Wednesday, April 30, 2014

TANDA PETIK


Richie yang sedang asyik dengan hapenya, tiba-tiba nyeletuk.

“Umi nih kalau buat tulisan selalu ramai dengan tanda petik.”

“Richie merhatiin ya?”

“Lha iya, makanya bisa komentar.”

“Richie nggak suka, ya?”

“Heran aja, sih.”

“Kok heran?”

“Jarang, Mi yang seperti ini, setelah judul langsung tanda petik, pake pengantar dulu ngapa?”

“Sepertinya spontan aja, jadinya begitu, he he.”

“Jadi kalau nulis spontan, nggak pake di draft dulu?”

“Mungkin itu kelemahan Umi, ada ide langsung tulis, keburu ada kerjaan lain”

“Huh! Sok sibuk banget sih, Mi?”

“Memang sibuk”

“Jangan-jangan karena memang Umi hobi ngomong, ya?”

“Memang”

“Kalau nggak ngomong, sakit ya, Mi?”

“Huss! Doa jelek, nggak amin.”

“Apa Umi memang suka baca yang banyak dialognya?”

“Tebakan cerdas! Dulu waktu kecil, kalau mau baca Umi lihat sekilas, banyak tanda petiknya nggak. Semakin banyak, semakin semangat untuk membacanya.”

“Ya usaha diperbaiki dong, Mi.”

“Iya, nanti kalau sempat, kalau mau, kalau nggak lupa.”

“Laaah, Umi, copas status Richie itu.”

“Tapi nggak plagiatkan?”

“Sekarang belum, nanti kalau Richie jadi penulis besar, Umi bisa dituntut loh.”

“Halaaah, kalau niatnya seperti itu, nggak bear-besar nanti.”

“Iiih, Umi, doa jelek! Nggak amin.”

“Ya, Umi doakan semoga Richie jadi penulis besar yang rendah hati dan gemar bersedekah.”

“Amin. Semoga Umi juga jadi penulis yang menginspirasi dan memotivasi dengan nilai-nilai kebaikan, walaupun tulisannya banyak tanda petiknya, tetap bisa jadi penulis best seller.”

“Amin, banyak buku sebelum mati, bisa!”

“Yes, yes, yes, bisa!”

Maka berakhirlah tulisan ini tanpa tanda petik.

Tuesday, April 29, 2014

VONIS!


“Mi, sebenarnya boleh nggak sih kita menampilkan foto di fb?”

“Foto seperti apa?”

“Ya foto diri”

“Tampak aurat nggak?”

“Ya nggak lah, Mi”

“Kok baru nanya, spertinya dah lama pasang fotonya?”

“Belakangan banyak yang komen tentang pasang foto di fb. Yang paling nggak enak vonis yang mengatakan bahwa kita membiarkan diri dinikmati orang lain yang tidak berhak, kok rasanya agak gimana gitu?”

“Lha niat awalnya apa?”

“Sekedar menunjukkan bahwa ini bukan akun palsu, trus lagi dengan menampilkan foto, teman-teman lama akan mengenali dan bisa menjalin silaturahim lagi.”

“Ya setiap orang punya pertimbangan dan penilaian, selama tidak ada pelanggaran, seperti memperlihatkan aurat, ya silahkan saja. Masalah apa kata orang, ya dengarkan saja, kan tidak mungkin kita mau sependapat dengan semua orang?”

“Kalau kita mejengin hasil karya kita, seperti buku atau sertifikat pemenang lomba, gimana? Apakah itu sebuah bentuk rasa bangga yang akan menjadi kesombongan?”

“Ada yang memvonis begitu?”

“Ada.”

“Semua kembali ke niat dan cara. Kalau niatnya baik, misalnya bentuk rasa syukur dengan menunjukkan nikmat itu, atau supaya bisa menginspirasi dan memotivasi orang lain, sepertinya nggak masalah. Dan caranya, selama tidak melanggar aturan dan tidak merugikan orang lain, ya teruskan saja.”

“Sebenarnya kita berhak nggak sih menilai perbuatan orang lain?”

“Ya boleh saja, tapi perlu diingat, kita menilai hanya berdasarkan apa yang kita lihat dan informasi yang sudah kita punya, yang pasti kita tidak tahu isi hati orang lain. Kalau untuk menilai sesuatu yang kriteria aturan dan hukumnya jelas, mudah, beda dengan hal-hal yang nggak jelas ukurannya kebenarannya.”

“Bagaimana kalau kita yang dinilai orang lain?”

“Siapa yang lebih tahu tentang diri kita, orang lain atau kita sendiri?”

“Ya kita lah, Mi”

“Ya sudah, nggak usah pusing! Selama kita tahu bahwa yang kita lakukan hal-hal yang tidak bertentangan dengan aturan Allah, tenang saja. Yang kita butuhkan apa kata Allah, bukan apa kata orang.”

“Untuk semua hal?”

“Tapi kita perlu juga mendengar apa kata orang, siapa tahu ada hal-hal yang kita lalai, sedang orang lain lebih faham. Artinya, penilaian orang lain kita butuhkan untuk lebih memantapkan kita dalam pilihan sikap yang diridhai Allah.”

Monday, April 28, 2014

MENGUNDANG NIKMAT


“Abi sakit ya, Mi?”

“Iya, dah seminggu, tapi sudah lumayan kok.”

“Sakit berat ya, kok seminggu belum sembuh?”

“Beratkan relatif? Memang lumayan serius, tapi tergantung gimana kita menyikapinya.”

“Sakit apa, Mi?”

“Intinya kecapean, butuh istirahat.”

“Banyak lho, Mi, kasus serius awalnya dari kecapean, tuh ada teman jantungnya katanya bengkak, awalnya ya kecapean.”

“Doakan aja ya, supaya Abi cepat sembuh, apapun penyakitnya, Allah Maha Kuasa menyembuhkan.”

“Katanya anak-anak sakit juga?”

“Iya, tiga orang nyusul sakit, semoga nggak serius amat.”

“Di rumah tinggal Umi sendiri yang sehat?”

“Alhamdulillah, Umi di kasih sehat, ada satu anak yang sehat juga.”

“Rawat di rumah semua, Mi?”

“Alhamdulillah, semua bisa di rawat di rumah, jadi Umi nggak terlalu repot.”

“Merawat empat orang sakit, nggak terlalu repot?”

“Di bandingkan kalau harus rawat inap di rumah sakit, masih lebih ringan di rumah.”

“Umi nggak stress?”

“Kalau mau di ikuti ya stress, tapi kalau Umi stress malah bahaya, bisa berantakan semua.”

“Gimana caranya bisa tenang ngadepin beban berat seperti ini, Umi nggak ada asisten rumah tangga kan?”

“Asisten nggak ada. Kalau kita fokus pada hal yang masih bisa disyukuri, insyaallah semua terkendali, kan Allah akan menambah nikmat jika kita mau bersyukur. Semua hal terjadi karena Allah menghendaki terjadi, ya upayakan tawakal padaNya, semua berasal dari Allah, maka kembalikan semua pada Allah.”

“Tapi kan banyak banget yang harus Umi kerjakan? Pekerjaan  rumah tangga, merawat yang sakit, menyiapkan makanan yang nggak mudah untuk yang sakit, mengawasi minum obat, belum lagi ngater anak sekolah, yang biasanya Abi yang kerjakan?”

“Ya dikerjakan semampunya, mana-mana yang bisa ditunda, ya ditunda dulu. Mana yang harus didahulukan, ya dikerjakan lebih dulu. Nggak harus sempurna semua. Itu salah satu cara menghindari stress.”

“Masih melayani pasien?”

“Pasien Umi ya masih, tapi kalau pasien Abi, terpaksa di tunda atau dialihkan pada terapis lain.”

“Pantesan, Umi bisa tetap tersenyum walaupun sedang banyak masalah, nyantai gitu.”

“He he he, gitu deh” 

JUAL BAJU DI KANTIN BAKSO


“Mi, postingan yang tentang tadabbur ayat Al Qur’an sepertinya kurang peminat ya?”

“Tahu dari mana?”

“Yang like sedikit, apalagi komentar. Dibandingkan dengan tulisan Umi yang lain.”
“Ya maklumlah, kan Umi ibarat jual baju di kantin bakso.”

“Apalagiiii, Umi nih, buat ibarat kok aneh.”

“Ya nggak aneh, biasa aja. Umi posting di komunitas menulis yang biasanya postingannya tentang cerpen atau puisi, lha ini tentang tadabbur ayat, yang sebagian orang menganggapnya sebagai bahasan berat. Kebanyakan orang hadir ke komunitas ini ingin baca cerpen dan puisi dan sejenisnya. Faham?”

“Oo, maksudnya ibarat orang ke kantin bakso mau makan karena lapar, gitu Mi?”

“Betul, pinter!”

“Mau diteruskan, Mi?”

“Apanya?”

“Jual baju di kantin bakso, ha ha.”

“Insyaallah diteruskan. Bajukan nggak gampang basi, dipajang terus nggak masalah. Mungkin dari sekian banyak pembeli ada yang sambil nunggu pesanan datang, matanya melihat ke pajangan baju. Begitu juga dengan tulisan Umi, selain di pajang di komunitas, Umi juga pajang di blog, insyaallah aman di sana. Mungkin suatu saat ada yang butuh, dia ingat, oh ya dulu pernah baca, kemudian dia cari di pajangan blog.”

“Nggak kecewa, Mi? Cape-cape posting nggak ada atau jarang yang baca?”

“Kecewa? Ya nggak lah. Umi posting tadabbur sebenarnya tadabbur untuk diri sendiri, nah sekalian Umi posting, mungkin ada manfaatnya bagi orang lain yang tidak sempat buka Al Qur’an terjemah atau tafsir.”

“Sekali  dayung, beberapa pulau terlampaui, ya Mi?”

“Ya, satu kerjaan bisa bermanfaat untuk beberapa orang dan beberapa waktu.”

LEBIH MAHAL DARI HAPE


“Umi, aku kangen . . .tapi maaf, belum bisa nelpon, ada masalah dengan kartu telpon.” Hatif memulai obrolan malam ini lewat inbox

“Umi yang minta maaf, sampai sekarang belum bisa membelikan hape.” Sedih rasanya hati ini, tapi. . .aaaah, menjauhlah!

“Untuk aku, Mi?”

“Pengennya begitu, tapi . . . kok rasanya belum terbayang. . .”

“Iya, Mi. Kalau ngomongin hape, aku jadi gimanaaaa, gitu?”

“Maksudnya?”

“Minggu ini teman aku ada tiga orang yang beli hape.”

“Hatif kan sudah terbiasa bersabar dan insyaallah nggak masalahkan? Iiih jadi sedih, Umi.” Air mata yang sejak tadi kutahan, akhirnya mulai menetes. Jujur, aku sedih. Bagaimana aku memperhatikan, dilingkunganku anak-anak usia SD sudah memiliki hape, bahkan yang super canggih, sedang anakku? Mungkin kalau dipaksakan bisa juga sih, tapi prioritas lain lebih banyak. Dan kupikir, kebutuhannyakan hanya untuk menelpon kami, bahkan kami khawatir dengan adanya hape, terutama yang super canggih, justru akan mengganggu belajarnya di sana. Yang harus dipelajarinya sangat banyak dan butuh konsentrasi tinggi, karena banyak menghafal kitab.

“Nggak sih, Mi. Nggak sedih-sedih amat.”

“Mereka dapat kiriman dari orang tuanya?”

“Sebagian ya, tapi pada umumnya mereka bawa uang banyak waktu berangkat dulu, ada yang bawa lima juta, ada yang lebih.”

Sedangkan Hatif? Satu juta! Itupun karena memang diwajibkan membawa sejumlah itu untuk jaga-jaga selama masa adaptasi. Mereka mendapat beasiswa, selama tiga tahun seluruh kebutuhan hidup ditanggung.

“Aku rutin menabung dari uang saku bulanan. Aku juga sedekah biar Allah ridha dan memberikan rizki yang lebih banyak. Sholat Dhuha sudah jadi kebutuhan, kalau tertinggal rasanya nggak enak banget. Setiap pagi baca surat Al Waqi’ah nggak pernah lewat. Tapi kok belum datang-datang juga ya? Eh, setelah kupikir-pikir . . . nggak taunya banyak banget nikmat di balik itu.”

“Subhanallah, apa yang sudah Hatif kerjakan itu jauuuuuh lebih mahal dari sebuah hape secanggih apapun,” jawabku penuh haru, airmataku berganti dengan tangis haru.

“Salah satunya, kesehatanku terjaga Malah aku sering membantu menjaga kesehatan teman-teman, dengan ilmu pijat yang aku punya. Trus yang paling menonjol, bahasa Turki aku lebih baik dari teman-teman, padahal waktu berangkat aku merasa paling lemah. Aku juga banyak kenalan.”

“Itu berlipat lebih berharga dari sebuah hape, Alhamdulillah.”

“Dan aku jadi imam andalan kalau ada tamu-tamu besar datang.”

“Lebih banyak bersyukur ya, Tif. Lihatlah apa yang sudah Allah berikan, maka yang sedang kita harapkan tidaklah terlalu menyiksa dan buat sedih. Allah lebih tahu yang terbaik untuk kita, dan Allah lebih tahu, kapan waktu terbaik untuk mengabulkan harapan yang belum terwujud.”

“Iya, Mi. Aku bisa karena aku selalu ingat nasihat Umi Abi.”

“Tif, boleh nggak Umi buat tulisan?”

“Tentang masalah aku ini,Mi? Boleh saja, kalau sekiranya bermanfaat untuk orang lain.”

“Insyaallah menginspirasi, karena Umi juga sering termotivasi dan terinspirasi dengan pengalaman orang lain yang dibagikan jadi tulisan. Itu lebih berkesan daripada fiksi yang merupakan hasil imajinasi.”

“Iya, Mi. Aku percaya sama Umi.”

“Tapi kita harus lebih hati-hati, jangan sampai ujub.”

“Iya, Mi. Harus hati-hati, kadang niat ikhlas itu susah.”

“Syetan tidak akan ridha kalau niat kita ikhlas.”

“Iya, Mi. Kita harus selalu minta penjagaan sama Allah.”

TUGAS KEKHALIFAHAN DIMULAI (TADABBUR 2: 37-39)


“Apakah Adam diperintahkan turun ke bumi sebagai hukuman atas kesalahannya melanggar larangan Allah?”

“Sepertinya bukan semata-mata, hukuman, tapi lebih tepatnya memang saatnya memulai tugasnya sebagai khalifah di bumi, seperti tujuan penciptaannya. Adam turun ke bumi setelah tobatnya di terima.”


“Kemudian Adam menerima beberapa kalimat* dari Tuhannya, lalu Dia pun menerima tobatnya. Sungguh Allah Maha Menerima Tobat, Maha Penyayang.”(Al Baqoroh :37)
*kalimat itu menurut sebagian mufasir adalah ucapan untuk memohon ampunan/tobat.

“Jadi Adam turun ke bumi tidak membawa beban dosa?”

“Kan tobatnya sudah diterima, artinya sudah diampuni.”

“Jadi dari hitungan nol ya. Adakah ketentuan Allah untuk tugasnya, bagaimana kriteria sukses atau gagalnya?”

“Ada, dijelaskan Allah dalam ayat berikutnya.”

“Kami berfirman,’Turunlah kamu semua dari surga. Kemudian jika benar-benar datang petunjuk-Ku kepadamu, maka barang siapa mengikuti petunjuk-Ku, tidak ada rasa takut pada mereka dan mereka tidak bersedih hati.(2:38) Adapun orang-orang yang kafir dan mendustakan ayat-ayat Kami, mereka itu penghuni neraka Mereka kekal di dalamnya.(2:39)”

“Jadi  kriterianya mengikuti petunjuk atau kufur/ mendustakan?”

“Ya, seperti sebelumnya saat di surga, ada larangan mendekati pohon yang ditentukan Allah, dipatuhi atau dilanggar.”

“Bukankah Adam diciptakan sebagai khalifah di bumi? Mengapa tidak langsung ditempatkan di bumi? Mengapa di surga dulu, berbuat salah, kemudian bertobat, baru ditempatkan di bumi?”

“Menurut Sayyid Quthb, penulis tafsir Fi-Zhilalil Qur’an, pengalaman itu menjadi tarbiyah (penempaan) dan i’dad (persiapan) bagi khalifah ini. Ia menjadi pembangkit berbagai potensi yang tersimpan dalam dirinya dan pelatihan baginya untuk menghadapi tipu daya, merasakan akibat perbuatan, mengenyam penyesalan, mengenal musuh dan berlindung setelah itu kepada perlindungan yang aman. Sesungguhnya kisah pohon terlarang, godaan syetan dengan kelezatan, lupa akan janji akibat kemaksiatan, sadar setelah mabuk, penyesalan dan permohonan ampun.  . .sesungguhnya sama saja, itu semua merupakan pengalaman manusia yang senantiasa terulang.”

Sunday, April 27, 2014

ADAM TURUN KE BUMI (TADABBUR 2 : 36)


“Apakah Adam dan istrinya tinggal selamanya di surga?”

“Tidak, setelah syetan menggelincirkan mereka untuk melanggar larangan Allah.”

“Lalu syetan memperdaya keduanya dari surga, sehingga keduanya dikeluarkan dari (segala kenikmatan)ketika keduanya  di sana (surga). Dan Kami berfirman.’Turunlah kamu! Sebagian kamu menjadi musuh bagi sebagian yang lain. Dan bagi kamu ada tempat tinggal dan kesenangan di bumi sampai waktu yang ditentukan.”

“Bagaimana caranya syetan menggelincirkan mereka?”

“Syetan dengki kepada Adam dengan kelebihan yang dimilikinya. Syetan tak senang Adam mendapatkan kenikmatan di surga, itu sebabnya dia berusaha untuk mengeluarkannya. Satu-satunya cara adalah dengan membuat mereka melanggar larangan Allah, sehingga izin tinggal mereka di surga dibatalkan.”

“Oo, jadi syetan memperdaya Adam dan istrinya dengan melanggar larangan, yaitu mendekati pohon itu ya?”

“ Bahkan ceritanya bukan sekedar mendekati, tetapi memakan buahnya.”

“Kok manusia saling bermusuhan?”

“Dengan adanya aturan yang ditetapkan Allah, maka manusia akan menjadi dua golongan, yaitu golongan yang terpedaya oleh syetan dan manusia yang selamat dari tipu daya syetan. Syetan dan orang-orang yang terpedaya olehnya akan selalu menggoda manusia yang taat kepada Allah agar masuk ke dalam golongannya. Dan orang yang taat kepada Allah akan selalu berusaha melawan godaan-godaan itu. Tarik menarik dua kepentingan yang berlawanan itu menyebabkan permusuhan antar manusia.”

“Apakah di dunia kemudian Adam selalu  hidup sengsara?”

“Tidak juga. Walaupun tak seindah dan senyaman di surga, di dunia pun ada tempat-tempat dan kesenangan, tapi semua ada batas waktunya.”

“Batas waktu, maksudnya?”

“Batas waktu itu ajal untuk setiap manusia dan kiamat untuk seluruh kehidupan.”

Thursday, April 24, 2014

KAPAN


"Umi, topi itu apa," tanya Harish.

"Itu topi," jawabku sambil menunjuk topi yang nyantol di atas cermin.

"Iyaaa, tapi topi itu apa?" tanyanya, ngotot.

Ini mau jawaban apa tho sebenarnya?

 "Harish kapan pake topi?"

"Kalau pergi naik mobil sama Abi."

"Trus kapan lagi?"

"Kalau ke kebun pas panas."

"Jadi topi itu kita pakai kalau pas pergi, terutama siang hari waktu panas untuk melindungi kepala dari panas."

"Ooo," jawabnya seolah faham, selesai? Belum!

"Kapan itu apa, Mi?"

Nah lho! Siapa bisa jawab pertanyaan Harish?

AKU SEDANG TERSIKSA, NIH!


Kau tau, apa yang sedang kurasakan saat ini?

Emmm, sedikit tersiksa, karena aku sedang menahan diri.

Dari apa?

Menahan diri dari menulis sesuka hati dan sebanyak yang kuingin.

Kok bisa?

Bisa! Karena sekarang profesiku belum penulis sepenuhnya, jadi waktunya harus berbagi dengan tanggung jawab lain, itupun sssst, aku masih mencuri-curi.

Di tengah-tengah melaksanakan tugas, aku masih menyempatkan membaca sedikit postingan teman-teman, juga masih menulis untuk beberapa keperluan yang tidak diposting.

Habis gimana dong?

Kalau harus total libur menulis, aku nggak tahan sih? Malah mengerjakan tugasnya kurang konsentrasi, makanya kuakali, biar semua dapat.

Eits! Tenang aja, aku bertanggung jawab kok, kuupayakan tugasku terselesaikan, beneran!

Katanya kalau kita mengerjakan sesuatu dengan hati senang, hasilnya akan lebih baik, makanya kusenangkan dulu hatiku dengan menulis, maka aku mengerjakan tugasku dalam keadaan hati yang sedang senang, he he.

Ooo, itu mah nggak sesuai konsep? Bukannya yang mendapatkan hasil baik kalau hati kita menyenangi tugas yang sedang kita kerjakan?

Eeee, nggak percaya? Coba aja, trus laporkan padaku bagaimana hasilnya. Aku sudah melakukannya sejak lama, hanya beda cara.

Dulu, sebelum belajar, padahal mau ujian, aku sempatkan baca novel dulu sampai tuntas, kemudian baru belajar, hasilnya baik tuh.

Kok bisa?

Soalnya, kalau mau belajar, sedang di sekitar kita ada novel yang belum dibaca, maka belajarnya nggak konsentrasi, bolak-balik melirik novel itu karena greget, apa sih isinya?

#Ini adegan berbahaya, hanya dilakukan yang sudah terbiasa



Sunday, April 20, 2014

ADAM TINGGAL DI SURGA (TADABBUR 2: 35)


“Setelah menunjukkan kelebihan Adam sebagai khalifah, Allah memerintahkan Adam dan istrinya untuk tinggal di surga dengan segala kenikmatan yang ada”


"Dan Kami berfirman,”Hai Adam! Diamilah olehmu dan istrimu surga ini, dan makanlah makanan-makanannya yang banyak lagi baik di mana saja kamu sukai dan  janganlah kamu dekati pohon ini, yang menyebabkan kamu termasuk orang-orang yang zalim.”  Terjemah surat Al Baqarah ayat 35

“Wuih! Enak banget?”

“Ya, sangat nikmat. Hidup dengan segala fasilitas yang ada, hanya satu pohon saja yang jadi larangan untuk mereka.”

“Pohon apa namanya?”

“Pohon apa? Para penafsir Al Quran (mufasir) berbeda pendapat tentang nama dan jenis pohon yang dimaksud. Yang penting bagi kita, sebagai manusia yang bertugas menjadi khalifah, bahwasanya sebagai ciptaan Allah, semulia apapun kedudukan kita, tetap saja ada aturan yang membatasi, yaitu aturan yang telah ditentukan Allah untuk kita”

“Untuk apa ada aturan, kan enak bebas?”

“Aturan diadakan dengan tujuan menjaga kita agar tidak zalim. Setiap aturan Allah yang diberlakukan dimaksudkan untuk kebaikan kita, tanpa aturan kita akan terjerumus pada kezaliman. Aturan dijadikan untuk menguji manusia, siapakah di antara manusia yang taat kepada aturan Allah, dan siapakah yang membangkang dan menjadi orang-orang zalim.”

“Hanya satu pohon kan yang dilarang mendekatinya?”

“Ya, hanya satu dari sekian banyaknya pohon dan tanaman di surga. Sama halnya dengan kita di dunia, dari begitu banyaknya makanan yang disediakan Allah di dunia,  hanya ada beberapa jenis yang kita dilarang untuk memakannya, karena di dalamnya ada keburukan.”

“Tapi sering dilanggar juga ya? Walaupun dengan berbagai alasan?”

“Itu salah satu tabiat manusia. Rasa ingin tahu manusia mendorongnya untuk selalu mencoba sesuatu yang baru, sesuatu yang beda dari biasanya. Tabiat inilah yang membuat manusia kreatif, selalu berkembang dan hidup ingin lebih baik. Keimananlah yang menjaga manusia untuk mengembangkan kreatifitasnya dalam koridor Allah, selalu dalam ketaatan pada aturan Allah.”

“Memang kadangkala, ketika kita dalam proses kreatif, sering terbentur dengan aturan.”

“Di situlah ujian berlaku. Orang-orang yang beriman akan tetap kreatif tanpa melanggarnya, justru aturan itu memacu daya berfikirnya, bagaimana melahirkan kreasi yang tidak melanggar aturan. Beda halnya dengan orang-orang yang tipis imannya, dengan alasan kebebasan berkreasi, mereka langgar beberapa aturan yang berlaku, tanpa peduli mereka termasuk orang-orang zalim.”

WOW ! DIA SUDAH BESAR


“Umi . . . selamat tidur, muuuach!” Harish mengecup pipi, hidung, bibir dan dahiku.

“Selamat tidur, Umi sayang Harish,” sambutku dengan senyum.

Harish berlari ke arah tangga, menuju kamar atas, eeeit. . .

“Umii. . . besok pagi-pagi buatinin susu Harish yaaa!” teriaknya.

“Ok,” jawabku, sambil tertawa geli mendengar ucapannya, buatinin, aah siapa yang dicontohnya.

Alhamdulillah, Harish sudah mau tidur terpisah denganku dengan suka rela. Butuh waktu setengah bulan untuk hasil seperti ini.

***

Awal latihan, ketika ada momen di mana aku harus menginap di tempat adik yang sedang hajatan, sedang anak tertua harus segera kembali ke Jakarta.

“Harish pulang duluan ya, sama Abi, Mas Hilmy dan Mbak-mbak.”

“Umi kapan pulang?”

“Besok.”

“Sekarang aja sih, Mi. . .” rayunya

“Umi mau bantuin Bulek beres-beres, kasihan kalau nggak dibantuin.”

“Mas Hilmy bawa hadiah lho untuk Harish, besar lho hadiahnya, tapi di rumah” Hilmy ikut membujuk

“Hadiahnya apa?” tanya Harish, penasaran.

“Makanya pulang bareng Mas Hilmy.”

“Harish di depan ya, temenin Mas Hilmy nyupir.”

“Siiip, tapi di depan sama Abi juga ya?”

Yesss! Berhasil!

Momen tepat yang tak disengaja. Kejelian kita melihat momen sangat membantu dalam usaha tertentu. 

Harish termasuk terlambat mandiri dalam hal ini, beda dengan kakak-kakaknya. Mungkin karena posisinya sebagai anak bungsu, sehingga tidak ada momen tepat untuk memisahkannya tidur denganku, sedang kakak-kakaknya, sejak ada adik dalam kandungan, mereka sudah dilatih untuk tidur terpisah, adi ketika adiknya lahir, mereka sudah terbiasa.

***
Mungkin sebagian orang memandang ini masalah sepele, tapi tidak bagiku. Beberapa bulan lalu aku merasakan ujian kesabaran dalam hal ini. Bayangkan, di usiaku yang ke empat puluh sembilan aku masih direpotkan dengan anak usia empat tahun, anak sendiri, bukan cucu. 

Langka bukan? 

Huss! Jangan tertawa! Ini serius!

Umumnya, usia empat puluh sembilan tahun, seorang wanita sudah menimang cucu, setidaknya sudah punya mantu, atau maksimalnya sudah tidak punya balita. Bebas ke mana pergi, bebas belajar yang disukai, bebas mau tidur jam berapa, tapi tidak denganku.

Mengeluh? Ya! Beberapa bulan yang lalu sempat mengeluh, kadang-kadang emosi, bagaimana tidak? Sedang panas-panasnya otak, penuh ide, ingin segera dituangkan dan segera diposting, eeh. . . sebentar-sebentar,” Mi, buatinin susu.”  Atau,”Mi, mau makan.” Kadang-kadang.”Mi, temenin main tanah di luar.” 

Apalagi kalau malam hari, hhh! Tidurnya di atas jam 21.00, yang diminta buuuuanyak banget, susu, teh, kadang minta makan, belum lagi garuk-garuk punggung, pindah pijit kaki pegel, wes lah!

Alhamdulillah, walaupun lulus tidak dengan sempurna, tapi diluluskan juga dengan nilai kesabaran yang pas-pasan, bahkan mungkin dengan nilai katrol, he he.

Saatnya puas menulis, puas mengejar ilmu yang tertinggal, puas ngatur jadwal seefektif mungkin, lagu itu benar,”Badaiiii. . . pasti berlaluuu. . .he he.”

Saturday, April 19, 2014

IBLIS YANG SOMBONG (TADABBUR 2: 34)


“Setelah malaikat mengakui kelebihan yang diberikan Allah kepada Adam, kemudian Allah perintahkan malaikat bersujud kepada Adam sebagai penghormatan.”


Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada malaikat,”Sujudlah kamu kepada Adam,” maka sujudlah mereka, kecuali iblis, dia takabur, dan dia tergolong orang-orang yang kafir. Terjemah surat Al Baqarah ayat 34.


“Kok iblis ada di sana, bersama malaikat? Memang iblis golongan malaikat?”

“Untuk penafsiran ayat ini, ada dua pendapat, sebagian mengatakan iblis merupakan salah satu suku dari malaikat, sedang sebagian lain mengatakan iblis golongan tersendiri, karena malaikat adalah makhluk yang mempunyai karakter yang tidak mendurhakai Allah dan taat mengerjakan perintahNya ( QS At Tahrim ayat 6)”

“Yang benar yang mana?”

“Hanya Allah yang tahu, perbedaan itu tidak mempengaruhi makna ayat ini, yang pada dasarnya memberitahukan pada kita tentang karakter iblis yang harus kita waspadai ada pada diri kita.”

“Jadi pengen tahu lebih dalam tentang Al Quran, penasaran aja sih, kenapa kok bisa kitab petunjuk hidup, masih menimbulkan perbedaan pendapat”

“Bagus itu, kalau penasaran. Pelajari Al Qur’an semampu kita bisa, dari belajar membaca huruf perhuruf, membacanya dengan tartil, mempelajari maknanya, menghafalkannya, mempelajari tafsirnya, semuanya baik dan harapannya bisa meningkatkan keimanan dan ketakwaan kita, sekaligus ikut menjaga kemurnian agama Islam.”

“Kok Allah memerintahkan malaikat sujud pada Adam, sedangkan yang berhak disembah hanya Allah?”

“Sujud di sini merupakan wujud penghormatan yang paling tinggi kepada makhluk yang dianggap sebagai pelaku kerusakan dan pertumpahan darah. Ini juga ujian untuk manusia, apakah dengan perintah ini manusia berprasangka buruk kepada Allah atau justru lebih beriman kepadaNya.”

“Berprasangka gimana, maksudnya?”

“Beberapa waktu lalu ada yang berpendapat, iblis makhluk yang tauhidnya paling bagus, karena tidak mau bersujud kepada selain Allah, sepintas pemikiran ini benar, tapi ini menyesatkan, masa iya Allah  memerintahkan sesuatu yang paling dilarangnya? Menyembah kepada selainNya? Di sinilah para ulama tafsir yang lurus bertugas menjelaskannya.”

“Kita harus hati-hati ya belajar memahami Al Quran?”

“Sangat, karena Al Quran adalah firman Allah, yang tahu makna tepatnya adalah Allah, itu sebabnya ketika kita berniat memahaminya, dengan niat ikhlas dan minta petunjuk kepada Allah agar diberi pemahaman yang benar.”

“Iblis nggak mau sujud kepada Adam karena takabur, ya?”

“Ya, takabur adalah yang menolak kebenaran dan merendahkan orang lain. Sifat inilah yang menyebabkan banyak manusia terjerumus kepada ketidaktaatan kepada Allah. Diperintahkan sholat, sebagai wujud ibadah paling penting, nggak mau, dengan berbagai alasan. Belum lagi perintah yang lain, yang pada intinya merupakan sikap penolakan kepada kebenaran, menolak apa yang diperintahkan Allah yang telah menghidupkan, memberinya rizki dan segala fasilitas yang dibutuhkannya”      

HEAAALAH, JENG SRI NGAMBEK!


“Jam segini belum juga,” gumam Jeng Sri. Dia menuju jendela depan, menyibakkan tirainya, mengawasi jalan depan rumah.

“Hmm, awas ya!” gerutunya sambil menghempaskan badan di sofa, hatinya dongkol tingkat langit, dia mengharapkan sms atau telfon dari suaminya, sejak keberangkatannya pagi tadi.

Jeng Sri memejamkan mata, berusaha melembutkan hatinya, mengurangi kedongkolan dan berusaha menghilangkan prasangka-prasangka yang menggalaukan perasaannya

Terdengar klakson mobil yang sudah akrab di telinganya, Jeng Sri bangkit menuju pintu dan membukanya. Menyambut suaminya seperti biasa, berusaha menampilkan wajah semanis mungkin, walaupun, sumpah! Sangat sulit, tapi dia harus melakukannya, demi sebuah harapan.

# asli cerpen, untuk seorang teman
Momen penyambutan lewat begitu saja, seperti biasa. Jeng Sri menghela nafas, kecewa. Harapannya pada momen ini pun lewat. Suaminya mendahului masuk kamar, Jeng Sri menuju ruang makan sambil berusaha menghilangkan ganjalan di hati.

Dia siapkan meja untuk makan malam, dengan hidangan yang agak istimewa, walaupun tidak terlalu menyolok. Sambil menunggu suaminya selesai mandi, Jeng Sri mencari siasat berikutnya, hmm, apa ya? . . . Sesaat kemudian Jeng Sri tersenyum, sepertinya dia sudah mendapatkan ide.

Selesai makan, Jeng Sri menatap suaminya, penuh arti.

“Kang Mas, ini hari apa?”

“Senin, lupa tho?”

“Maksudku, hari ini memperingati hari apa?”

Suaminya seolah berfikir keras untuk menjawabnya, seperti anak cerdas di iklan susu, dan, ting!

“Oh, iya, tadi di kantor ibu-ibu heboh ngomongin emansipasi, Hari Kartini, kan?”

Terlalu!

Jeng Sri sudah nggak kuat menahan diri, dia bangkit, dengan menghentakkan melangkah ke kamar dengan suara prok-prok-prok, persis remaja yang keinginannya ditolak.

Suaminya sempat melongo, takjub, he he he untuk yang satu ini tak ada perubahan yang berarti. Disusulnya Jeng Sri dengan senyum penuh arti. Di kamar, Jeng Sri menangis sesenggukan, wajahnya ditenggelamkannya ke bantal, sehingga suara tangisnya tak terdengar.

Dihampirinya Jeng Sri, duduk di tepian tempat tidur. Tangannya perlahan membelai rambut istrinya dengan lembut, sepenuh cinta. Ditunggunya sampai Jeng Sri berhenti menangis. Jeng Sri faham, ini saatnya untuk menghentikan aksi ngambegnya. Perlahan dia bangkit, duduk bersebelahan dengan suaminya.

“Kang Mas keterlaluan,” gumamnya.

“Selamat ulang tahun, barbieku,” ucap suaminya sambil mengecup kening Jeng Sri.

“Kang Mas nggak lupa, tho?” tanya Jeng Sri, bengong

“Pernah nggak Kang Mas lupa hari bersejarah ini?”

Jeng Sri menggeleng, diakuinya, selama ini suaminya tidak pernah lupa dengan hari ulang tahunnya, tapi heran juga dengan tahun ini, kok beda?

Suami Jeng Sri bangkit menuju lemari pakaian, mengambil sesuatu di bawah tumpukan pakaian dan menyerahkannya pada Jeng Sri, yang menerimanya dengan senyum bahagia.

Segera dibukanya amplop coklat itu, dikeluarkannya isinya, empat lembar kertas Tiga lembar bukti transfer, selembar kertasmemo yang marnanya mulai menguning. Jeng Sri membaca kertas memo itu,

"Aku bersedia menjadi istrimu, mendampingi dalam suka dan duka sampai Tuhan memisahkan kita"

Ttd Sri Rejeki

“Kang Mas masih menyimpan ini?” tatapanny begitu takjub, suaminya tersenyum. Jeng Sri memeluk suaminya penuh haru.

“Ssst, lanjutkan dulu,” katanya sambil menjauhkan tubuh istrinya

“Ini apa, Kang Mas?” tanya Jeng Sri, sambil menunjukkan tiga lembar bukti transfer.

Suaminya mengambil tiga lembar kertas itu, dan menjelaskan satu persatu.

“Ini, sepuluh juta untuk sumbangan yayasan yatim piatu sebagai rasa syukur. Yang ini pemesanan seratus buku terbitan ANPH, juga untuk yayasan yatim piatu yang anak-anaknya sudah remaja, nah ini yang seratus ribu, pendaftaran ikut WS tentang menulis buku best seller."

"Kok seratus ribu? Kan hanya lima puluh ribu?" ha ha syaraf perhitungan Jeng Sri terangsang.

"Kang Mas mau ikut, biar nanti pede menulis autobiografi kehidupan cinta kita."

Jeng Sri tak dapat menahan haru dan bahagianya, ditubruknya suami dan menelusupkan kepala di pangkuannya. Tentu saja suaminya sangat bahagia melihat kebahagian  Jeng Sri, senyum mengembang, dan he he he nah kalau sudah seperti ini, apapun yang diminta Jeng Sri tak kan menolaknya, lihat saja.

#Cerpen, untuk seorang teman

Friday, April 18, 2014

ADAM BERAKSI (TADABBUR 2:33)


“Saatnya giliran Adam beraksi.”


Allah berfirman,” Wahai Adam, beritahukanlah kepada mereka nama-nama benda ini.” Maka setelah diberitahukannya nama-nama benda itu, Allah berfirman,”Bukankah sudah Kukatakan kepadamu, bahwa sesungguhnya Aku mengetahui rahasia langit dan bumi dan mengetahui apa yang kamu lahirkan dan apa yang kamu sembunyikan.” Terjemah Al Baqarah ayat 33.


“Jadi takut.”

“Takut kenapa?”

“Allah mengetahui rahasia. Jadi kita nggak bisa menyembunyikan sesuatu pun dariNya, bahkan desiran di hati.”

“Orang yang mengenal Allah dengan baik, akan selalu berhati-hati dengan sikapnya, batin maupun lahir. Orang seperti ini akan merasakan pengawasan Allah, dia akan selalu menjaga amalan batinnya. Berhati-hati sekali dalam berprasangka, baik kepada Allah dengan segala kehendakNya, maupun prasangka kepada manusia.”

“Apa kalau kita sudah mengenal Allah dengan baik, kita tidak akan berdosa?”

“Sangat sulit bagi kita untuk tidak melakukan dosa, karena tidak mudah  menaklukkan nafsu yang biasanya senang dengan kemaksiatan, tetapi setidaknya ada peningkatan dalam upaya mengurangi kemaksiatan itu karena takut pada pengawasan Allah, dan mengimbanginya dengan ketaatan.”

“Apakah orang-orang yang banyak melakukan kemaksiatan itu tidak tahu bahwa Allah selalu mengawasi?”

“Tahu! Hanya saja manusia mengabaikan hal itu karena keimanannya yang tidak terjaga. Hanya orang-orang yang beriman yang peduli dan berkeinginan untuk mengenal Allah lebih dekat. Hanya orang-orang yang beriman kepada hari pembalasan yang mau menghitung-hitung, apa yang akan diperoleh sebagai balsan dari apa yang dilakukannya.”