Monday, March 31, 2014

JANGAN PERGI, YEM

"Boleh ya, Bu?"

"Nggak, Yem. Ibu nggak izinkan, ibu nggak ridho."

"Mba Pon ibu izinkan, kenapa aku tidak?"

"Ibu terpaksa mengizinkan. Mbak Pon beda sama kamu, Yem. Misalnyapun tidak ibu izinkan, dia akan tetap           pergi, dan ibu nggak mau anak-anak ibu pergi tanpa restu."

"Jadi kalau aku maksa seperti Mba Pon, Ibu juga akan izinkan?"

"Ya, tapi Ibu yakin, kamu tak akan membuat Ibu bersedih berkepanjangan, ya kan, Yem?"

Pawiyem memeluk ibunya, tak akan sanggup dia menambah kesedihan orang yang sangat dicintainya.
Biarlah kukubur mimpiku, demi ibu yang begitu menyayangiku, bisik hatinya.

***

"Sudah empat tahun Mbak Pon kerja di Singapura, ini malah ada rencana mau nambah kontrak lagi."

"Bagaimana dengan suaminya?"tanya umi, guru ngaji di majelis taklim.

"Itu dia, Umi. Suaminya mengancam akan menikah lagi kalau Mba Pon jadi nambah kontrak. Kasihan anaknya, waktu ditinggal usianya baru dua tahun, nggak tau deh, apa masih mengenali ibunya kalau ketemu nanti."

"Ada selentingan, katanya Mbak Pawiyem mau berangkat juga, jadi TKW ke Hongkong?"

"Tapi Ibu nggak mengizinkan."

"Kenapa?"

"Kata beliau, rizki itu ada di mana-mana, di sinipun banyak, nggak harus jauh-jauh ke Hongkong."

"Banyak hal yang harus dipertimbangkan, ketika seorang wanita berniat menjadi TKW. Dalam tuntunan Islam, seharusnya seorang wanita yang akan pergi jauh, terutama yang tidak terjamin keamanannya, ditemani suami atau mahramnya. Dan lagi, bukankah mencari nafkah merupakan kewajiban suami?"

"Benar, Mi. Tapi kadang-kadang geregetan merasakan hidup yang begini-begini saja, ingin mengubah nasib. Bukankah perubahan harus dari diri sendiri?"

"Benar, tapi apakah nasib hanya akan berubah dengan menjadi TKW? Tidak ada cara lain?"

"Nggak juga sih, tapi kalau saat ini perubahan itu terlihat nyata dari para TKW, contohnya Mba Pon, dia bekerja di Singapura, setiap tiga bulan mengirim uang untuk suami dan anaknya, sekarang mereka sudah punya rumah dan sawah."

"Bagaimana dengan kewajibannya sebagai istri dan ibu? Bukankah itu tugas utamanya?"

"Tapi suaminya mengizinkan, Umi."

"Wah, nggak tau deh kalau yang begitu. Yang Umi tahu, Allah memberi aturan untuk kehidupan yang baik, jika aturan itu dilanggar, akan ada hal yang tidak baik terjadi, bahkan bisa dapat fitnah besar. Keburukan itu bisa terjadi di dunia, misalnya keluarga berantakan, musibah yang terkait dengan hukum, bahkan menimbulkan ketidakharmonisan antar negara, yang jelas akan ada pertanggung jawaban di hadapan Allah tentang apa yang dilakukan di dunia."

"Termasuk suami, Mi?"

"Ya, seorang suami adalah pemimpin dalam keluarga, orang pertama yang akan bertanggung jawab atas ketidaberesan yang terjadi dalam keluarganya."

"Bagaimana dengan pemimpin negara, apakah mereka juga harus bertanggung."

"Ya, sebagai pemimpin mereka bertanggung jawab atas kebijakan yang diberlakukan dan segala efeknya."

"Wah, rumit juga ya urusannya? Awal masalahkan mencari rizki?" gumam Pawiyem.

"Padahal rizki sudah dijamin Allah. Ikuti saja aturan Allah, di manapun kita berada, rizki itu akan diberikan oleh Allah, selama kita mengikuti aturan-aturanNya."

GAYA MELURUSKAN

Setiap manusia pernah salah, pasti!

Kesalahan itu bisa besar, kecil, disadari atau tidak, terkait dengan ucapan, sikap, pekerjaan dan sebagainya.

Dalam pergaulan, persahabatan, persaudaraan maupun pekerjaan, kita sering terlibat dengan urusan ingat mengingatkan serta meluruskan kesalahan seseorang, yang biasa kita kenal dengan kritik dan saran.

Biasanya kritik lebih pada tujuan menunjukan di mana kesalahannya, sedang saran lebih kepada memberi usulan solusi atau pengganti dari yang dikritisi.

Ada beberapa gaya meluruskan kesalahan orang lain yang kita kenal, misalnya, langsung menunjukkan kesalahannya, ada yang dengan sindiran, ada yang dengan permisalan, ada juga dengan gaya pertanyaan atau minta penjelasan lebih lanjut dari kesalahan yang ada.

Seharusnya, gaya meluruskan dipilih sesuai dengan gaya atau karakter orang yang diluruskan, tetapi tidak semua kita mampu menguasai semua gaya itu.

Aku paling suka dengan gaya pertanyaan, biasanya akan terjadi dialog sehat, yang diluruskan tidak merasa disalahkan, dan dia akan menemukan di mana kesalahannya dan tidak merasa direndahkan.

Mungkin yang perlu kita evaluasi dari cara kita selama ini, apa tujuan kita mengkritik? Apakah kita ingin yang bersangkutan mengakui kesalahannya dan mengakui kita benar? Atau kita ingin ada perbaikan dari kesalahan itu?

AKU DIPANGGIL DOKTER

Setengah dua malam tadi aku dikejutkan dering hp. 
Bangun mendadak membuat kepala berdenyut, ku raih hp tetap dengan posisi berbaring.

"Umi, ini Hatif." Oalah, pantes, nelpon tengah malam, mungkin dia lupa perbedaan waktu sekitar lima jam, biasanya kondisi darurat.

"Ada apa, Tif?"

"Mana Abi, Mi?"

"Kok nggak ke hp Abi, Umi masih tempat bulek, Abi tadi pulang duluan."

"Sudah aku telpon, nggak nyambung."

"Ada apa?"

"Ada masalah, temen aku kecelakaan, sepertinya agak berat masalah di sendi pinggul."

"Telpon Abi aja, sampai  bangun."

"Ya, Mi."

***

Tadi, setelah sampai rumah, kutanyakan suami tentang telpon Hatif, katanya nggak ada.

Masyaallah! Apa mungkin gangguan jaringan? Memang biasanya kalau dapat telpon dari Hatif, suaranya nggak jelas, sedang tadi malam, di tempat adik, jelas. Mungkin Hatif nelpon, tapi nggak nyambung ke hp suami. Bisa nggak ya dia mengatasi? Kasihan sekali kalau tidak berhasil.

***
Beberapa hari lalu, saat chattingan, Hatif bercerita, kalau di asrama dia dipanggil dokter.

"He he, dokter keseleo," katanya.

Alhamdulillah, semakin mantab rupanya ilmu pijat urutnya, karena sering bertemu kasus.

Berawal ketika Hatif di pondok tahfidz, saat kelas dua tsanawiyah, dia minta di ajari abinya pijat urut, karena sering, saat dibutuhkan, ketika teman atau ustadznya keseleo atau patah tulang, biasanya karena main bola atau olah raga lain, abi tidak bisa datang ke pondok karena ada urusan lain.
Untuk kasus ringan, seperti keseleo, biasanya dia atasi sendiri, sedang untuk agak berat, seperti pergeseran sendi, retak atau patah tulang, biasanya abi datang, saat menangani pasien sambil mengajari Hatif. Sedikit demi sedikit ilmu Hatif bertambah.

Saat Hatif mondok di Jakarta, setiap ada kasus berat, ditentir lewat hp, Alhamdulillah berhasil.

Ternyata, kini, di Turki pun, ilmunya berguna dan terus berkembang.

"Setiap mereka tanya bayaran, aku minta mereka mendoakan untuk kebaikanku," ceritanya.

"Barokallah, Allah sudah memberi banyak kebaikan untuk Hatif, kesempatan belajar ilmu agama, lingkungan yang baik, kesempatan melihat tempat-tempat yang indah di bumi Allah. Membantu orang yang sedang dalam musibah sebagai bukti bersyukur dan Allah menjanjikan pertolongan saat tidak ada yang bisa memberi pertolongan."  

"Amin, doakan aku terus, ya Mi," selalu itu pintanya.

"Ya, selalu," janjiku, penuh haru, karena hanya itu yang selalu dimintanya.

***
Kami berusaha membekali anak-anak dengan lifeskill dan salah satu skill yang mereka minati, dengan harapan, di manapun mereka, sebagai apapun, mereka menjadi manusia mandiri yang tidak merepotkan atau menjadi beban orang lain.

Sunday, March 30, 2014

KUMISNYA LEBIH TEBAL

"Umiii. . . !" Harish berteriak ketakutan berlari ke arahku dan langsung menyembunyikan wajah ke dalam pelukkanku. Segera kusambut dan kubelai kepalanya.

"Ada apa?"

"Ada Pakde!" jawabnya, wajahnya belum diangkatnya.

"Di mana Pakde?"

"Di depan."

"Ya sudah, kalau Harish belum mau ketemu pakde, kita ke kamar aja yok."

Kami masuk ke kamar. Setelah tenang, kutemani Harish bermain kertas, membuat kapal-kapalan.

"Harish masih takut sama pakde?" tanyaku, Harish mengangguk.

"Kenapa takut?"

"Ya takutlah.?

"Takut sama apanya?"

"Kumisnya."

 "lho, abi Harish kumisan juga, kok nggak takut?"

"Kumis pakde lebih tebal."

Aha ha ha, Harish, ada ada saja.

***

Kejadian sederhana, biasa saja, benarkah?

Takut adalah naluri manusia, yang dengan rasa takut itu manusia lebih waspada melindungi diri dari berbagai macam bahaya. Bahaya itu berbagai jenisnya, ada yang kasat mata, ada yang hanya bayangan atau prasangka, ada yang sifatnya keyakinan.
Takut terhadap hal yang kasat mata, misalnya takut panas ketika dekat api, takkut jatuh ketika memanjat, dll.
Takut pad sesuatu yang hanya bayangan, seperti ketakutan Harish dengan pakdenya, kalau dipikir, apa bahayanya kumis, setebal apapun?
Takut yang sifatnya keyakinan, misalnya takut siksa kubur, takut azab neraka, dsb. Bisa dibayangkan, alangkah arogannya manusia bila tak ada rasa takut akibat apa yang dilakukannya di dunia pasti akan mendapat balasan di akherat, tentu dia akan bersikap semau-maunya.

Di sinilah kita sebagai orang tua dituntut peka untuk bisa mengarahkan naluri takut anak dengan prporsional.


Saturday, March 29, 2014

BERMUSUHAN KARENA PARTAI?

"Nak, berhati-hatilah!" pesan seorang ibu pada anaknya.

"Kenapa, Bu?"

"Ingat Bude dan menantunya?"

"Bude Mutia dan Mas Maman?"

"Ya, mertua dan menantu bermusuhan, tidak bertegur sapa karena perbedaan partai. Waktu itu Maman mendukung partai pemerintah, karena pegawai negri, sedang Bude Mutia, mendukung partai berbasis agama. Ibu nggak ingin, anak-anak ibu bermusuhan karena partai."

"Ibu tahu kan saya aktifis partai sejak lama? Sedang kakak anggota legislatif dari partai lain, Alhamdulillah, baik-baik saja. Kami saling menghormati. Saling mengajak, tapi tidak memaksa. Hanya menawarkan dan berdiskusi. Persaudaraan kami lebih penting, Bu. Partai hanya alat perjuangan kami, bisa saja karena satu dua hal partai kami berubah nama atau strategi perjuangan, tapi kalau persaudaraan tak akan berubah."

"Alhamdulillah kalau begitu, Ibu hanya khawatir. Ibu ingin anak-anak tetap akur, saling sayang, saling tolong. Ibu sedih kalau mendengar ada orang yang ribut karena partai, bermusuhan dan putus pertemanan karena partai."

"Insyaallah hal itu tak akan terjadi, kalau masing-masing bersikap dewasa. Dapat mengendalikan emosi, karena sumber keributan bukan karena beda partai, benar atau salah, suka atau tidak suka, tapi semua tergantung bagaimana peran pengendalian emosi dalam menyikapinya."


Friday, March 28, 2014

MENJADI KAYA KARENA SAMPAH

Aaaah, lagi senang ngomongin sampah nih.

Kalau ada orang kaya karena jadi pemulung, sudah ada beberapa orang yang diangkat kisahnya.

Kalau ada orang kaya karena mengolah sampah organik menjadi biogas, pupuk organik, dsb, juga sudah ada tokohnya. Kalau penasaran pengen tau siapa orangnya, tanya saja pada om Google, mungkin dia tahu.

Bagaimana kalau orang menjadi kaya karena sampah kata-kata atau kata-kata sampah? Bagaimana rumusnya? Haaaa, penasaran kan?

Bagaimana jika kita diumpat seseorang dengan ungkapan "gembel", bagaimana agar kata-kata sampah itu menjadi bahan untuk mengeruk kekayaan?
Apa sih gembel? Bukannya gembel itu pengemis yang penampilannya me******kan itu ya?

Bayangkan! Dihadapan manusia saja kita dianggap gembel, kere, hina, bagaimana di hadapan Allah?
Jadi justru ungkapan ini bisa jadi titik balik kesadaran kita, bahwa memang kita ini tidak punya derajat, tidak ada harganya, kecuali kita bisa menghiasi diri dengan iman dan ilmu, karena yang tinggi di hadapan Allah adalah orang yang beriman dan berilmu.

Bagaimana dengan "tua bangka dan bau tanah", sampah jugakah kata-kata ini? Mungkin menyakitkan bagi orang yang selama ini banyak dibilang penampilannya lebih muda dari usianya. Tapi inipun bisa jadi titik balik, mungkin selama ini yang mengatakan usianya lebih muda bertujuan menghibur atau menyenangkan hati, sedang yang ini jujur. Memang sudah tua, sudah waktunya ingat mati, sudah bau tanah! Jadi ini peringatan dari Allah, hati-hati menggunakan waktu yang entah tinggal berapa hari, bersegera meninggalkan sikap yang banyak sia-sia, beri contoh yang muda dengan akhlak yang baik, nah satu lagi, bersegera menyiapkan buku, kan slogannya satu buku sebelum mati? Setidaknya menyiapkan bahan, kalau nggak keburu, tinggalkan wasiat, agar anak-anaknya yang melanjutkan, atau misalnya menunggu penerbit mayor harapannya tipis, ya buatlah terbitan indie, he he.

Ah, tanggung, satu lagi nih.

Bagaimana kalau ada orang muak dengan pembicaraan kita?

Huh! Makanya jaim dikit dong, biar orang nggak muak!

Ini juga alat untuk koreksi diri. Bersyukurlah kalau ada orang yang menunjukkan kemuakannya, sehingga kita bisa lebih berhati-hati, jangan sampai membuat orang lain muak, kasihankan? Kalau kita muak, sebel dengan orang lain, enak nggak? Makanya, jadikan juga ungkapan ini sebagai bahan untuk meningkatkan kekayaan kita, kekayaan kesadaraan, kekayaan hati, lapang dada dan merendahkan diri, bahwa diri ini bukan siapa-siapa, bukan apa-apa, jangan merasa lebih dari orang lain, Allah nggak suka!

SSSST, ADA MURID BINGUNG

Alkisah di suatu masa, ada seorang murid yang sedang kebingungan menghadapi gurunya.

Apa pasal?

Sang murid merasa, sedang mempraktekkan ilmu yang diajarkan gurunya sebagai tanda bahwa dia sungguh-sungguh memperhatikan ketika sang guru sedang mentransfer ilmunya.

Tapi, entahlah. Apakah sang guru sedang bermasalah dengan keluarganya atau yang lainnya, sang murid tidak tahu pasti. Yang pasti, sang guru sangat marah dengan si murid, bahkan dengan kata-kata yang hmmmm, tapi sang murid, mencoba tetap menunjukkan sikap hormat dan baktinya pada sang guru, karena sang murid mengharapkan keberkahan ilmu Allah yang sampai kepadanya lewat sang guru.

Adakah masukan untuk sang murid, apa yang seharusnya dilakukan?

Tapi jangan usulkan padanya untuk bicara pada sang guru ya, soalnya sang guru sedang tidak mau bicara dengan si murid, misalnyapun si murid memaksa untuk bicara, khawatirnya sang guru semakin murka.

#Tolong dong.

Thursday, March 27, 2014

SAMPAH KAPITALIS!

Ups! Sampah kapitalis? Apa itu?

Ini istilah yang baru ku kenal beberapa hari lalu.

Katrok ya? Mungkin!

Kalau sampah, aku tahu. Sampah itu sesuatu yang nggak diinginkan, nggak berguna dan mengotori, biasanya harus dibuang kan?

Kapitalis, ya pernah mendengar, ngerti dikit-dikitlah.

Menurut Wikipedia, kapitalisme atau kapital adalah sistem ekonomi di mana perdagangan, industri dan alat-alat produksi dikendalikan oleh pemilik swasta dengan tujuan membuat keuntungan dalam ekonomi pasar.

Sayangnya, ketika ditanya apa itu sampah kapitalis? eeeeh, kok diam saja. Nggak menjawab.

Ketika mencari di KBBI online, pun tidak ditemukan.

Ada beberapa blog yang sedikit menyebutkan dua kata itu, tapi bersama dengan kata-kata lain yang bila diuca tidak nyaman di telinga, dibaca tidak nyaman di mata, diresapi tidak nyaman di hati.

Jadi sebenarnya ini istilahnya siapa? Apa makna dan maksudnya?

#Plisss, yang tahu maksud ungkapan ini atau yang pernah mengungkapkannya, tolong jelaskan.

MEMELIHARA DENDAM

Adakah dendam yang membuat tersenyum?

Setahuku, perasaan dendam akan menimbulkan rasa amarah! Kecuali rindu dendam, ha ha ha nggak sengaja mendapatkan jawaban pertanyaan pertama.

Sssst, serius yok!

Kita biasanya akan merasakan dendam terhadap sesuatu yang menyakiti hati, membuat marah, membuat kecewa.

Dendam awalnya rasa marah yang mencabik-cabik hati, kemudian memunculkan keinginan untuk membalas orang yang menyakiti hati dengan menyakitinya juga, atau kalau bisa lebih sakit lagi.

Tapi kadang keingininan membalas dendam tak terwujud karena kurangnya keberanian atau terlalu banyak penghalang, akhirnya yang bisa dilakukan adalah mencari sebanyak-banyaknya pengikut untuk membenci orang yang didendaminya.

Benar nggak sih?

#Belajar beropini

Wednesday, March 26, 2014

KETAKUTANKU DALAM MENULIS

Ketika kita dalam keraguan, maka upaya yang dilakukan adalah mencari tahu penyebab keraguan dan mencari ilmu untuk menghilangkan keraguan tersebut.

Dalam postingan sebelumnya hal tersebut sudah aku bahas.

Selain keraguan, dalam diri ini juga ada unsur ketakutan ketika akan menuliskan sesuatu:

1. Takut tulisan itu menyakiti hati orang lain.
2. Takut tulisan itu mengajak orang lain untuk berpendapat yang keliru.
3. Takut menginspirasi orang lain untuk menjauh dari Allah.

Mungkin akan ada yang mengatakan, rasa takut itu membelunggu, membunuh kreatifitas!

Ya, mungkin! Tetapi justru aku menjadikan ketakutan-ketakutan itu sebagai alarm dan pengendali keliaranku dalam berfikir, berimajinasi, mengekspresikan emosi negatif, dan sebagainya.

Aku ingin produktif dalam menulis, tapi produktif dalam bingkai ketaatan.

Aku ingin mendapat apresiasi dalam setiap karyaku, tapi apresiasi Allah itu yang nomor satu.

KERAGUANKU DALAM MENULIS

Hampir tujuh bulan aku menulis di blog dan ku posting pada beberapa grup kepenulisan. Entahlah, apakah sudah termasuk produktif atau masih tertatih-tatih, yang jelas selama ini masih ada keraguan dalam diri untuk menulis bebas, baik secara isi maupun jenis tulisan.

Selama ini aku menulis dengan satu patokan, ada pesan yang kusampaikan dengan harapan dapat diambil manfaat dan hikmahnya oleh pembaca.

Semua jenis tulisan aku coba, tapi ya itu tadi, masih dalam langkah yang ragu,

Selama ini aku lebih sering menulis tentang opini, curahan hati, true story atau rada-rada cerpen tapi terinspirasi true story, jadi lebih didominasi jenis nonfiksi.

Meskipun kadang aku membuat tulisan yang berupa pesanan dengan tema tertentu, tetap saja idenya kuambil dari kejadian nyata yang dengan tulisan itu mengerucut pada kesimpulan hikmah yang diharapkan.

Mungkin terlambat, tapi setidaknya upaya untuk memantapkan diri dalam menulis aku lakukan dengan mencari dasar hukumnya, karena aku menulis tidak sekedar bersenang-senang atau mencari popularitas, tetapi aku ingin apa yang kulakukan selalu bernilai ibadah, agar tak ada kesia-siaan dari waktu yang kugunakan.

Di bawah aku cantumkan salah satu link yang bisa kita baca, agar ilmu itu sampai dengan seutuhnya, aku hanya menyampaikan. mungkin ada teman yang juga mengalami kegelisahan yang sama denganku.

Satu hal tentang popularitas. Aku ingin populer, ingin dikenal lebih banyak orang agar apa yang kutulis lebih banyak yang membaca, lebih banyak yang mendapat manfaat, lebih banyak yang mengambil pelajaran, terinspirasi dan termotivasi.

http://alif-belajar.blogspot.com/2012/09/fatwa-fatwa-seputar-hukum-cerita-fiksi.html


Tuesday, March 25, 2014

DEWASA ITU PILIHAN. . .WUIH!

Menjadi tua itu pasti, menjadi dewasa itu pilihan.

Basi! Eh, kenapa basi! Semua orang juga tau! Iklan itu ada di mana-mana, di TV, di spanduk, bahkan menjadi coretan ABG iseng ditembok-tembok pagar rumah orang!

Benar! Semua yang bisa bicara, dengan mudah menirukannya., tetapi apakah semua orang yang mengucapkan juga sempat memikirkan dan merenungkannya?

Tua, mengacu pada usia. Usia kita terus melaju tanpa bisa dihentikan, walaupun ada istilah mencegah penuaan, itu hanya sebatas pada menjaga penampilan agar tidak nampak seusia yang sesungguhnya, sedang usia tetap pada jalurnya.

Dewasa mengacu pada sikap diri. Dalam diri manusia ada tiga pilihan sikap diri: kanak-kanak, dewasa dan orang tua.

Dalam komunikasi kita bisa menilai, seseorang mengambil sikap diri yang mana.

Sikap diri kanak-kanak diwakili oleh sikap egois, mau menang sendiri.

Sikap diri dewasa diwakili oleh sikap memahami lawan bicara, simpati, empati dan mencari solusi.

Sikap diri orang tua diwakili oleh sikap otoriter dan merasa selalu benar.

#Tulisan ini sekedar memancing, semoga ada yang bersedia mengkajinya dengan serius berdasarkan ilmu psikologis maupun komunikasi. Pancingan ini hanya berdasarkan empiris.

JATUH CINTA? UPS!

Mengapa diberi istilah jatuh cinta? Padahal konotasi jatuh, biasanya rasa sakit. Apakah memang orang yang jatuh cinta harus siap dengan sakit? Sakit hati?
Apakah karena prosesnya yang tidak disengaja, seperti halnya jatuh? Adakah jatuh yang direncanakan?

Eh, ini ngomong apa ya? he he he, lupakan!

Yok kita bicarakan bangun cinta. Membangun sesuatu biasanya dengan perencanaan, walaupun bangun bisa juga disebabkan karena jatuh sebelumnya.

Dalam perencanaan, tentunya kita harus memilih tempat untuk mendirikan bangunan. Tempat yang akhirnya akan memberikan keuntungan dan kebahagiaan dalam hidup.

Dalam membangun, jelas kita butuh bahan dan biaya, juga waktu yang kita sediakan untuk melaksanakannya.

Dalam membangun mungkin juga dibutuhkan pengorbanan dan kesakitan juga kesabaran.

Tempat kita jatuh cinta atau membangun cinta itu bisa banyak wujud, bisa sebagai sosok manusia, ilmu, profesi, seni dan sebagainya.

Kita perlu belajar pada Rasulullah Saw, bagaimana kecintaannya pada Allah membuat kakinya sampai bengkak untuk sholat malam, walaupun beliau maksum dan dijamin surga.

Kita belajar pada Rasulullah Saw, bagaimana kecintaannya pada umat membuatnya rela berpayah-payah menyebarkan ajaran Islam.

Kita belajar pada sahabat, karena cintanya pada Allah, Rasul dan Islam, mereka berlomba memberikan yang terbaik dari diri dan hartanya.

Kita belajar pada ulama, karena cintanya pada ilmu membuatnya menghadapi segala rintangan mengelana bumi.

Kita belajar pada guru yang mulia, karena cintanya pada murid membuatnya tak pelit berbagi ilmu.

Kita belajar pada ibu, karena cintanya pada anak, sering lupa memenuhi kebutuhan dan merawat diri.

Kita belajar pada bapak, karena cintanya pada anak, kaki jadi kepala, kepala jadi kaki, banting tulang memeras keringat demi makanan halal untuk menghidupi anak-anaknya.

Kita belaar pada suami sholeh, yang rela mendinding api untuk istrinya.

Kita belajar pada istri sholihah, yang mempersembahkan kesetiaan semata untuk suami yang dicintainya dalam bingkai ketaatan pada Allah.

Perlukah kita belajar pada cinta membara sepasang kekasih yang belum halal?

Abaikan! he he.

BANYAK MEMBACA ----> BANYAK MENGUMPAT, LHO?

Membaca itu gerbang pengetahuan, dengan membaca kita bisa menyerap ilmu dan informasi tanpa merepotkan orang lain, tanpa tergantung jam pelajaran yang mengikat. Kapan kita mau, kita bisa melakukannya.

Buku adalah guru yang tidak pernah marah dan menghukum, kita bebas bertanya berulang-ulang tanpa takut dia bosan. Tanpa marah, tanpa menghukum, tanpa bosan, buku terus memberi kita pengajaran dan pengetahuan yang tidak terbatas, membentuk kita menjadi pribadi-pribadi yang lebih baik, berilmu, beradab, dan bijak.

Dengan membaca kita banyak menyerap informasi baru tentang banyak hal.

Dengan membaca kita bisa mengenal banyak karakter manusia dan sedikit demi sedikit memahaminya.

Dengan membaca kita belajar menghargai orang lain dengan segala kelebihan dan kekurangannya.

Dengan membaca kita belajar memaknai takdir, bahwasanya tak akan terjadi suatu hal tanpa izin Allah, bahwa apapun yang terjadi, kita suka atau tidak, itulah yang dikehendaki Allah, dan bagaimana sikap kita terhadap takdir itu menentukan nilai kita dihadapanNya.

Apa hubungannya dengan mengumpat?

Mengumpat berarti mengeluarkan kata-kata keji karena marah, jengkel dan kecewa. Misalnyapun ada defenisi lain tentang mengumpat, ya tidak terlalu jauh dari pengertian tersebut.

Banyak hal yang memicu kita untuk mengumpat, hal yang membuat kita marah, jengkel atau kecewa. Hal itu bisa saja berupa sikap orang lain kepada kita pribadi bahkan kepada orang lain atau kondisi yang tidak sesuai dengan yang kita inginkan.

Jika kita merasa masih termasuk yang sering mengumpat, mungkin kita perlu mengevaluasi diri, apakah masih kurang banyak membaca? Atau sudah banyak membaca tapi jenis bacaan kita bukan yang bisa menuntun ke arah yang lebih baik? Atau Banyak membaca tapi baru sekedar merangkai huruf dan kata?

Yang perlu lebih jauh kita pikirkan, apa dampak umpatan kita?

Terhadap diri sendiri, banyak mengumpat akan menurunkan nilai diri, karena secara moral dan etika, mengumpat merupakan perbuatan yang kurang baik.

Terhadap orang lain, sebuah umpatan bisa menyakiti hati dan membuat luka yang sulit disembuhkan. Umpatan juga bisa membunuh kreatifitas seseorang, walaupun untuk sebagian orang, umpatan bisa jadi pembakar semangatnya untuk membuktikan, bahwa dirinya tak layak untuk diumpat! Mengumpat juga bisa jadi mengurangi nilai keimanan kita kepada takdir.

Sebenarnya, apa yang kita peroleh dengan mengumpat?

Hanya sebuah kepuasan! Kepuasan telah mengeluarkan perasaan marah dan kecewanya! Dan sebuah pengakuan,"aku belum menjadi orang yang sabar."



MENULIS ITU . . .SESUATU BANGET

Semua yang bisa membaca, hampir pasti bisa menulis. 

Dengan menulis, kita bisa mengungkapkan rasa yang tak sanggup kita lisankan 

Dengan menulis, kita bisa menyampaikan pesan kebaikan.

Dengan menulis, kita bisa menginspirasi dan memotivasi.

Dengan menulis kita bisa menyampaikan kemarahan, kebencian, kritikan, sanggahan, dan dalam forum tertentu tulisan kita juga bisa memancing kemarahan, kebencian, sanggahan, simpati dan mengetahui jalan pemikiran pembaca, walaupuuuuun, tidak sampai tahap penghakiman. 

Dengan menulis kita juga bisa mempengaruhi, promosi dan kampanye.

Dua hari terakhir, aku mencoba menulis jenis terakhir, kampanye, ini pengalaman pertama selama tujuh bulan memposting tulisan di dunia maya.  

Bentuk tulisan yang kubuat ada tiga jenis, yang umum tentang kampanye pemilu, aku bagikan di blog, fb, twitter dan grup, jenis yang kedua, kampanye dengan menyebutkan partai, tidak terlalu menyolok dalam mengajak, hanya memberi sedikit gambaran tentang partai, aku bagikan di fb dan twitter, jenis ketiga berupa ajakan, aku sebarkan lewat inbox.

Mengapa aku bedakan dalam posting tulisan?

Ada beberapa pertimbangan:
1. Grup, milik bersama, didirikan oleh seseorang, maka aku posting tulisan yang umum, tidak menjurus pada promosi pribadi dan golongan.
2. Fb dan twitter, milik pribadi, namanya milik pribadi, hak sepenuhnya pada pemilik, mau ku isi apa, ya nggak ada masalah.
3. Inbox, rumah pribadi orang lain. Aku berani mengajak secara pribadi, ibarat sales yg menjajakan produknya ke rumah-rumah. Terserah kepada siempunya rumah, mau membeli atau tidak, tak ada paksaan.
Aku sebagai pemilik inbox, selama ini tak masalah ketika ada tamu yang datang untuk promosi, kadang aku respon, kadang aku diamkan saja, tak ada masalah.

Subhanallah! Luar biasa. Dua hari aku mendapatkan mata pelajaran yang tidak biasa.  

Bagaimana perasaanku? Jika hati ini bisa dikeluarkan, ibarat daging yang dicabik-cabik, disuwir-suwir, berdarah-darah. Hehhhhh!

Apa yang kudapat? 

Keuntungan materi? Aha ha, siapa yang mau membayarku? Ini kemauanku, kerelaanku.

Pengalaman mental! Ya, pengalaman mental!

Aku mendapatkan pengalaman, seperti apa rasanya dihujat, dicemooh, dicela, membuat orang muak!

Tapi aku juga banyak belajar tentang karakter manusia dari pengalaman langsung, tidak hanya dari buku, atau dari hasil penelitian dsb.

Memang nggak salah kalau ada yang mengatakan, menulis itu sesuatu banget kalau berani mempostingnya untuk dibaca orang banyak.

Monday, March 24, 2014

PENGARUH CARA PANDANG DALAM MENGAMBIL KEPUTUSAN

Hidup adalah rangkaian dari keputusan-keputusan yang kita ambil.

Dalam setiap fase kehidupan, kita dituntut untuk mengambil keputusan, sadar ataupun tidak.

Ketika akan makan, kita mengambil keputusan mau makan apa, beli di mana, dan sebagainya.

Mau mandi kita mengambil keputusan mau pakai baju yang mana?

Pendeknya, semua yang kita lakukan adalah hasil keputusan yang kita ambil.

Begitu halnya di masa menjelang pesta demokrasi ini. Sebagai warga negara kita mempunyai hak untuk menentukan siapa yang kita inginkan menjadi orang-orang yang nantinya diharapkan mengurus negara, sayangnya, kita dibatasi untuk memilih hanya orang-orang yang mampu memenuhi syarat sesuai aturan yang berlaku, terlepas setuju atau tidak dengan syarat-syarat dan aturan tersebut.

Satu hal yang tidak bisa kita pungkiri, bahwa kita adalah warga yang akan terimbas oleh aturan-aturan yang akan dihasilkan para pemimpin yang terpilih.

Saat ini kita tentunya sudah memikirkan, keputusan apa yang akan kita ambil dan lakukan, dan apapun keputusan kita, tentunya dipengaruhi oleh cara pandang kita terhadap politik, karena pemilu merupakan salah satu agenda politik yang menentukan seperti apa negara ini akan dikelola.

Kalau kita memandang bahwa politik semata-mata untuk mencari kekuasaan dengan segala macam cara,  yang dengan kekuasaan itu yang bersangkutan memenuhi kepentingannya, wajar kalau orang-orang yang masih mempunyai idealisme tidak ingin terjun dan ikut mencari kekuasaan itu.

Kalau kita memandang para calon adalah orang-orang yang tidak memenuhi syarat untuk menjadi pemimpin, wajar kalau malas memilihnya, tapi apa solusinya? Benarkah dari sekin banyak calon tidak ada yang layak? Apakah lebih baik kita tidak memilih atau memilih dan berusaha mencari yang terbaik dari yang kita anggap buruk? ( walaupun jika dibandingkan dengan diri sendiri, mungkin tidak berani mengatakan, "saya lebih baik dan lebih bisa memimpin."). Yang jelas, kita memilih atau tidak, pemilu tetap berlangsung, pemimpin baru akan terbentuk dan kita siap menerima kebijakan mereka.

Kalau kita memandang, pemimpin muncul dari kondisi masyarakatnya, pemimpin merupakan cermin masyarakatnya, maka kita akan berusaha memunculkan pemimpin yang mencerminkan masyarakat yang baik, dan itu ada, tapi mungkin lebih sedikit. Dan kita akan memperbanyak suara untuk calon itu.

Kalau kitta memandang sistem yang ada kurang baik bahkan buruk, maka pertanyaannya, apakah akan kita biarkan keburukan itu? Untuk mengubahnya kita butuh sebanyak-banyaknya pemimpin yang relatif lebih baik.

Kalau kita memandang, untuk mengubah keburukan dan membangun kebaikan butuh tangan kekuasaan, maka perbanyaklah kekuasaan untuk orang-orang yang menebarkan kebaikan.

Sunday, March 23, 2014

PKS, MENJUAL AGAMA?

Mungkin kita sering mendengar ungkapan berikut:

"Sudah-sudah dululah, jangan kau jual agama dengan harga yang murah, kekuasaan dunia!"

Sedih!

Sebagian masyarakat berpandangan seperti itu, mungkin karena selama ini beranggapan bahwa partai politik semata-mata untuk mencari kekuasaan, segala cara digunakan utnuk mencapainya, termasuk menggunakan simbol-simbol agama. Dan tidak mudah untuk mengubah pandangan yang sudah mengurat akar dalam darah daging selama hidup, sampai suatu saat ada kesempatan melihat suatu kenyataan, bahwa tidak semua yang terlihat sama, hakekatnya sama.

Saya bukan tokoh politik ataupun caleg dari PKS, tapi saya berkesempatan untuk bergaul dan hidup bersama orang-orang hasil didikan PKS.

Kalau ada yang berpandangan PKS menjual agama untuk ditukar dengan kekuasaan dunia, maka saya melihatnya justru dengan kekuasaan yang sedikit demi sedikit dipercayakan kepadanya, PKS lebih giat dan leluasa menjual, dalam artian menawarkan kehidupan agama yang akan menuntun kehidupan masyarakat menjadi lebih baik.

PKS lahir dari gerakan dakwah, artinya sebelum lahir PKS pun orang-orang yang berada dibelakangnya memang sudah profesinya menjual, menawarkan agama, dengan sebutan DAI, bukan untuk harga yang sedikit (keuntungan dunia) tapi untuk mendapatkan keuntungan yang besar, yang tak seorang manusiapun mampu memberikan keuntungan sebesar itu.

"Sesungguhnya Allah membeli dari orang-orang beriman, baik diri maupun harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. . ." QS At Taubah ayat 111

Dulu, sebelum PKS ada, Dai berdakwah dengan sembunyi-sembunyi, setelah ada PKS, Dai tetap berdakwah, tapi dengan kondisi yang agak lebih leluasa. Ajakan mereka tetap sama, sebelum atau sesudah ada PKS, yaitu sembahlah Allah. Jadilah manusia layaknya seorang hamba kepada Penciptanya.

Ibarat pedagang, dulu, sebelum ada PKS dai berdagang dari rumah ke rumah menawarkan dagangannya, sekarang, ibaratnya sudah memiliki toko dengan nama PKS. Lebih banyak orang yang bisa melihat dagangannya, menawarnya kemudian membeli atau meninggalkan toko tanpa membeli dagangannya.

"Lah, sama aja, tuh terbukti ada aleg dan pengurus PKS yang terlibat kasus korupsi atau asusila?"

Oke, coba jujur dan obyektif, perhatikan dengan nurani. Ketika seseorang terkena kasus hukum, maka ada dua kemungkinan, pertama memang yang bersangkutan melakukan sesuai yang dituduhkan, kedua yang bersangkutan terkena fitnah. Kemudian, ketika hukum diputuskan, juga ada dua kemungkinan, pertama hukum benar-benar ditegakkan, kedua ada mafia hukum, dan yang jelas hukum Allah akan tetap berlaku, tidak di dunia ya pasti di akherat.

Selain itu juga, kita perhatikan, apa tindakan PKS terhadap kader yang terkena kasus, pertama, yang bersangkutan mengundurkan diri dari posisinya, kedua diberhentikan, yang ketiga diproses hukum sesuai prosedur.

"Sudah-sudah, yang penting bukti, bukan janji."

Bukti? Bukti apa? bisakah kita bekerja sebelum diberi amanah, sedangkan ini urusan negara? Oke, bukti yang lain, PKS biasa bekerja di tempat-tempat yang dibuthkan, kerja yang tidak membutuhkan legalitas negara. PKS membina masyarakat dengan kajian rutin pekanannya, dengan majelis ta'limnya, dengan baksosnya, dengan tebar Qurbannya, dengan buka bersamanya saat Romadhon, dengan program beasiswanya, dengan pembinaan ekonomi keluarganya, dengan tanggap darurat bencana alamnya, dengan. .  hufff, cape nyebutinnya satu-satu.

Janji? Lah, kok nggak boleh janji? Janji ya nggak apa-apa, yang penting nanti ditepati, kan janji adalah hutang. Kalau kampanye tidak mengungkapkan visi, misi dan programnya yang dianggap janji-janji, lha terus ngomong apa? Panggung hiburan? Konser musik? Ya begitulah kampanye, tinggal masyarakat cermat mengamati dengan pandangan obyektif, jangan pukul rata dong, he he, kurang adil, gituu.

Benar! Orang-orang PKS bukanlah malaikat, mereka masih manusia yang sangat mungkin salah dalam berkata dan bertindak, tapi PKS mendidik orang-orangnya untuk bertaubat ketika bersalah dan memperbaiki diri, karena urusannya bukan lagi dengan PKS atau hukum negara, tapi dengan Allah yang tak akan luput dalam mengawasi dan menghitung.

APA YANG AKAN KU BERIKAN?

kita hidup di bumi Indonesia
kita hirup udara Indonesia
kita makan dari hasil pertanian Indonesia
kita minum air yang memancar dan mengalir di Indonesia

kita lahir di Indonesia
kita beranak pinak di Indonesia
mungkin kita mati juga di Indonesia

pedulikah kita dengan nasib Indonesia?
tak ada rasa sedihkah ketika kekayaan kita dinikmati bukan orang Indonesia?
tak miriskah kita melihat kenyataan sebagian besar rakyat tidak sejahtera?

kalau kita tidak sejahtera, bukan karena alam kita sudah miskin
tapi karena yang mengatur urusan itu tidak adil
kalau bangsa kita terpuruk dalam prestasi dunia
bukan karena bangsa kita kurang cerdas
tapi karena kurang difasilitasi
kalau akhlak bangsa ini semakin memprihatinkan
itu semua karena kurang pembinaan

itu semua adalah tugas orang-orang yang kita pilih juga
kalau kita bisa memilih dan menaikkan mereka
ditempat penentu kebijakan
maka kitapun bisa mengganti mereka
dengan memilih orang-orang yang bijak dan bisa dipercaya

nasib bangsa ini ada di tangan kita
kitalah yang menentukan siapa-siapa yang kita amanahi mengatur urusan kita
saat ini bukan bambu runcing yang akan menyelamatkan negeri ini
tapi satu suara kita yang akan andil menentukan
seperti apakah wajah negeri kita ke depannya.

jangan pernah lupakan darah leluhur kita yang tertumpah
untuk kemerdekaan negeri ini
jangan pernah lupakan semangat kakek nenek kita
berkorban apa saja untuk lepas dari jerat penjajah

tanya pada diri sendiri
apa yang akan kuberikan untuk negeri ini?

Saturday, March 22, 2014

KOK SEKARANG PKS BEDA?

 "Mi, saya perhatikan PKS semakin ke sini semakin beda dengan saat awal-awal dulu."

"Beda di mananya, Bu?"

"Dari penampilan aja beda jauh. Dulu kalau melihat orang-orang PKS langsung kelihatan orang sholih, terutama dari cara berpakaiannya."

"Maksudnya?"

"Dulu para wanitanya kalau berpakaian sederhana banget, pakai baju longgar-longgar dan tidak banyak asesorisnya, kalau sekarang hmmm nggak ada beda dengan yang lain. Banyak tabaruj!"

"Apakah semua wanitanya seperti itu sekarang?"

"Ya nggak juga sih, tapi lebih banyak yang model seperti itu."

"Mungkin karena sekarang yang ikut PKS jauh lebih banyak, dulu di awal PKS muncul, orang-orang yang mendukung adalah produk gemblengan yang sudah jadi, sedang sekarang, begitu banyaknya peningkatan jumlah pendukung, sehingga yang muncul kepermukaan bukan hanya yang sudah jadi, tapi peserta yang sedang dalam proses pembinaan dan bahkan yang belum sempat terbinapun, muncul menggunakan atribut PKS.Perjuangan kita sekarang membutuhkan banyak dukungan untuk melanjutkan dakwah di jaman yang berbeda dengan awal-awal dulu."

"Yang parah, kalau kita melihat anak-anak mudanya, jauh banget dari penampilan sholeh."

"Maksudnya Garuda Keadilan?"

"Iya mungkin, tapi kemarin MCnya bilang, GK = Gaul Kota atau Gaul Kampung, ckck ck, parah! dari gaya rambut, jenis pakaian, pilihan aktivitas, dan lain-lain, nggak ada beda dengan anak-anak yang dulu kita sebut urakan."

"PKS ada untuk rahmatan lil'alamin, unuk kebaikan semua kalangan, termasuk anak muda. Kita pernah muda, pernah merasakan gejolak yang membara. Butuh kesempatan berekspresi, berkreasi, kalau dari awal kita rekrut mereka dengan aturan-aturan ketat, jelas mereka akan lari menjauh. Bisakah kita membina mereka kalau mereka lari dan tak mau mendekati kita?"

"Jadi mereka masih dalam proses binaan?"

"Benar, coba kita butuh waktu berapa tahun untuk bisa menerapkan kehidupan yang Islami?"

"Wah, nggak kehitung tahunnya, Mi, he he he."

 "Mungkin sekarang saatnya kita harus lebih berlapang dada dengan melihat hal-hal yang kurang sreg di hati. Kita di latih bekerja hanya untuk Allah, niat ikhlas karena Allah. Untuk penyimpangan yang prinsip yang dilakukan oleh orang-orang yang sudah jadi, kita boleh protes, komplen, untuk mengingatkan, tapi untuk yang sedang dalam proses pembinaan, kita toleransi untuk hal-hal yang tidak begitu prinsip, sambil pelan-pelan kita sama-sama saling mengingatkan. Misalnya, anak-anak muda, biarlah sementara ditempat yang sesuai mereka berpakaian dan berpenampilan ala anak gaul, tapi mereka dibina untuk tidak meninggalkan sholat, tidak melakukan aksi anarkis, bahkan mereka diberi peluang untuk berkreasi, itu salah satu cara PKS mencerdaskan generasi."

"Bagaimana kabar yang mengatakan kalau PKS berkuasa, ancaman bagi non Muslim?"
 
"Insyaallah nggak bakalan terjadi. Ketika Rasulullah berkuasa, maka nonmuslim dijamin keamanannya selama mereka tidak mengganggu dan membuat kekacauan."

"Kalau mereka mengganggu dan mengacau?"

"Hukum berlaku untuk semua, Muslim maupun non muslim yang mengganggu dan mengacau."

"Mi, denger-denger ada pendukung PKS yang non muslim ya?"

"Ada, dan itulah bukti bahwa PKS bekerja untuk kemajuan Indonesia yang terdiri dari berbagai pemeluk agama. Non muslim juga makhluk Allah yang berhak untuk tinggal di bumiNya kan?"

JIWA > MASALAH = SUKSES

"Mengapa kami di uji dengan masalah seberat ini?"

"Seberat apa, Bu?"

"Bayangkan, Mi. Suami sedang dalam pengobatan, belum selesai, biaya sudah habis puluhan juta, sekarang anak harus operasi dengan dana yang tidak sedikit, sesak dada ini kalau memikirkannya."

"Masih ada lagi yang membuat berat?"

"Dalam kondisi seperti ini, masih saja ada pihak keluarga yang menyalahkan. Mereka berpendapat, cobaan ini diberikan karena kami begini-begitu yang nadanya menyalahkan kebijakan kami dalam urusan keluarga besar. Rasanya seperti tak akan sanggup saya meneruskannya. Suami sakit yang membutuhkan perawatan saya, anak di rawat di rumah sakit, belum lagi anak-anak yang masih balita, belum lagi jadwal mengajar yang tidak bisa ditinggalkan terus menerus."

"Sekarang, saat ibu mengantarkan suami terapi, siapa yang menjaga anak yang di rawat di rumah sakit?"

"Alhamdulillah, ada bibi dan saudara-saudara bergantian menjaganya."

"Anak-anak yang di rumah, siapa yang menjaga?"

"Alhamdulillah, ibu yang mengurus mereka."

"Untuk pendanaan, apa ada yang membantu?"

"Alhamdulillah, orang tua, mertua, kakak, adik membantu kami. Dari lembaga tempat suami bekerja dan tempat saya mengajar juga membantu pendanaan. Juga organisasi yang kami aktif di dalamnya, memberikan bantuan juga. Belum lagi teman-teman. Kalau tak ada bantuan dari mereka, entahlah. . . bagaimana kami membiayai semua itu."

"Selain sebagian keluarga yang menyalahkan, ada nggak sebagian yang mendukung?"

"Ada, Mi. Bahkan lebih banyak yang mendukung dan mendoakan dibandingkan yang menyalahkan dan bersikap sinis."

"Dari teman-teman, gimana? Apakah mereka banyak mendukung atau cuek?"

"Cobaan ini memperjelas, siapakah orang-orang yang tulus bersaudara dan berteman dengan kami, dan siapa-siapa yang hanya basa-basi."

"Bisa membayangkan, saat ibu dibutuhkan untuk mengatasi semua ini kemudian ibu sakit juga?"

"Ya jangan sampailah, Mi."

"Bersama kesulitan, selalu Allah sertakan kemudahan. Dalam kesedihan Allah sertakan kegembiraan, ketika kita mau menggeser sedikit sudut pandang. Ketika ibu menghadapi dengan sudut pandang ke arah cobaan dan kesulitannya, terasa berat sekali, suami sakit, anak sakit, ibu cape, pekerjaan tak bisa ditinggal, dana sempit, dan lain-lain. Tapi ketika ibu melihatnya dari sisi bantuan, dukungan dan doa orang-orang yang sayang, perhatian dan mendukung keluarga, maka ibu akan merasakan agak ringan. Jadi yang jadi masalah, bukan berapa besarnya masalah itu tapi seberapa besar jiwa kita menghadapinya. Jika jiwa kita lebih besar dari masalah yang dihadapi, maka kita akan menang, sukses dan dapat melewati masalah itu dengan baik, beda halnya jika jiwa kita kerdil, sekecil apapun masalah, akan menjadi beban yang luar biasa."


CERDAS LOGIKA MATEMATIKA


“Husna, tolong ambilin bendera di kamar atas!”
“Yang besar, sedang apa yang kecil, Mi?” tanya Husna dari kamar atas.
“Yang sedang.”
Husna turun membawa bendera yang ku maksud.
“Nih, Mi.”
“Tolong kasih ke Abi, biar sekalian di pasang di kayunya.”
“Kok nggak yang besar atau yang kecil, Mi?” tanya Husna.
“Gambarnya sama nggak?”
“Ya sama sih. Kan keren kalau bawa yang besar,” jawabnya sambil memperhatikan Abi memngikat bendera di kayu kecil seukuran tongkat.
“Kita bawa sesuatu harus disesuaikan dengan keperluannya, bagaimana cara membawanya, kekuatan yang membawanya, Husna tau bendera ini mau untuk apa?”
“Umi dan Abi mau kampanye kan?”
“Untuk apa Umi dan Abi kampanye bawa bendera?”
“Ya biar ketahuan, Umi dan Abi mau kampanye apa, identitas gitu loooo.”
“Bawa benderanya pake apa, naik apa?”
“Ya motor jadul itukan? Kecuali Abi dah beli mobil,” ha ha Husna nyindir.
“Kalau bendera Umi pegang di belakang, motor jalan, kira-kira berkibar nggak?”
“Kalau terbuka ya berkibar tertiup angin. Kan kalau naik motor anginnya lebih kenceng daripada kalau diam di  tempat.”
“Kalau benderanya tergulung ya nggak berkibar, tapi gambarnya nggak kelihatan, sedang tujuan membawa bendera supaya semakin banyak orang melihat gambar bendera ini.”jelasku.
“Apa hubungannya dengan ukuran bendera, Mi?”
“Semakin besar bendera, semakin besar kibarannya, semakin besar energi yang menarik ke belakang, semakin kuat Umi harus memegangnya, semakin lambat motor melaju karena berlawanan arah dengan kibaran bendera,” jelasku panjang lebar.
“Oo, itu tho kenapa pake bendera yang ukuran sedang.”
“Betul-betul-betul,” jawabku menirukan gaya Upin Ipin.  

Friday, March 21, 2014

MAAFKAN DITA, BU

"Umi, ada tamu," Harish berteriak dari depan, aku bergegas mengenakan gamis, kaus kaki dan jilbab, sebelum Harish teriak lebih keras.

"Silahkan masuk, Bu Miati," ternyata tetangga blok sebelah.

"Terimakasih, sebentar aja. Umi lagi sibuk?" tanyanya.

"Ada apa ya?" aku balik bertanya.

"Adik sakit lagi, padahal sudah lama nggak kambuh."

"Ibunya Dita? Bisa di bawa ke sini?" tanyaku.

"Sepertinya nggak bisa, Mi."

"Ya sudah, nanti saya ke sana, Sholat dulu, waktunya sudah masuk."

"Ya, Mi, maaf merepotkan, terima kasih sebelumnya. Oh ya, Umi perlu dijemput?"

"Nggak usah, pergi sendiri aja, kan nggak terlalu jauh."

***
Ketika, masuk rumah bu Dita, aku langsung diajak ke kamarnya. Di sana ada Dita, tiga orang ibu tetangganya dan dua anak balita, mungkin anak ibu yang hadir di situ.

Kuperhatikan ibunya Dita di tempat tidur, bernafas satu-satu sambil tangan kanannya menekan dada sebelah kiri, tampak raut mukanya menahan sakit yang luar biasa. Aku menghela nafas, sakit sekali nampaknya.

"Kepalanya sakit?" tanyaku, ibu Dita menggeleng. Selama ini ibu Dita punya penyakit kambuhan, nyeri kepala yang luar biasa. Ibu Dita pernah cerita, kalau sedang kambuh, ingin rasanya membentur-benturkan kepalanya ke tembok. Sebenarnya sudah berobat, di scan, bahkan pernah akan dioperasi, tapi bisa ditangguhkan. Memang intensitas kambuhnya berkurang, tapi tidak bisa dikatakan sembuh total.

Kuraba suhu tangan, kaki dan dahinya memperkirakan suhu tubuh. Kuperhatikan ekspresi wajahnya, periksa denyut nadi dan lidah, kemudian berbisik ke Dita yang duduk di sisinya.

"Ibu tadi barusan marah?"

Dita mengangguk. Hmmm.

"Dari jam berapa ini?" tanyaku pada yang hadir.

"Setengah tiga, Mi," jawab salah satu ibu di situ, kulirik jam dinding, hmmm jam empat.

Setelah yakin dengan diagnosa, segera kulakukan penusukan dengan jarum akupunktur. Kuambil beberapa titik tersangka, tidak terlalu banyak, sambil melihat reaksinya. Ibu Dita tampak kesakitan, lebih kuat lagi menekan dadanya. Kucabut jarum yang sekiranya membahayakan karena gerakan ibu Dita.

Kuminta yang hadir unuk menunggu di luar kamar, kecuali Dita dan ibu Miati.

Aku beralih posisi, duduk di sebelah kepalanya. Kubelai dahinya sambil berbisik.

"Ibu, tolong maafkan Dita, ikhlaskan, serahkan semua masalah pada Allah. Obatnya ada di dalam diri Ibu, perlahan hilangkan kemarahan, saya hanya membantu sedikit. Maafkan Dita, anak yang Ibu sayangi, anak yang nantinya akan mendoakan Ibu, tolong maafkan."

Aku tak sanggup menahan air mata, aku ingat saat bermasalah dengan anakku yang seusia Dita, usia pemberontak, dan itu berulang terjadi. Aku seakan merasakan sakit yang dialami ibunya Dita.

Dita segera mencium tangan ibunya, menangis tak bersuara. Ibu Miatipun tak sanggup membentung aliran air matanya.

Ibu Dita merasakan sakitnya bertambah, kulihat ada yang ditahannya.

"Ibu, keluarkan semua yang membuat sakit, menangislah. Allah Maha Pemaaf, senang dengan yang memaafkan. Istighfar, Ibu. . . Istighfar!"

Ibu Dita menangis, masih sambil menekan dadanya," Astaghfirullah. . .Ampuni aku yaa Allah..." diucapkannya itu berulang-ulang, sambil tangan kirinya membelai kepala Dita.

Aku menanti sampai gejolak jiwanya agak mereda. Hampir dua puluh menit.

"Berkurang Bu, sakitnya?" tanyaku, ia menggangguk.

"Ibu sudah kuat duduk?"tanyaku lagi, dia mencoba bangun untuk duduk, tapi terhempas lagi, sambil menggelengkan kepala, masih sambil menangis.

"Kalau tengkurap bisa? Saya mau tusuk punggung ibu, biar cepat reda, Ibu belum sholatkan? Sekarang sudah setengah lima." Ibu Dita berusaha mengubah posisinya, tengkurap. Setelah berhasil, mulai kutusuk titik-titik tersangka.

Air matanya masih menetes, matanya setengah terpejam, tapi nafasnya sudah mulai teratur.

Setelah waktunya cukup, jarum kucabut satu persatu.

"Ibu sudah boleh terlentang, bisa?"

Ibu Dita mengangguk, dan membalikkan tubuhnya.

"Masih sakit?"

"Tinggal sedikit lagi, Mi."

"Yakin?"

"Iya, Mi, terima kasih banyak."

"Sudah bisa saya tinggal?"

Ibu Dita mengangguk, mantap.

"Alhamdulillah, Allah Yang Maha Menyembuhkan. Saya pulang dulu ya, segera sholat. Kalau belum kuat berdiri, sambil duduk aja."

"Iya, Mi, terima kasih banyak.

***

Penyakit yang disebabkan gangguan emosi, lebih berbahaya dibanding karena gangguan cuaca atau kuman. Beberapa kali aku menangani kasus dengan sebab yang sama, walaupun efeknya berbeda-beda. Ada yang seperti ibu Dita, ada pingsan setelah emosinya memuncak, dan lain-lain.

Itu sebabnya dalam pengobatan, kondisi psikologis pasien harus mendapatkan perhatian dengan porsi yang seimbang.

AMBAK

Ini salah satu konsep belajar yang dikembangkan oleh Boby DePorter dengan Quantum Learningnya yang populer di tahun 90an.

AMBAK = Apa Manfaatnya BAgiKu.

Ketika kita tahu, ada manfaat dari ilmu yang akan kita pelajari, biasanya akan lebih bersemangat, antusias dan sungguh-sungguh memperhatikan.

Konsep ini sangat baik kita tanamkan pada diri sendiri, anak didik atau anak-anak kita, tidak hanya menyangkut mata pelajaran, tapi untuk seluruh aspek kehidupan.

Misalnya dalam menuntut ilmu agama, ketika kita tahu bahwa orang yang faham ilmu agama dan mengamalkannya adalah orang yang akan selamat dunia dan akherat, tentu itu memacu kita bersemangat mempelajarinya, menyediakan waktu dan biaya untuk mendukungnya, bukan sekedar kalau sempat atau kalau mood.

Kalau kita tahu, dengan bisa membaca Al Quran Allah akan membalas dengan kebaikan dari setiap huruf yang kita baca, tentunya tidak perlu malu kita mempelajarinya.

Kalau kita paham, dengan menulis banyak manfaat yang bisa kita berikan kepada orang lain dan itu akan mendatangkan pahala untuk kita, tentu tak akan segan berpayah-payah kita belajar dan berlatih menulis sampai suatu saat nanti karya kita memenuhi kriteria bagus dan disukai banyak orang.

AMBAK cukup mempan ketika kita memberikan pertimbangan pada pilihan sikap pada anak-anak kita.

PEGANG KEPALANYA


Aku kenal suasana dakwah pada tahun 1985, ketika ikut mata kuliah umum Agama Islam, sebagai mata kuliah yang harus di ambil oleh setiap mahasiswa. Dalam mata kuliah tersebut ada kegiatan ekstra kulikuler yang menyertainya dan merupakan syarat kelulusan, yaitu kegiatan mentoring.  Dalam kegiatan  tersebut peserta di kelompokkan dengan jumlah sekitar 10 orang dengan satu orang Pembina yang berasal dari kakak tingkat, tujuannya agar pembahasan dan kajian tentang Islam lebih efektif dan mendalam, dibandingkan dengan kuliah umum yang pesertanya bisa ratusan.

Kehidupan dakwah menyertai langkahku,selanjutnya walau dengan intensitas yang pasang surut. Dakwah juga yang mengantarku memasuki kehidupan berkeluarga, mempengaruhi visi misi pembentukan keluarga, mendidik anak, bahkan pemilihan profesi, hingga kini, insayallah hingga mati. Setiap keputusan yang kuambil dalam jeda jeda kehidupanku selalu mempertimbangkan factor dakwah dalam prosesnya.

Pahit manis kehidupan dalam lingkungan dakwah aku nikmati, saat kesabaran harus dibuktikan ketika merasakan beban yang tidak ringan, saat hati harus memaafkan ketika menghadapi rekan yang menyakiti, saat indah merasakan jalinan ukhuwah dalam perlanan dakwah, saat bahagia melihat perubahan pada obyek dakwah, saat air mata menggenang menyaksikan teman teman yang gugur dari jalan ini. Alhamdulillah, Allah mengizinkanku tetap di jalan ini, walaupun mungkin peranku hanya secuil dalam proses perbaikan umat, aku tak perduli. 

Walaupun posisiku tetap jalan di tempat sedangkan teman temanku sudah melesat, walaupun kadang terasa miris ketika tak ada apresiasi yang aku terima, aku tidak peduli, aku tetap di disini, karena aku di sini bukan untuk di apresiasi, bukan untuk di puji, tapi aku disini karena aku harus di sini, berputar bersama bergulirnya dakwah ini, karena aku disini bekerja untuk Allah, bukan untuk selainNya.

Berbagai jenis aktivitas dakwah aku coba jalani, sesuai kebutuhan dakwah yang melingkupiku. Ketika kuliah aku ikut menjadi mentor dan aktif di organisasi mahasiswa Islam di luar kampus. Setelah lulus dan berkeluarga aku ikut dalam aktivitas pembinaan Taman Pendidikan Al quran (TPA) termasuk membina orang tua dari murid murid TPA, kalau di butuhkan tetap masuk kampus sebagai nara sumber acara kajian buku dsb, membina Majelis Ta’lim di masyarakat, nara sumber di radio islami, lewat tulisan di bulletin, partai dsb.

Yang akan aku ceritakan ini, tentang dakwahku dilingkungan. Bagiku,yang lebih berhak merasakan kebaikan seseorang adalah orang yang terdekat dengan dirinya,yaitu keluarga dan tetangganya. Aku prihatin ketika mengetahui ada dai kondang, tetapi tetangganya tidak merasakan kedaiannya, lebih prihatin lagi kalau tetangga jadi saksi ketidak konsistenan sang dai dengan yang di dakwahkannya.

Akhir tahun 2000, Alhamdulillah kami di izinkan Allah menempati rumah sendiri, sebuah rumah tipe 36 di sebuah komplek perumahan. Setelah sedikit di permak, kami beranikan diri memasuki lingkungan baru. Baru, karena sebelumnya kami tidak tinggal di komplek, dan sebenarnya aku kurang sreg dengan suasana komplek, karena informasinya kehidupan komplek tidak nyaman, rawan gossip. Aku kepincut dengan yang ini karena posisinya dipojok. Di sebelah kananku rumah tetangga, sebelah kiri jalan, belakang rumah tetangga, depan jalan, di seberang kedua jalan tidak ada rumah, tanah kosong dan persawahan.

Setengah tahun aku belum melakukan langkah dakwah yang berarti, baru adaptasi dan memahami karakter beberapa tetangga yang sudah ada, memprediksi perkembangan komplek ke depan,melihat kebutuhan masyarakat, dsb. 

Pada saat ini aku mencari orang yang potensial mendukungku dalam langkah ke depan, Alhamdulillah, tidak terlalu sulit, Seorang istri salah satu RT, membuka warung, sering bermasalah dengan pergosipan, terkait dengan keberadaan warung tempat berkumpulnya ibu-ibu komplek. Pertimbanganku, beliau yang dilingkungan di panggil Bude, bisa menjadi corong dakwah di komplek ini, baik sebagai istri RT,atau pemilik warung.
Setelah kufahami, baru aku buat rencana, tentunya bersama suami. Aku akan membuka TPA memanfaatkan ruang keluarga yang berukuran 4 x 5 yang tidak terlalu banyak berisi perabot.

Kulibatkan Bude dalam proses pendirian TPA ini, juga ku gandeng tetangga yang juga aktivis dakwah, tetangga yang punya potensi mengajar, dsb. Setelah rencana ku susun, kubicarakan, pembagian tugas mengajar ngaji, mulailah kegiatan TPA di mulai dengan anak anak guru TPA sebagai murid, di tambah anak anak tetangga terdekat, tidak lebih dari 15 orang. Setiap hari perjalanan TPA ku evaluasi, hingga sebulan kemudian aku kumpulkan guru guru untuk minta dukungannya membentuk POS ( Pengajian Orangtua Santri}. 

Alhamdulillah mereka setuju. Langkah selanjutnya? Berjalan mulus. POS membentuk pengurus dari unsur guru dan orang tua santri, sedang aku? Diangkat jadi Pembina dan member materi kajian pada setiap pertemuan rutin POS sebulan sekali. Setelah berjalan tiga tahun, terpaksa TPA di pindahkan ke rumah guru guru, ada tiga tempat. Yah , kuanggap itu pemekaran, Alhamdulillah, TPA yang kubentuk merupakan pintu dakwah dilingkunganku, hingga saat ini. Sampai saat ini TPA terus berjalan, POS tetap berjalan, di tambah dengan terbentuknya kelompok kajian ibu ibu per RT yang pertemuannya setiap pekan, selain Majelis Ta’lim bulanan di masjid komplek.

Aku nyaman dengan hal ini, karena dakwah linkungan juga sebagai kontrol dalam kehidupanku sebagai panutan. Alhamdulillah, aku bisa memberikan manfaat ke lingkungan terdekatku, walau hanya secuil dari pernik pernik dakwah, tapi sebuah bentuk tidak sempurna kalau berkurang secuil. Semoga Allah menerima apa yang kulakukan sebagai sebuah bukti penghambaanku.


Thursday, March 20, 2014

KREATIFITAS DAUR ULANG

Sampah, yang dianggap salah satu sumber masalah besar di jaman ini, justru mrmacu kreatifitas sebagian kita.

Dulu, waktu Sekolah Dasar, kreatifitas dari sampah hanya terbatas, misalnya sampah dari bahan plastik yang  biasanya dari bahan ember atau bak mandi, di daur ulang menjadi vas bunga, dengan cara sangat sederhana.

Selain itu ada kulit bawang putih, yang dikombinasi dengan bunga kering, jadilah bunga.

Limbah bahan pakaian, dikreasi menjadi selimut, perabot rumah tangga atau sekedar keset kaki.

Nah, tadi siang, sambil lewat kutengok TV yang sedang menyiarkan peragaan busana berbahan sampah, eh maksudku limbah, dengan jenis yang berbeda-beda. Ada yang dari plastik berbagai jenis, kertas, bahkan karung goni, ck ck ck.

Bagus-bagus! Berbagai jenis model pakaian diperagakan oleh peragawati kondang yang cuantik-cantik.

Selesai mengagumi, baru terpikir, berapa biaya yang dibutuhkan untuk menyulap sampah menjadi pakaian indah? Lalu, selain di catwalk, di mana dan dalam situasi apa pakaian-pakaian itu akan digunakan?

Nggak kebayang deh, andai pakaian-pakaian itu digunakan dalam kehidupan sehari-hari ha ha, bahkan untuk menghadiri pesta sekalipun, lalu untuk apa kreasi yang membutuhkan biaya tambahan tidak sedikit itu dimanfaatkan?

#Ups, ini pikiran orang nggak kreatif ya?
 


TUTUP MATA

"Umi nih maunya nggak usah liat apa-apa, tutup mata aja," kata Hany.

"Lah, emang kenapa?" tanya abi.

"Kalau ada yang diliat, pasti jadi tulisan. Liat Harish ngiris kue, jadi tulisan. Sambil lewat, liat TV satu dua menit, jadi tulisan. Nganter Husna ke sekolah, buat tulisan dari perjalanannya."

"Ya, bagus tho?" kata abi.

"Iya sih, tapi kok bisa gitu lho."

"Mumpung ada waktu, Han. Siapa yang tau Umi masih punya berapa hari untuk menulis?" jawabku.

"Uuuh, Umi, selalu mengaitkan dengan waktu yang masih ada, masih punya jatah umur berapa, Hany kan jadi takut."

"Kenapa takut? Toh umur manusia sudah ditentukan?"

"Nggak mau ngomong lagi ah," kata Hany.

"Lho. . ." aku tak jadi melanjutkan, melihat abi memberikan isyarat untuk menyudahi pembicaraan.

Hmmm

KECERDASAN VISUAL SPASIAL

"Ya Allah, Harisssssssh!" terdengar suara Hany dengan melengking, hmmm pasti ada sesuatu. Segera kutinggalkan komputer, melihat apa yang terjadi.

"Ada apa, Han?" tanyaku, tenang.

"Liat nih, kerjaan Harish!" jawab Hany sambil cemberut. Kulihat apa yang ditunjukkannya, ha ha, pantas saja. Cake labu kuning yang baru dibuatnya, masih hangat, sudah dalam kondisi terpotong-potong.

"Nggak papa kan, Mi?" Harish mencari dukungan.

"Kali ini nggak apa-apa,  tapi lain kali izin dulu ya?" jawabku menenangkannya. Segera dia mengambil mangkuk kecil di rak piring, lalu mengulurkannya padaku, minta diambilkan potongan cake itu.

Hany masih kecewa, terlihat dari wajahnya.

"Biar aja Han, korban dikit, untuk belajar Harish, coba liat potongannya, lumayan kan? Kecerdasan apa yang baru saja dilatih untuk Harish?"

"Hmm, apa ya kemarin? kemampuan memahami gambar dan bentuk, yang contohnya arsitek?" lah, malah balik nanya.

"Visual spasial. Coba perhatiin hasil potongannya! Walaupun ukurannya tidak sama, tetapi membentuk pola yang sama, segi empat. Artinya dia ingat, pernah makan kue seperti ini dengan bentuk seperti itu. Kan nggak ada potongannya yang mnyudut lancip atau segitigakan? Apalagi bulat? Itu karena cetakannya berbentuk segi empat. Kalau cetakannya bulat dengan lobang di tengah, dia motongnya  tidak seperti ini, tapi menyesuaikan dengan bentuk cetakan."

"Iya, tapi korban. Kalau seperti inikan nggak bisa untuk tamu atau menghantar tetangga, lha potongannya nggak pantas?"jawab Hany, masih bersungut.

"Ya, lain kali aja. Yang ini kita makan sendiri, nggak terlalu banyak juga membuatnya."

Wednesday, March 19, 2014

MELATIH KECERDASAN LINGUISTIK

"Harish, mana Abi?"

"Di kamar depan, lagi belajar pake komputer," Harish menjawab sambil menatapku sebentar, lalu melanjutkan aktifitasnya, mulutnya ramai menirukan suara mobil polisi.

"Harish, tolong Umi dong?"

"Tolong apa, Mi?"

"Bilang ke Abi, nanti waktu jemput mba Husna dan mba Hafa, tolong beliin rambutan sama minuman gelas ya!"

Tanpa menunggu dua kali, Harish berlari ke kamar depan. Dengan suaranya yang lantang, aku dengar dia bicara dengan Abi.

"Abi, kata Umi, nanti pas jemput Mba Husna sama Mba Hafa, tolong beli rambutan sama. . . apa tadi ya?" Harish terdengar berhenti bicara, tiba-tiba dia sudah di hadapanku.

"Beli rambutan sama apa, Mi?" tanyanya.

"Minuman gelas." jawabku singkat, Harish berlari lagi ke depan, kudengarkan apa yang dikatakannya.

"Beli rambutan sama minuman gelas, Bi."

"Ok, bos!" jawab Abi, menggoda Harish.

"Kok bos sih? Harish, Biii!"

"Oke, Harish pinterrr," terdengar Abi meralat komentarnya.

Kemudian Harish kembali ke tempat mainnya, sambil berkata," Sudah, Mi."

"Terima kasih, ya, terus apa kata Abi?"

"Kata Abi, oke." lapornya.

Hany mendekatiku, sambil berbisik," Umi lagi melatih kecerdasan linguistik Harish ya?"

Ha ha ha, rupanya pembicaraan kemarin masih melekat di memorinya.

"Ya, tadi Umi latih memahami pesan yang agak komplek. Lumayan, sudah bisa memahami, walaupun masih ada lupanya. Kalau untuk menyampaikan pesan yang lebih sederhana, Harish sudah bagus, makanya latihannya di tambah."

"Iya, ngomongnya tambah pinter, tapi tambah pinter membantah juga," jawab Hany.

"Itu efek sampingnya, he he. Nah untuk membantahnya, pelan-pelan nanti diluruskan, menurut Umi dia belum tahu kalau itu membantah, yang dia maksudkan mengemukakan alasan, tapi caranya nggak disukai lawan bicara." jelasku.

"Kadang jengkel juga sih, Mi," sungutnya.

"Dulu waktu Hany seusia Harish sekarang, ya nggak ada beda. Tapi coba kalau Hany jadi Umi? Sekarang Hani dibantah Harish yang nalarnya beum cukup aja merasa jengkel, gimana kalau Hany, yang sudah bisa berfikir, ketika ditegur Umi karena salah, eee Hany malah membantah, pake suara agak kenceng dan wajah cemberut, gimana perasaan Hany kalau di possi Umi?"

Hmmm, Hany tidak membantah, hanya cengar-cengir malu.

"Kalau seumur Hany, masih ada latihannya ya, Mi?" tanya Hany.

"Tugas Umi kemarin sudah dibuat?"

"Yang buat proposal singkat? Tinggal dikit lagi, nanti malam Hany kasih ke Umi."

"Itu salah satu latihan kecerdasan linguistik. Waktu Hany menyampaikan keinginan, tapi nggak bisa tuntas karena keburu nangis, buat dengan tulisan. Apa keinginan Hany, apa alasannya, apa tujuannya, gimana cara mencapainya, jadi Hany tau, apa keinginan Hany itu realistis untuk kondisi kita sekarang ini, atau tidak."

"Iya, Mi, dengan menuliskan,, Hany bisa lebih merinci apa yang mau Hany sampaikan ke Umi."


Tuesday, March 18, 2014

CERDAS ITU . . .

"Mi, cerdas itu apa sih?" tanya Hafa.

"Hmm, apa ya? Husna, cerdas itu apa?" kulemparkan pertanyaan pada Husna.

"Na di utus mewakili sekolah untuk olimpiade matematika, itu karena cerdas bukan, Mi?"jawab Husna, malah balik bertanya.

"Ya, itu salah satu contoh kecerdasan logika matematika, yaitu kemampuan dalam memecahkan masalah. Orang yang cerdas logika matematikanya mampu memikirkan dan menyusun solusi (jalan keluar) dengan urutan yang logis (masuk akal). Dia mengerti pola hubungan, dia mampu melakukan proses berfikir dari hal-hal yang besar kepada hal-hal yang kecil, dan sebaliknya."

"Kalau seperti Umi, bisa bercerita dengan tulisan sehingga yang membaca mengerti, itu kecerdasan apa, Mi?"

"Nah kalau itu contoh kecerdasan linguistik, yaitu kemampuan untuk menggunakan kata-kata secara efektif, baik secara lisan maupun tulisan," jelasku. Hmm, seperti memberi kuliah saja, tapi nggak apa-apa deh.

"Mi, kalau seperti Harish, suka nonton film, terus dia bisa menirukan gerakan tokohnya, persisss banget, itu kecerdasan apa?" Ha ha, Hafa juga penasaran rupanya.

"Itu termasuk kecerdasan kinestetik/ fisik, yaitu kemampuan seseorang menggunakan tubuh secara terampil untuk mengungkapkan ide, pemikiran dan perasaan. Juga meliputi kemampuan fisik dalam bidang kordinasi, keseimbangan, daya tahan, kekuatan, kelenturan dan kecepatan."

"Seperti olahragawan, pelari, penari, itu ya, Mi?" jelas Husna.

"Ya, Husna bisa naik sepeda engan baik juga cerdas kinestetik."

"Mi, kalau arsitek cerdas di bidang apa ya?"

"Kecerdasan visual spasial, visual maksudnya gambar, spasial menyangkut ruang dan tempat. Jadi orang yang cerdas visual spasial, mempunyai kemampuan untuk melihat gambar dan ruang atau tempat secara akurat. Dia mampu mengamati warna, sudut, ruang, ukuran dan hubungan di antara elemen-elemen tersebut. Dia juga punya kemampuan untuk melihat obyek dari berbagai sudut pandang. Seorang arsitek harus bisa membuat rancangan bangunan dalam bentuk gambar dengan detil ukuran dari sudut pandang depan, samping, belakang maupun atas."

"Masih ada lagi jenis kecerdasan, Mi?"

"Masih, mau dijelasin semua?"

"Ya, Mi  Biar tau, Na cerdas di bidang apa aja."

"Ada juga kecerdasan interpersonal, yaitu kemampuan untuk mengamati dan mengerti maksud, motivasi dan perasaan orang lain. Peka pada ekspresi wajah, intonasi suara, dan gerak tubuh orang lain. Dia pandai memberikan respon secara efektif dalam berkomunikasi."

"Contohnya, Mi?"

"Misalnya, Harish melakukan kesalahan yang sebelumnya sudah diberi tahu dan tidak boleh melakukannya, kemudian Umi melihat Harish dengan sorot mata tajam, wajah kecewa dan tanpa senyum, lalu Harish menghentikan sikapnya dan mencium Umi sebagai tanda minta maaf, itu tandanya kecerdasan interpersonal Harish sangat bagus."

"He he he."

"Kenapa ketawa?" tanyaku pada Husna.

"Enggak! Emm, kadang-kadang Na tau, Umi nggak suka dengan sikap Na, tapi Na pura-pura nggak tau, dan diam aja, nggak minta maaf, nggak cerdas ya, Mi?"

"Ya ada juga sih, kan Husna tau Umi nggak suka, tapi nggak secerdas Harish, yang mengikutinya dengan sikap menghentikan perbuatannya dan langsung minta maaf."

"Masih ada, Mi?"

"Masih, selanjutnya kecerdasan intrapersonal, kemampuan yang berhubungan dengan kesadaran dan pengenalan tentang diri sendiri. Dapat mengetahui kekurangan dan kelebihan diri. Mampu memotivasi dan mendisiplinkan diri. Orang seperti ini akan berusaha menjaga nilai, etika atau sopan santun dan.moral. Dia tidak mau melakukan pelanggaran terhadap aturan yang akan membuat nilai dirinya berkurang."

"Misalnya tidak mau berbohong atau mencuri, Mi?"

"Pinter! Itu salah satu contoh, atau misalnya nih, mba Hany kan sudah remaja, dia tau kalau pacaran itu dilarang, maka dia akan menjaga diri tidak melakukan itu. Misalnyapun dia suka sama teman laki-lakinya, dia akan menyimpannya rapat-rapat, tidak menyampaikan atau menunjukkannya pada orang lain."

"Kok contohnya Hany sih, Mi?" ha ha, Hany protes, dia tau sedang kusindir. Maklumlah, remaja sekarang lebih ekspresif dibanding jamanku dulu.

"Lho, kan contoh? Semoga Hany tidak seperti itu," jawabku sambil berharap, Hany mengerti maksudku.

Hmm, sebagai orang tua dengan enam  orang anak, harus siap menghadapi enam karakter yang berbeda-beda, sikap yang harus disesuaikan, sedang kesabaran kadang entah menguap ke mana. Di jaga seperti apapun, sulit mengharapkan suasana rumah selalu tenang, ada saja salah sikap yang menyebabkan hati kecewa, ngambek, marah dan sebagainya.

"Mi, kalau penyanyi itu cerdas apanya?" Hafa penasaran juga rupanya.

"Kecerdasan musikal, kemampuan menikmati, membedakan, mengarang dan mengekspresikan bentuk-bentuk musik yang meliputi ritme, melodi dari musik yang didengarkannya."

"Keluarga kita sepertinya nggak ada yang cerdas musikal deh," Husna nyeletuk.

"Ha ha ha, nggak ada keturunannya. Umi, Abi kalau nyanyi lempeng, nggak bisa belok," kami terbahak.

"Tapi mas Hatif kalau tilawah bagus, Mi? Beberapa nada qori bisa ditirunya, itu musikal juga kan?" kata Hany.

"Ya, Hatif punya kecerdasan musikal, kalau adzan juga enak dengernya, beda sama Abi," kembali kami tergelak, ingat kalau Abi adzan di masjid, dari takbir pertama langsung ketahuan.

"Kecerdasan naturalis. . ." belum selesai aku bicara, Hany langsung menyahut sambil mengacungkan jari, ha ha seperti sedang di sekolah.

"Hany tau, ciri-cirinya yang senang dengan alam kan, Mi? Misalnya, Hany suka main ke sawah cari keong emas, yang dulu itu lho Hus, yang kita ke sawah waktu musim tandur."

"Ooo, yang terus kita bersihin sendiri, terus kita masak sendiri itukan?" Husna menimpali.

"Ya, itu salah satu contoh kecerdasan natural, kemampuan manusia untuk mengenali hewan, tanaman dan lain-lainnya di alam."

Kuhela nafas, lumayan juga kuliah hari ini, he he he.

"Kecerdasan eksistensial, yaitu kemampuan menempatkan diri dalam alam yang luas, jauh tak terhingga dan menghubungkannya dengan kehidupan sesudah mati."

"Adalagi kecerdasan spiritual, yaitu kemampuan manusia mengenal tuhanNya, meyakini keberadaannya serta melakukan segala perintahNya."

"Mi, kalau kecerdasan emosional?" tanya Hany.

"Ya, agak mirip dengan kecerdasan intrapersonal, bagaimana kemampuan seseorang mengelola dan mengendalikan emosinya."

"Oh, kalau begitu nggak ada manusia yang nggak cerdas ya? walaupun nggak semua, setidaknya adalah satu atau dua kecerdasan dalam diri seorang manusia." Husna mencoba menyimpulkan.

"Itu sebabnya jangan suka mengatakan orang lain nggak cerdas, atau yang lebih kasar dari itu, karena setiap manusia punya kecerdasan yang berbeda-beda."

"Mi, siapa manusia paling cerdas?" tanya Hafa, sontak Hany dan Husna menengok ke Hafa, mungkin nggak menyangka kalau Hafa akan bertanya seperti itu.

"Wah, pertanyaan cerdas!" pujiku, ehem, Hafa tersipu malu.

"Dalam Al Quran surat Ali Imron ayat 190-191 disebutkan, orang yang cerdas itu selalu mengingat Allah dalam keadaan berdiri, duduk maupun berbaring.  Selain itu ada juga hadist yang mengatakan orang yang cerdas itu yang paling banyak mengingat kematian dan memperbanyak bekal ke akherat."

"Mi, kecerdasan itu asli dari Allah apa bisa dilatih?" tanya Hany.

"Modalnya dari Allah, tapi pengembangan dan peningkatannya dengan dilatih."

"Gimana melatihnya, Mi?" tanya Husna.

"He he, lain kali Umi jelaskan ya, Umi cuaaapek."

"Huu, Umi." he he serempak mereka protes.

***


@ "Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan pergantian malam dan siang, terdapat tanda-tanda kebesaran bagi orang-orang yang berakal.(yaitu orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri, duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): ya Tuhan kami, tidaklah Engkau ciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka lindungilah kami dari azab neraka." terjemah AQ surat Ali Imron ayat 190-191.

@ Dari Ibnu Umar Ra, dia berkata: suatu hari aku duduk bersama Rasulullah Saw, tiba-tiba datang seorang lelaki dari kalangan Anshor, kemudian dia mengucapkan salam kepada Nabi Saw dan bertanya."Wahai Rasulullah siapakah orang mukmin yang paling utama?" Rasulullah menjawab."Yang paling baik akhlaknya." Kemudian dia bertanya lagi,"Siapakah mukmin yang paling cerdas?"Beliau menjawab,"Yang paling banyak mengingat mati kemudian yang paling baik dalam mempersiapkan kematian tersebut, ituah orang yang paling cerdas." HR Ibnu Majah, Thabrani dan Al Haitsamy.

.







Monday, March 17, 2014

CERDAS NGGAK MESTI BERDUIT

Ha ha ha, apa hubungannya cerdas dengan berduit?

Lah, hubungan mah gampang, bisa dijalin sesuai pesanan, he he he.

Bercandaaa!

Yuk, serius!

Kita sudah mahfum, orang disebut cerdas biasanya karena dia pandai memecahkan masalah, mencari jalan keluar saat kesulitan, berfikir lebih atau berbeda dari umumnya orang lain, berfikir out of the box, istilah kerennya.

Logikanya, orang cerdas pandai membaca peluang, hal-hal apa saja yang mendatangkan duit, bagaimana cara merealisasikan cara mendatangkan duit yang orang lain tidak memikirkannya atau bagaimana caranya memanfaatkan situasi untuk mencetak duit, dll.

Tapi pada kenyataannya orang-orang yang kelihatan cerdas, kreatif, pandai mencari solusi, berfikir dengan sudut pandang yang berbeda, nggak semuanya sukses menjadi orang kaya, banyak duitnya.

Kok bisa ya? Tak adakah hubungan antara kecerdasan dan tingkat kekayaan?

Hmmm sepertinya ada sambungannya nih!

INSPIRATOR

4 Agustus 2013

"Ini, Mi, blognya udah jadi." kata anak sulungku.

"Umi udah bisa pake?"

"Sudah, sini deh aku ajarin gimana ngoperasiinnya."

Setelah tentir singkat, agak deg-degan juga aku membuat tulisan di blog baru.

"Bagusnya Umi buat beberapa tulisan di dokumen, kalau pas lagi ada ide. Trus postingnya sehari satu, jadi kalau pas nggak ada ide, atau Umi nggak sempat nulis, sudah ada simpanan. Usahakan setiap hari posting, jangan sampai mengecewakan pembaca yang menunggu-nunggu tulisan Umi. Aku sih optimis, insyaallah banyak yang suka dengan tulisan Umi." anakku memberi saran, sambil menemani posting pertamaku.

Minggu pertama aku taat dengan sarannya, tapi minggu kedua dan seterusnya, ha ha, aku nggak tahan kalau posting sehari sekali, simpanan sudah menumpuk. Kalau toh ada beberapa hari yang kosong, tidak ada postingan, bukan karena tidak ada ide, atau simpanan naskah habis, tetapi lebih pada gangguan teknis, seperti terlambat mengisi pulsa modem.

Lebih parah lagi setelah gabung di Komunitas Bisa Menulis, ck ck ck, benar-benar seperti anak yang baru bisa naik sepeda, tidak mau berhenti kalau belum hari gelap.

Mungkin ada yang bertanya, dari mana idenya, kok nggak habis-bahis?

Nah, itu dia, aku juga agak heran? Tapi setelah kupikir-pikir, ternyata ide itu tak habis-habis karena sumbernya banyak, ya, banyak dan itu tidak perlu kucari, karena dia ada di sekitarku.

Enam orang anak, itu jawabannya.

Anak-anakku, kalian adalah inspirator! Tak kan cukup waktu Umi untuk menulis cerita tentang kalian.

HANYA SATU TUGAS ISTRI


Dua puluh dua tahun tentunya bukan waktu yang sebentar untuk memahami seseorang luar dalam. Dan itu kesimpulanku tentang perjalanan kehidupan kami merenda kasih sebagai suami istri.

Suamiku bukan tipe romantis, yang mudah mengucapkan kata cinta, apalagi memberi hadiah setangkai mawar sebagai ungkapan cinta atau maaf ketika melakukan kesalahan atau menyakiti hatiku.

Bukan juga yang suka obral janji atau suka memuji-muji.

Di awal pernikahan aku sempat kecewa, karena pernikahanku tak seindah yang kubayangkan sebelumnya, seperti yang kubaca di novel-novel percintaan. Tapi aku berusaha untuk menerima kondisi itu dan melupakan angan-angan yang pernah kuukir sebelumnya.

Aku menikah tanpa pacaran atau pedekate sebelumnya.

Aku menikah bukan karena mencintainya dan sepertinya dia juga begitu.

Aku menerimanya karena percaya pada yang merekomendasikannya.

Aku menikah karena ingin segera mewujudkan impianku berkeluarga dengan dasar nilai-nilai Islam.

Aku menikah karena ingin segera memulai proses pembentukan generasi robbani.

Dan aku harus mempersiapkan diri dengan segala kemungkinan model lelaki yang menjadi suami.

Dia takdir pilihanku, dan harus menjalaninya sekemampuan yang kumiliki.

TERNYATA SUAMIKU HANYA GURU TPA

Sebelum menikah, memang aku tak pernah berkomunikasi verbal dengannya. Semua informasi tentangnya hanya kuperoleh dari senior yang merekomendasikan, dan sebagai perempuan jawa, hal-hal yang bersifat materi tabu untuk ditanyakan. Sayangnya sang senior tidak memberitahukan padaku, apa profesi calon yang diajukannya. Aku hanya menduga berdasarkan pendidikan terakhirnya, FKIP D3 Bahasa Indonesia.

Di hari ketiga setelah pernikahan, di saat saudara handai taulan sudah kembali ke kotanya masing-masing, saat kami bisa mengobrol saling mengenal lebih dalam.

“Mas, ngajar di mana?” kubuka percakapan tentang profesinya.

“Mas ngajar TPA,” jawabnya.

“TPA apa sih Mas?” tanyaku lugu, aku memang benar-benar belum tahu. Tahun 1991 TPA belum semarak sekarang.

“Taman Pendidikan AlQuran,” jawabnya singkat.

“Setingkat apa itu Mas?” ck ck ck lugunya diriku saat itu.

“TPA bukan pendidikan formal, Nduk. Itu nama lain dari tempat belajar baca Al Quran seperti di masjid dan mushola, tapi menggunakan metode yang berbeda dan dikelola dengan lebih baik lagi. . .” dia menjelaskan panjang lebar tentang profesinya.

Tetap saja aku belum berani bertanya, berapa gajinya dan sebagainya, biarlah, yang jelas aku yakin, sebagai orang beriman dia akan menafkahiku dengan yang halal dan thoyyib.

AKU TAK AKAN PERNAH MARAH PADAMU

Kehidupanku berjalan seperti pada umumnya aktifis dakwah, tak ada kemewahan, yang ada bagaimana bekerja keras memenuhi nafkah keluarga tanpa meninggalkan kegiatan-kegiatan dakwah..

30 Mei 1993

Anak pertama kami lahir, sayang, Allah belum mengijinkan kami mengasuhnya. Saat-saat yang sangat mengharukan, bagaimana kami saling menguatkan.

Aku mengkhawatirkan suami, lebih-lebih suami. Kami berburu cepat menghibur, tapi aku mendapat kesempatan lebih dulu menunjukkan ketegaran.

Saat dia masuk ruang persalinan, aku sedang dibersihkan oleh bidan setelah bayi keluar.

“Mas, sabar ya,” hiburku tanpa setetes air mata pun, aku juga heran, bisa setabah ini.

“Ya ya ya,” hanya itu yang mampu diucapkannya.

Sebulan setelah kelahiran anak pertamaku, saat ngobrol santai, ada ungkapannya yang membuatku begitu terharu.

“Menyaksikan perjuangan Nduk melahirkan anak kita, Subhanallah. Sejak saat itu Mas berjanji, nggak akan pernah marah sama Nduk.”

Allahu Akbar!

Dan janji itu dia buktikan sampai sekarang, tak pernah marah padaku. Yang kumaksud marah di sini adalah membentak dan yang lebih dari itu. Kalau ada yang tidak disukainya dari sikapku, dia akan mengatakannya, dan bila tak juga ada perubahan, dia akan mengurangi bicara.

TUGAS ISTRI HANYA SATU

Penghasilan sebagai guru TPA jelas tidak mencukupi untuk kehidupan kami yang sudah mempunyai anak. 

Memang aku Sarjana Pendidikan, tapi aku sudah meniatkan tidak akan bekerja di luar rumah demi anak-anakku, dan suami mendukung. Bagiku, tugas utamaku sebagai seorang istri dan ibu bagi anak-anak tidak akan sempurna jika aku harus bekerja di luar rumah dengan jam kantor yang harus kujalani.

Selain membantu  suami mengajar TPA, aku juga menerima jahitan, terutama baju seragam anak-anak TPA dan pesanan orang tua santri TPA.

Setelah melahirkan anak ketiga, tahun 1997, aku mulai menangani konveksi partai besar. Melayani pembuatan seragam Sekolah Dasar Islam dan beberapa TPA di daerah, terkait tugas suami yang sering mengisi pelatihan metode membaca Al Quran Sistem Iqro.

Tenaga kerja yang membantu saat itu sampai duabelas orang, dengan berbagai sistem. Ada yang inggal di rumah, ada yang datang pagi pulang sore, ada juga yang hanya mengambil bahan yang sudah dipotong dan dijahit di rumah masing-masing.

Sebanyak apapun pesanan, untuk memotongnya tetap aku sendiri yang melakukan, karena kecermatan menghitung dan cara memotong sangat menentukan keuntungan yang diperoleh.

Mengurus bayi, memotong bahan, deadline, itu hal-hal yang sering jadi tekanan dan membuatku sering kelelahan. Akibatnya?

“Nduk, Mas menikah dengan niat menjadikan Nduk sebagai istri di dunia dan di surga, insyaallah. Maka tolonglah saling bantu.” Katanya di suatu malam.

Aku belum mengerti apa maksudnya, aku diam membisu. Adakah kaitannya dengan sikap engganku memenuhi keinginannya? Malam itu aku merasakan sangat lelah, seperti malam-malam sebelumnya, karena mengejar deadline pesanan seragam sebuah sekolah.

“Mas ngerti banget, Nduk lelah dengan segala tanggung jawab yang semakin ke belakang semakin meningkat. Mas minta maaf, karena belum bisa memenuhi nafkah keluarga sendirian, yang menjadi tanggung jawab sebagai pemimpin keluarga, sehingga Nduk ikut-ikut mengerjakan yang seharusnya jadi tanggung jawab Mas.”

Aku masih tekun mendengarkan sambil menyusui bayi.

“Mas tidak menuntut yang banyak, Mas rela jika Nduk nggak sempat masak, kita makan beli makanan matang, Mas juga nggak menuntut rumah harus selalu rapi, juga nggak masalah kalau Mas yang harus belanja dapur atau mencuci dan menyetrika, karena memang bagi Mas, itu semua bukan tugas pokok seorang istri. Satu saja yang Mas harapkan, jangan pernah menolak ketika Mas membutuhkan, terlalu berat bagi Mas harus menahannya. Di luar sana begitu banyak pandangan yang mengganggu, dan hanya satu yang bisa Mas lakukan, kembali menghampiri Nduk. Jadi tolong, untuk urusan yang satu ini, bantu Mas ya?”

Aku tak tahan lagi, aku menangis sejadi-jadinya, kupeluk suami dengan erat, aku benar-benar khilaf, aku minta maaf sebesar-besarnya. Aku mohon ampun kepada Allah, aku bertaubat.

Ya Allah, aku hampir saja menjadi istri durhaka untuk seorang suami yang begitu menyayangiku. Ampuni hamba ya Allah.

Dan sejak itu aku berjanji, tak akan pernah menolaknya, selelah apapun. Aku sadar, begitu beruntungnya mempunyai suami yang tidak banyak menuntut, hanya satu yang dimintanya, dan itupun tidak sulit aku memenuhinya. Dia lelaki normal, tidak hiper, apalagi alasanku? Sejak itu aku berusaha menata hati, ketika dia menginginkan, aku usahakan untuk ikhlas melayaninya, toh ini ibadah yang penuh berkah.

Apa yang dijanjikan selalu ditepati, dia tidak pernah memarahiku hingga saat ini. Diapun tak pernah memprotes segala kekuranganku untuk urusan rumah tangga, kalau dilihat ada yang tak beres, maka akan dikerjakannya atau meminta anak-anak untuk membereskannya.

Aku benar-benar dimanjakan, terutama untuk urusan spesialnya. Pagi hari saat aku dibangunkan, sudah tersedia air hangat untuk mandi wajib. Setelah mandipun selalu disempatkan memoleskan minyak penghangat di tubuhku supaya tak kedinginan.

Subhanallah, maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang hendak engkau dustakan? Tidak ada ya Allah, aku bersyukur atas nikmat suami sholeh yang telah Kau berikan untukku. Berkahilah pernikahan kami ini sampai di surgamu nanti, bersama anak-anak sholeh-sholehah yang telah Kau titipkan pada kami.

Amin.