban Ini

Bulan Sya'ban belum habis, tapi tiga kabar duka telah sampai kepadaku.

Yang pertama ayah dari seorang sahabat. Semoga khusnul khotimah. Allah membersihkan dosa-dosanya, insyaallah, dengan sakit yang dideritanya. Semoga kesabaran dalam sakitnya memantaskannya untuk mendapat ampunan dan kembali kepada-Nya dengan keridhoan. Mungkin ada pihak yang menyesalkan, karena beliau sudah dijadwalkan berangkat ke tanah suci di musim haji tahun ini, tapi sekali lagi, manusia hanya berencana dan mempersiapkan segala sesuatu dengan sebaik-baiknya. Sedangkan apa yang terbaik bagi manusia, hanya Allah, yang Maha Tahu yang dhohir dan yang batin, yang luar dan dalam, yang dulu, sekarang dan nanti. Semoga pahala syahid tersandang untuk beliau, amin.

Yang kedua, ibu dari sahabatku yang lain. Subhanallah, seorang ibu yang gigih memperjuangkan keberhasilan pendidikan anak-anaknya. Di masa tuanya, beliau sehat, tidak merepotkan. Tetapi Kematian tidak harus didahului sakit yang panjang. Beliau wafat didahului dengan peristiwa kecelakaan, ditabrak kendaraan di jalan, ketika pulang dari masjid. Semoga khusnul khotimah dan pahala syahidah disematkan untuk beliau.

Yang ketiga, baru saja kabar itu sampai. seorang sahabat, dulu tetangga, juga layaknya kakak bagiku. Wafat, didahului peristiwa terjatuh saat dalam perjalanan dakwahnya. Beliau menghabiskan tahun-tahun terakhirnya dengan mengikuti perjalanan dakwah, melanglang Indonesia, bahkan ke luar negeri. Semoga khusnul khotimah dan mendapat pahala syahid.

Benarlah kalau Rasulullah mengajarkan doa kepada kita, agar dipertemukan dengan Ramadhan. Semua itu mengingatkan, bahwa kita benar-benar tidak tahu, kapan umur kita berakhir.

Tak ada jaminan, kita akan meninggal di usia tua.

Tak ada jaminan, malaikat menjemput kita setelah bertaubat.

Maka, satu-satunya jalan selamat adalah, memastikan diri setiap saat dalam keadaan taubat dan berada di jalan Allah.

UDIN MADU

Tumben, Richie datang tidak sendiri.

"Umiii!"

"Richie! Kebiasaan banget, sih, teriak-teriak?"

"Biar sekali aja, males kalo manggilnya lembut, Umi suka nggak dengar."

"Bukan nggak dengar, tapi Umi seneng dengar dipanggil dengan lembut, makanya Umi nggak langsung jawab, biar diulang," jawab Umi, nyengir.

"Hmm, Umi, pinter banget kalo ngeles. Ini kenalin, temen Richie, namanya Udin Madu."

"Hah! Yang bener? Udin Madu?"

"Maaf, Umi, itu nama julukan, panggil saya Udin aja."

"Gimana ceritanya dapat nama keren begitu?"

"Sambil sekolah, saya nyambi jualan Umi. Nah barang jualan yang paling dicari, madu, karena madu yang saya jual, memuaskan pelanggan."

""Wah, keren banget! Sambil sekolah bisa berpenghasilan? Maaf, apa karena orang tua tidak mampu membiayai?" tanya Umi, hati-hati.

"Nggak, Umi. orang tua saya cukup mampu, tapi kami anak-anaknya memang dibiasakan mandiri dan dilatih berpenghasilan semuda mungkin tanpa mengganggu sekolah," jelas Udin.

"Wah, orang tua hebat!"

"Makanya, Umi, beli madu yang banyak," timpal Richie.

"Kalau Umi beli banyak, Richie dapat persenan, ya?"

"Iiih, Umi kok tahu, sih?" tanya Richie.

"Umi getooo."

"Mulai deh, Umi kepedean. Richie nggak seberapa suka minum madu, padahal jelas-jelas manfaatnya banyak, gimana caranya, Mi?"

"Kreatif dikit ah. Kalau nggak suka minum madu, coba dicampur dengan air dan ditambah air jeruk nipis, hmmm, selain lezat, juga bermanfaat," jelas Umi.

"Untuk pengganti gula saat buat teh juga bagus, enak juga," tambah Udin.

"Kok Richie nggak ikutan Udin, jualan?" tanya Umi.

"Nggak ah, Richie kan pemalu, he he."

"Pemalu apa malu-maluin?" ledek Umi.

"Richie juga jualan kok, Umi, jual jasa."

"Ok, Umi senang dengan anak-anak muda yang mandiri, kreatif, tidak manja. Jangan jadi pemuda manja, semua kebutuhan menuntut dipenuhi orang tua. Kalau mandiri sejak dini, kan, bisa nikah muda?"

"Laaah, mulai deh, Umi nyindir-nyindir," Richie cemberut, Udin senyum-senyum.

"Beli madu ya, Umi, menjelang Ramadhan ini ada promo, beli dua botol, gratis satu botol."

"Ya sudah, Umi beli dua botol, gratisannya untuk Richie, tapi untuk diminum ya, bukan dijual."

"Iiih, Umi. Iya-iya, Richie minum, sekalian beliin jeruk nipis ya, Mi, kalo besok belanja."

"Hmm, maunya."

GARA-GARA SARUNG ADAT

Peretemuan sore itu diakhiri dengan pembagian tugas, berkaitan dengan amanah menjadi panitia

"Kelompok kita dapat amanah jadi panitia sie acara pekan depan, Peningkatan Ruhiyah sekaligus menyambut Ramadhan"

Semua dapat amanah yang harus dipersiapkan. Aku kebagian menyiapkan konsep renungan.

"Sekalian musik pengiringnya?" tanyaku.

"Nggak usah, Mbak, sudah ada, dari panitia perlengkapan."

***

Sehari menjelang hari H, ketua panitia memberi kabar lewat SMS, seluruh panitia yang tampil di depan harus menggunakan pakaian daerah. What?

"Nggak punya," langsung kujawab.

Lha iyalah, bagaimana mau punya, seumur-umur nggak pernah pakai? Eh, pernah, sekali, waktu wisuda. duapuluh empat tahun lalu, ha ha ha itu juga pinjam tetangga. Aku paling nggak hobi urusan yang begitu. Kalau dijadikan panitia yang harus pakai kebaya dan kain adat, aku hanya menyesuaikan, pakai rok dan baju panjang. Mau protes? Ya silahkan, memang enakan jadi undangan atau peserta.

"Ada, Mbak Besok ganti di sana, sudah disediakan."

"Kok aneh-aneh, tho? Biasanya nggak ada ketentuan pakaian?"

"Iya, Mbak. Inikan acara tingkat propinsi, peserta utusan dari daerah, dan lagi akan datang tamu dari pusat."

***

Giliranku terakhir, sebelum doa penutup, maka seperti biasa, panitia merangkap peserta. Aku ikut mendengarkan tausiah, sampai setengah jam menjelang giliranku, seorang teman panitia memanggil dengan isyarat.

"Cepetan ganti, setelah ini giliran Mbak."

Oke, aku segera menuju ke ruang ganti. Aku pikir, nggak terlalu sulit, kan hanya pakai sarung kemudian baju kurung, he he. Setelah kubuka bungkusan pakaian itu, sempat bingung melihat motifnya. Ini ada ketentuannya nggak ya, mana yang depan, mana yang belakang?

Alhamduillah seseorang datang, lalu kutanyakan mana yang depan, mana yang belakang.
Setelah jelas aku segera memakainya, o la la, ternyata tak semudah yang kubayangkan Dan lagi, tidak ada orang lain? Terdengar seseorang datang, ah minta bantuannya, mungkin bisa.

"Mbak, sepuluh menit lagi," ternyata panitia

"Bisa bantu pegangin nggak, ini mau ngikat talinya, melorot terus."

"Maaf, Mbak, saya harus memperhatikan waktu di depan"

Astaghfirullah, bagaimana ini. Aku ingat kertas konsep renungan yang sudah kusiapkan, di mana ya? Konsentrasiku bubar! Kuobrak-abrik tas yang kubawa, masyaallah, nggak ada? Di mana, ya? Aku panik. Sementara aku belum berhasil mengikat sarung yang kupakai dengan baik. Belum lagi pasang korset.

"Mbak, lima menit lagi," suara panitia yang mengejutkan, membuat jantungku berdegup kencang.

Ya Allah, bagaimana ini? Semakin kacau, semua yang kulakukan salah. Hanya mengikat tali sederhana di pinggang, gagal terus. Walaupun tak sempurna, tali itu terikat juga dengan kencang. Segera kupakai korset. Tinggal ganti baju atasan. Tapi di mana konsep itu?

"Dua menit lagi, Mbak," temanku ikut panik. Dia membantuku merapikan jilbab. Tapi otakku masih berputar mencari kertas itu, belum ketemu.. . Astaghfirullah!

"Tolong lihat di kantung gamis!"teriakku.

"Apa, Mbak?" temanku bingung, tapi dikerjakannya juga perintahku dengan sigap, memeriksa isi kantung gamis yang tadi kupakai.

"Ini, Mbak?" tanyanya, sambil mengacungkan kertas yang kucari sejak tadi.

"Alhamdulillah!" teriakku, ingin rasanya sujud syukur, tapi masih ribed dengan peniti yang sedang kupasang.

Tapi...

"Untuk mengakhiri acara kita sore ini, mari bersama kita tundukkan hati dan wajah kita, memohon kepada Allah...bla...bla...bla..."

Badanku lunglai, kepalaku berdenyut.

Aku gagal menunaikan amanah.

Apa kata mereka, teman-temanku nanti? Ah, selama ini mereka tidak pernah marah-marah menyalahkan, hanya mengingatkan baik-baik. Tapi tetap saja aku malu.

Tidak banyak yang tahu, aku dapat amanah ini, selain panitia, tapi bukan itu masalahnya.

Yang  jelas, ini akan jadi pertimbangan untuk amanah-amanah selanjutnya.

Aku telah mencoreng diri sendiri, mengurangi peluang amanah yang berpotensi mendapatkan pahala Allah.

Kepalaku terasa semakin berat, hidung terasa tersumbat, lho...kenapa yang kurasakan seperti kalau sedang kena migren ya?

Astaghfirullah...Alhamdulillah...Aku segera bangun dari tidur, walau terhuyung...segera ke kamar mandi.