Saturday, May 31, 2014

SADAR DIRI

Memahami orang lain itu tidak mudah! Beneran!

Apalagi orang lain itu tidak pernah kita temui langsung. Hanya di dunia maya. Dunia baru yang belum terlalu lama kumasuki.

Mungkin sebagian orang menganggap dunia maya benar-benar dunia lain yang tidak perlu dipikirkan seperti kita memikirkan dunia nyata kita, tapi tidak bagiku.

Dunia maya adalah bagian dari dunia nyata, yang bisa kita perlakukan layaknya dunia nyata.

Sebagai contoh, alangkah banyaknya orang menangguk keuntungan dan kelimpahan rizki karena mampu menggarap dunia maya?

Alangkah banyak orang menebar fitnah di dunia maya dan berujung perseteruan di dunia nyata?

Alangkah banyak orang mengawali kejahatan dari dunia maya?

Maka, ketika aku memasuki dunia baru ini, ingin menjadikannya sebagai lahan untuk berbuat kebaikan, baik itu dengan cara pertemanan baru, menyambung silaturahim yang sempat terbengkalai karena tak sempat bertatap muka, mencari ilmu tanpa biaya, menghemat waktu dalam mencari informasi juga mencari dan menyebarkan nilai-nilai kebaikan yang menginspirasi dan memotivasi.

Kalau orang lain bisa menangguk keuntungan materi lewat dunia maya, mengapa aku tak boleh mencari bekal akhirat di dalamnya? Ah, siapa juga yang melarang, ha ha.

Pertemanan di dunia maya, kadang kala mampu mengaduk-aduk perasaanku. Ada yang begitu bersahabat, ada yang begitu ta'dzim menganggapku orang tuanya sendiri, ada yang manja, ada yang senang curhat, ada yang biasa saja, ada yang berlaku seperti guru yang membimbing, ada  yang bersikap seperti musuh, ada yang sangat sensitif dan sebagainya.

Aku menyadari, seperti apa sikap orang terhadapku, bisa jadi merupakan gambaran bagaimana sikapku pada orang lain.

Jika ada seorang teman yang bersikap ta'dzim, bisa jadi dia merasa sikap dan komentarku menunjukkan sebagai ibu yang bijaksana  atau karena yang bersangkutan pandai bersikap santun kepada siapa saja, nah kebetulan aku yang lewat, maka sikap baik itu yang aku terima.

Jika ada yang bersikap manja padaku, bisa jadi karena sikapku yang memanjakannya atau mungkin karakternya yang manja pada siapa saja, tapi tetap saja aku berpikir positif, bahwa sikapnya memang tertuju khusus padaku, geer dikit, nggak papa lah, menyenangkan diri, he he

Ada juga yang...masyaallah, sensitifnyaaaa. Entahlah, hanya padaku atau memang sifatnya begitu. Aku pikir, status seseorang, sudah direlakan pemiliknya untuk dikomentari oleh siapapun, tapi terkesan, ada yang merasa terganggu jika ada yang mengomentari Apakah komentator harus lihat-lihat dulu, nih yang buat status lagi ngobrol dengan orang lain, jangan diganggu atau gimana ya? Kadang nggak ngerti juga, bahkan aku merasa terpojok, hhhh.

Jika ada yang meremehkan, menganggapku tidak cerdas, bahkan sampai keluar kata umpatan yang menghina, hmm, panas juga sih, tapi...tenangkan diri dulu. Bisa jadi memang sikap dan komentarku tengil dan memancing emosi atau mengusik harga dirinya, walaupun tak ada sedikitpun niat dalam hatiku seperti itu. Di sini kuanggap adanya hambatan psikologis, karena masing-masing tidak bisa membaca bahasa tubuh, yang lebih mudah dipahami sebagai ekspresi kondisi kejiwaannya, maklumlah, kan nggak melihat orangnya, sedang senyum ataukah cemberut. Lalu, apa sikapku? Maafkan dia, seperti akupun ingin dimaafkan ketika tanpa sengaja aku melakukan hal yang sama. Blokir pertemanan? No, itu bukan gayaku! Aku mencari teman dan menerima pertemanan untuk dilanggengkan, selagi bisa. Harapannya, saling tukar manfaat masih bisa diteruskan, kalau tidak sekarang, bisa jadi suatu saat nanti.

Kadang ada juga yang bersikap kurang ajar! Ah, biarlah, mungkin dia tidak pernah menengok akun, dan tidak tahu bahwa aku orang tua seusia ibunya atau lebih tua lagi, karena dia hanya sempat melihat ppku, yang lebih sering menampilkan anak bungsuku, he he.

Memang tidak mudah mengenal dan memahami orang lain seutuhnya. Kadang kita sudah merasa akrab, dekat dan mampu menyelami perasaannya, ternyata...ha ha ha.

Wajar sajalah! Dengan suami yang sudah hidup bersama lebih dari dua puluh tahun, dengan anak yang merupakan bagian dari diri sendiri pun, sekali waktu merasa ada hal-hal yang sulit dipahami.

Mengapa?

Ini masalah hati! Yang hanya Dia yang kuasa mengendalikannya.

Hati manusia sulit ditebak, bahkan oleh sipemiliknya. Pernah mengalami, pagi gembira luar biasa, sore bersedih tiada tara? Dulu cinta setengah mati, bahkan seakan rela mati, kini benci alang kepalang, seakan bila bertemu ingin ditelan. Hiiiih! Sadis!

Yah, sudahlah. Kembali ke diri, yang tentunya relatif lebih mudah dikendali, daripada mengharapkan orang lain mengerti dan memahami.

MUTIARA SURGA

Engkau
Satu dari sembilan mutiara surgaku

Hadirmu
Mempercantik kehidupanku

Engkau sangat istimewa di mataku
Seistimewa delapan mutiara surga yang teruntai indah bersamamu

Cinta kasihku saat mendekap di saat bayimu
Sama seperti saat memarahi di usia bengalmu
Tak beda saat menasehati saat remajamu

Rinduku saat menanti kelahiranmu
Sama seperti saat kau keluar rumah bermain bersama teman-temanmu
Tak beda saat kini kau merantau menuntut ilmu

Harapanku saat mendengar lengking suaramu saat terlahir
Sama seperti saat mendengar murojaah hafalan saat kanak-kanak dulu
Tak beda saat mendengar suaramu menjadi imam di awal remajamu
Gunakan suara itu untuk meninggikan kalimat-Nya
Dan memanggil orang-orang untuk kembali kepada-Nya

Tinggikan cita-citamu
Bukan untuk digantung, tapi untuk kau gapai
Jadikan sebagai energi pembangkit semangatmu
Saat kau lelah, jenuh, bosan dan menghadapi berbagai hambatan.

Adakah cita-cita yang lebih tinggi dari mendapat ampunan-Nya?
Adakah profesi yang lebih mulia dari penyeru ke jalan-Nya?
Adakah perkataan yang lebih indah dari mengingatkan kepada-Nya?

Gapailah dengan menuntut ilmu tiada henti
Raihlah dengan mengajarkan ilmu yang bermanfaat
Genggamlah dengan mengamalkan ilmu yang diberkahi
Jadikan ilmu menjadi sebab Allah meninggikan derajatmu

SEBENTAR LAGI DIA DATANG

<p>Sudah masuk bulan Sya'ban. Berlalu satu bulan penuh berkah dari hadapan. Masih satu bulan lagi berharap keberkahan sebelum masuk pada Ramadhan yang dirindukan.

Benarkah aku merindukan Ramadhan?
Untuk apa?
Bagaimana dengan Ramadhan-Ramadhanku yang lalu?</p>

Jangan-jangan aku hanya latah merindukan Ramadhan?
Jangan-jangan aku hanya merindukan suasana kebersamaan dalam berbuka dan sahur?
Jangan-jangan aku hanya terjebak pada ritual tarawih dan atau tahajud?
Jangan-jangan aku hanya sibuk berlomba mengkhatamkan tilawah Al Qur'an berulang-ulang?

Bukankah Ramadhan berarti bersiap menghadapi harga kebutuhan pokok yang melambung tinggi?
Bukankah Ramadhan berarti bersiap dengan anggaran belanja yang membengkak?
Bukankah Ramadhan berarti bersiap dengan hidangan yang beragam?
Bukankah Ramadhan berarti bersiap dengan rengekan anak-anak untuk membeli baju?
Bukankah Ramadhan berarti bersiap menabung untuk kue lebaran dan ketupat beserta lauk-pauknya?
Bukankah Ramadhan berarti bersiap dengan rancangan mudik dan silaturahim?

Astaghfirullah

Mengapa hal-hal materialis yang membuatku gundah?
Mengapa hal-hal yang mampu dihitung manusia yang memenuhi otak?
Mengapa hal-hal yang bersifat tradisi yang menghiasi hati?

Bukankah seharusnya aku berfikir, bagaimana caranya supaya amalan Ramadhan tahun ini layak menjadi alasan Allah untuk mengampuni dosa-dosaku setahun lalu?

Harusnya aku bertanya, apakah sholat-sholat wajibku layak membersihkan dosa-dosa kecil di antara dua sholat?

Harusnya kurenungi, sudahkah sakit dan musibah yang kuterima, mampu mengantarku lebih sabar dan layak terkurangi dosa-dosa?

Sudahkah hari-hari kuwarnai dengan nafas taat?

Sudahkah kuhidupkan prasangkaku pada Allah hanya yang baik-baik, ataukah masih tercampur dengan prasangka buruk?

Masihkah kuikuti prasangka burukku pada sesama? Apa untungnya?

Yaa Rahman yaa Rahim

Izinkan sisa-sisa waktu yang ada mampu kugunakan sebaik-baiknya

Agar aku bisa bertemu Ramadhan dengan kebersihan hati.

Agar aku termasuk orang-orang yang layak mendapatkan ampunan, kasih sayang dan surga-Mu.

Friday, May 30, 2014

GANDJEL REL

<p>"Abi bawa oleh-oleh apa, Mi?" tanya Husna, sepulang sekolah.

"Tuh, di meja."

Husna menghampiri meja dan membuka bungkusan oleh-oleh itu.

"Cuma ini, Mi?" tanyanya.

"Alhamdulillah ada, susah bawanya, tas baju dan berkasnya aja ada dua."

"Susah bawanya, apa duitnya nggak adaaaa?" sindirnya.</p>

"Ssssst"

"Umi, ini kue apa?" tanya Hafa, sambil menunjukkan kue berwarna coklat yang di atasnya bertabut wijen.

"Ada tulisan namanya, nggak?"

"Ada, tapi susah bacanya," dibawanya kue itu mendekat padaku.

"Ini bacanya ganjel rel," jawabku, wajar kalau Hafa tidak bisa membacanya, tulisannya pakai ejaan lama.

"Lucu amat sih namanya, ha ha," Husna tertawa lepas, mungkin baru sekali ini dia mendengar istilah itu.

"Coba cicip dong,  ngapa ya, kok dikasih nama ganjel rel?"

"Mungkin karena bentuknya seperti balok, kan mirip balok yang sering dipakai untuk bantalan rel kereta," jelasku menduga-duga.

"Tanya sama orang Semarang, Mi. Inikan makanan khas Semarang."

"Agak keras, Mi. Kirain seperti brownis," komentar Hafa.

"Ini makanan tradisional, dilihat dari komposisinya hanya gula jawa, tepung terigu, wijen dan adas manis, tanpa bahan pengawet . Wajar kalau agak keras, tidak pakai telur atau pengembang dan pelembut."

"Aromanya seperi bolu lapis ya, Mi?"

"Itu aroma adas manis, kalau yang untuk tambahan buat bolu lapis atau engkak itu namanya spekuk, mungkin bahannya sama, setidaknya ada campuran adas manisnya."

"Umi bisa buat seperti ini?"

"Belum pernah persis begini, pernah juga yang agak mirip, tapi pakai telur."

"Oo, yang bolu gula merah itu, ya, Mi?"

Aku mengangguk, melanjutkan tulisan. Mereka asyik menikmati oleh-oleh, sambil tertawa-tawa.


Thursday, May 29, 2014

NUNGGU ALLAH SEMBUHIN

Satu kebiasaan Harish dalam ekspresi sakitnya, dia akan menangis histeris kalau luka berdarah, walaupun kecil. Heran, padahal dia biasa melihat darah bekam saat aku ada pasien.

Empat hari ini, di ketiaknya timbul lepuh-lepuh kecil berisi cairan bening. Aku belum tahu pasti jenis penyakit apa, tapi sepertinya serangan virus, karena dia sempat panas suhu tubuhnya hanya semalam. Kemudian disertai batuk pilek. Semoga tidak berbahaya.

Secara teori, infeksi yang disebabkan virus, insyaallah antibodinya cukup kuat menghadapinya.
Satu hal lagi,  karena Harish terbiasa kalau sakit jarang minum obat, maka tidak mudah bagiku membujuknya. Harus memberi alasan yang mudah dicernanya.

"Umi, gatel lho keleknya, tapi nanti kalau digaruk kena sakitnya."

"Ganti singlet aja ya, biar nggak lengket kena baju?"

"Boleh, mi, bobok pake singlet aja?"

"Boleh. Sakitnya dikasih minyak****** ya?"

"Nggak lah, biar Allah aja yang nyembuhin."

"Dikasih minyak, semoga Allah lebih cepat nyembuhinnya," bujukku.

"Nggak lah, nunggu aja."

Yaah,  mau bagaimana lagi? Semoga Allah segera menyembuhkannya.

"Minum madu lagi, ya?"

"Ya, Mi. Harish abisin dulu, ya, nanti Umi tolong buatin untuk malam."

Rupanya dia masih tahan dengan sakitnya, dan baru hari keempat dia mengeluh gatal. Biasanya, kalau sakitnya dia rasakan menyiksa, dia mau minum obat, malah minta. Kapsul herbal pahit yang dicampur madu, dia mau, karena memang itu obatnya kalau terpaksa.

Semoga semakin besar, pemahamannya tentang konsep Allah Yang Menyembuhkan, semakin baik dan kuat tertanam dalam dirinya, amin.

BERJODOH

Richie agak ragu untuk bicara, tapi dia berusaha memantapkan hati

“Umi, Richie rasa kita berjodoh, deh.”

“What!” Umi menjerit, seperti tersengat lebah, reflek mendelik.

“Biasa aja kalee, Mi!”

“Biasa gimana? Sadar nggak, barusan ngomong apa?”

“Sadar-sesadar sadarnya. Memang kenapa kalau kita berjodoh?”

“Lupa kalau Umi istri Abi?”

“Walah! Ini penyakit Umi, suka kegeeran! Berjodoh itu saling membutuhkan, saling mengisi, cocok, bukan hanya suami istri.”

Umi nyengir, agak malu juga.

“Richie butuh apa dari Umi?”

“Umi sering mengingatkan kalau Richie lagi lupa, malas, lalai, banyak santai dan mai-main.”

“Trus, Umi butuh apa dari Richie?”

“Walah nggak ngaku. Umi tuh kalau nulis typo terus. Belum lagi masalah EYD, parah! Siapa coba yang mengedit?”

“Iya, iya ngaku, Cuma itu?”

“Ada lagi. Umi butuh Richie untuk menyalurkan salah satu hobi aneh Umi?”

“Hobi yang mana?”

“Ngomel,” jawab Richie, sambil menyambar pisang goreng dan ngeloyor pergi.


Tinggallah Umi memandang punggung Richie dengan hati keqi!

MENULIS IBARAT BICARA

<p>Menulis ibarat bicara, menyampaikan apa yang ada dalam benak.
Setiap orang bicara, tentunya ada alasan dan tujuan.

Mari kita perhatian celoteh bayi, apa alasan dia bicara? apa tujuannya?
Sayangya kita tidak tahu apa isi benak si bayi, tapi setidaknya kita bisa menghubungkan dengan apa yang bisa kita lihat.</p>

Ketika pakaiannya basah, apa yang disuarakannya? Menangis. Kemudian setelah orang dewasa menggantinya dengan pakain yang kering, si bayi diam. Dari hal itu bisa disimpulkan, tangisan tadi bertujuan menunjukkan ada yang tidak nyaman dalam dirinya, minta tolong untuk menyingkirkan penyebab ketidak nyamanan itu.

Perkembangan selanjutnya kita bisa melihat, bagaimana celoteh bayi dan anak sebagai latihan untuk melenturkan organ bicaranya. Kemudian berlatih memilih kosa kata, dan seterusnya, sampai suatu saat, manusia akan bicara dengan alasan dan pilihan gaya tertentu.

Ada orang bicara karena ada pesan penting yang akan disampaikan, tapi banyak juga orang bicara karena basa-basi, meramaikan suasana, menghibur dan menyenangkan lawan bicara, tak ada beban isi dan pesan yang harus disampaikan.

Demikian halnya dengan menulis.

Pembaca yang intens, lama-lama akan memahami sipenulis.

Ada penulis yang pandai mengukir kata, membuat pembaca larut di dalamnya, selesai membaca? Pembaca akan empati dan menyelami perasaan sang tokoh, tapi ternyata isi tulisan itu sepi pesan yang bermanfaat. Lebih cocok kalau dikategorikan curahan hati penulis.

Ada penulis yang tujuannya menghibur. Tulisannye bergenre humor. Nggak peduli idenya apa, yang penting lucu dan menghibur. Kadang-kadang ada korban, ngebully seseorang, tapi karena terbungkus rapi dengan kemasan humor, maka sang korban tidak tersinggung, ah, bercanda juga, katanya.

Ada penulis romantis, dia mampu membawa pembaca pada suasana yang membuat angannya melambung. Penulis model begini juga macam-macam, ada yang bahasanya lembut dan halus, tetapi ada juga yang vulgar dan menjurus pada pornografi.

Ada penulis serius. Isi pesannya jelas dan penting. Tapi karena to the point, kesannya berat. Hanya orang-orang tertentu yang sanggup menyelesaikan membaca tulisannya dan menangkap pesan yang terkandung di dalamnya.

Ada penulis yang mampu menyuguhkan bacaan ringan, mudah dipahami, tapi sarat pesan. Bahkan pembaca tak sanggup melewati satu kata tanpa dibacanya, karena benar-benar nikmat dan terasa sayang bila kehilangan.

Ada juga penulis provokator. Tulisannya berisi ajakan untuk membenci seseorang atau sesuatu, tentunya penulis ini mempunyai tujuan terselubung, yang tidak semua pembaca memahaminya karena terlanjur tersulut emosi dengan gaya kepenulisannya.

Semua penulis pasti melalui proses, dari tidak bisa, kemudian sedikit bisa, lalu terbiasa.

Dalam proses menjadi penulis, wajar kalau ada kalanya salah dalam pemilihan ide, kata atau gaya penulisan.

Komentar pembaca sangat membantu dalam proses itu, karena dari komentar itu penulis mendapatkan kritik, saran dan menemukan kelemahan dan kelebihannya dalam menulis.

Layaknya seorang pembicara publik, yang perlu banyak kesempatan untuk berlatih dan meningkatkan kemampuan bicaranya dalam menyampaikan pesan dan mempengaruhi audiens. Di awal, bisa pasti mengalami demam panggung, sibuk menenangkan diri sampai-sampai lupa apa yang harus disampaikan.

Di awal menulis, wajar jika seorang penulis sering kehilangan atau tidak menemukan ide untuk dituliskan. Andainya pun ide itu ada, belum tentu juga bisa segera diolah menjadi sebuah tulisan yang layak baca.

Ketika seorang penulis pemula menemukan ide, wajar juga kalau segera dituliskan, tanpa memikirkan efek dari tulisan itu bagi pembaca, yang penting tuliskan!

Tetapi bagi seorang yang sudah berhasil melewati masa-masa demam panggung, dia akan berfikir panjang saat akan menuliskan sebuah ide. Dia tahu pasti, pesan apa yang akan disampaikan. Dia bisa meraba, dampak apa yang akan mengimbas pada pembaca. Itu sebabnya, tidak setiap ide selalu menghasilkan tulisan.

Monday, May 26, 2014

LUPA UMUR

Harish segera turun dari motor dan berlari masuk rumah

":Abi, Abi, tadi Umi hebat banget loh," lapornya, penuh semangat..

Abi yang sedang duduk di ruang tamu, tersenyum menyambutnya.

"Salamnya, mana?"

"Eh, iya, lupa, Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikum salam. Sini, apanya yang hebat?" tanya Abi, sambil meraih tubuh Harish, lalu dipangkunya.

"Tadi Umi nyetir motornya kebut banget, hiiih, kayak pembalap, kejer-kejeran sama o'om-o'om."

Abi memandangku, minta penjelasan. Aku nyengir.

"Tadi ada yang ngebalap kita Bi, trus sama Umi dikejer, ya jadi kejer-kejeran gitu," kata Hafa menjelaskan kejadian di jalan barusan.

Adakalanya aku harus menggantikan Abi menjemput anak-anak, kalau dia sedang ada kegiatan yang tidak bisa ditinggal atau sedang kurang sehat, dan Harish selalu ikut. Tadi memang ada pengendara motor yang menyalib, membuatku sempat kaget. Terlihat motornya baru, sepertinya anak muda. Hatiku sempat panas, sudah tahu wanita dengan membonceng tiga orang anak dengan motor tua, nyalib seenaknya. Aku ingin tunjukkan dan mengingatkan, jangan suka meremehkan orang lain yang dipandang lebih rendah, semutpun kalau diinjak akan menggigit. Mentari siang hari yang terik menambah panasnya hati. Kutambah kecepatan motor, mengejarnya. Kebetulan suasana jalan tidak terlalu ramai, sehingga dengan mudah aku menyusulnya. Rupanya dia juga panas, maklumlah, anak muda. Mungkin dia berfikir, malu amat dibalap emak-emak, dengan motor tua lagi! Dia mengejar dan berhasil mendahului, kutambah lagi kecepatan, gantian, dia tersusul lagi. Ha ha, dia tambah juga kecepatan, menyusul. Kubiarkan saja, laju motor kuperlambat, sebab harus berbelok menuju komplek rumah, pulang!

"Umi bisa bawa motor kelas berapa sih? Perasaan Husna, Umi jarang bawa motor, tapi kok bisa kebut-kebutan?" tanya Husna.

"Kelas enam SD"

"Pantesan! Dulu waktu muda, Umi sering kebut-kebutan ya?"

"Nggak juga, kecuali diperlukan."

"Harish takut nggak, naik motor seperti tadi?" tanya Abi.

"Nggak lah, malah seneng," jawabnya, sambil melorot dari pangkuan Abi.

"Emang jalan berapa tadi?" bisik Abi.

"Lah, motor tua, paling bisanya berapa"

"Jalan tujuh puluhkan masih bisa?"

"Ya sekitar itulah," jawabku.

"Umiii!" Abi mendelik, aku nyengir.

Jujur, kalau sedang bawa motor aku lupa umur, he he, hampir setengah abad.

Saturday, May 24, 2014

NYAR'I

Harish berlari menghampiriku yang sedang merapikan salak dan pisang di piring

"Umi, Mbak Anya sudah datang, nih Harish dikasih coklat," katanya, sambil memamerkan sebatang coklat

"Sama siapa, sudah masuk?"

"Sama Mbak Heni, sudah masuk, tadi Harish yang suruh," jawabnya sambil berlari ke depan.

"Terima...kasih," ha ha, Harish sudah lenyap dari pandangan.

Baru saja kaki akan melangkah ke depan, Harish muncul lagi

"Umi, Mbak Ughie sama Kak Ry sudah datang," lapornya.

"Itu apa," tanyaku, menunjuk buku yang dipegangnya.

"Hadiah dari Mbak Ughie," jawabnya.

"Kok Harish dikasih hadiah," tanyaku heran.

"Tadi Harish mau salaman sama Mbak Ughie," jawabnya, polos. Selama ini memang Harish pilih-pilih, nggak dengan  semua orang dia mau bersalaman.

"Yok ke depan," ajakku

"Harish bawain pisangnya, ya?"

"Boleh"

Harish memang lincah, tapi kalau dapat amanah, dia akan berhati-hati. Mungkin termasuk langka, anak laki-laki usia 4 tahun, sudah biasa membawakan hidangan untuk tamu, bahkan dengan pedenya, membwa nampan berisi tiga gelas teh panas. Bukan aku tidak melarangnya, tapi susah memberi alasan, karena selama ini membawa yang tidak panas, ya tidak pernah jatuh Alhamdulillah, baik-baik saja.

Di depan, sudah berkumpul delapan orang gadis-gadis berjilbab yang penuh semangat.

"Umi, Mbak Ughie laki-laki apa perempuan, sih?" tanya Harish. Aku heran, kok Harish bertanya seperti itu?

"Perempuan, lah Harish. Mbak Ughie kan cantik! Liat, Mbak Ughie juga pake jilbab," jawab Ughie, mesam-mesem.

"Kok Mbak Ughie pake celana panjang, seperti Harish?" tanya Harish, serius.

Lho? Aku melongo. Ughie tersipu. Belum sempat menjawab, Harish sudah berlari ke luar karena dipanggil Hafa.

"Jangan diambil hati, ya Ughie. Harish belum faham, namanya anak-anak, segalanya sederhana dan spontan."

"Tapi anak-anak jujur, Umi. Justru perkataan Harish mengusik hati. Ughie memang belum bisa berpakaian sempurna sesuai syar'i," kata Ughie, tertunduk.

"Umi, batasan syar'i itu seperti apa, sih?" tanya Susie.

"Apa harus pakai gamis longgar dan jilbab lebar sampai paha?" tanya Yani

"Gimana dengan pakai masker, Mi?" tanya Mulya

"Kok masker sih? Cadar kalee," komentar Ul, yang suka bercanda.

"Eh, iya, cadar. Ingat gambarannya, lupa namanya, he he," Mulya meralat.

"Kita pakai ukuran standar aja, ya. Aurat wanita yang sudah baligh itu seluruh tubuh, kecuali wajah dan kedua telapak tangannya. Masalah model, warna, cara memakai, potongan, ya silahkan saja," jawabku, menengahi.

"Kalau pakai celana panjang, Mi? Kan menyerupai laki-laki?" tanya, Anya.

"Dalam kondisi darurat, boleh. Pakai celana panjang yang tidak ketat dan tidak menampakkan lekuk tubuh. Kondisi sekarang, ada saat tertentu yang kita perlu pakai kostum seperti itu, demi keamanan. Pandai-pandailah membuat rancangan pakaian yang nyar'i, nyaman dan aman."

"Kan kita boleh mengikuti warna kesukaan Rasulullah." jelas Heni

"Boleh Warna menyangkut selera. Allah menciptakan berbagai warna untuk dimanfaatkan oleh manusia. Silahkan kalau mau mengikuti warna kesukaan Rasulullah, tapi kita tidak boleh gegabah juga, menuduh orang lain yang tidak memakai warna kesukaan Rasulullah dengan sebutan nggak nyunnah atau nggak cinta Rasul," jelasku.

"Ada usul nggak, model seperti apa yang cocok untukku?" tanya Ughie.

Ughie memang sedikit tomboi. Ke mana-mana pakai motor, itu sebabnya cara berpakaiannya agak beda dengan teman-temannya yang sering naik angkot

"Pakaian yang aman untuk naik motor, tapi rapi dan nyar'i kalau turun dari motor," kata Ry.

"Lah, Umi kan sering naik motor," kata Mulya

"Kalau Umi biasa pakai gamis, tapi selalu pakai celana panjang yang nggak terlalu ketat di dalamnya. Kaos kaki usahakan panjang sampai hampir lutut, jadi kalau terpaksa gamis dan celana panjang tertarik karena posisi di motor, masih ada kaos kaki yang menutup kaki. Jilbab secukupnya, yang penting menutupi dada. Jaket dan helm, jangan lupa. Untuk anak muda, ya silahkan disesuaikan Biasanya beda seleranya dengan yang tua," jelasku

"Ada beberapa kejadian kecelakaan karena pakaian yang nggak tepat, saat naik motor," kata Heni.

"Itu sebabnya, kita harus mengenali dunia kita. Allah menurunkan syari'at untuk kebaikan kita, bukan untuk mencelakakan."

BABY SITTER

Ibu Dewi sedang menggendong cucunya di beranda rumah, ketika Ibu Maya lewat dengan mendorong kereta bayi sambil menuntun bocah usia tiga tahunan.

"Mau ke mana, Bu? Mampir," sapa Ibu Dewi, ramah.

Bu Maya menghentikan langkah. Sebelum menjawab, ditariknya cucunya ke tepi jalan, karena ada motor yang lewat.

"Jalan-jalan, Bu Dewi, nih Ikhsan minta ke luar rumah, sekalian nyuap adiknya," jawab Bu Maya, sambil memasuki beranda rumah.

"Baby sitternya, ke mana?" tanya Bu Dewi.

"Sudah sebulan ini tidak ada lagi, ya saya yang jadi baby sitter."

"Nggak cari lagi?"

"Sekarang susah cari baby sitter yang sesuai keinginan, ada yang cocok, tapi mahal banget. Ada yang agak murah, tapi sangat tidak memuaskan. Ya sudah, saya juga sudah pensiun, nolong anak juga."

"Nggak cape, Bu?" tanya Bu Dewi.

"Wah, jangan ditanya. Namanya juga badan sudah reyot, ngurus Ikhsan yang maunya diikuti terus, belum lagi ngurus segala keperluan adiknya yang baru delapan bulan, kadang terpaksa sambil mengejar Ikhsan, sambil menggendong adiknya. Hmm, kalau malam, rasanya badan remuk, susah tidur." jawabnya panjang lebar.

"Apa memang nasib semua orang tua seperti kita, ya Bu?" tanya Bu Dewi

"Maksudnya?" Bu Maya belum faham

"Inginnya, di masa tua, saatnya istirahat, banyak ibadah, menikmati dirawat anak, ini kok malah sebaliknya? Saat anak-anak masih kecil, waktu kita habis untuk urusan mereka, sekarang, mereka sudah besar-besar, malah kita yang momong anaknya," keluh Bu Dewi.

"Mau bagaimana lagi? Saya nggak enak menolak, soalnya dulu saya juga begitu. Dari pagi sampai menjelang sore ke kantor, anak-anak di rumah dengan neneknya," jawab Bu Maya, terasa ada penyesalan dalam nada suaranya.

"Sebenarnya saya nggak ada hutang, karena sejak dulu saya full di rumah, tapi melihat kondisi sekarang, kok nggak tega juga, melihat anak-anak kerepotan mencari cara, bagaimana tetap bisa bekerja tanpa direpoti urusan anak-anak."

"Tapi kapan kita mau menikmati ibadah tanpa diganggu kerepotan anak-anak, ya? Dulu, waktu muda menunda belajar ngaji, nggak sempat ibadah, pikirnya nanti pas tua waktunya dihabiskan untuk ibadah, tapi nyatanya? Semakin tua, semakin nggak bisa, kalau cucu tidur, badan sudah terkapar, gimana mau ibadah?" keluh Bu Maya.

"Apa kita salah dalam mendidik ya? Kita arahkan anak-anak perempuan untuk sekolah tinggi agar nantinya mudah masuk dunia kerja. Konskuensinya, harus ada yang menggantikan posisinya di rumah, terutama urusan anak-anak, baik mencukupi keperluannya atau mendidik mereka," kata Bu Dewi.

"Mungkin begitu, Bu Dewi. Butuh keberanian anak-anak kita untuk mengubah keadaan ini, kalau tidak, maka mereka juga akan bernasib seperti kita di hari tuanya."

Thursday, May 22, 2014

KOK KUNING

<p> "Umii, ini wortelnya kenapa?" tanya Husna dari dapur.

"Apa, Mbaak!" teriak Harish dari depan, langsung menghampiri Husna.

Kuhampiri mereka, yang sedang mengamati wortel dari dalam kulkas. Husna memang sedang membereskannya setelah dibersihkan Hafa dan Harish.

"Aih, wortelnya tumbuh. Ha ha ha, kelamaan nggak di jus," jelasku</p>

"Kok daunnya beda sama yang di TV?" tanya Harish, yang rajin nonton laptop Si Unyil.

"Beda adanya, Rish?" tanya Hafa, mungkin dia tidak nonton waktu tayangan tentang wortel, karena belum pulang sekolah.

"Kalau yang di TV itu daunnya warna hijau, yang ini kok kuning?" jelas Harish, sekaligus heran.

"Karena yang ini nggak kena sinar matahari, makanya zat hijau daunnya nggak terbentuk," jelas Husna yang kelas lima SD

"Bagus yang mana, Rish?" tanya Hafa.

"Bagus yang di TV, warna daunnya hijau, banyak lagi," jawabnya, merasa lebih tahu.

"Tapi kalau yang di TV kita nggak bisa pegang daunnya, kan?" tanya Husna

"Iya, siiiiih," jawabnya lagi, mengalah.

"Setidaknya, dengan kelalaian Umi, tidak segera membuat jus, kita bisa melihat daun wortel, walaupun yang warnanya kuning karena pertumbuhannya tidak sempurna. Kita bisa melihat bentuk dan merabanya," jelasku.

"Iya, kalau wortel beli di pasar atau di warung nggak ada daunnya lagi," jawab Husna.

"Wortelnya masih bisa dibuat jus, Mi?" tanya Hafa

"Masih, kita pilih yang masih segar," jawabku.

"Harish bantuin buat jus, ya, Mi," pinta Harish

"Ok"

BAU APA

"Hafa, tolong bersihin kulkas, ya?" pintaku

"Harish juga, ya, Mi?" Harish mengajukan diri. Biasalah, selalu ada kesempatan main dalam setiap aktifitas.

"Ya," jawabku, sambil menyerahkan perlengkapan untuk membersihkan kulkas.

"Harish pakai yang mana, Mi?" tanya Harish. Segera kuserahkan lap padanya.

Sebenarnya malas meminta tolong mereka mengerjakan hal-hal seperti itu, apalagi yang berurusan dengan air. Bisa dibayangkan sesudahnya Tapi, lumayanlah. Memberi kesempatan kepada mereka untuk mengenal salah satu pekerjaan di rumah, sekaligus memberi pengalaman dan melatih ketrampilan motoriknya, terutama Harish.

Benar saja, diselingi gelak tawa dan candaan mereka, ada juga sedikit ketegangan.

"Kok bau kentut, siiih? Mbak Hafa kentut, yaaa," terdengar suara Harish meninggi.

"Enak aja!" Hafa menjawab, nggak kalah ngotot.

"Trus, bau apa doooong?" tanya Harish.

"Neeeh, bau udang sama cumi," jawab Hafa sambil menunjuk freezer.

Hanya sebentar, kembali mereka tergelak-gelak, entah apa yang lucu.

"Aduuuh, gimana sih? Liat neeee, becek semuaaa!" giliran suara Husna menggema.

Hafa dan Harish kabur, lari ke luar rumah. Husna membersihkan lantai yang becek sambil ngomel.

Sambil menulis, aku senyum-senyum mendengar keributan itu. Indahnya rumahku, setiap hari penuh dengan kemeriahan yang selalu berganti tema.



GAGAL

<p>Sebel!

Tak ada yang menggantung di motor. Terlalu!

Abi sudah berubah! Nggak perhatian lagi! Nggak tahu, ditunggu dari tadi dengan perut melilit, eeee, pulang dengan tangan kosong!

Senyum manis yang siap kukembangkan untuk menyambut kedatangannya, segera menyusut, bangkan berubah menjadi bulat sabit terbalik. </p>

“Kenapa, Mi?” tanya Abi, tahu gelagat.

“Mana baksonya?” tanyaku, dengan nada tinggi.

“Lah, kapan pesannya?” tanya Abi, dengan  wajah heran.

“Tadi! SMS!” jawabku, ketus.

“Nggak ada SMS masuk dari Umi, coba nih, lihat,” katanya sambil menyodorkan hp.

“Umi dah SMS, Biiii,” jawabku, ngotot, tanpa menerima p yang disodorkannya

“Chek dulu, terkirim nggak?” jawabnya, sambil memasukkan hp ke kantung baju.

Segera kuambil hp dan kubuka.  Pengiriman pesan gagal! Langsung ku chek pulsa, ha ha ha 75!

“Pantesan!”

#Efek lapar di malam hari, malas makan nasi he he

NORMAL ITU SEHAT

<p> Seorang peserta pelatihan, menghampiriku saat istirahat  makan siang.

“Mi, terapi apa yang cocok untuk mata saya?” tanyanya

“Apa yang Ibu keluhkan?” tanyaku

“Saya tersiksa, sekarang mau baca harus pakai kacamata. Kalau kacamata tertinggal, seperti orang kebingungan, karena setiap ada kesempatan saya selalu membaca. Saya harus terapi pakai metode apa?” 

“Apa yang Ibu harapkan kalau diterapi?”</p>

“Ingin seperti dulu,  mau baca kapanpun, di manapun, nggak harus tergantung dengan kacamata.”

“Usia Ibu, berapa?” tanyaku

“45 tahun”

“Ibu, sehat itu normal, ya? Artinya kondisinya sesuai dengan usianya?” tanyaku

“Iya, Mi. Kalau nggak normal ya sakit, harus diobati atau diterapi,” jawabnya mantap.

“Ibu benar. Terapi atau pengobatan bertujuan untuk mengembalikan fungsi organ tubuh kembali sesuai dengan yang seharusnya, yang disebut kondisi normal. Usia Ibu 45th, normalnya mata ibu sudah plus, kemampuan melihat jarak dekatnya berkurang, sudah perlu dibantu kacamata,” jelasku.

“Jadi nggak perlu diobati?”

“Lebih baik membiasakan diri bersahabat dengan kacamata, kecuali Ibu  menemukan metode terapi atau pengobatan yang tidak menimbulkam resiko,” saranku.

“Ya, sehat itu normal, normal itu sehat,” gumamnya. 

"Kita akan hidup sehat dan tenang, apabila kita tidak terlalu banyak menuntut, yang biasanya menimbulkan tekanan. Kadang orang yang sebenarnya sehat, merasa dirinya sakit, karena merasa tidak nyaman ketika kondisi yang ada tidak sesuai dengan harapan dan angan-angannya." 

"Iya, Mi Kadang kita kurang bersyukur. Alhamdulillah masih bisa baca, walaupun harus pakai kacamata. Alangkah sedihnya kalau tidak bisa melihat? Atau tidak bisa beli kacamata? Astaghfirullah" jawabnya, sambil menunduk.


Wednesday, May 21, 2014

BELUMKAH SAATNYA

Istriku masuk kamar dengan membawa dua lembar kertas.

“Positif hepatitis A,” katanya, dengan wajah lesu.

“Innalillahi wa inna ilaihi roji’un,” spontan aku berdzikir mendengar kabar itu.

Kami diam, saling tatap, mencoba mengukur dalamnya kesedihan. Entahlah! Siapa yang lebih sedih atau siapa yang pantas lebih sedih!

“Sebentar!” tiba-tiba istriku bangkit, membawa hp ke luar kamar. Ada secercah harapan di wajahnya. 

Kudengar dia menelpon seseorang di ruang tamu, entah siapa.

Hampir seperempat jam dia menelpon, suaranya samar-samar. Aku hanya menduga-duga tanpa  berani memastikan, dengan siapa dia bicara dan membicarakan apa, biarlah.  

“Sepertinya sulit,” gumamnya, saat masuk kamar lagi.

“Apanya?” aku belum paham.

“Barusan konsultasi dengan Dokter Dini, mungkin nggak Abi sembuh dalam tiga hari? Dia bilang mungkin bisa, kalau daya tahan tubuh penderita baik, tapi biasanya butuh waktu setengah bulan bahkan lebih, untuk mencapai kondisi pulih. Itupun harus ditambah dengan penjagaan ekstra dan istirahat cukup.”

Aku tercenung mendengar vonis yang sangat  tidak menggembirakan ini.  Aku tidak tahu harus berkata apa. 

Musnah sudah rencana keberangkatanku ke baitullah, melepas kerinduan yang selama ini terpendam.

“Abi cepat hubungi biro umrohnya, cerita kondisi apa adanya, trus bisa nggak dijadwal ulang?” dia mengejutkanku dengan usulannya. Dia benar, bukan gagal, mungkin hanya tertunda. Aku belum terpikir masalah itu. Waktu keberangkatan tinggal tiga hari lagi. Sarannya segera aku jalankan. Aku hubungi biro dengan hp. Cukup alot juga, tapi mau bagaimana lagi?

“Gimana, Bi?” istriku langsung menanyakan hasilnya, segera setelah kututup hp.

“Buah simalakama,” jawabku, tanpa semangat.

Dia menatapku tajam, menunggu penjelasan.

“Yang jelas Abi nggak bisa berangkat sesuai  jadwal. Konskuensinya, kalau dijadwal ulang bayar lima puluh persen, kalau dibatalkan, potong lima puluh persen,” kujelaskan hasil pembicaraan tadi, tanpa semangat. Dia tercenung sejenak.

“Ya sudah, semua sudah jelas. Apapun keputusan kita, hasilnya sama. Sekarang nggak usah dipikirkan dulu masalah umrohnya, yang pasti Abi nggak jadi berangkat sesuai jadwal. Sekarang yang harus segera diputuskan, Abi mau dirawat di rumah sakit atau di rumah?”

Aku tercenung, memikirkan jawabannya. Kalau dirawat di rumah sakit  pasti banyak sekali yang harus dipersiapkan. Yang pasti biaya, kami tidak mempunyai asuransi kesehatan, juga tidak mempunyai tabungan yang disiapkan untuk perawatan kesehatan. Mungkin aneh bagi orang lain, di zaman seperti ini, anak banyak, tapi tidak mempunyai asuransi kesehatan sebagai jaminan jika sewaktu-waktu sakit. Penghasilan yang tidak menentu membuat kami tak bisa merencanakan masalah asuransi atau tabungan, hanya satu anak kami yang terdaftar di asuransi pendidikan, itu pun membayar bulanannya sering tersendat-sendat. Artinya kalau aku dirawat di rumah sakit, harus siap-siap cari tempat untuk berhutang!

Belum lagi urusan kerepotan. Kami tidak mempunyai asisten rumah tangga, di rumah bersama tiga anak yang masih kecil-kecil, di bawah sepuluh tahun, bahkan sibungsu belum berusia dua tahun. Tiga anak kami yang lebih besar di pondok pesantren. Kasihan istri, pasti dia akan sangat kerepotan, dan pastinya aku pun tidak bisa tenang di rumah sakit. Setahuku, kondisi psikologis, ketenangan jiwa, besar pengaruhnya terhadap proses kesembuhan.

“Rawat di rumah saja, Mi,” jawabku mantap.

“Abi yakin dengan kemampuan Umi?” tanya istriku, minta kepastian.

“Seratus persen!” jawabku, meyakinkannya.

“Tapi Umi nggak yakin,” jawabnya, mengambang.

“Kenapa?”

“Umi belum lama belajar meramu herbal, kadang masih ragu dalam menentukan bahan.”

“Umi kan biasa autodidak, pembelajar cepat. Buku herbal banyak, bisa juga konsultasi dengan terapis senior, apa lagi? Bisa dikombinasi dengan akupunktur bila perlu, atur diet makanan, istirahat total, cukupkan? Kasihan Umi kalau Abi harus dirawat di rumah sakit.”

Istriku diam. Dia memang sering kurang  percaya diri dengan kemampuannya, apalagi kalau menyangkut keselamatan orang lain, kalau menurutku dia terlalu takut. Padahal racikan herbalnya sudah lumayan bisa diandalkan.

***

Ini penjadwalan yang ketiga dari rencana keberangkatan umrohku.

Berawal dari penawaran seorang teman untuk ikut umroh murah. Sebenarnya aku bukan orang yang mudah tertarik dengan sesuatu yang murah, tetapi temanku berhasil meyakinkan bahwa ini program yang dapat dipercaya. Itupun setelah berulang kali menjelaskan padaku beserta bukti-bukti yang menguatkannya.

Mengapa bisa murah? Itu pertanyaan pertama yang kuajukan. Dia menjelaskan bahwa ini merupakan program kerjasama antara biro umroh milik temannya dan sebuah maskapai penerbangan. Bentuk kerjasamanya berupa gratis satu kursi untuk setiap kloter yang menggunakan jasa maskapai penerbangan tersebut. Satu kursi gratis itu diperuntukkan bagi kaum dhuafa yang memenuhi syarat untuk diumrohkan secara gratis.

Masuk akal bukan? Bagi maskapai penerbangan, menggratiskan satu kursi merupakan promosi menarik bagi biro perjalanan haji dan umroh yang sedang menjamur, sedang bagi perusahaan biro umrohnya,  ada bagian keuntungan yang biasa dikeluarkan untuk sosial.

Kerinduanku untuk menjejakkan kaki di tanah suci seolah diusik, di saat aku buntu mencari cara bisa sampai ke sana, karena mahalnya biaya haji dan lamanya menunggu jadwal keberangkatan setelah memenuhi nilai nominal tertentu. Bahkan membuka tabungan haji pun belum kulakukan. Keuangan kami baru sebatas mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari dan biaya sekolah anak-anak yang lumayan mahal. Bisa jadi ini kesempatan yang diberikan Allah! Kerinduan itu semakin memuncak karena merasakan kesulitan hidup yang selama ini aku alami seolah enggan meninggalkan. Aku ingin sekali bermohon dengan kesungguhan di tempat yang mustajab, agar kesulitan hidup yang mendera selama ini dihilangkan, setidaknya dikurangi dengan limpahan rizki yang mencukupi..

“Kalau mau, ajaklah orang lain, nanti Mas dapat lima belas persen dari biaya, artinya kalau berhasil mengajak tujuh orang, maka Mas bisa pergi umroh gratis,” katanya. 

Memang sudah banyak bukti bahwa program itu berjalan baik-baik saja. Teman yang mengajak itu sudah umroh beserta keluarganya, bahkan menurut informasi sudah ribuan orang yang berangkat.

Tapi aku belum ingin mengajak orang lain sebelum membuktikan sampai di sana dan bisa menginformasikan kepada yang nantinya akan kuajak dengan pengalaman nyata.

Alhamdulillah, ada rizki untuk membayar setengahnya, agar segera dijadwal. Sambil mengurus paspor, aku berusaha menyisihkan uang untuk memenuhi kekurangan pembayarannya.

Sampai sepuluh hari menjelang jadwal keberangkatan, aku belum juga bisa melunasinya.

“Mi, Abi pinjam uang Mas Syamsu  ya, untuk melunasinya?”

“Apa boleh, Bi, pergi umroh sampai hutang? Haji saja yang hukumnya wajib, syaratnya jika mampu, apalagi umroh? Kalau berhutang itu kan tandanya belum mampu,” jawab istri, menanggapi rencanaku.

“Lha untuk sekolah anak-anak saja kita sering hutang, kok  untuk umroh tidak mau hutang?”

Istriku diam, aku tak tahu apa yang dipikirkannya. Aku anggap diamnya tanda setuju.

Akhirnya lunas! Aku semakin yakin, inilah saatnya kutuntaskan rindu. Memang aku tidak mengadakan acara berpamitan seperti orang lain dengan mengundang tetangga untuk doa bersama dan biasanya dilanjutkan dengan acara makan-makan. Tetapi aku mengajak istri dan anak-anak untuk bersilaturahim ke orang tua dan saudara-saudara untuk minta doa dan berpamitan.

Tiga hari menjelang jadwal keberangkatan, ada berita dari biro bahwa visa calon penumpang kelompok terbangku belum keluar, jadi harus menunggu. Aku tenang saja, toh masih tiga hari lagi. Aku tidak paham dengan urusan visa, kupikir itu hal biasa. Hingga malam menjelang keberangkatan, teman yang mengajakku menelpon.

“Sepertinya kloter Mas ditunda, soalnya sampai tadi sore urusan visa belum kelar.”

Lemes! Ditunda? Sampai kapan? Sama sekali tak terbayangkan sebelumnya.

“Nanti dijadwal ulang,” katanya.

Aku mau bilang apa? Semua kuanggap sudah beres! Segala persyaratan sudah kupenuhi, kok begini jadinya?

Pernah merasakan? Sedang  makan, nasi sudah di depan mulut yang menganga, tiba-tiba ada yang menampelnya, dan . . . tumpah! Dan itu nasi hanya ada sesuap-suapnya dengan upaya keras untuk mendapatkannya! Sakit? Nyesek? Seperti itulah perasaanku.

Tapi aku sadar, tak ada hal terjadi tanpa izin Allah. Mungkin ini ujian! Katanya orang yang akan pergi haji akan diuji, mungkin yang akan pergi umroh juga ya?

Aku tetap optimis, menunggu jadwal ulang. Sebulan kemudian jadwal baru sudah ditetapkan, aku masuk kloter yang berangkat di bulan Sya’ban. Biro memberi bahan batik lagi untuk seragam  keberangkatan.
Aku bersemangat lagi mempersiapkan diri, setidaknya bisa menjawab dengan mantap kapan berangkat, jika ada yang bertanya.

“Apa yang terjadi setelah hari ini kita nggak tau, Bi. Penundaan keberangkatan yang kemarin harus diambil pelajarannya. Senang boleh, tapi kembalikan semuanya pada Allah, dan kita siapkan mental, apapun yang terjadi,” istri mengingatkan agar aku tidak terlalu gembira, sewajarnya saja.

Aku pegang kata-kata istriku. Tidak terlalu menggebu-gebu saat membicarakannya, sambil terus berharap, semoga rencana bisa berjalan tanpa halangan.

Tetap saja kecewa itu menghampiri, saat keberangkatan ditunda lagi. Kali ini dengan alasan, biro tidak kebagian jadwal terbang, karena menjelang Ramadhan banyak yang mau umroh. Masuk akal nggak sih? 

Entahlah! Itu kenyataan yang harus kuterima.

Berita yang kurang nyaman mulai bersliweran. Banyak yang komplain. Ada yang meminta uangnya kembali, tapi dengan berbagai alasan, tidak semua bisa segera mendapatkannya,  yang sudah dapat pun tentunya dengan potongan-potongan pembiayaan.

Aku berusaha tenang, konfirmasi ke teman yang menjadi perantara. Dia menenangkan, tidak terjadi apa-apa, hanya salah paham.

Aku mencari informasi dari sumber lain, memang benar. Keberangkatan umroh dari biro itu masih tetap berlangsung. Aku menenangkan diri, sabar menunggu.  Sampai kemudian jadwal ketiga aku dapatkan.
Semua persiapan beres, tinggal menunggu seminggu sebelum keberangkatan, ketika bangun tidur aku merasakan badan terasa berat, semakin siang kurasakan semakin nggak karuan, suhu badan meningkat, perut terasa mual.

Dengan sigap istriku segera bertindak. Akupunktur untuk meningkatkan imunitas, dan herbal untuk mengatasi keluhan. Setelah empat hari kondisiku belum pulih, artinya ini sakit serius.

“Cek darah saja ya, Bi. Biar  jelas. Besok pagi biar Mba Ning ambil contoh darah Abi untuk dicek di laboratoriumnya,” tegas istriku, ini bukan pemberitahuan, tapi keputusannya.

***

“Ada kabar kurang enak,” kata istriku, sekembalinya dari pengajian.

“Kabar apa?”

“Teman Abi yang ngajak umroh itu diamankan.”

“Ditahan polisi?”

“Dengan tuduhan penipuan. Nggak tahu sih, apa yang sebenarnya terjadi. Apakah benar-benar penipuan, atau musibah biasa dalam bisnis.”

Hmm. Pupus sudah. Kemarin belum sempat mengurus ulang ke biro, rencana akan menarik dana yang masih lima puluh persen, karena tidak ada gambaran untuk menambah lima puluh persen untuk jadwal ulang.

Semua kehendak Allah, aku sudah berusaha maksimal. Mungkin ada hal-hal yang tak disukai Allah dalam caraku, sehingga belum diizinkan berkunjung ke rumah-Nya. Atau mungkin ini semata-mata ujian kesabaran, agar ada peningkatan kualitas diri. Aku takkan pernah putus asa untuk menuntaskan rindu, biarlah Allah yang akan mengundangku dengan cara-Nya, tugasku hanya berusaha maksimal untuk memantaskaan diri menjadi salah seorang tamu-Nya.

   

BERATNYA MENDIDIK ANAK PEREMPUAN

<p> Fenomena media yang begitu marak menyajikan berita kejahatan seksual di masyarakat, sangat meresahkan orang tua, bahkan ada yang sampai tingkat paranoid, terutama di kalangan ibu-ibu.

Kekhawatiran yang sama, membuat setiap kesempatan bertemu dengan sesama ibu, akan membicarakan masalah itu.

Kenyataan, bahwa, sebagian besar korban adalah perempuan, terutama anak-anak, membuat sebagian ibu berpendapat bahwa mendidik dan menjaga anak perempuan lebih sulit dibandingkan dengan mendidik anak laki-laki. Benarkah? </p>

"Bener, Bu. . . saya selalu was-was kalau putri saya keluar rumah, belum lagi kalau pergi sendiri karena nggak ada yang antar, bawaannya deg-degan terus. Pulang telat sedikit aja, dah, seperti setrikaan, mondar-mandir depan belakang, nengok ke jalan, hhhh!" keluh Bu Muji.

"Lah, apalagi Bu Muji, yang anaknya sudah remaja, saya yang anak masih TK aja rasanya nggak karuan kalau anak lepas dari pengawasan, walau hanya keluar rumah sebentar. Bawaannya curiga aja sama orang yang berusaha dekat dengan dia. Saya hanya khawatir, dengan ketakutan orang tua yang berlebihan, mengakibatkan over protektif, menjadikan anak kurang mandiri dan mengurangi kreatifitasnya. Lha terus bawaannya, anak mau apa-apa nggak boleh, pergi sendiri untuk pengalaman keberanian nggak boleh, mau jadi apa mereka nanti?" timpal Bu Dewi

"Alhamdulillah, anak saya laki-laki semua, tapi bukan berarti nggak berat lho menjaga dan mendidik mereka Tapi mungkin untuk urusan keselamatan, mungkin lebih ringan, apalagi kalau kita bisa dekat dengan mereka," kata Bu Lastri.

"Alhamdulillah, saya sudah melewati masa-masa itu, sekarang anak-anak saya sudah mandiri. Walaupun waktu itu tidak seheboh sekarang, tetap saja ancaman itu ada, tapi mungkin tidak terekspos sedahsyat sekarang," komentar Bu Sumayyah

"Dek Wulan, gimana persiapannya? Kan sebentar lagi dapat amanah?" tanya Bu Mei, menengok ke arah Bu Wulan yang sedang tekun menyimak. Wulan tersenyum

"Wulan sedang belajar dari Ibu-Ibu yang sudah senior, sebagai salah satu upaya mempersiapkan diri menyambut amanah ini, sambil tidak putus berdoa, mohon penjagaan dan bimbingan Allah," jawabnya sambil tersenyum manis.

"Ingiiiin rasanya percaya seratus persen pada anak gadis saya, tapi ketidak percayaan pada lingkugan dan perkembangan teknologi, membuat saya selalu curiga pada apa yang dilakukannya, apalagi kalau ingat ketidak percayaan diri saya, sudah cukupkah membekalinya dengan pendidikan agama yang bisa melinduginya dari pengaruh pergaulan yang negatif?" tambah Bu Nenden.

"Umi! Kok diam aja, sih? Berbagi dong, kan anak Umi dah lengkap, ada yang laki-laki, perempuan, ada yang sudah lewat remaja, ada yang remaja, ada yang anak-anak, bahkan balita?" kata Bu Farida

"Iya, Umi nih. Ayo dong, Mi, berbagi," bujuk Bu Islah, yang juga punya balita perempuan.

Umi tersenyum lembut, sebagai yang dituakan dan memang yang paling tua, dia mendengarkan dan memperhatikan semua percakapan ibu-ibu tadi.

"Istri Rasulullah Saw, Aisyah, menceritakan,'Ada seorang wanita yang menemuiku dengan membawa dua anak perempuannya Dia meminta-minta kepadaku, namun aku tidak mempunyai apapun kecuali satu buah kurma. Lalu aku berikan sebuah kurma tersebut untuknya. Wanita itu menerima kurma tersebut dan membaginya menjadi dua untuk diberikan kepada kedua anaknya, sementara dia sendiri tidak ikut memakannya Kemudian wanita itu bangkit keluar bersama anaknya. Setelah itu Nabi Shalallahu'alaihi wa sallam datang dan aku ceritakan peristiwa tadi kepada beliau, maka Nabi Shalallahu'alaihi wa sallam bersabda,"Barangsiapa yang diuji dengan anak-anak perempuan, kemudian dia berbuat baik kepada mereka, maka anak-anak perempuan tersebut akan menjadi penghalang dari siksa api neraka."'(HR Muslim)
Umi membacakan sebuah terjemah hadist.

"Ooo, ya pantesan, lha wong imbalannya terhindar dari neraka," sela Bu Fieta

"Sebenarnya, apa yang membuat menjaga dan mendidik anak perempuan lebih berat daripada anak laki-laki?" tanya Bu Lena.

"Kalau anak perempuan rusak, keliatan banget. Misalnya, terjerumus pergaulan bebas, bisa hamil di luar nikah, kalau laki-laki kan nggak ada bekas," kata Bu Muji.

"Kalau menurut saya, kebanyakan perempuan itu lemah, mudah dipengaruhi, mudah kasihan, tidak kuat tekanan, dan sebagainya," tambah Bu Ida

"Mungkin ini juga bagian dari konspirasi musuh-musuh Islam yang akan menghancurkan ummat, mereka gencar menyerang wanita dengan kehidupan glamor dan hedonis," kata Bu Bayti.

"Sekarang, yang harus kita sadari sebagai orang tua, anak adalah amanah yang harus kita tunaikan sebaik-baiknya. Kita sebagai orang tua yang akan dimintai pertanggung-jawaban atas apa yang terjadi pada anak. Laki-laki atau perempuan, semua ada hal-hal yang kita rasakan berat dalam mendidiknya. Untuk perempuan, mungkin karena keistimewaannya sebagai calon ibu generasi. Ibu adalah sekolah yang utama dan pertama bagi anak-anaknya, artinya ketika kita mendidik seorang anak perempuan, kita sedang membuat sekolah untuk generasi ke depan. Wanita adalah tiang negara, maka kalau akan menghancurkan tatanan sebuah negara, maka hancurkanlah kehidupan wanitanya, bisa dijamin sukses!" Umi menjelaskan, sekaligus merangkum semua jawaban ibu-ibu yang hadir.

"Bagaimana dengan kita? Kita adalah ibu generasi hasil didikan orang tua kita?" Bu Islah mempertanyakan posisi mereka sebagai ibu.

"Terlepas apa yang sudah diberikan oleh orang tua kita dalam mendidik, kini saatnya kita memulai perubahan dari diri sendiri, agar lebih memudahkan dalam mendidik anak-anak kita dengan cara memberi keteladanan yang baik," Umi menutup pembicaraan sore itu.

Memang tidak mudah, tapi keyakinan bahwa tak akan ada yang terjadi tanpa izin Allah, membuat ibu-ibu itu bertekad, melakukan yang maksimal dalam mendidik dan menjaga anak-anaknya, dan bertawakal kepada Allah, Dialah Al Hafidz, Yang Maha Menjaga.


  

Tuesday, May 20, 2014

MENGAPA SYAHADAT?

Sudah agak lama Richie nggak muncul. Sempat ada tanda tanya dalam benak Umi, ada apa dengan Richie?

Belum sempat Umi menebak-nebak, batang hidungnya yang mbangir sudah nongol sambil nyengir, ck ck ck.

"Lama nggak nongol, kemana aja Chie?" Umi langsung menyambutnya dengan pertanyaan

"Idiiih, Umi kangen yaaa sama Richie?" jawabnya sambil plengah-plengeh.

"Wuuus! Ge errrr," balas Umi, sambil mencibir.

"Umi lagi mikirin Richie, kaaaan?" Richie memaksa.

"Lha iya, biasanya kan tongal-tongol nggak pake waktu, kenapa? Belum ada yang mau ditanya ke Umi, ya?" ha ha Umi, nggak mau kalah, ganti menuduh Richie

"Mi, lapar, ada makanan apa?" Richie mengalihkan pembicaraan.

"Ada, bubur jagung, mau?"

"Kok bubur jagung terus, sih? Kebab ngapa, sekali-kali?"

"Halah, gaya. Wong Tegal minta kebab! Doyan apa?"

"Umi! Gini-gini selera Richie internasional, lho," jawabnya, sambil monyong khas Richie.

"Selera internasional kok bangga. Yang di rumah Harish, dia lagi senang bubur jagung, ya Umi buat bubur jagung, entah nanti kalau Hatif di rumah, terbiasa dengan makanan Turki, mungkin ketemu kebab di rumah Umi."

"Lama banget, mau makan kebab nunggu Hatif pulang, dua tahun lagi? Laah, Richie beli sendiri lah, di pinggir jalan juga ada, Umi mau?" tanyanya. Umi menggeleng

"Umi pernah nyoba, nggak cocok di lidah Umi. Enakan combro"

"Ha ha ha, Umi, ya nggak level, masa kebab dibandingin combro?"

"Kenapa nggak level? Namanya selera, ya suka-suka, jangan maksa ah. Umi nggak malu kok, nggak suka makanan internasional," jawab Umi, cemberut.

"Iya, iya, gitu aja ngambek. Mi, Richie mau tanya, nih," lanjut Richie.

"Tuuh, kan. Kalau nyari Umi artinya ada yang mau ditanya, hayo, ngaku!"

"Sebenarnya, nggak juga, cuma kalau ketemu Umi, yang tadinya nggak ada niat tanya, jadi inget, ada yang mau ditanya, nggak tau deh, ada apa di wajah Umi, kok selalu menimbulkan keinginan untuk bertanya. Sayang, kalau ketemu Umi, nggak ada yang ditanya, nggak nambah ilmu, getooo!"

"Halah! Nggombal!" jawab Umi, bersemu malu, berusaha menutupi rasa senangnya.

"Serius! Beneran, Mi. . ." belum sempat Richie melanjutkan, sudah dipotong Umi.

"Iya, iya, percaya, nggak usah pake suerrr! Dah, mau tanya apa?"

"Tadi Bang Kho nanya, kenapa kok rukun Islam pertama syahadat?"

"Trus Richie jawab apa?"

"Ya karena begitu urutannya"

"Apa kata Bang Kho?"

"Senyum aja malah, nggak kasih komentar, Tapi sebelum pulang, kami diberi tugas untuk memikirkan dan mencari tahu,kira-kira, kenapa kok syahadat jadi rukun pertama."

"Richie pernah mengikuti prosesi seorang mualaf masuk Islam?"

"Pernah, sekali"

"Apa yang diucapkan sebagai tanda bahwa dia sudah jadi muslim?"

"Baca kalimat syahadat," jawab Richie, mantap.

"Jadi, kesimpulannya apa?"

"Syarat masuk seseorang ke dalam Islam, ya, Mi?"

"Ya, syahadat merupakan pintu masuk ke dalam Islam. Selain itu dalam ucapan dua kalimat syahadat terkandung intisari ajaran Islam yang merupakan hakekat da'wah para rasul, yaitu mengajak manusia hanya tunduk kepada Allah."

"Kalimat sependek itu berisi intisari ajaran Islam?" tanya Richie, heran.

"Bahkan, dengan energi dari kalimat syahadat ini, begitu banyak manusia menjadikan kalimat ini sebagai dasar reformasi total, dan satu lagi, kalimat inilah yang menjadi tiket untuk memperoleh surga."

"Subhanallah, dahsyat banget? Jelasin, Mi, sepertinya asyik banget," kata Richie, antusias.

"Weee, itu sih bagian Bang Kho," jawab Umi, tegas.

"Ya udah deh, nggak pa pa, yang ini juga sudah cukup," Richie kelihatan gembira, tapi seperti ada yang disembunyikan, membuat Umi curiga.

"Hayoo, Richie! Ada rencana apa, kok senyum-senyum?" tanyanya, penuh selidik.

"Iiih, Umi, kok tau yang Richie pikirin, sih?"

"Mau ngaku, nggak?"

"Iya, Richie ngaku. Pasti Uvy, Gugum dan Yuli belum dapat jawabannya, hmm, sekali-sekali dong, Richie yang jawab duluan dan benar," jawab Richie, dengan senyum bangga.

"Huuu, pantesan!"

Umi sangat bahagia, melihat Richie begitu antusias mempelajri Islam, semoga nggak cepat bosan.

Monday, May 19, 2014

JADI PENONTON

<p> Hari ini aku memposisikan diri jadi penonton. Kondisi badan yang kurang sehat, perut agak mual dan kepala sakit memaksaku menahan diri untuk melakukan rutinitas pagi. Kebetulan Husna dan Hafa libur, karena kakak-kakak kelas enam sedang ujian sekolah. Hany sedang mempersiapkan diri untuk tes di tempat kursus dan bimbelnya, juga menyiapkan setoran hafalan, setelah kemarin sendirian bertanggung jawab atas kebersihan dan pekerjaan rumah, karena tidak ikut pergi. </p>

"Husna, tolong siapin sarapan, ya," pintaku pada Husna yang senang dengan masak-memasak.

"Masak apa, Mi?" tanyanya

"Ada, telur, coba dilihat di kulkas masih ada bahan apa?"

"Mi, masak kangkung, ya?" tanyanya

"Belanja dulu ke bude, sekalian beli bawang merah."

"Nanti masak kangkungnya dikasih kecap, ya?"

"Boleh", jawabku. Husna segera berangkat setelah mengenakan jilbabnya.

Hmm, terasa tambah pusing kepala, melihat mainan Harish bertebaran di kamar.

"Hafa, tolong beresin mainan Harish!"

"Harish juga ya, Mi?" tanya Harish, nggak mau ketinggalan

"Ya iyalah, kan itu mainan Harish," jawab Hafa, sambil mulai mengumpulkan mainan itu.

"Tapi, kan Mbak Hafa ikut mainan!" jawab Harish dengan suara tinggi.

"Ya, sudah, sama-sama beresinnya, gpr," aku berusaha mencegah terjadinya keributan.

"Apa, Mi, gpr?" tanya Hafa, penasaran.

"Nggak pake ribut," jawabku sambil meringis kesakitan.

Sementara itu, Husna segera menyiapkan bahan masakannya, sambil absen satu-satu, ditanya, mau telur apa, dadar, orak-arik, atau ceplok.

"Harish telur orak-arik, Mbak Husna," Harish teriak sambil sibuk mengangkat kardus mainannya.

Ah, lucunya memperhatikan tingkah mereka.

Sebelum berangkat, saat sarapan, Abi mengantarkan sepiring nasi dengan sayur kangkung dan telur.

"Makasih, Bi"

"Abi ada acara sampai sore, kondisi Umi seperti ini harus banyak makan bergizi," he he, ceramah paginya muncul. Aku mencoba makan, baru satu suap, perutku protes. Tidak bisa dilanjutkan.

"Husna, tolong ambilin Umi nasi aja, yang ini Husna makan, ya?"

"Nggak pake apa-apa, Mi?"

"Ya, biar nggak mual, yang penting ada yang dimakan. Gampang, nanti agak siang beli pecel."

Mungkin aku bukan termasuk orang yang energik, sering ambruk kalau terlalu cape, apalagi berbarengan dengan jadwal kodrati perempuan. Tapi aku terima itu sebagai bonus, saat istirahat dan menikmati pemanjaan dari suami dan anak-anak. Wajar bukan? Setelah sekian puluh tahun badan digunakan untuk membesarkan enam orang anak, sekali waktu mendapat pemanjaan dari mereka? Bukan masalah menuntut balas jasa, hanya ingin mengajak mereka merasakan, bagaimana bahagianya bisa melayani orang yang disayang.

Sunday, May 18, 2014

TRIK LIBURAN MURAH

<p>Tidak semua orang tua berkesempatan memenuhi kebutuhan dan keinginan anak untuk berlibur atau tamasya di tempat-tempat wisata yang diinginkannya. Banyak hal yang menjadi sebab, diantaranya kesibukan orang tua, waktu yang sulit didapat dan tentunya anggaran biaya.</p>

Berikut adalah apa yang kita lakukan untuk mengatasi tiga kendala tersebut sekaligus.

Kemarin, hari Minggu, kami mendapat undangan untuk mengisi pelatihan pengobatan tradisional di Lampung Timur, tepatnya di desa yang tidak terlalu jauh dari Taman Nasional Way Kambas.

Awalnya, Husna keberatan ikut, karena mungkin dia membayangkan bakalan bete nunggu Umi dan Abi mengisi pelatihan, tapi penjelasanku tentang perlunya melihat suasana luar, tempat yang berbeda dan bertemu dengan orang-orang yang belum kenal sebelumnya, akhirnya membuatnya mengubah keputusan.

Jam enam pagi kami berangkat dari Bandar Lampung dengan menyewa mobil tetangga. Perjalanan dihiasi suara Harish yang seakan tak henti bertanya setiap yang dilihatnya.

"Berisik banget, sih Rish!" komentar Husna, yang mungkin terganggu karena sedang asyik membaca novel

"Biarin, week!" jawab Harish sambil memeletkan lidah, Husna pura-pura tidak mendengar.

 Jam 0820 kami baru sampai di lokasi, karena sempat tersasar. Maklumlah, sudah lama kami tidak ke daerah sini, sudah banyak perubahan terjadi.

Dari jam 0830 giliran Abi yang memberikan materi, sampai jam 11.30, sedang aku menemani anak-anak di halaman yang kebetulan ada ayunan, tumpukan pasir, dan sepeda tuan rumah. Harish mengeluarkan mobil traktor dan truk yang dibawanya dari rumah. Husna dan Hafa sibuk naik sepeda berkeliling halaman, membaca sambil ayunan dan lain-lain

Setelah istirahat dan sholat, giliranku memberikan materi sampai menjelang Ashar, sedang Abi mengajak anak-anak ke lokasi TNWK.

Jam 17.00 kami bertolak pulang.

"Nyesel nggak, Husna ikut?" tanyaku

"Nggak lah," jawabnya sambil tersenyum

Sepanjang jalan mobil diramaikan suara Harish yang bercerita pengalamannya di TNWK, memberi makan gajah, naik gajah, mendeskripsikan gajah lengkab sampai bagaimana gajah buang air besar, ha ha ha.

Maghrib kami sampai di Metro, mampir ke rumah kakak di mana ibu tinggal. Lumayan, walau hanya bertemu satu sampai dua jam, bisa mendengarkan cerita Mamak sebagai pelepas rindu.

Jam 20.30 kami sampai di rumah dengan selamat dan kebahagiaan Satu hari kami lewati dengan begitu banyak momen dan manfaat yang kami berikan dan dapatkan.

Dengan biaya yang minim, sekaligus menjemput rizki, kami bisa melakukan banyak hal. Memberikan kegembiraan sekaligus memberikan pengetahuan baru untuk anak-anak, memberi contoh langsung bagaimana bersikap dalam pergaulan, menambah teman baru, beradaptasi dengan situasi baru dan lain-lain. Selain itu kami juga mendapatkan kesempatan silaturahim dengan keluarga, menyebarkan ilmu dan tidak meninggalkan kegiatan/ profesi kami. Bayangkan! Berapa biaya yang harus dikeluarkan apabila kegiatan  itu dilakukan dengan jadawal khusus!

Alhamdulillah, syukur kehadirat-Mu ya Rahman, atas segala karunia yang telah Engkau berikan.


Saturday, May 17, 2014

BEKAM? HIII. . .

<p> "Sakit nggak sih, dibekam?" tanya seseorang yang belum pernah dibekam.

"Sakit itu relatif, ada yang bilang nggak sakit, ada yang bilang sakit sedikit, tapi ada juga yang berpendapat sangat sakit," jelasku.

"Iya, sih. Tapi setidaknya ada bandingan rasa sakitnya," dia memaksa.

"Ok, pernah di infus? Dibekam tidak lebih sakit dari saat jarum infus ditusukkan," jelasku.</p>

"Belum pernah," jawabnya.

"Pernah diambil darah untuk dicek golongannya?" tanyaku, dengan harapan, semoga pernah. Sayang, dia menggeleng. Hmm, bandingkan dengan apa lagi ya?

"Pasti pernah digigit semut?" tuduhku.

"Pernah, tapi semut apa dulu?" jawabnya.

"Hampir semua jenis semut, kalau menggigit menimbulkan rasa sakit dan meninggalkan bentol, kadang ada juga yang menimbulkan rasa panas dan gatal. Sedang bekam, rasa sakitnya hanya saat ditusuk jarum."

"Hanya seperti itu?" tanyanya, tidak langsung percaya. Aku mengangguk

"Tapi, kan nggak hanya satu tusukan?" katanya, surut lagi.

Hmm, tidak mudah memang meyakinkan orang yang belum pernah melakukannya. Apalagi kalau punya trauma, seperti trauma jarum atau takut melihat darah.

"Rasa sakit saat bekam, sangat tidak sebanding dengan manfaat dari bekam itu sendiri. Biasanya, kita sangat takut denga bayangan, dengan sesuatu yang belum pernah dialami," jelasku.

"Memang sih, tapi bagaimana menghilangkan rasa takut itu?"  

"Dengan mengalaminya. Maka kita akan membuktikan bahwa rasa takut kita tidak beralasan." jelasku lagi.

Dari wajahnya, kulihat kebimbangan itu mulai berkurang, tapi belum sirna.

"Bekam itu pengobatan di zaman Rasulullah, ya?" tanyanya, ingin tahu.

"Ya, bahkan jauh sebelum Rasulullah lahir, pengobatan dengan bekam sudah dilakukan. Kemudian Rasulullah merekomendasikan ummatnya berbekam, untuk menjaga kesehatan ataupun untuk pengobatan."

"Apa masih cocok diterapkan di zaman sekarang? Bukankah ilmu kedokteran modern sudah banyak pilihannya?"

"Sebagai Muslim tentunya kita punya keyakinan, apa yang direkomendasikan Rasul sesuatu yang mengandung kebaikan. Selain itu, metode bekam sudah diteliti secara ilmiah dan direkomendasikan oleh para ahli yang melakukan penelitian itu, karena memang baik dan tidak bertentangan dengan ilmu kedokteran modern."

"Tapi kok seperti mengandung unsur kekerasan, ya? Soalnya tubuh kita dilukai?"

"Coba  bandingkan dengan metode operasi," jawabku.

"Iya, juga sih."

"Mungkin ini masalah persepsi. Karena kita terbiasa dengan pengobatan modern yang pada umumnya berasal dari barat, sehingga ketika ada alternatif lain dalam pngobatan, ada rasa menolak, karena khawatir dan belum terbiasa. Padahal, perkembangan terakhir, bekam semakin dierima di masyarakat."

"Mungkin karena informasinya belum banyak," kilahnya.

"Informasi itu sudah tersebar, hanya saja, yang belum berkepentingan biasanya belum mau mencari, padahal setiap hari bergaul dengan internet."

"Iya juga, he he. Oke, sekarang saatnya membuktikan, takut itu tak beralasan."

"Siip!"