Thursday, January 30, 2014

PENASARAN = KUNCI PEMBUKA ILMU

Koq bisa?

Ya bisa, he he khusus untukku.

Kalau ada yang sependapat, silahkan.

Andai ada yang keberatan, abaikan.

Sederhana koq logikanya.

Rasa penasaran mendorong kita ingin tahu tentang sesuatu.

Rasa ingin tahu membuat kita bernafsu bertanya dan mencari informasi tentang yang membuat kita penasaran.

Yang tadinya tidak tahu, kemudian dengan informasi yang didapat menjadi tahu, itu berarti ada transfer informasi yang biasanya berupa ilmu.

Dengan sedikit informasi yang kita dapat, manusiawi kalau kita ingin mendapat lebih banyak lagi.

Gabung di KBM membuatku semakin liar dengan rasa penasaran yang terus tumbuh, karena rasa penasaran yang kutumpahkan di wall KBM akan mendapat sambutan hangat dari anggotanya.

Contoh, sekarang aku lagi penasaran niiiih! Selama lima bulan sering posting di KBM ( eh sebentar, sepakat nggak kalau tiap hari posting disebut sering?) komentar yang sering kudapat : bahasanya sederhana, terharu, hiks ikut nangis umi, dll.

Terlepas dari typo dan kesalahan eyd, yang bisa diperbaiki sambil jalan, aku ingiiiiin sekali tahu pendapat para pembaca tulisan-tulisanku, terutama dari sisi ide atau tema yang sering jadi bahan tulisanku.

Tujuanku? Mencari tahu di mana kekuatanku dalam menginspirasi dan kelemahanku dalam menyampaikan ide.

Begituuuuu. Siap bantu?

TENTANG NAMA

Setiap nama punya cerita.

Mengapa perlu nama? Apa arti sebuah nama?

Tentu saja sebuah nama sangat berarti dan setiap sesuatu yang berarti harus bernama.

Bayangkan bila tak diberlakukan nama di dunia ini, bagaimana kita bisa membedakan setiap benda?

Bagaimana kita bisa memanggil seseorang tanpa yang lain merasa dipanggil?

Sekarang tentang nama seseorang.

Nama biasanya di dapat dari orang tua, yang memberi nama anak dengan alasan tertentu.

Alasan itu bisa jadi sekedar memberi tanda bahwa anaknya yang ini namanya ini supaya tidak tertukar dengan anaknya yang lain.

Mungkin juga nama punya kenangan yang berkaitan dengan peristiwa atau waktu tertentu, contoh: anak yang lahir di bulan Desember diberi nama Desi, atau anak yang lahir tahun 1998 diberi nama Krismon (ada nggak ya?) karena bersamaan dengan terjadinya krisis moneter.

Bisa juga nama karena ingin mengukir kenangan, misalnya, menggabungkan dua nama orang tuanya.

Nah, yang sesuai dengan anjuran Rasulullah, memberi nama yang berarti doa.

Bagaimana dengan namaku?

Pernah kutanyakan pada bapak, apa arti namaku?
Apa alasan memberi nama seperti itu?
Karena teman-teman seangkatanku, yang orang jawa biasanya nama depannya pakai Su-, yang katanya artinya baik, atau ciri bahasa Jawa berakhiran -yem, atau yang agak kearab-araban berakhiran -ah, Sedang aku hanya punya satu ciri, akhiran -ti yang menunjukkan nama perempuan, yang pasangannya, untuk nama laki-laki berakhiran -to.

Alkisah, he he, bapak memberi nama Neny karena aku lahir hari Senin Pahing (nyambung nggak ya?) sedangkan Suswati, karena waktu aku lahir, tahun 1965, banyak wanita-wanita yang jadi sukarelawati. Yang belum ngeh, baca sejarah dulu! Tapi karena anak bung Karno sudah ada yang namanya Sukmawati, gengsilah mau pake nama itu, jadilah sedikit modifikasi, jadi Suswati.

Percaya nggak percaya, tapi aku cenderung nggak percaya, bathinku, "Eleeeh, paling bapak waktu aku lahir lagi ngfans sama artis Neni Triana." (Husss, nggak sopan).

Tapi aku senang dengan namaku, terdengar indah di telinga (wk wk wk), terserah apa artinya, setidaknya sebagai penanda, namaku bagus, walau kadang suka berfikir, kalau nanti aku punya cucu, pantes nggak ya di panggil "Mbah Neny?" Uhhh yakin banget umurnya sampe nenek-nenek.

***

Setelah berkeluarga, aku punya konsep sendiri dalam penamaan anak-anak yang jumlahnya enam orang hidup. Eh jangan, tertawa, aku bilang hidup karena memang ada anak-anakku yang lahir meninggal.

Mau tahu? Nih terutama calon orang tua, boleh diikuti kalau memang bagus.

Bagi kami, aku dan suami, nama akan berkaitan dengan konsep diri anak, jadi pilih nama yang anak tak akan malu menyandangnya.

Selain itu, nama juga doa, harapan yang kita sematkan pada setiap anak, tentu, doa yang baik-baik, kalau doa nggak baik namanya kutukan, hiiii!

Dalam memberi nama, kami juga berdasarkan konsep keadilan, agar tak ada perasaan iri diantara mereka karena merasa diperlakukan tidak adil dalam memberi nama.

Enam orang anak kami, kalau disingkat akan berinisial MHA, unsur keadilan terpenuhi, sampai sampai ada beberapa teman menjuluki keluarga kami dengan sebutan keluarga MHA atau Dinasti MHA.

Masih unsur keadilan, semua anak laki-laki (tiga orang) nama depannya Muhammad, sedang anak perempuan Maritsa. Hal ini juga membantu teman-teman yang lupa satu persatunya anakku, sehingga menutup malu, mereka bisa memanggil semua anak lelakiku dengan Muhammad dan anak perempuan dengan Maritsa, pasti nggak bakal salah.

Untuk panggilan di rumah, semua anak kupangil dengan nama tengah, yang diawali huruf H.
Misalnya di sekolah/ lingkungan mereka ingin dipanggil dengan nama depan atau nama belakang, kami tidak melarangnya, hak mereka.

***

Anakku yang kedua pernah cerita, ketika suatu hari dia mengenalkan adik sepupunya pada ustadz yang sudah akrab dengannya.

"Ustadz, ini adik saya."

"Siapa namanya?"

"Abi Taufiqqurahman."

"Nggak percaya kalau ini adik kamu"

"Koq nggak percaya Ustadz?"

"Kalau adik kamu pasti namanya kalau disingkat MHA."

"He he he iya Ustadz, ini adik sepupu."

***

Tuesday, January 28, 2014

BUNGA KOL

"Mamak masuk rumah sakit," kata Mas Rosyid, setelah mengucap salam.

Aku tidak terkejut, karena sudah menduga akan seperti ini kelanjutannya. Kuambil tas yang dibawanya dan meletakkan di rak.

"Kapan Mas?" tanyaku, sambil menyiapkan makan malam.

"Tadi malam, benjolan itu pecah dan mengeluarkan darah."

"Bagaimana rencana kita?"

"Besok, pagi-pagi kita ke rumah sakit, melihat kondisi, baru kita bisa buat rencana bagaimana kelanjutannya."

***

Esok paginya kami berangkat ke Metro, ke Rumah Sakit Islam dimana Mamak, ibu dari Mas Rosyid, suamiku, di rawat.

Di sana sudah berkumpul nenek, paman, bibi, mas Syamsu dan adik Rahmat.

Kuhampiri mamak yang terbaring lemah dan hanya mampu tersenyum tipis menyambut.
Trenyuh! Aku tak dapat membayangkan apa yang dirasakannya dengan benjolan sebesar bunga kol di leher kanannya.
Begitu cepat benjolan itu membesar dan kini pecah, teksturnya seperti bunga kol, tapi warnanya merah tua, seperti daging kornet, dan aromanya. . .maaf, sangat tidak sedap. Untunglah ruangan diberi pengharum, cukup lumayan untuk menutup aroma tak sedap tersebut.

"Bapak mana Mat?" kutatap wajah Rahmat yang terlihat sedih.

"Ke pasar Mba," jawabnya sambil membuang pandangannya ke luar jendela.

Sejak tak lagi menggarap sawah, bapak membuka kios di pasar untuk usaha pangkas rambut. Sudah berjalan sepuluh tahun belakangan, sedang sawah satu hektar jadi urusan Mamak dan adik adik mas Rosyid.
Bapak tak mau lagi menggarap sawah setelah aktif ikut salah satu aliran thoriqot yang ada di daerahnya, alasannya, kalau masih menggarap sawah, badan terlalu cape dan tidak bisa khusyu ibadah di malam hari. Bapak juga menjalankan salah satu amalan thoriqotnya, puasa setiap hari.

Setelah dimusyawarahkan, akhirnya diputuskan, aku menjaga Mamak selama dirawat bersama nenek, paman dan bibi secara bergantian.

Nenek, ibu dari Mamak ingin mendampingi putri satu satunya, sedang kakek di rumah diurus salah satu cucunya.

Paman, sebagai tukang bangunan, sedang tidak ada job, jadi bisa full menjaga mamak, kakak satu satunya.

Bibi, istri paman, juga bisa full, karena anak anak sudah besar, bisa mengurus dirinya sendiri.

Mas Syamsu harus kembali ke Kota Agung, tidak bisa meninggalkan pekerjaannya sebagai PNS, sedang istrinya mengurus anaknya yang masih bayi.

Mas Rosyid harus kembali ke Bandarlampung, tugasnya sebagai guru tak mungkin ditinggalkan.

Aku yang dianggap paling mungkin, pekerjaanku sebagai penjahit di rumah tidak begitu terpengaruh jika kutinggalkan. Ibu juga tinggal di Metro, tak jauh dari rumah sakit.

Setiap pagi aku datang ke rumah sakit, giliran menjaga Mamak sambil membawa makan siang untuk paman dan bibi atau nenek. Kalau aku datang, maka salah satu, nenek atau bibi berpamitan pulang untuk melihat kondisi rumah dan beristirahat, paman tetap tinggal, siaga jika ada keperluan yang harus di ambil atau dicari di luar Rumah Sakit.

Ketika aku datang, Mamak sudah dimandikan dengan lap basah oleh bibi atau nenek. Aku tinggal melanjutkan, membersihkan bunga kol dengan cotton bud. Kubersihkan seripihan serpihan yang hampir lepas, agar tak tercecer di bantal.

Kami menyebutnya bunga kol, karena bentuknya menyerupai, juga menghindari ungkapan yang bikin miris siapa yang mendengarnya. Benar, mamak menderita kanker stadium lanjut, yang tidak mungkin dioperasi lagi. Tindakan lainpun menurut dokter sudah tidak efektif, justru kasihan dengan beliau bila dipaksakan. Informasi yang kami dengar dari orang lain yang pernah kemoterapi, sangat menyakitkan, membuat keluarga kasihan dan tak tega dengan kondisi mamak.

Mamak tak banyak bicara, bila kutawarkan sesuatu hanya mengangguk atau menggeleng lemah, tapi tetap berusaha menghadirkan senyum. Sambil membersihkan bunga kol, aku berusaha terus bicara, walaupun tidak mengharapkan jawaban mamak. Bicara tentang banyak hal, tentang kasih sayang Allah, tentang pembersihan dosa bagi orang-orang yang sabar dengan sakitnya, tentang anak-anak yang menyayangi mamak dengan caranya masing-masing, tentang makbulnya doa orang-orang yang sedang sakit, kesempatan orang yang sakit mendoakan orang lain, tentang keutamaan orang yang memaafkan walaupun yang bersalah tidak minta maaf  dan lainnya yang tujuannya memberi ketenangan pada mamak.

Setelah selesai membersihkan bunga kol, selalu kutawarkan pada mamak,"Ngaji Mak?" Beliau selalu menganggukkan kepala. Kemudian aku tilawah Al Quran dengan suara perlahan, cukup didengar oleh  mamak. Walaupun selalu dijawab dengan anggukan kepala, tetapi aku selalu menawarkan terlebih dahulu, aku tak ingin mengganggunya kalau memang sedang tidak ingin mendengar tilawah.
Beberapa saat mendengar tilawah, biasanya mamak tertidur.

Saatnya sholat, aku bantu mamak berwudhu  atau tayamum, kemudian menutup auratnya. Dengan berbaring, mamak tak pernah meninggalkan sholat, walau kondisinya sakit dan lemah.

Selama mamak dirawat, selama sepuluh hari, bapak hanya sekali menjenguk. Datang sore hari saat aku sudah pulang dan pulang pagi-pagi sebelum aku datang. Paman yang menyampaikannya padaku.

Aku tahu ada masalah antara bapak dan mamak. Menurutku masalah itu bersumber dari gaya komunikasi masing-masing, yang terjalin berpuluh tahun tanpa ada perubahan. Aku maklum, mengingat latar belakang kehidupan keduanya. Kehidupan yang sangat berat, terutama bapak.

Bapak, bungsu dari tiga bersaudara, satu-satunya laki-laki. Ketika kelas empat sekolah dasar, kakek meninggal. Bapak putus sekolah, membantu nenek berdagang untuk menghidupi empat orang di rumahnya.
Selain berdagang, banyak hal yang pernah bapak lakukan sebagai orang yang tak berijazah. Kagigihannya mampu menghidupi ibu dan dua orang kakak perempuannya.

Kehidupan yang keras dan perannya sebagai pemimpin di rumah, membuat bapak menjadi sosok yang jarang bicara, sulit berbasa-basi. Lebih sering langsung ambil tindakan tanpa banyak bicara atau musyawarah, dan itu terbawa sampai bapak berumah tangga, menikah dengan mamak.

Setidaknya, dengan karakter yang seperti itu, bapak mampu mendidik anak-anaknya untuk tidak meninggalkan sholat dan mampu membaca Al Quran.
Mas Rosyid pernah cerita, bagaimana disiplin dan kerasnya bapak dalam membiasakan anak-anaknya sholat dan mengajari langsung semua anaknya sampai bisa membaca Al Quran dengan benar.

Mamak, sosok wanita penyabar, sering memendam perasaan, menahan bicara, berusaha menerima keadaan.
Kalau ada yang tak kuat dipendamnya, maka mamak akan curhat ke nenek, ibu kandungnya.
Dengan sembilan anak dan ibu mertua yang sudah perlu perawatan, tentu itu bukan tanggungan perasaan yang ringan. Belum lagi mengelola sawah yang satu hektar, untuk mencukupi biaya hidup dan pendidikan anak anaknya. Untuk urusan itu sepenuhnya di tangan mamak, sedang bapak memikirkan belanja dapur setiap sore dan biaya lain bila penghasilan dari sawah tidak menutupi. Mamak di rumah mau tidak mau menerimaa apapun yang dibawa bapak dari pasar. Anak-anak protes tentang menu yang jarang gantipun, mamak hanya bisa menasihati.

Suatu saat Mamak pernah curhat padaku, bagaimana inginnya beliau diberi uang belanja oleh bapak, kemudian belanja sesuai dengan selera mamak untuk mengelola menu, tapi ya nggak tersampaikan.
Aku menyaksikan sendiri, jenis belanjaan yang Bapak bawa pulang, sangat monoton dan selalu sesuai selera kesukaan beliau.

Sebagai seorang perempuan, aku sangat mengerti, betapa Mamak sangat kecewa untuk urusaan ini.

Sebagai seorang istri dan ibu, ketika mampu menghidangkan menu istimewa hasil kreasinya sendiri di meja makan, merupakan kebahagiaan yang tak bisa ditukar dengan hal lain. Tentu sangat berbeda dengan dipaksa kreatif dengan memanfaatkan apa yang ada?

Aku tak bisa membayangkan bagaimana perasaan mamak. Dalam kondisi sakit yang beliau tau sudah sangat tipis harapannya untuk sembuh, tapi bapak tidak mendampinginya setiap waktu, bukankah seharusnya suami yang selama ini telah didampinginya, bersama membangun keluarga dan membesarkan anak-anak yang lebih layak mendampinginya? Untunglah masih ada ibu dan adiknya yang tak ingin beranjak meninggalkannya selama dirawat di rumah sakit.

Aku tak pernah menyinggung bapak dalam setiap pembicaraan dengan mamak, aku tak ingin mengusiknya.

Hari kesepuluh, mamak minta pulang, pihak rumah sakit tidak keberatan, tetapi aku tidak ikut ke rumah mamak yang jaraknya sekitar 25 km dari rumah ibu. Mas Rosyid menyuruhku beristirahat barang dua atau tiga hari di rumah ibu.

Tiga hari kemudian, ketika mentari belum lagi memancarkan sinarnya, pintu rumah ada yang mengetuk.

Heri, anak paman mampir, menyampaikan kabar, mamak meninggal dini hari tadi.

"Ya udah, nanti Mba nyusul, sekalian bareng Ibu dan Adik."

***

Setahun usia pernikahanku, mamak pergi. Banyak kesan yang aku dapatkan dari kepergiannya, terutama tentang model komunikasi dalam keluarga suami, yang otomatis itu berperan dalam pembentukan karakternya.

Aku menikah untuk selamanya, insyaallah. Informasi tentang keluarga suami yang kudapat membuatku berfikir, bagaimana caranya agar bisa memahami karakter suami dan mengantisipasi hal-hal yang tak nyaman dalam komunikasi keluarga yang kami bentuk.

***

Duapuluh tahun lebih usia pernikahan kami, yang kukhawatirkan tidak pernah terjadi. Kami saling terbuka, saling menjaga perasaan, saling memahami. Suami tempat curhat sebelum ke yang lain. Memang usiaku lebih tua  dari suami, yang kata orang, harusnya ngemong suami, tapi bagiku suami adalah pemimpin, yang wajib melindungiku, membimbingku, sedang aku menghormatinya, mengingatkannya, menenangkannya dikala gundah. Kami mitra dalam mengendalikan biduk rumah tangga ini, tidak saling tuntut, tapi saling tuntun.

Bukan hal mudah menyatukan dua karakter dengan pola asuh dan latar belakang keluarga yang berbeda, tapi kesepakatan berpegang pada tali Allah dalam menjalaninya sambil menabur cinta, akan lebih memudahkan dalam proses penyatuan dua hati.

Bersatunya dua hati, saling bimbing, menutup kekurangan, saling berbagi, satu tujuan, saling menghargai, merupakan landasan kokoh dalam mengarungi kehidupan berkeluarga, tak pernah berhenti belajar untuk memperbaiki diri, bersiap mengantarkan anak-anak menjadi generasi yang beriman, berkarakter, berkualitas, mandiri dan bertanggung jawab.


RINDU MEMBAWA BERKAH

Mi, Hatif lagi online 

SMS sulungku yang di Jakarta membuatku mengarahkan kursor pada tab FB.

Hmm, benar. Sudah lima belas menit yang lalu Hatif mengirimkan pesan.
Haaaah! keasyikan ngblog membuatku nggak nengok-nengok ke FB. Aku terbiasa bloging nyambi chatting, komen-komen di status teman FB dan postingan di KBM, kadang goegling, saat aku butuh referensi untuk tulisan yang sedang kugarap.

Ya, lagi bloging. Kemarin Hatif nelpon Umi ya? tapi nggak jelas suaranya. Gimana hasil ujiannya?

Seminggu yang lalu Hatif nelpon, minta doa karena mau ujian, setor hafalan kitab yang kedua. Istimewanya anakku yang kedua ini, selalu minta doa ketika ada kesempatan interaksi, entah itu saat bertemu, saat nelfon, chatting, apalagi ada peristiwa penting yang akan dihadapinya, selalu menyempatkan diri minta doaku. Benar, aku selalu mendoakannya, tetapi ketika dia meminta doa khusus, tentu kekhusyu'anku juga berbeda.

Ya, dua hari yang lalu, abis liburan ke pemandian air panas, nginepnya di asrama dekat situ, jadi ada kesempatan aku nelfon Umi, sayang, sinyalnya nggak bagus. 
Alhamdulillah, hasil ujian bagus, berkat doa Umi.

Subhanallah, aku sangat terharu membaca pesannya.

Kata Abi, Hatif sekarang ngajarin teman-teman bahas Turki ya?

Kemarin suami memberitahukan hal itu, setelah telfonan dengan Hatif. Padahal, ketika berangkat ke Turki lima bulan lalu dia merasa, kemampuan bahasa Turkinya paling buruk dibanding teman-teman seangkatannya.

Alhamdulillah Mi, aku memperbanyak interaksi dengan teman-teman yang asli Turki saat ada kesempatan, untuk memperlancar bahasa Turki dan menambah kosa katanya. Sekarang setiap pagi teman-teman yang dari Indonesia sering berlatih denganku.

Waaah, enak ya bisa jalan-jalan terus?

Alhamdulillah Mi, sekarang lagi libur panjang di Turki, sepuluh hari, insyaallah besok mau ke Istambul.

Alhamdulillah, barokallah ya sayang, Umi bahagia banget.

Tak dapat kutahan lagi, air mata ini menitik, bahagia, terharu, juga. . .rindu.

Masih musim salju?

Kemarin turun.

Nggak tiap hari ya turunnya?

Nggak Mi, ya seperti di Indonesia, walaupun musim hujankan nggak tiap hari hujan.

Sudah upload foto? share ke FB Umi ya?

Ini lagi coba, tapi sepertinya ada gangguan, dari tadi belum berhasil. Insyaallah nanti dishare.

Mi gimana dengan catatan harianku? Ini sudah dua buku tebal, bingung, nanti kalau sudah banyak gimana nyimpennya?

Beli buku lagi aja, yang udah penuh disimpan yang rapi. Kalau ongkirnya nggak mahal kirim ke rumah, tapi cathar Hatif yang di rumah juga belum Umi salin ke komputer. Simpen aja sama Hatif, nanti kalau belajarnya sudah agak longgar, trus sudah dapat fasilitas lep top, baru di salin.

Jadi diterusin aja nulisnya?

Ya! Terusin! Pasti suatu saat nanti akan sangat bermanfaat, ibarat Hatif sedang mengukir sejarah untuk anak keturunan Hatif nantinya.

Ya Mi, aku terusin. Aku merasakan nikmat banget ketika menulis, sampe nggak ingat waktu, sudah berapa jam, nggak siang nggak malam.

Ya bagus itu, tapi inget, tugas utama sekarang apa? jauh-jauh Hatif ke Turki, jangan sampai lalai kewajiban utama karena kenikmatan menulis, skalian latihan mengendalikan diri, mana yang harus diprioritaskan.

Mi, udah dulu yah, mo sholat. Doakan aku bisa membahagiakan Umi dan Abi, hiks, sampe nangis aku, terharu.

Amin, semoga hidup Hatif penuh keberkahan.

Hatif nggak liat sih, Umi dari tadi berlinangan air mata, sangat bahagia dan terharu. Ahhhh, kalau melihat Hatif sekarang, jadi lucu ingat waktu kecilnya, sering bikin Umi nangis karena greget merasakan kebengalan dan segala tingkah kreatifnya yang kadang mengkhawatirkan.

Umipun rela menahan kerinduan ini, kerinduan yang terbayar dengan kesholehan seorang permata hati Umi, semoga lima orang lainnya juga akan membahagiakan Umi-Abi dengan kesholehannya, walaupun dengan bidang yang berbeda.

MENGHITUNG HARI

Apa khabarnya Mba Rina, dik?

Innalillahi wa inna ilaihi rojiuun, maaf kak Rita belum sempet ngabarin. Mba Rina sudah meninggal dua tahun yang lalu, dibunuh seseorang, di rumahnya.

Silaturahim dengan kak Rita terjalin lagi sekitar sebulan yang lalu ketika dia mengajukan permintaan pertemanan di fb. Sebenarnya sebelumnya sudah aku cari, tapi tidak ada karena memang belum bergabung.

Dulu, 25 tahun lalu, kami sempat akrab. Walaupun tidak satu fakultas atau satu angkatan, tapi aktifitas di masjid kampus membuat kami menjalin persahabatan, tentunya dengan aktivis yang lain juga.

Kami tak pernah jumpa lagi sejak kak Rita kembali ke Medan, kota asalnya, 23 tahun lalu.

Chattingan dua hari yang lalu itu masih kupikirkan, mengingatkan pada kejadian ketika kudengar berita yang sangat mengejutkan dan hampir tidak bisa dipercaya. Mba Rina, kakak angkatanku waktu kuliah, di bunuh di rumahnya. Sulit difahami, bagaimana seorang muslimah yang aktif membina majelis taklim, rajin menimba ilmu dan banyak lagi kebaikannya di masyarakat, mendapatkan takdir yang menurut pandangan masyarakat, sangat mengenaskan, di bunuh dengan cara biadab.

Sayangnya kasus itu tidak diteruskan atas permintaan keluarga besar almarhumah. Entahlah, apa yang menjadi pertimbangannya. Ada yang mengatakan karena pelaku diduga salah satu keluarga jauhnya, ada juga yang menduga, mungkin menjaga perasaan anak-anaknya, agar tidak trauma.

***

"Hikmah apa yang bisa kita ambil dari musibah ini, Mi?" Tanya seorang ibu peserta majelis taklim binaanku, seminggu setelah kejadian.

"Silahkan yang lain, bisa mengambil hikmah apa?" kulempar pertanyaan ke seluruh peserta.

"Kita tidak pernah tau kapan ajal menjemput, itu sebabnya, kita yang ditinggalkan berusaha menyiapkan diri sebaik mungkin." seorang ibu menyampaikan pendapatnya.

"Kita juga tidak pernah tau, bagaimana cara kita menutup usia, dan jangan berprasangka buruk terhadap saudara kita yang sudah meninggal, walaupun caranya dianggap su'ul khotimah."

"Su'ul khotimah menurut manusia, belum tentu menurut Allah, itu ujian bagi kita untuk menyikapi takdir orang lain."

"Sayang banget ya? padahal seminggu lagi Romadhon, bulan yang selalu kita minta umur kita sampai kepadanya."

"Ibu-ibu, pernah nggak menghitung hari?" tanyaku. Hening sejenak, semua mata mengarah padaku, menunggu kelanjutan dan penjelasan.

"Kalau hari yang belum datang kita tidak bisa menghitungnya dengan pasti, masih berapa hari lagi dan akan kita gunakan untuk apa, tetapi untuk hari-hari yang sudah kita lalui, seharusnya kita bisa menghitungnya, karena kita tau pasti apa yang sudah kita lakukan dengan hari-hari itu."

***

Hampir setiap kita, akan melalui tahapan kehidupan mulai dari: lahir --> bayi --> masa kanak-kanak --> remaja  --> dewasa --> tua --> mati --> alam kubur --> akherat, walaupun setiap individu tidak sama masanya dalam setiap tahapan.

Masa sebelum remaja, tak usahlah kita hitung-hitung, itu adalah anugerah untuk kita, apapun kondisinya. Yang perlu kita hitung adalah usia dari remaja dan seterusnya, saat batas antara masa anak-anak yang kita tidak akan dimintai pertanggung jawaban dari apa yang kita lakukan dengan usia dewasa, yang mana kita harus tanggung jawabkan dari setiap detik waktu, desah nafas, gerak lisan dan seluruh anggota tubuh kita.

Masa remaja, ketika kita bertemu dengan masa baligh, batas seorang manusia bertanggung jawab atas semua perbuatannya. 

Di mana posisi kita saat ini? 

Dari situlah harusnya kita menghitung mundur, apa yang sudah kita lakukan dengan hari-hari kita.

Menghitung semua urusan yang telah kita lalui.

Bagaimana dengan sholat kita di masa remaja, di masa sibuk, di masa lalai, pernahkah kita tinggalkan? Berapa kalikah, sedangkan sholat adalah perkara yang tidak bisa ditinggalkan selama kita masih berakal? Sholat adalah perkara yang tidak bisa diwakilkan oleh siapapun?

Bagaimana dengan puasa kita? berapakah hutang puasa yang belum kita bayarkan? bagaimana bila Allah menjemput sedang hutang itu belum terlunaskan? Adakah anak yang sudah kita didik menjadi sholeh/ah yang bisa kita harapkan membayarkan hutang dan mendoakan agar kita diampuni atas kelalaian itu?

Bagaimana dengan sikap kita pada orang tua yang telah berkorban segalanya untuk membesarkan dan mendidik kita? Ibarat kaki jadi kepala, kepala jadi kaki, untuk memenuhi amanahNya, sudahkah kita membahagiakan, sekedar tidak menyakiti hatinya? Ataukah kita termasuk anak yang selalu menumpahkan air mata bunda dan menyesakkan dada ayahanda karena kebengalan kita?

Di mana kita ketika orang lain bahu membahu memperbaiki kondisi umat, meningkatkan pemahaman masyarakat, membina remaja dan pemuda untuk perbaikan generasi berikutnya?

Apa yang sudah kita lakukan untuk mencetak generasi dan melahirkan singa-singa yang gagah dengan auman dan wibawanya, menggetarkan muruh-musuh yang gigih merangsek ingin menghancurkan generasi bangsa? Ya, dari rumah kita. Bukan generasi manja dengan gaya hedonisme yang hanya mengejar dunia?

Haaaah! Lelah! Lelah menghitung hari-hari yang telah berlalu dan takkan pernah terganti lagi.

Tapi itu harus tetap kita lakukan, agar bisa menghitung hari-hari ke depan, apa yang harus dilakukan untuk mengimbangi kesia-siaan hari yang telah lalu. Tak perlu meraba, masih berapa harikah diizinkan menghirup udara dunia, tetapi bagaimana memperlakukan dan melipat hari agar tunai semua amanah yang harus kita tuntaskan.


Sunday, January 26, 2014

DICARI, ORANG YANG SEDANG GALAU!

Koq barusan terpikir pengen pasang spanduk yang bunyinya begini ya?

" Anda galau? Hubungi ************* , siap membantu mengatasi kegalauan anda. Semua jenis kegalauan  akan di bantu, kecuali galau karena nggak bisa bayar hutang"

Apa ya reaksi orang yang sedang galau membaca spanduk ini?

Bagaimana reaksimu jika membaca spanduk ini? Tertawa dan EGP, emang gua pikirin? atau HIV, hemang ieke vikirin (kata mas #Agung)? Atau segera menghubungi nomor yang dimaksud?

Mengapa aku bisa punya ide seperti itu?

Entahlah! Mungkin karena merasa usia terus bertambah, sedang belum banyak yang dilakukan, belum merasa diri berarti.

Ingin melakukan kebaikan dengan fisik?
Tenaga terbatas, nggak selincah dan segagah yang muda-muda. Melihat bencana yang marak belakangan ini, mengusik hatiku ingin ikut berbuat, ikut bergabung dengan relawan, tapi membayangkan apa jadinya?
Bukan meringankan, justru bisa jadi merepotkan relawan lain. Lha di rumah, menginjak lantai tanpa alas, naik motor tanpa jaket, kurang istirahat aja sudah mengundang migren, bagaimana di lapangan berendam banjir dan berpakaian basah?

Ingin membantu dengan materi? Ha ha ha untuk kebutuhan pokok sendiri aja masih hutang sana-sini?

Mungkin yang paling bisa ya. . .itu tadi. meringankan beban perasaan orang-orang yang sedang galau dengan berbagai jenisnya.

Yang muda dengan kegalauan cintanya.

Yang baru menikah dengan kegalauan adaptasinya.

Yang sudah punya anak dengan kegalauan mendidik anak-anaknya.

Yang sedang puber kedua . . .he he he ada ya? dengan kegalauan perasaannya.

Yang menantu dengan kegalauan kecemburuan pada mertuanya.

Yang merasa usia senja dengan kegalauan persiapan menghadapNya.

Wuiiiih! Keren banget? Semua kegalauan?

Sssssst, menjadi konsultan kegalauan itu nggak harus menyiapkan solusinya loh!

Koq bisa?

Ya bisa! nggak percaya? Coba saja, ceritakan kegalauanmu, nanti akan kau ketahui bagaimana aku membantumu mengatasi kegalauan itu.


Saturday, January 25, 2014

BUBUR JAGUNG

"Koq Harish bolak-balik pipis sih?" gerutuku.

Bukan masalah pipisnya, tapi nih Harish lagi kumat manjanya, mau pipis minta bukain celana,dan harus sama Umi. Gimana ngetik mau cepet selesai? He he he edisi ngomel di hari Minggu.

"Hafa juga Mi, mungkin karena banyak makan bubur jagung." Hafa menimpali omelanku.

Ooo, aku malah nggak berfikir ke situ, karena yang jadi perhatianku adalah gangguannya pada aktifitasku.

Penasaran juga, apakah jagung berfungsi diuretik? melancarkan air seni? ku klik mbah Goegle, sayang yang kucari belum ketemu, tapi malah kutemukan hal lain yang lebih penting.

Ternyata dalam jagung terdapat 13 golongan zat yang sangat dibutuhkan manusia, baik untuk memenuhi gizi maupun untuk penjagaan kesehatan bahkan yang bersifat obat. Tapi jangan tanya apa itu yang 13 ya? cari sendiri deh, biar lebih puas.

Ini pertama kalinya aku buat bubur jagung. Biasanya jagung yang rasanya manis dan unik itu aku rebus atau untuk campuran sayur asem. kadang kubuat perkedel atau bakwan.

Untuk makan dan snack aku terbiasa masak sendiri, agar lebih menjaga apa-apa yang masuk dalam perut kami.

Enam orang anak membuatku lebih kreatif mengolah bahan makanan, untuk memenuhi kebutuhan dan selera mereka. Untuk setiap jenis bahan makanan aku menyiapkan beberapa cara pengolahannya dan biasanya masing-masing anak suka dengan salah satu jenis olahan itu, sehingga aku pergilirkan jenis masakan itu demi keadilan sosial eh, maksudku keadilan memenuhi selera semua warga di rumah.

Ketika makanan kita olah sendiri, sangat banyak keuntungan yang kita dapatkan dibandingkan membeli olahan jadi, seperti memilih bahan yang halal dan thoyyib, menghindari zat tambahan makanan yang tidak baik bagi kesehatan dan tidak berguna, penghematan biaya, dan yang terpenting, olahan masakan itu merupakan sarana menjalin hubungan yang baik antar anggota keluarga plus sarana menuai pahala sebagai seorang ibu. Pengalaman membuktikan, masakan yang dibuat dengan keterpaksaan, kurang dilandasi keikhlasan dan cinta, biasanya kurang enak dan berakhir pada tong sampah atau menjadi rizki ayam tetangga.

Hanya dua hal yang menjadi kerugian mengolah masakan sendiri, yaitu repot dan memakan waktu, he he.

SAYA SUKA DIKRITIK, TAPI TAK SUKA DIHINA

Saya suka dikritik, terutama untuk karya-karya yang sudah saya buat dengan sungguh-sungguh.

Dengan kritikan saya berharap menemukan sisi kurang baik karya saya dari sudut pandang orang lain, walaupun pandangan subyektif.

Tapi saya akan lebih suka bila kritikan itu disertai analisa tajam dan alasan.

Lebih senang lagi kalau kritikan itu ditambah dengan saran dan masukan untuk perbaikannya.

Dan saya sangat tidak suka dihina dan direndahkan, baik karya maupun pribadi.

Mengapa? Karena saya sudah bersungguh-sungguh dalam berkarya, kesungguhan layak untuk dihargai.

Sebagai pribadi, sebagai manusia, saya juga tak suka direndahkan, karena Allah menciptakan saya tidak dengan sia-sia. Siapapun yang merendahkan saya berarti merendahkan Dia yang menciptakan saya, nah loh! siapa berani?


Friday, January 24, 2014

GANTUNGAN KUNCI

"Harish, bantu Umi ya?"

"Bantu apa Mi?"

"Umi yang nyapu, Harirs yang kumpulin mainan ya?"

"Umi ajalaaaah! Harish lagi dandanin mobilan."

"Hmmm gitu dech, siapa yang berantakin, siapa yang beresin."

Harish seperti tak mendengar suaraku, begitu fokus melepas baut-baut kecil di mobil mainannya dengan obeng. Menanamkan disiplin pada anak memang gampang-gampang susah, butuh waktu, kesabaran, pengulangan, contoh dan kadang-kadang ceramah alias ngomel! he he.

Sambil menyapu, kupungut setiap ketemu mainan Harish yang berserak. Dari ruang depan, kamar sampai dapur nyaris kutemukan mainannya. Bukan mainan yang mahal atau semuanya beli, lebih banyak barang-barang rumah tangga yang difungsikan sebagai mainan. Ada kaleng biskuit, penjepit kue, sendok berbagai jenis, tutup panci yang tak mulus lagi karena sering dipakai gendangan dengan sendok, gunting kecil, isolasi, kertas-kertas bekas yang dibuat berbagai bentuk, dan yang banyak kutemukan adalah gantungan kunci.

Berbagai model gantungan kunci aku kumpulkan dengan berbagai jenis bahan, ada yang dari kain flanel, kayu, batok kelapa, plastik dan lain-lain. Bentuknyapun lucu-lucu, ada bentuk boneka, guci, gendang, binatang, bunga dan sebagainya. Yang jelas, semua gantungan kunci itu kudapat dari resepsi pernikahan sebagai suvenir.

Aku yakin, pemberi suvenir tidak bermaksud memberikan suvenir itu untuk diperlakukan seperti ini. Tentunya mereka ingin pemberiannya diterima dengan baik, dimanfaatkan sesuai fungsinya dan di kenang sebagai tanda persahabatan.

Bagaimana dengan penerima? Tak usahlah membicarakan orang lain, aku sendiri, ketika baru menerima, akan kusimpan baik-baik, karena belum butuh, semua kunci sudah punya gantungan. Lama-kalamaan suvenir itu keluar, lebih tepatnya dikeluarkan oleh Harish dan kakaknya untuk mainan. Mereka tertarik dengan bentuknya yang lucu-lucu.

Berapa biaya untuk suvenir disuatu pesta pernikahan? Kalikan harga persatuan dengan jumlah undangan, tentu tidak cukup seratus ribu kan?

Itu baru untuk suvenir, belum yang lain, laaah, seperti yang sudah mau mantu! he he

Sebenarnya apa substansi dari sebuah resepsi pernikahan? Mengapa substansinya?

Dalam setiap hal, aku selalu berusaha mencari apa substansinya, supaya tidak melenceng dari tujuan setiap perbuatan.

Resepsi pernikahan merupakan pendamping dari pernikahan, hukumnya tidak wajib, artinya misalnyapun tidak dilaksanakan tidak menyebabkan dosa dan hukuman dari Allah.

Sedangkan pernikahan hukumnya wajib, dengan tujuan menghalalkan yang semula haram.

Tapi menurut pengamatanku, yang menjadi sebab tertundanya pernikahan justru yang berkaitan dengan resepsinya, bukan pada pernikahannya.

Inikah tuntutan zaman? lah, mengapa juga mau dituntut zaman?

"JENG"

"Ada SMS untuk Adek," kata suamiku di depan pintu kamar.

"Sebentar Mas, tanggung nih," jawabku sambil melanjutkan memasang popok bayi.

Suami meletakkan HP di meja kecil dekat dipan, di mana aku sedang memakaikan baju bayi selesai memandikankannya.

Memang kami baru memiliki satu hp, itupun kami paksakan membelinya, setelah pindah ke rumah sendiri yang tak ada telfon rumahnya. Jadi no hp itulah yang kuberikan pada teman-teman yang sewaktu-waktu ingin menghubungiku. Ketika suami di rumah, tentu tak ada masalah ketika ada yang menghubungiku, repotnya ketika ada berita yang mendesak untuk ditindaklanjuti, sedang suami sedang di luar dan tak bisa segera pulang, yach. . .mau bagaimana lagi. Inilah kondisinya.

Setelah beres, baru kubaca SMS yang ternyata dari adikku, mengabarkan Ibu yang sedang di rumahnya baik-baik saja, kirim salam untukku. Setelah ku balas, karena bayiku tidur, kulanjutkan membuka pesan yang lain, mungkin ada yang ditujukan untukku. Karena dalam SMS tidak ada siapa yang dituju, seperti surat undangan misalnya, kepada yth... maka, mau tidak mau aku membaca semua pesan yang masuk, baik pesan untuk suami maupun untukku.

Ada beberapa pesan yang berasal dari Ati, salah seorang teman kantor suami, aku mengenalnya, sebatas kenal namanya dan tahu yang mana orangnya. Dalam pesan-pesannya koq seperti membicarakan masalah pribadi ya? Penasaran, kubuka pesan terkirim, yang kira-kira pertanyaannya ada hubungannya dengan pesan dari Ati.

O la la, suamiku memanggil Ati dengan sebutan "Jeng"? Koq kesannya istimewa banget ya? Dan pembicaraannya koq tidak semata-mata masalah pekerjaan, tapi masalah pribadi juga? Jelas! Ini pasti ada apa-apa! Apakah suamiku mulai melirik perempuan lain? Saat aku baru saja melahirkan buah hati kami yang ke empat di usia pernikahan yang ke duabelas? Tak dapat kutahan, air mataku menitik. Aku harus selesaikan masalah ini, tak mau berlarut-larut. Kondisi kejiwaanku sebagai seorang ibu, apalagi sedang menyusui, harus dijaga, jangan sampai mempengaruhi. Pengalamanku, perasaan bayi sangat peka terhadap perasaan ibunya, aku tak ingin bayiku gelisah karena jiwaku sedang tak nyaman. Sambil berusaha menahan tangis, kuambil secarik kertas dan pen, lalu kutulis:

"Tolong malam ini jangan pergi, aku ingin penjelasan, ada hubungan apa antara Mas dan Ati."

Kertas itu kulipat kecil, lalu kusuruh anak ketiga menyerahkannya bersama hp ke suami.

***

"Apa yang Adek mau tahu?" tanya suami membuka pembicaraan malam itu, setelah anak-anak tidur.

"Ada apa antara Mas dan Ati?" kecemburuan membuat airmataku tak bisa ditahan lagi.

"Kenapa bertanya seperti itu? Adek curiga sama Mas?".

"Jujur, ya!" jawabku, memberanikan diri menatapnya.

"Apa yang membuat Adek curiga?"

"Isi SMS Mas dan Ati yang membuat aku merasa ada yang istimewa."

"Bagian mananya?"

"Isi pembicaraannya menunjukkan ada kedekatan yang lebih dari sekedar teman kerja."

"Ada lagi?"

"Mas memanggilnya 'Jeng', menurutku itu panggilan yang sangat istimewa. Biasanya Mas memanggil yang lain Bu atau Mba."

Suami menjelaskan semua yang kuragukan, mencoba menghilangkan kecurigaan dengan penjelasan yang tak bisa dibantah. Tapi hatiku belum bisa menerimanya dengan lega, tetap saja merasakan ketidak nyamanan.

"Kalau memang Adek nggak suka Mas memanggil Ati dengan 'Jeng', mulai besok Mas akan memanggilnya 'Mba' seperti yang lain, Ok?" suami mengakhiri pembicaraan malam itu dengan mengecup kening dan membelai kepalaku, berusaha menenangkan.

Melihat sikapnya yang bijak, aku berusaha menenangkan diri dan mengembalikan kepercayaan padanya.

***

Aku pernah mendapat nasihat, entah dari siapa, yang intinya,"Jangan membicarakan wanita lain ketika sedang bersama suami di tempat tidur."

Tapi aku merasakan kondisi psikologis paling nyaman, tenang dan dewasa justru ketika bersama suami di tempat tidur. Lah, tak perduli dengan nasehat itu, kan setiap pasangan punya cara masing-masing dalam berinteraksi.

"Mas, lanjutkan diskusi yang kemarin ya?"

"Diskusi yang mana?" jawabnya sambil merem-melek, lucu.

"Sudah ngantuk belum?"

"Mana bisa ngantuk diskusi dengan perempuan cerdas," pujinya, membuat hidungku mekar.

"Janji nggak pake nangis!" tambahnya.

"Oke, tapi Mas jujur ya? Apapun kejujuran itu, aku siap." kataku memastikan.

Suamiku mengacungkan dua jempolnya, tanda Ok. Kuhela nafas sebelum memulai pembicaraan.

"Mas sebenarnya tertarik dengan Ati kan?" ha ha, tembak langsung! Agak lama aku mendapatkan jawabannya.

"Ya," jawabnya, sambil menatapku, mungkin mengukur efek dari jawabannya, tapi temaran lampu kamar menyelamatkan, aku memang terkejut, walau aku sudah menduga jawaban itu dan berusaha siap mendengarnya.

Kuhela nafas lagi untuk mengurangi degup jantung yang mulai memburu. Sebuah perjuangan yang tak mudah untuk bersikap dewasa, tapi suami sudah mengenal dengan baik, dan selama ini aku bisa melakukannya.

"Hal apa yang membuat Mas tertarik?" tanyaku, lirih.

"Kegigihannya, keinginan belajarnya tinggi, bersungguh-sungguh merubah diri menjadi lebih baik,"jawabnya bersemangat.

"Apa hal itu nggak ada dalam diriku?" tanyaku agak tersinggung. Wanita mana yang suka dan tidak tersinggung ketika suaminya memuji wanita lain di hadapannya?

"Ada, ketiganya ada, tapi beda," jawabnya lagi, sambil merengkuhku dalam pelukannya.

"Mas tidak membandingkan Adek dengan siapapun. Adek punya keistimewaan yang takkan Mas temukan dalam diri orang lain, dan satu lagi yang tak bisa dibantah, Adek adalah satu-satunya istri Mas saat ini."

Segera kulepaskan diri dari pelukannya," Saat ini?" tanyaku sengit. Ups! aku lupa dengan tekad di awal pembicaraan, bersikap dewasa.

"Lho, benarkan?" tanya suami, menggoda. Tak kuhiraukan godaannya, lagi serius nih.

"Mas, aku tahu, jika Mas mau nikah lagi nggak dosa, tapi tolong pertimbangkan dengan matang dampaknya, bukan semata-mata bagiku, tapi terutama bagi anak-anak, pandangan keluarga besar dan masyarakat."

"Yeeee! Siapa yang mau nikah lagi? Istri satu aja nggak habis-habis?"

"Memang aku mau dihabisin?" tanyaku melotot, tak lupa jepitan tangan maju kepinggangnya.

"Awww, sakit!" jeritnya, sambil memencet hidungku.

"Bbbbb" hah! bikin gelagepan, susah bernafas.

"Maksudnya, istri satu aja Mas belum bisa membahagiakan, tuh badan Adek nggak gemuk-gemuk, masa mau beristri lagi, apa kata dunia?"

"Apa Mas mau badanku gemuk, tanda kalau Mas sudah membahagiakan?"

"No no no, jangan, nanti Mas nggak kuat nggendong lagi." jawabnya sambil menarik tubuhku.

Hmmm, aku lega.


Thursday, January 23, 2014

CELOTEH HARI INI

hidup selalu penuh misteri
menyimpan rahasia yang sering tak dimengerti
siapkan ruang tuk hal yang tak terduga di hati

jangan pernah yakin sepenuh hati
dengan segala penilaian dan prediksi
tentang rencana dan harapan pribadi
apalagi tentang hal di luar diri

selalu fokus dengan rencana kebaikan
berusaha ikhlas dalam setiap harapan
pasrah dan tawakal dalam proses menanti panen
bersyukur dan ridho atas segala bagian

karena Dia tak pernah punya rencana
mendzolimi setiap hamba yang dicipta

bersabar dan teliti
mencari ibroh dari setiap yang terjadi
agar bisa menjadi energi
tuk selalu tingkatkan kualitas diri

jangan pernah bermimpi
berhenti menghadapi masalah
karena itu berarti
episode dunia tlah berakhir

Tuesday, January 21, 2014

AKU, MBA SAYUR

"Cepet bangun Pak, dah setengah tiga nih," kutepuk lembut pipinya.

"Hmmmm," gumamnya, membalikkan badan, dan "Awww!" tangannya memeluk pinggangku.

"Apa-apaan sih pak?" aku bangkit, berusaha melepaskan tangannya.

"Dingin banget Bu, sini peluk."

"Ogah! Aku mau sholat dulu, sana gih cuci muka."

Kutinggalkan suamiku, tuk sholat malam, lumayanlah, dua rokaat.

***
Untunglah tidak hujan, kupeluk erat suamiku dari belakang.

"Kenapa Bu?" tanyanya, di sela deru suara mesin motor.

"Dingin banget."

"Pulang yok?"

"Ngapain pulang?"

"Lha katanya dingin, tadi diajak nggak mau."

Kucubit pinggangnya, suamiku menggelinjang, sampai motor hampir oleng.

"Bu! genitnya nanti di rumah!" suamiku berteriak tertahan, mengingatkan.

"He he he," kupeluk lebih erat lagi.

Setiap hari, inilah yang kami lakukan. Disaat orang lain terlelap dalam hangatnya selimut, kami harus rela menerjang dinginnya malam dengan motor tua menuju pasar induk. Belanja kebutuhan dapur untuk para pelanggan. Hampir semua kebutuhan dapur segar aku beli, dari bumbu dapur, cabe, bawang, tomat, jahe, kunyit dan lainnya. Juga sayuran, wortel, toge, kubis dan berbagai sayuran hijau. Bahan lauk pauk juga harus selalu ada, daging,ayam, berbagai jenis ikan laut, ikan mas, lele, patin, juga ikan asin, tak ketinggalan tahu, tempe dan oncom.

Aku sudah punya tempat langganan untuk setiap jenis bahan, sehingga tak butuh waktu lama tuk tawar menawar. Waktu dua jam cukup untuk semua urusan dan perjalanan. Setiap penjual sudah tahu, berapa aku biasa belanja.,sehingga ketika aku datang, belanjaan sudah disiapkan, aku tinggal membayar harga, yang hampir selalu berubah setiap hari, tergantung perubahan harga pasar. Aku berbagi tugas dengan suami, untuk mempersingkat waktu.

Sebelum azdan subuh berkumandang, aku sudah sampai rumah. Menyempatkan diri mencuci piring bekas makan malam, kemudian mandi. Setelah sholat subuh, kutambahkan dagangan yang dititipkan tetangga, ada donat, lemet juga sayuran hasil kebun.

Kembali aku nangkring di boncengan motor, yang penuh dengan dagangan, menuju komplek perumahan yang tak terlalu jauh dari tempat tinggal.

Di komplek perumahan itu aku diizinkan menggelar dagangan di emper sebuah warung soto, yang bukanya jam sepuluhan. Alhamdulillah, ada lampu yang menerangi dari rumah tetangga warung, cukup menolong ketika aku mulai menggelar dagangan. Ibu-ibu di perunahan ini kebanyakan bekerja kantoran, sehingga butuh bahan masakan pagi-pagi sekali untuk membuat sarapan dan bekal anak-anak sekolah. Itu sebabnya aku berusaha sepagi mungkin menggelar dagangan. Jam delapan aku sudah membereskan dagangan, sisanya aku gendong dan tawarkan pada penduduk sepanjang jalan dari perumahan sampai rumah. Bahagia rasanya jika sisa dagangan tinggal sedikit, tidak terlalu berat menggendongnya, maklumlah, jalan pulang menanjak

***

"Ikan layang berapa Mba?" tanya Ma Icha

"Lima belas ribu."

"Dua belas ya?" tawarnya.

"Nggak bisa Ma Icha, belinya nggak dapet segitu."

"Kemarin tiga belas?"

"Lagi musim susah ikan, kalau lagi murah ya bisa jual murah. Kalau sekarang lagi susah ikan, nelayan lagi males ke laut."

"Udahlah, tiga belas aja."

Hmmm, model begini nih pembeli yang nyebelin. Sudah tau kalau aku biasa memberi harga bandrol, nggak pake tawar-menawar, bukan sombong, maksudku sama-sama taulah, biar nggak kelamaan belanjanya. Semua ingin memburu waktu. Untunglah yang model begini nggak terlalu banyak, akhirnya ku diamkan saja, dia menentukan harga sendiri. Rugi? tentu saja, harusnya ada untung seribu rupiah, ehh, ini malah nombok seribu, tapi biarlah, daripada bikin dongkol, nanti mempengaruhi sikapku pada pembeli yang lain.

Karena banyak yang kulayani, aku biarkan para pembeli menghitung belanjaan masing-masing, aku hanya memberi tahu harga perbarangnya.

"Ini mbak uangnya," Umi mengulurkan uang lima puluh ribu.

"Berapa Mi belanjanya."

"Tiga puluh satu."

"Nih Mi kembaliannya," kuulurkan uang dua puluh ribu.

"Kelebihan seribu Mba."

"Nggak apa-apa Mi, sekali-kali diskon."

"Nggak rugi Mba? Kalau nggak, besok ingatkan ya, bayar pas belanja."

"Nggak usah Mi, dari pada lupa, malah jadi beban Umi."

"Wah, terima kasih banyak ya Mba."

Untuk pembeli model Umi, nggak sayang-sayang aku kasih diskon, orangnya baik hati. Kalau belanja nggak pernah nawar, bahkan aku sering ditolong, misalnya pas beliau belanja agak siang, dilihatnya daganganku masih banyak, tak segan dia membeli yang di luar kebutuhannya, dan dipilihnya yang mahal-mahal, untuk ngisi kuskas, katanya. Aku tahu, maksudnya menolong, mengurangi kemungkinan kerugianku.

***

Sepuluh tahun sudah kujalani pekerjaan ini, sejak warungku bangkrut, tak jelas apa sebabnya. Apalagi yang bisa kulakukan? Sekolahku hanya tamat SMP. Aku terbiasa dagang, selain membantu suami mengurus sedikit kebun dan sawah. Suamiku juga dagang, ngampas barang-barang kering ke warung-warung di pelosok kampung. Semua kulakukan, demi pendidikan anak-anakku. Kuingin kehidupan mereka lebih baik dengan pendidikan yang memadai.

***

Jam sepuluhan aku sampai di rumah, langsung membereskan sisa dagangan. Mana bahan yang bisa dibuat sayur, segera kuhantarkan ke tetangga sebelah, kemudian diolahnya menjadi sayur matang. Setiap pagi dia menggelar meja di teras rumahnya, jualan nasi uduk dan sayur matang yang sudah dibungkus plastik.

Bahan lain yang bisa dijual esok harinya, kurapikan di atas rak dapur.
Segera ke dapur, masak untuk makan siang. Aku biasa istirahat setelah sholat dzuhur sampai waktu ashar.
Sore hari aku ke kebun belakang, merawat tanaman dan mencari sayuran yang bisa di petik untuk di jual esok hari.

Hari-hari kujalani dengan senyum. Biarlah orang melihat, hidupku susah, berat, penghasilan tak seberapa, tapi semua kusyukuri, karena mengeluhpun tak ada guna, tak mengubah keadaan.
Bagiku bahagia itu tak harus bermobil mewah, berpakaian necis dan harum, itu hanya tampak luar, sedang bahagia adalah rasa, di hati, di jiwa.

Kurasakan bahagia ketika para pembeli puas dengan dagangan yang kusediakan, ketika bisa menolong salah satu pelanggan yang sedang kekurangan uang belanja, ketika bisa membayar SPP anak-anak tepat waktu, ketika suami menampakkan kebanggaannya karena aku sabar mendampinginya.

Bahagia itu ketika aku mampu menerima apa yang menjadi takdirku dengan rasa syukur dan ridho.

Ya, itu bahagiaku, sebagai mba sayur.

TERINGAT RAMADITYA ADIKARA

Disaat seperti ini, yang mana aktifitas ternyaman hanyalah tilawah, menulis dan membaca
Aku langsung teringat dia, Ramaditya Adikara
Sibuta mata tapi tak buta hatinya
Dalam gelap dia sibuk berkarya

Saat kumerasa sangat tergantung pada mata
Yang berkurang fungsinya karena termakan usia
Atau karena kurang menjaga dan memelihara
Terlalu berat membebaninya
Kutahu dia telah merdeka dari keterikatan fungsi mata
Anugerah dan juga ujian dariNya

Di balik kekurangan menurut pandangan biasa
Tersimpan kelebihan yang luar biasa
Aku harus mempertanggung jawabkan hati, mata dan telinga
Dia telah selamat untuk urusan mata

Dengan kebutaannya dia telah banyak menginspirasi
Dengan kepekaan hatinya dia telah memotivasi
Bagaimana aku dengan kelengkapan inderawi
Sudahkah kutemukan jati diri

Saat kuteringat kisah gagalnya seorang hamba masuk surga
Tersebab menolak rahmat dariNya dan merasa bangga dengan amalannya
Ternyata puluhan tahun ibadahnya
Tak sebanding dengan karunia sebutir bola mata

Bagaimana denganku yang terlalu sering melupakannya
Apa jawabku ketika ditanya yang telah kuperbuat dengan karuniaNya
Kuteringat Ramaditya Adikara
Dia telah terbebas dari masalah pintu masuknya iblis durjana

Dalam gelapnya dia banyak berkarya
Dalam gelapnya hatinya penuh cahaya
Dalam gelapnya dia selalu bersyukur padaNya
Dengan gelapnya mengingatkanku padaNya

Barokallah

Monday, January 20, 2014

DUA SUDUT PANDANG

"Umi, maaf, kalau boleh, saat gajian bulan ini saya mau pinjam uang seratus, kebetulan bertepatan dengan batas akhir pembayaran uang ujian anak," hati-hati kusampaikan pada Umi, tempat aku bekerja, menyetrika pakaian, saat berpamitan.

"Kita liat besok ya Teh, kalau memang ada, insyaAllah dibantu." Umi menjawab ramah, sambil tersenyum.

Aku sangat berharap beliau mau membantu, seperti hari-hari yang lalu. Belum pernah beliau menolak untuk membantu saat aku butuhkan, itu sebabnya aku senang kerja pada beliau. Sebagai seorang terapis, tentu saja pemasukannya banyak, uang seratus ribu tentu tak seberapa, mungkin bisa didapatnya hanya dari seorang pasien.

***

"Mi, yang nyetrika pakaian Nur aja ya?" pinta anakku yang baru pulang dari pondok.

"Kenapa?"

"Nur kan sekarang dah di rumah, ya bantu-bantu Umi, kan sayang pengeluaran tuk gaji teh Mun."

"Kalau Nur yang nyetrika, gaji teh Mun tuk Nur, maksudnya?"

"He he, kan bisa ngurangi ongkos tuk kursus Nur, sekalian pengen ngrasaain punya penghasilan sendiri," jawabnya sambil nyengir.

"Kasian teh Mun lah mba Nur, penghasilannya hilang," Husna ikut bicara.

"Besok Umi tanya teh Mun dulu ya, apa dia masih kerja beresan di warung nasi uduk." jawabku, sebelum kedua anakku bersitegang.

***

"Teh Mun masih bantu beresan di warung nasi uduk?"

"Nggak lagi, cuma sebulan kemarin, ada apa Mi?"

"Oo Umi pikir masih kerja di sana, niatnya mau mengistirahatkan teh Mun," jawab Umi pelan.

"Apa karena saya sering ngrepotin? sering pinjam uang ya Mi?" tanyaku, deg-degan.

"Semalem Nur bilang ke Umi, mau nggantiin teh Mun nyetrika, tapi kalau nggak ada pekerjaan selain di sini, ya nggak jadi, terusin aja sama teh Mun."

"Alhamdulillah, terima kasih Umi," jawabku lega.

"Tapi maaf teh Mun, Umi belum bisa bantu minjemin uang yang kemarin teh Mun minta, ini gaji seperti biasa." Umi mengulurkan uang, kupandangi wajahnya merasa bersalah.

"Nggak apa-apa Umi, diizinkan tetap bekerja di sini aja saya sangat bersyukur, terima kasih sekali."

***

Maaf ya teh Mun, bisik hatiku.

Sebenarnya aku tak tega menolak permintaannya, tapi memang belum bisa. Mungkin teh Mun memandang keluarga kami berkelimpahan. Anak-anak kami sekolahkan di pondok pesantren dan sekolah terpadu, yang bukan rahasia lagi, biayanya sangat mahal di bandingkan sekolah biasa. Tapi rasanya nggak perlu aku cerita ke teh Mun bahwa kami sering nunggak bayar SPP anak-anak, atau nunggak tagihan bank atau yang lain-lain untuk alasan tidak bisa membantunya. Aku khawatir menyakiti hatinya, kalau dia tau gajinya sebulan tidak cukup untuk biaya sekolah seorang anak kami.

"Nur, kasian teh Mun, dia nggak ada pekerjaan selain di sini."

"Ya sudah Mi, nggak apa apa," jawabnya, kecewa.

"InsyaAllah nanti ada alternatif lain untuk Nur, sekarang konsentrasi dulu dengan kursus dan murojaah hafalannya. Semoga bantuan kita ke teh Mun, dibalas dengan kebaikan yang sesuai dengan kebutuhan kita. Allah tak pernah menyia-nyiakan kebaikan hambaNya."

"Amin."

***

Friday, January 17, 2014

ROYAL

Selama ini aku sering mendengar tentang aksi seorang calon dihadapan para simpatisannya. Baik itu calon bupati, walikota, gubernur ataupun calon legislatif.

Sayangnya, yang sering jadi pembicaraan bukan gaya orasinya, penyampaian visi misinya atau sesuatu yang berhubungan dengan apa yang akan dilakukannya nanti ketika terpilih dan menduduki posisi yang sekarang sedang ditujunya, tetapi lebih pada aksi spontanitasnya di panggung ketika berlangsungnya pertemuan dengan calon pemilihnya.

Pernah suatu saat, seorang teman yang ikut lomba antar guru TK, mendapatkan hadiah umroh tanpa ada sebab yang menjadi alasannya. Bukan karena juara, tapi semata mata sang calon menunjuknya begitu saja. Tentu saja yang bersangkutan terkejut mendapat hadiah yang tak pernah disangkanya, tapi kemudian ya sangat senang dan bahagia. Ini rizki dari Allah, undangan ke rumahNya dengan cara yang Dia kehendaki.

Beberapa hari lalu aku berkesempatan menyaksikan aksi serupa, dalam sebuah acara seminar yang bertabur door price yang terpampang di undangan dan brosur, tentu saja menarik minat, baik itu ilmunya maupun door pricenya.

Beberapa door price sudah disediakan panitia, tentu saja dana dari para sponsor, yang untuk mendapatkannya sudah diatur oleh panitia untuk memeriahkan berlangsungnya acara.

Ada beberapa cara mendapatkan keberuntungan itu, antara lain, menjawab pertanyaan pembicara, aktif dalam merespon, dan tentu saja dengan kocok undian.

Selain itu, ada door price yang luar biasa, berupa alat alat rumah tangga yang berharga lumayan, di atas satu juta, tetapi barangnya belum ada, akan di antar ke tempat.

Tiga orang beruntung mendapatkannya, tinggl tunggu di rumah, nanti barang akan di antar. Tak akan ada yang meragukan, karena beliau adalah orang yang terkenal tepat janji.

Apa yang menarik?

Cara menentukan siapa yang beruntung!

Hanya dengan menebak isi tas dan melanjutkan pernyataan beliau!

Ups! wooow!

Aku berdecak kagum. Hmmmm, enak banget yach?

Ah, koq jadi iseng nih, pengen tahu apa yang ada dibenak para hadirin. Tapi keinginan ku tahan.

Keesokan harinya aku berkesempatan bertemu dengan sebagian peserta yang hadir pada acara itu, hmmm ini saatnya menuntaskan rasa ingin tahuku, he he he, survey kecil kecilan.

"Kalau menurut saya itu bagus, menunjukkan bahwa beliau punya empati, ingin menyenangkan konstituennya, nggak masalah."

"Kaget sih, wuihh, royal banget? eh, itu dana pribadi ya?"

"Sepertinya kurang tepat sasaran. Sebaiknya, walaupun ingin memberikan kesan spontan, sebaiknya ada kordinasi dengan panitia, sehingga panitia bisa merekayasa bagaimana agar hadiah itu tepat sasaran, sampai kepada yang benar benar membutuhkan."

"Mungkin akan lebih baik kalau diratakan, maksudnya, harganya di kecilkan, yang mendapatkan lebih banyak orang."

"Ya memang sudah rizkinya yang dapatlah."

He he he, itu pendapat yang hadir, sebagian besar simpatisan, nah bagaimana pendapat umum?

Yang pasti, di musim seperti ini, apapun tindakan yang dipilih dan dilakukan para kandidat akan menuai pro dan kontra dari masyarakat, tinggal bagaimana sang kandidat bijaksana mengapresiasi pendapat pendapat tersebut dan mengambil pelajaran.

Wednesday, January 15, 2014

BUKAN KEBETULAN

14.45.

"Mi, tolong berikan ke mas Kholid ya, ini pesanan herbal untuk anaknya," suamiku menyerahkan plastik berisi herbal, saat aku bersiap siap mengeluarkan motor, akan menjemput anak anak.

"Mas Kholid nunggu di mana?"

"Di sekolah, menjemput anaknya."

"Oke, Assalamu'alaikum."

 ***

Kupelankan laju motor ketika akan memasuki jalan utama, tak sengaja kulihat ada motor parkir di pinggir jalan, dan. . . mengapa pengendaranya melambaikan tangan? Kuhentikan motor di dekatnya, ooo ternyata mas Kholid.

"Lho, koq di sini mas?"

"Ya mba, habis nganter anak di kompleks atas, ada herbalnya?"

Kuserahkan pesanannya, dia ulurkan uang seratus ribu.

"Berapa mba?"

"Lima puluh ribu," kuterima uang yang diulurkannya. Kuambil dompet dari saku jaket, kubuka. . . taraaa! kosong, he he he kuingat ingat, ooo, ternyata tadi pagi semua uang kupindahkan ke dompet belanja, sedang kalau pergi pakai motor, aku bawa dompet yang berisi SIM  dan STNK.

"Bawa dulu mas, nggak bawa uang."

"Wah, nggak enak dong mba, tapi saya punyanya hanya ini," jawabnya sambil celingukan melihat sekitar, mungkin mencari warung untuk menukarnya.

"Nggak apa apa mas, seperti sama siapa aja." jawabku, mencairkan suasana.

Akhirnya dimasukkan juga uang itu kembali ke dompetnya, aku pamit duluan melanjutkan perjalanan. Jujur, sempat terbersit di hati sedikit rasa khawatir, keluar rumah tanpa membawa uang. Ingat kejadian beberapa waktu lalu, pergi sendiri, ban motor bocor, kemudian di bengkel ketahuan, ternyata ban dalam jebol,harus ganti baru, untung waktu itu ada uang di kantung. Tapi segera kutepis rasa khawatir itu, insyaAllah nggak ada apa apa, misalnyapun ada, semoga dimudahkan mengatasinya, amin.

Kunikmati perjalanan dengan santai, walau kecepatan motor agak tinggi, mumpung sendiri, tanpa tambahan beban boncengan.

Belum lima menit, kudengar suara dari bagian bawah motor, apa ya? standar? kuhentikan motor ditepi, kaki kujulurkan ke bawah motor, di tempat standar. Tidak ada masalah, standar sudah kunaikkan. Ok, kujalankan lagi motor, masuk gigi satu, tapi. . . mesin menderu, tapi motor tidak beranjak maju, ups! ada apa ini?

Aku turun dari sadel, melongok kebagian bawah, tapi  tak kutemukan hal yang aneh, apa karena nggak ngerti motor ya? he he he.

Bagaimana ini? Segera kukeluarkan hp, nelpon Abi, menceritakan yang terjadi.

"Kenapa mbak?" terdengar suara dari belakang.

Kubalikkan badan mencari arah suara, oo ternyata mas Kholid sudah menghentikan motornya, turun dan menghampiri motorku.

"Belum tahu mas, tiba tiba berhenti, dan nggak mau jalan, tapi mesinnya hidup."

"Lha, gimana mau jalan? Rantainya lepas mba."

"He he he, udah tak liat tadi, tapi nggak tau kalo begitu itu lepas," jawabku senyum malu.

Mas Kholid segera memperbaiki rantai, hanya beberapa detik.

"Tapi harus tetap ke bengkel mba, dikencengin, biar nggak lepas lagi," katanya sambil mengulurkan uang lima puluh ribu, rupanya dia tadi menukarkan uang tadi. Alhamdulillah, tadi sempat terfikir masalah uang waktu motor tak mau jalan.

Segera kujalankan motor perlahan, hati hati, jangan sampai rantai lepas lagi. Untunglah bengkel tak terlalu jauh.

Ternyata rantai sudah kendor, harus dipotong, ok, artinya perpanjangan waktu dari perhitungan awal.

Setelah semua beres, kulanjutkan perjalanan.

***

16.00

Alhamdulillah, sampai rumah. Ups! Pasti terlambat lagi nih ngisi pengajian, belum sholat, belum siap siap, untuk antisipasi ku sms salah satu peserta, minta untuk memimpin pembukaan dan tadarus, aku terlambat.



Monday, January 13, 2014

PASTI KECEWA

Setiap kita butuh sosok untuk menjadi sesuatu, apapun itu.

Sayangnya, kita pasti akan kecewa ketika menjadikan seseorang yang masih hidup sebagai sosok panutan.

Apakah itu berarti kita tak perlu menjadikan sosok yang masih hidup menjadi panutan? Karena suatu saat nanti bisa jadi kita akan kecewa? Bagaimana kita akan mengarahkan anak menjadi sesuatu jika tanpa sosok yang bisa dilihatnya?

Bagaimana kita bisa menjembatani antara sosok yang ada sekarang dengan sosok Rasulullah yang dijadikan Allah sebagai panutan?

Ini PRku, bisa bantu?

Sunday, January 12, 2014

DINGIN

Brrrr! Angin menerpa wajah ketika kubuka pintu, o o, ternyata rinai hujan hadir menghiasi sejuknya pagi ini. Tidak terlalu deras, tapi lebih rapat jika disebut gerimis.

Pagi ini mau tidak mau, aku harus mengantar anak anak ke sekolah. Suami sedang keluar daerah, sedangkan ojek, hampir semua mempunyai pelanggan tetap.

Bukan hal yang ringan, membonceng dua orang dengan motor butut, kondisi hujan, tentunya harus menggunakan jas hujan, ribed, pagi hari yang pasti jalanan ramai plus macet ditambah lagi sudah lumayan lama aku tidak bawa motor senditi.

Kukenakan jas hujan yang aromanya agak mengganggu hidung karena agak lembab, maklumlah, sedang musim hujan, jadi sering dipakai, kadang tak sempat dikeringkan sampai tuntas. Kupasang helm sesuai standar, klik! Haaa, kalau sudah begini, perasaan seperti astronot yang siap berangkat ke bulan, he he.

Benar! Baru saja memasuki jalan utama, langsung terjebak dalam kemacetan, kewaspadaan harus ditingkatkan, dampaknya? tegang!

Kuhela nafas, hirup dalam dalam, lepaskan perlahan. Ketegangan akan sangat membahayakan, itu sebabnya harus dihilangkan, setidaknya dikurangi. Perlahan tapi pasti, ketegangan dan kekhawatiran terkurangi, tokh takkan ada yang akan terjadi tanpa izin dari Ilahi? Ketegangan dan kekhawatiran kuganti dengan dzikir sepanjang jalan.

Lampu merah! Aaaah, titik yang tak kusukai dalam kondisi seperti ini. Mata, tangan dan kaki harus kompak berkordinasi, stang, gas, rem,gigi, kaki siap setiap saat untuk jadi standar saat harus berhenti, antri.

Polisi! Sosok yang paling kunanti saat-saat begini, terutama di tikungan saat aku harus berpindah jalur. Tanpa polisi, butuh waktu lebih lama, kalkulatorku sering macet terkontaminasi rasa takut salah perhitungan terhadap kecepatan kendaraan lain. Adanya polisi membuatku tenang, tinggal menanti gerakan tangannya, saat kapan aku bisa menyeberang.

Alhamdulillah, sampai tujuan. Setelah sungkem plus cipika cipiki cidahi, aku segera putar haluan, melaju kencang, pulang. Jalur pulang tak sepadat ketika berangkat, tapi tetap saja tak bisa ngebut seperti biasa, dingin angin yang menerpa, guyuran hujan yang tak juga mereda, membuat tangan terasa kaku bila terlalu ngebut, yach, kurangi sedikit, agar tak membeku ketika sampai di dumah.

Jauh berbeda ketika aku dibonceng. Mata bisa menikmati peristiwa sepanjang jalan, otak bisa merangkai plot untuk menjadi tulisan, kadang kalau perlu bisa teleponan atau smsan, daaan, jika perjalanan itu lumayan memakan waktu, kadang kusempatkan membaca buku saku yang selalu menyertaiku.

Saat-saat seperti inilah yang membuatku lebih bersyukur dengan apa yang menjadi bagianku, menjadi orang rumahan yang tak harus tegang sepanjang hari mengukur jalan. Semus tugas kehidupanku nyaris bisa kulakukan di rumah dan lingkungan yang masih dapat terjangkau oleh langkah kaki., baik sebagai istri, sebagai anak, sebagai anggota masyarakat, pun juga sabagai seorang dai. Hanya satu hal yang sering menjadi masalah, yaitu kejenuhan.

Hal lain, dengan merasakan sendiri, aku bisa merasakan aktivitas suami dan dampaknya, sehingga bisa lebih mengerti dan memahami.

MEMAHAMI PENULIS

Sejak membuat blog dan mempublikasikan isinya lewat face book, banyak reaksi yang saya terima dari sahabat sahabat, baik yang hanya berteman di dunia maya, maupun yang benar-benar bertemu muka.

Berbagai reaksi yang saya terima antara lain: 

1. Berupa pertanyaan, benarkah apa yang saya tuliskan? 
Pertanyaan ini biasanya menyangkut tulisan saya yang berupa cerita. Dalam bercerita saya sering memposisikan diri sebagai salah satu tokoh, dengan maksud agar lebih menghayati keberadaan tokoh tersebut. Mungkin karena begitu terbawanya pembaca pada isi tulisan, cie...cie...sehingga pembaca merasakan saya sebagai sosok yang saya wakili.

2. Berupa komplein (semoga tulisannya nggak salah).
Reaksi ini saya dapatkan untuk tulisan tulisan yang beraroma kontroversi, dan saya yakin, komplein mereka layangkan atas dasar cinta dan sayangnya kepada saya, yang tak ingin saya terlalu jauh terjerembab dalam keliaran pemikiran.

Untuk sementara dua reaksi tersebut yang saya bahas, dan penjelasan saya dominan pendapat pribadi, mungkin bisa juga mewakili beberapa pendapat dari teman-teman yang suka menulis ( he he belum terlalu pe de menyebut diri sebagai penulis ).

Benarkah apa yang saya tuliskan terjadi? Peristiwa nyata? True story?

Jujur, hampir semua tulisan saya ambil dari peristiwa nyata, tetapi tidak semua peristiwa itu menimpa saya.

Ada beberapa proses ketika menuangkan ide dalam tulisan, antara lain:

1. Ada peristiwa yang bisa diambil hikmahnya, jadi tujuan dari tulisan itu adalah menggiring pembaca untuk mengambil hikmahnya, karena belum tentu yang mengalaminya sendiripun bisa mengambil hikmahnya, apalagi orang lain yang hanya menyaksikan atau mendengarnya, lebih-lebih yang tidak mengalami, mendengar atau menyaksikan peristiwa tersebut. Saya berharap hikmah dari peristiwa itu akan sampai dan diambil manfaatnya oleh lebih banyak orang dengan membaca tulisan-tulisan saya.

2. Kadangkala tulisan sekedar curahan hati, pelepasan beban perasaan. Jujur, kadang dengan menuliskan apa yang saya rasakan, dapat mengurangi beban yang menghimpit dada, itupun tidak lepas dari upaya untuk menyampaikan pesan dan hikmah yang bermanfaat, juga upaya saya untuk mengambil hikmah sekaligus solusi. Saya fikir, dari pada bergulat dalam batin sendiri, lebih baik dikeluarkan, toh tidak akan ada korban, bahkan bisa meringankan pembaca yang juga mengalami beban perasaan yang sama, karena merasa tidak sendiri.

3. Ada momen, misalnya peringatan/ perayaan hari penting tertentu. Momen dimanfaatkan, mengingat kesiapan pembaca untuk menerima pesan tentang sesuatu yang berkaitan dengan momen tertentu, sehingga lebih mudah ditangkap.

4. Ketika nafsu menulis menggila, ingin disalurkan. Ini saat mengorek-ngorek bank ide, atau saat cuci mata mencari mangsa untuk dijadikan bahan tulisan, atau kadang merem melek menerawang mengenang kenangan-kenangan masa lalu, atau menelisik mimpi-mimpi yang pernah terpatrikan di alam bawah sadar.

Sementara itu dulu yang  saya bahas, sebagai upaya menghilangkan prasangka yang tidak perlu dari sahabat-sahabat yang begitu sayang dan memperhatikan.

SEBERAPA BESAR CINTAKU PADAMU?

lisan ini fasih berujar
kaulah manusia yang paling aku cinta

tangan ini menulis dengan lancar
kaulah manusia yang teramat kucinta

bibir ini lentur berujar
kurindu jumpa denganmu

tapi mana buktinya?

harusnya kalau cinta mengikuti selera yang dicinta
sedang aku masih asyik dengan seleraku sendiri

harusnya kalau cinta membela yang dicinta
tapi aku belum juga tahu cara membelamu

harusnya kalau cinta selalu mengikuti apa katanya
tapi aku masih suka menunda nunda

harusnya kalau cinta ingin tahu tentang semua seluk beluknya
tapi aku masih cuek cuek saja dan kurang usaha

pantaskah aku merindukan berdekatan denganmu?
layakkah aku ingin hidup berdampingan denganmu?
tak malukah mengharap syafaat darimu?

Allahumma sholli'ala Muhammad

PERUBAHAN

terkadang manusia tak siap dengan perubahan
padahal perubahan adalah tabiat dari kehidupan

mungkin cinta takkan abadi
kemarin cinta sekarang benci

bisa jadi sayang akan berkurang
bisa jadi bahkan akan ditendang

ketidaksiapan akan wujud sebagai reaksi
jadi ukuran ketawakalan diri

Saturday, January 11, 2014

RINDUKU SEMAKIN SUBUR DI KBM


Belum ada jawaban Kiki. Mungkinkah jarak yang membentang menyurutkan langkahnya? Menyuburkan keraguannya? Apakah memang dia hanya mempermainkan perasaanku? Tapi aroma rindu itu masih kurasakan bahkan semakin mengental.

“Nia! Tolong buatkan kopi nduk, bapak sudah mulai ngantuk, sedang pekerjaan belum selesai.”

“Nggih pak.” Aku segera beranjak ke dapur, memenuhi permintaan bapak.

Aroma kopi yang kuaduk perlahan dengan teknik mengaduk yang diceritakan Kiki dalam postingan postingannya, justru membawaku melayang, menghadirkan bayangan Kiki. Secara fisik aku belum faham betul, maklumlah, hanya melhat dari profil facebooknya. Tapi aku merasakan begitu dekat dengannya, walaupun mengenalnya hanya lewat postingan dan inboxan beberapa kali. Ada yang berdesir dalam hati, seperti desir ketika aku membaca postingan kerinduan Kiki di KBM. Apakah virus rindu sudah menjangkiti hatiku? Ahhh , apa aku sudah sama gilanya dengan Kiki? Merindukan seseorang yang belum pernah bertemu? Apakah mangkuk hatiku sudah menampung kerinduannya?

Ahhhh, benar benar gila. Kekuatan virus merah jambu mampu menembus jarak dan waktu rupanya, akankah aku jadi korbannya?

“Nduk! Mana kopinya? Ketiduran ya?” terdengan suara bapak memanggilku, sempat membuatku terlonjak, tersadar dari lamunan.

“Nggih pak, sudah jadi koq,” jawabku sambil melangkah ke ruang tengah. Setelah kopi kuletakkan di meja, kuambilkan kaleng biskuit di lemari, sebagai peneman kopi.

“Nia bobok duluan nggih Pak?” pamitku.

“Ya tidurlah duluan, terima kasih kopinya.”

“Ya Pak, sama sama.”

***

Sanggupkah aku menerima tantangannya?

Menemui orang tuanya? Sekedar bertemukah? Berkenalan dulu? Atau itu bahasa isyarat Nia agar aku segera melamarnya?

Sampai kapankah aku harus menahan siksaan kerinduan ini? Cukupkah rindu atau mungkin kata Lutfi, cinta, ini menjadi dasar aku melamarnya?

“Fi, maksud Nia meminta aku menemui orang tuanya apa ya?”

“Bego banget sih lo, Ki! Ya itu artinya minta dilamar!”

“Secepat itu?”

“Trus lo pikir suruh apa?”

“Ya mungkin maksudnya kenalan dulu, pedekate dulu.”

“Pacaran maksud lo?”

“Mungkin begitu.”

“Ooo, jadi lo nggak ngerti maksud Nia? Artinya lo belum faham dong sama dia?”

“Belum faham gimana?”

“Yaaa, payah lo! Nia tuh jenis manusia anti pacaran!”

“Ngerti lah Fi, Nia nggak bakalan mau pacaran seperti pada umumnya, yang pake ketemuan dan seterusnya yang mengarah pada maksiat, tapi inikan nggak ketemu? Pacaran jarak jauhlah.”

“Itukan pikiran lo, emang gitu yang dipikir perempuan? Terutama Nia?”

“Belum faham banget sih.” Jawabku ragu.

***

Rasa ini benar benar telah menyiksaku, setiap hari aku menantikan postingan Kiki. Sykurlah, setiap hari Kiki selalu posting di KBM, entah itu cerpen, puisi atau curhat singkat. Kadang kuhitung sampai lima kali posting sehari, dan tentunya tetap dengan aroma kerinduan yang semakin terasa. Ternyata kerinduan membuatnya lebih produktif menulis.

Nia

Ya?

Maaf, dalam waktu dekat aku belum bisa menemui orang tuamu.

Tak kujawab, bingung menjawabnya. Aku senang jika Kiki menyapaku, lewat inbox, tapi kalau ini dibiarkan, sepertinya akan mengganggu hati, mengurangi bahkan menghilangkan kekhusyu’anku.

Nia

Ya?

Koq nggak jawab?

Aku bingung menjawabnya.

Apa Nia keberatan?

Gimana ya? Apa itu artinya Kiki nggak sungguh sungguh?

Bukan! Bukan begitu, tapi aku harus menyiapkan segala sesuatunya, dan sepertinya sulit kalau bisa kuselesaikan dalam waktu dekat.

Oke, Nia berusaha untuk percaya, tapi tolong , jangan inbox sebelum jelas kapan tanggal kesanggupan Kiki menemui bapak. Satu hal lagi, Nia ingin menikah dengan orang yang benar benar bisa menjadi imam, menuntun Nia di jalan Allah dan sampai selamat kesurgaNya nanti.
Maaf Ki, itu semua untuk kebaikan kita, terutama kebersihan hati. Aku tak ingin mengotorinya, mengganggu kekhusyuan ibadahku, mengertilah. Percayalah, kalau Kiki memang orang yang ditentukan Allah sebagai jodoh dan imam bagi Nia, maka Dia akan memudahkan jalannya.

Tapi Nia . . .

Bersungguh sungguhlah, niat baik akan dipermudah Allah untuk mewujudkannya.

Air mata ini tak sanggup bertahan dikelopak mata. Tumpah! Itu artinya kerinduan ini akan semakin memanjang, sanggupkah aku meniti hari hari dengan gelayutan rindu yang semakin memberat.

Aku teringat kisah Ibrahim bin Adham, seorang hamba yang sholih yang begitu mencintai Allah, rindu berjumpa denganNya, gelisah ingin selalu berjumpa denganNya, dia melantunkan doa untuk menenangkan hatinya.

“Ya Allah, ridhakan aku dengan ketentuanMu, sabarkan aku atas ujianMu dan tuntunlah aku untuk mensyukuri nikmatMu, karena kerinduan ini akan menemukan ketenangannya di akherat.”

Walaupun doa ini untuk kerinduan jumpa dengan Allah, sepertinya bisa kupakai untuk menentramkan hati. 

Doa ini juga yang selalu kupakai ketika rindu membuncah pada ibu yang terpisah jarak.

***

Jawaban Nia membuatku lunglai. Apa yang bisa kulakukan? Hehhhh!

Menulis, menulis dan menulis! Sementara itulah jalan keluarnya.

NYALEG

"Kenapa Abi mau?" tanyaku dengan nada agak tinggi.

"Kenapa juga Abi harus menolak?" suamiku balas bertanya, dengan nada agak heran.

"Jadi calegkan banyak resikonya?"

"Misalnya?"

"Modal finansial, mana ada orang jadi caleg nggak pake modal?"

"Insya Allah, nanti ada rizkinya."

"Kemampuan, baik menjaring suara maupun ketika jadi anggota legislatif, nggak ada latar belakang pendidikan politik."

"Abi nggak kerja sendiri, jadi caleg juga bukan kemauan, tapi diberi kepercayaan. Kerjanya tim, kalau toh Allah mengizinkan Abi terpilih, insya Allah diberi kemampuan untuk mengemban amanah. Kitakan pembelajar, terbiasa belajar cepat."

Aku diam, tak ada yang bisa kubantah dari penjelasan suami, tapi hatiku belum ikhlas dan ridho, masih ada ganjalan.

"Umi takut fitnah, dunia politik penuh dengan fitnah." kataku lirih.

Suamiku bangkit dari duduknya, berpindah ke sebelahku, merapat, tangannya merengkuh bahuku sambil diusap usapnya, menenangkan perasaanku.

"Sudah berapa lama kita di jalan ini? berbagai jenis medan sudah kita masuki, dakwah kampus, sekolah, masjid, ormas, TPA, masyarakat umum, saatnya kita diamanahi di medan politik. Komitmen kita di jalan ini mengharuskan kita menerima amanah ini. Kita bekerja bukan untuk siapa siapa, semuanya kita niatkan bekerja untuk Allah."

Aku diam, mendengarkan dan mencoba meresapi. Sebenarnya secara konsep aku faham sekali, tetapi ketika sampai ranah aplikasi, heeeeh, masih jirih, membayangkan fitnah yang dihadapi teman teman yang sudah lebih dulu terjun di dalamnya. Selama ini kami sebatas mendukung dan menjadi relawan, tapi kini, diamanahkan untuk melakoninya.

Berbagai jenis fitnah mereka alami, menyangkut masalah kurangnya dukungan keluarga, kecemburuan dari teman teman yang punya ambisi tapi belum diberi kesempatan, waktu yang tersita, lelah fisik dan fikiran, besarnya dana yang harus disiapkan, dan lain lain.

"Secara konsep Umi faham dan tak hendak mengelak, tapi dalam teknisnya nanti yang belum terbayangkan."

"Kita jalani semampu kita, tak hendak memaksakan diri. Ketika kita diamanahi, maka mindsetnya 'berhasil', masalah nanti bagaimana yang terjadi, kita pasrahkan pada Allah. Semoga amanah ini justru bisa lebih mendekatkan diri kita kepada Allah."

Walau masih berat, aku berusaha untuk lapang dada. Sebagai pendamping, mau nggak mau ya mendukung, semoga semua berjalan lancar.

***

Apa yang aku khawatirkan sebagian terjadi, bahkan yang belum terbayangkan sebelumnya lebih banyak lagi.

***

"Semua partai sama aja! halal haram hantam, yang penting menang." ada suara dari tetangga yang sudah pesimis dengan partai atau yang mendukung calon lain, sampai ke telingaku, tapi tidak langsung, melalui salah satu binaan di Majelis Ta'lim.

Belum ada suara miring langsung sampai ke telingaku, semua disampaikan oleh orang ketiga. Yang aku rasakan dari raut muka, ada yang sinis ketika membicarakan tentang pencalegan suamiku, tapi aku tak ingin bersu'uzdon, belum tentu benar, hati orang hanya Allah yang tahu.

Ada juga beberapa orang yang sebelumnya hanya kenalan biasa, tiba tiba mendekat, dengan bahasa halus menawarkan diri jadi tim sukses. Suami menyambutnya, selagi masih bisa direspon dengan baik, mereka adalah bagian dari sasaran dakwah. Mereka menawarkan keluarga besarnya untuk disosialisasi, tentunya biaya mengumpulkan orang menjadi tanggungan caleg dan timnya.

Kesempatan seperti itu digunakan sebaik baiknya, bukan sekedar sosialisasi, tapi ada sesuatu yang bisa diberikan di masyarakat. Suami lebih memilih membagikan ilmu dibandingkan materi, misalnya mengadakan pelatihan bebas buta huruf Al Quran, atau pelatihan tentang tanaman obat dan sebagainya, atau sekedar tausiyah/ siraman rohani.

Itupun menimbulkan fitnah dan kesinisan, ada yang sampai ke kami komentar 'menjual agama' untuk mencari kekuasaan, caleg kere, nggak pake modal, dan sebagainya.

Ketika dalam kondisi badmood, aku menangis, kuusahakan tidak terlihat suami, aku mengadu hanya pada Allah, tapi untuk urusan yang butuh solusi, aku selalu menyampaikannya pada suami.

Bukan hal mudah sebenarnya untuk kondisi ekonomi keluarga kami, tapi suami selalu memberi motivasi,

"Ini kesempatan kita untuk berinfaq, mungkin kalau Abi tidak dicalonkan, kita tidak akan pernah berinfaq sebanyak ini?"

***

"Maaf ya Bi, kadang Umi berharap Abi nggak jadi, Umi sepertinya belum siap memasuki dunia yang penuh fitnah ini."

"Fitnah ada di mana-mana, tidak hanya ada di dunia politik, tapi karena dunia ini banyak di kejar oleh orang-orang yang senang dengan kekuasaan, wajarlah kalau masing masing pihak membuat strategi untuk memenangkan permainan, salah satunya dengan perang pemikiran, membesar besarkan opini fitnah di dunia politik, sehingga orang orang yang berusaha membersihkan diri dari kotornya dunia, enggan masuk ke dunia ini. Bayangkan, kalau semua orang baik menghindar dari dunia politik, tentunya dunia politik dikuasai oleh orang orang yang tidak ada minat untuk menyebarkan nilai nilai kebaikan, Kebijakan kebijakan yang dibuatpun tidak memihak pada kebaikan, membela rakyat, melindungi yang lemah. Itu sebabnya dibutuhkan orang orang baik yang siap masuk ke dunia yang dianggap kotor ini, tapi tidak terkontaminasi kekotorannya. Kalau masyarakat mau jujur, tidak apriori, masih banyak koq tokoh politik yang layak dijadikan panutan."

***

"Kupasrahkan segalanya kepadaMu ya Rahman. Berikanlah kekuasaan kepada orang orang beriman yang amanah, beri kekuatan dan kesabaran kepada mereka."

Thursday, January 9, 2014

OBROLAN BERTEMA

Sore yang kurasakan begitu berat!

Hujan turun lumayan deras, langit gelap, seharusnya aku sudah bersiap siap untuk berangkat. Tapi malas begitu mendominasi, berat terasa batin ini tuk melangkahkan kaki. Begitu banyak hal yang menggelayuti dan menginginkan aku tetap di rumah, bermalas malasan di depan lepi.

Sore ini jadwal rutin aku mengisi majelis ta'lim mingguan, yang pesertanya ibu ibu penghuni komplek, para tetangga. Sudah bertahun tahun aku membina mereka, sehingga terasa sudah tak lagi berjarak, seperti keluarga sendiri. Yang seusia seperti sahabat, yang lebih muda seperti adik, yang jauh lebih muda sudah menganggapku seperti ibu sendiri.

Umi mau dijemput? bunyi sms salah satu peserta majelis tailim.

Boleh, kebetulan Umi lagi nggak ada payung, jawabku.

Sambil menunggu jemputan, aku mempersiapkan diri, hati dan fisikku. Kulembutkan hati, hadirkan keikhlasan walau tak sempurna, kupersiapkan tema apa yang akan kubahas sore itu, sambil berganti pakaian. Sebenarnya panduan materi untuk majelis ta'lim sudah ada, bahkan seperti kurikulum, tetapi di lapangan, pelaksanaannya tak semulus ketika kurikulum itu dibuat.

Banyak hal yang menyebabkan kurikulum itu disesuaikan, misalnya, peserta yang heterogen, kehadiran peserta yang kadang kadang absen bergantian, peristiwa tertentu yang sedang hangat di lingkungan, termasuk he he he kondisi pembinanya, seperti yang terjadi hari ini.

Setelah salam dan pembukaan, kulanjutkan dengan pengantar bahasan sore ini.

"Ibu ibu , sore ini saya tidak akan memberikan materi pengajian seperti biasanya, hanya ingin sharing. Beberapa hari belakangan ini, saya merasakan jiwa saya sedang garing, kering..."

"Wah, kalau Umi sebagai guru aja garing, gimana kita, muridnya? kerontang kali ya?"

Aku tertawa mendengar celetukan salah satu peserta, melihat aku tertawa lepas, seluruh peserta ikut tertawa.  Aku tertawa sampai ke hati, mentertawakan diri sendiri. Pernyataan itu benar, seharusnya sebagai seorang guru, pembimbing, bagai oase di padang gersang, bagai teko yang penuh air agar bisa mengisi gelas gelas yang kosong.

"Idealnya begitu ibu ibu, tapi inilah kenyataannya, saya tidak biasa bertopeng (pinjam istilah mba @Bayti jannati) untuk menutupi keadaan yang sesungguhnya. Bukankah kita saudara? saling mendukung dalam kebaikan, menghibur dalam kesedihan?"

"Iya Umi, nggak apa apa, kami malah senang kalau bisa gantian menghibur, selama ini Umi yang selalu membimbing, menghibur dan memotivasi kami"

Akhirnya suasana ta'lim seperti ngobrol khas ibu ibu, tapi tetap aku pegang kendali, agar obrolan ini jelas tema dan ada judulnya.

"Ibu ibu pernah merasakan jiwa terasa kering, hampa, jenuh, tidak mood, serba salah, bawaannya pengen nangis, seolah orang sekeliling tidak ada yang memperhatikan?" tanyaku.

Mereka manggut manggut.

"Mi, kalau saya biasanya lagi banyak masalah."

"Kalau saya, ketika fisik kecapean, kerjaan nggak abis abis."

"Kalau saya, maaf, kalau sedang udzur, datang bulan."

Bergantian mereka menyampaikan pendapat dan pengalamannya masing masing.

"Kalau saya sekarang sedang akumulasi, komplikasi." imbuhku.

"Maksud Umi?" bersamaan mereka bertanya, agak heran mungkin dengan istilahku yang ganda.

"Empat hari berturut turut ada kegiatan ke luar rumah, perjalanan jauh, dalam kondisi lelah, cape, makan tidak terjaga, datanglah sang bulan, ditambah beberapa masalah yang datang bersamaan, akhirnya? Sahabat setia hadir menemani, siapa dia? Migren."

"Ooooo." koor tanpa komando terdengar merdu, diteruskan dengan tertawa berderai.

"Ya pantes Umi pake istilah akumulasi, komplikasi, segitu lengkapnya."

"Nah sekarang pertanyaannya, bagaimana solusinya? agar kehampaan itu segera berlalu? supaya kekhusyu'an hadir kembali?"

"Sholat Mi."

"Perbanyak tilawah Mi."

"Eh, gimana sih? Umikan lagi nggak sholat, nggak tilawah?"

"Eh iya ding."

"Kalau saya suka baca buku yang mengingatkan Mi, apa itu buku motivasi, kisah kisah atau lainnya, intinya untuk menghibur dan membangkitkan semangat kembali."

"Saya mah suka nenangga Mi, dengan begitu lupa dengan beban di rumah."

"Kadang saya ke minimarket, sekedar membeli coklat."

"Saya lebih suka mengikuti mood, kalau lagi pengen bermalas malas, ya tiduran aja, toh nggak ada mertua, he he he."

Aku dengarkan semua pendapat peserta, sambil ada yang senyum senyum, bahkan tertawa lepas. Aku bahagia menyaksikannya, dan itu mempengaruhi kondisi jiwaku.

"Ibu ibu, kondisi yang sedang saya alami merupakan sesuatu yang manusiawi, hampir pasti semua kita pernah mengalami, walaupun kadarnya berbeda beda dan ini tidak hanya sekali. Banyak yang bisa kita lakukan untuk mengatasinya, misalnya dengan memperbanyak dzikir, tafakur, tadabur." aku mulai mengarahkan obrolan pada tema ta'lim sore ini, peserta faham dan mulai menyiapkan catatannya serta menyimak tanpa suara.

"Hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tentram. Potongan ayat ini sering sekali dibahas, tetapi pada kenyataan, tidak semudah yang kita inginkan. Kadang kita merasa sudah berdzikir, tapi hati nggak tenang tenang juga. gundah, sedih, pengen nangis, serba salah, sensitif dan sebagainya. Di mana letak rahasianya sehingga dzikir dapat menentramkan hati?"

"Mungkin karena hanya di mulut ya Mi?"

"Ibu ibu, mengingat tuh menggunakan apa? mulut atau fikiran /hati?" tanyaku.

 "Ya pake fikiran dan hatilah Mi."

 "Benar, kalau kita ingin mendapatkan ketenangan dengan mengingat Allah, maka kita harus hadirkan hati dan fikiran ketika lisan kita melafazkannya, satu lagi, di dalam Al Quran, biasanya kata dzikir bergandengan dengan katsiro, artinya banyak. Di situlah letak masalahnya, kadang kita dzikirnya kurang banyak dan tidak menghadirkan hati dan fikiran. Allahkan nggak pernah ingkar janji? Jadi kalau kita berdzikir dengan benar, nggak mungkin Allah nggak menurunkan ketenangan."


"Mi, sholat teermasuk dzikir ya? Saya akan mendapat ketenangan kalau bisa sholat dan munajat."

"Sholat merupakan dzikir yang terbaik, tapi kita nggak bisa sholat sewaktu waktu, apalagi perempuan."

"Dzikirnya apa aja Mi?"

"Apa aja, boleh istighfar, tasbih, tahmid, tahlil, doa doa, atau sholawat."

"Selain dzikir dengan cara apa lagi Mi?"

"Bisa dengan tadabbur, mendalami dan menghayati, juga tafakkur, memikirkan dan merenungkan, misalnya baca terjemah Al Quran, tafsir, hadist, shiroh atau kisah salafusholih, orang orang sukses, orang orang gagal, kejadian alam atau perjalanan hidup kita sendiri."

"Setiap orang mempunyai resep untuk melewati masa masa itu, kalau saya. selain yang dijelaskan di atas, ada cara lain, contohnya hari ini. Dalam kondisi berat hati, badan lesu, bad mood, saya menemui ibu ibu dalam acara sore ini, apa yang saya dapat? Kewajiban tertunaikan, mendapat kegembiraan, berbagi ilmu, atau cara lain dengan membahagiakan orang lain, menolong orang lain."

"Bisa ya Mi? kondisi kita sedang butuh ditolong, dihibur, didengar, tapi justru menolong dan membahagiakan orang lain?" seorang ibu bertanya dalam keraguan.

"Bisa, dan saya sering membuktikan itu." jawabku mantap.

"Subhanallah, alangkah indahnya, jika kita dalam kondisi tidak bahagia tapi bisa membahagiakan orang lain."

"Benar bu, Allah berjanji, jika kita melepaskan kesulitan yang sedang dialami saudara kita, maka Allah akan menolong kita disaat kita butuh pertolongan, jadi ketika kita menolong saudara kita, Allahlah yang menolong, melepaskan kita dari situasi yang tidak nyaman itu."

"ooo."

Alhamdulillah, gundahku hilang, mood membaik, dan ketika tiba di rumah, senyumku sudah lebar kembali.

Wednesday, January 8, 2014

SENJATA DAHSYAT

kekuatannya hancurkan bongkahan kesombongan

guyurannya meredam bergolaknya api kemarahan

kelembutannya lilihkan kedongkolan

kehangatannya cairkan kebekuan

semburatnya rekahkan aura kecantikan

#Senyum tulus dari hati yang ikhlas

SENYUM

mentari enggan menampakkan diri

terhalang mendung yang menggelayuti

kurindu senyummu tuk pengobat hati

mengusir berat beban kehidupan ini

semangat pagiiiiiii

#Sms pagi tuk abi yang berangkat dengan cembetut

VAKSINASI

"Maaf suster, bayi saya tolong jangan di imunisasi." pintaku pada perawat yang mengantarkan bayi setelah dimandikan.

"Lho, ibukan tahu, program di klinik ini, setiap bayi yang lahir, sebelum pulang, harus di imunisasi Hepatitis dulu. Bukankah ibu sudah berulang kali melahirkan di sini?" jawab suster agak tak nyaman di telingaku.

Mungkin dia ingat, kemarin aku juga melarangnya memberikan susu formula ketika bayiku menangis.

"Saya tahu suster, tapi tolong sampaikan hal ini pada dokter Wulan."

Tanpa menjawab, perawat itu meninggalkan kamar. Kuhela nafas, mencoba memaklumi sikapnya, Aku tahu dia kecewa, tapi biarlah, mungkin dia khawatir ditegur pimpinannya karena tidak bisa membujuk pasien untuk mengikuti program klinik.

***
"Bu, koq tadi nggak ke posyandu?" tanya Linda, salah satu kader posyandu di komplek perumahan kami.

"Tadi ada pertemuan orang tua murid di TK, sedang Abu Farha sedang mengantar pesanan ke luar kota, jadi saya yang hadir."

"Adik Farha sudah lima bulankan umurnya? Tapi di posyandu tidak ada catatan, memang imunisasi di mana? Dokter spesialis ya?" tanyanya dengan nada yang agak aneh kurasa ditelinga.

"Untuk yang ini memang kami niatkan tidak akan di imunisasi."

"Apa Ibu tidak takut adik Farha terjangkit penyakit penyakit yang berbahaya itu?"

"InsyaAllah nggak." jawabku mantap.

Kulihat rona keheranan di wajahnya.

"Sepertinya menarik, bisa Ibu jelaskan alasannya?" Linda menunjukkan kesungguhannya ingin mendengar penjelasanku.

"Kami hanya berusaha menjaga adik Farha dari memasukkan barang yang diragukan kehalalannya dan zat berbahaya ke dalam tubuhnya."

"Memang vaksin haram?" tanya Linda, matanya membelalak.

"Apa kader tidak diberi tahu bagaimana vaksin dibuat?"

"Tidak, kami hanya dibekali dengan ilmu bagaimana memotivasi orang tua balita, keuntungan imunisasi, dan teknik pelaksanaannya di posyandu."

"Saya banyak dapat informasi, dalam proses pembuatan vaksin, ada unsur bahan haram yang dipakai untuk proses, baik itu dari unsur babi, kera , dll."

"Tapi mengapa MUI membiarkan? bukankah tugasnya melindungi umat?"

"Dalam setiap penciptaan umumnya ada manfaat dan mudhorot, termasuk vaksin. Secara keilmuan vaksin bermanfaat walaupun tetap ada juga efek sampingnya, tetapi secara keimanan, ada mudhorot di dalamnya."

"Memang vaksin haram ya Bu?" tak dapat ditutupi, Linda penasaran, diulanginya pertanyaan tentang keharaman vaksin..

"Apa kader posyandu tidak diberi penjelasan masalah ini?"

Linda menggeleng, tanpa mengalihkan tatapannya, menanti penjelasan.

"Informasi sudah terbuka lebar, tak ada lagi yang bisa ditutup tutupi, siapa yang mau mencari, maka dia akan mendapat informasi yang dibutuhkannya. Dalam proses pembuatan vaksin, oleh produsen diakui menggunakan unsur barang haram, secara hukum syariat maka zatnya haram. sedang kondisi jadi pertimbangan, sehingga dalam perhitungan keadaan darurat yang haram bisa menjadi boleh, itu yang menyebabkan vaksinasi tetap dilaksanakan dan direstui oleh MUI, kemanfaatan dari vaksinasi dianggap lebih banyak daripada mudharatnya. Tapi negara kita menganut demokrasi sehingga warga berhak menentukan apa yang akan dipilihnya." kujelaskan dengan sederhana.

"Dan ibu memilih untuk tidak memberikan vaksin pada adiknya Farha? Ibu tidak khawatir?"

"Kami menghindari memasukkan barang haram ke dalam tubuh anak anak, ini melaksanakan perintah Allah, tentunya bernilai ibadah. Kami juga menghindari zat kimia yang berbahaya, yang terkandung di dalam vaksin,  contoh, vaksin hepatitis B sangat memberatkan organ organ tubuh bayi, terutama liver sangat terpaksa/berat merespon virus virus dari vaksin, hal ini memungkinkan terjadinya kelemahan fungsi lever pada tahap kehidupan berikutnya."

"Tidak khawatir tentang daya tahan tubuh? bukankah vaksinasi bertujuan merangsang dan meningkatkan daya tahan tubuh terhadap penyalit tertentu." tanya Linda.

"Allah menciptakan manusia dengan perangkat yang dibutuhkan, termasuk kekebalan tubuh. Secara alami tubuh akan bereaksi mengeluarkan antibodi ketika ada gangguan yang masuk ke tubuhnya. Kalau kita bisa melaksanakan pola hidup sehat, maka daya tahan tubuh kita akan baik. Dalam hal inipun ada unsur keimanannya, yaitu sikap tawakkal terhadap takdir Allah yang belum terjadi. Kita boleh berikhtiar mencegah kejadian buruk, misalnya penyakit yang membawa kematian, tapi tentunya dengan jalan yang tidak melanggar larangan dan menghindari subhat. Semua kita dalam genggaman kekuasaan Allah, ketika kita berusaha untuk selalu mengikuti aturan Allah, tentunya semuanya akan baik, insya Allah."

"Lalu, bagaimana dengan saya?" tanya Linda.

"Menjadi kader posyandu yang ikhlas adalah sebuah kemuliaan, laksanakan dengan sebaik baiknya, tapi tidak dengan menghalalkan segala cara, berikan informasi yang benar, biarkan masyarakat memilih haknya."

Linda manggut manggut, semoga memahami apa yang kusampaikan.

Setiap kita bertanggung jawab terhadap sikap yang kita pilih!.