Tuesday, December 31, 2013

SEDERHANA

Sederhana. . .

Itu komentar yang paling sering kudapatkan dari pembaca ketika mengapresiasi tulisan tulisanku.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia online didapatkan defenisi sederhana sebagai berikut:

1. bersahaja; tidak berlebih-lebihan, contoh : hidupnya selalu sederhana.

2. sedang (dalam arti pertengahan, tidak tinggi, tidak rendah, dsb), contoh : harga sederhana.

3. tidak banyak seluk beluknya (kesulitan dsb); tidak banyak pernik; lugas, contoh : dia menerangkan dengan kalimat kalimat yang sederhana.

Anggaplah para komentator bermaksud menyatakan penilaiannya mengacu pada defenisi yang ketiga, tulisan-tulisanku tidak banyak seluk beluk/ kesulitan dalam memahami, tidak banyak pernik dan bunga bunganya, lugas pada maksud dan tujuan dalam menyampaikan pesan, maka kesimpulan sementara, dalam hal menyampaikan pesan, tulisanku berhasil, pesan diterima oleh pembaca.

Sudah cukupkah? Tujuan sudah tercapai? O...o, belum, masih ada yang akan kubahas.

Menarikkah tulisan sederhana?
Mengapa dikaitkan dengan menarik atau tidak?
Tidak cukupkah dengan tercapainya tujuan tulisan, pesan diterima pembaca?

Seberapa menariknya sebuah tulisan terkait dengan banyaknya pembaca, artinya, walaupun pesan yang ada dalam sebuah tulisan itu super penting, dibutuhkan, menginformasi, menginspirasi, memotivasi, kalau yang membaca hanya sedikit berarti nilai kemanfaatannya berkurang, tidak sesuai dengan yang diharapkan.

Di sinilah peran ilmu kepenulisan, bagaimana mengemas pesan dengan cantik, menarik, bikin penasaran, haus baca terpuaskan, sukma mengawang awang, tanpa memaksa pesan masuk dengan elegan. Wuiiih! itu baru impian, sebatas angan. Tingginya cita cita tak sesuai dengan upaya menggapainya.

Kalau menulisku masih seperti sekarang, sekedar mengeluarkan buah fikiran, tulisan menggantikan bahasa lisan, yang penting sampaikan pesan, hmmmm, nggak tau deh. . . apakah cita cita jadi penulis beneran pantas kusandang!

#Curhat awal tahun (1-1-14)






KONTRAS

dentuman pertama membuatku terpana
berapa rupiah kalian buang sia sia
andai saja kalian belikan nasi
tentu dapat menenangkan perut perut kami

dentuman kedua membuatku semakin miris
semakin banyak hati yang teriris
di situ kalian berpesta dengan meriah
di sini kami tertatih lelah

dentuman selanjutnya membuatku iri
di sini kami tak henti mengais rizki
di situ kalian hamburkan harta
untuk hal sia sia tiada makna

hingar bingar musik membahana
kalian cari bahagia dunia semata
memekakkan telinga hilangkan khusyu
hilangkan suasana menuju

#Ditengah hingar bingar musik dan dentuman mercon.


Friday, December 27, 2013

BERFIKIR SINTESIS

Selama ini kita mungkin bangga bila dikatakan kritis, berfikir analisis.
Mampu melihat suatu permasalahan dengan detil.
Lihai mengurai fakta dengan cerdas.
Pandai menunjukkan sebab timbulnya masalah.
Lugas menunjukkan siapa yang salah.
Berbagai jenis pisau analisa digunakan
Kupas tuntas jadi tujuan

Layaknya seorang balita segera mencari obeng
Setelah sibuk mengangkat, memutar, mengamati mainannya.
Putar kanan, putar kiri, akhirnya yes!
Mampu membongkar mainannya dengan tuntas.

Tapi. . .
Mampukah sang balita cerdas mengembalikan
Mainan mahal ke bentuk asli
Agar bisa digunakan lagi
Akhirnya menangis sang balita sejadi jadi

Berfikir sintesis, bagaimana meramu fakta yang ada
Menjadi solusi nyata
Menjadi kebaikan tuk dinikmati bersama
Tanpa ada korban yang merana
Tanpa ada hati sakit mengurai air mata
Semua terapresiasi tuk mengecap bahagia
Walau bukan dengan hitungan sama rasa sama rata

Tuesday, December 24, 2013

PAHLAWAN = PERBUATAN + PENGAKUAN

Berbicara, bisa jadi pahlawan.
Menulis, bisa jadi pahlawan.
Bertindak, bisa jadi pahlawan.

Ketika pembicaraan berefek menginspirasi, memotivasi kemudian membuat yang mendengar melakukan perubahan pola hidup menuju kebaikan yang signifikan, maka dia akan mengatakan, "Dia pahlawan bagiku."

Ketika sebuah karya tulis menyebabkan pembacanya berfikir, berazzam dan bertindak meninggalkan keburukan dalam hidupnya dan mulai langkah baru tuk kehidupan yang lebih baik, maka dia pantas mengatakan,"Dia pahlawan bagiku."

Ketika seseorang bertindak dengan berani, kadang tidak memikirkan keselamatan diri untuk membela dan menolong seseorang, sehingga bebas dari ancaman, maka sangat layak bila yang bersangkutan berterimakasih dan berujar."Dia pahlawan bagiku."

Ketika seseorang melakukan tindakan heroik, tapi sayang tak satupun orang mengakuinya, maka tak mungkin dia akan mengatakan,"Aku pahlawan."

Dua hal yang harus ada untuk mendapat gelar pahlawan, yaitu perbuatan dan pengakuan.

Apakah cukup dua hal tersebut? Ya, cukup dua.

Di mana faktor keikhlasan?

Ikhlas ada di hati, urusan yang bersangkutan dan Allah semata.

Jika yang dicari penilaian Allah, maka jangan pernah berbuat kebaikan tanpa menyertakan keikhlasan, rugi.

Jika ingin gelar pahlawan, berbuatlah sebanyak banyaknya, jangan lupa hadirkan saksi sebanyak banyaknya.

Boleh dapat dua duanya? Hahhh!

Begini rumusnya:

              "Berbuat baiklah sebanyak banyaknya karena Allah semata, lillahi ta'ala. Allah suka hambaNya    bersyukur dengan bukti, dengan amal kebaikan yang mendatangkan kemaslahatan dan kemanfaatan bagi orang banyak. Orang yang mendapat kebaikan tentunya senang dan dengan tulus akan berterima kasih. Rasa terima kasih kolektif akan mengimbas pada pengakuan kolektif tentang jasa seseorang terhadap komunitasnya, dan gelar pahlawan akan disematkan, walaupun kadar kepahlawanan juga relatif, tergantung siapa yang memberikan pengakuan. Gelar kepahlawanan yang disematkan pada diri seseorang bisa menjadi sebuah warisan yang spesial bagi anak cucunya."

Ini pendapatku, bagaimana pendapatmu?

Sunday, December 22, 2013

BEBAN BERAT


Semakin besar kemampuan kita memikul beban
Semakin mulia di hadapan Allah

Beban yang berat bukan di cari
Tanggung jawab besar bukan diminta
Tetapi menyiapkan diri tuk memikul beban berat
Harus dilakukan, dipersiapkan

Latih diri dengan pembiasaan
Konsisten dalam amal kebaikan
Dawamkan dalam amal yang ringan
Tingkatkan untuk  amal yang lebih berat
Bertahap. . .pelan tapi pasti
Sampai suatu saat beban berat terasa ringan
Tanggung jawab besar dilaksanakan dengan senyuman

Saturday, December 21, 2013

ENGGAN


Enggan
Malas
Berat

Hanya memenuhi undangan
Hanya jadi peserta
Hanya datang, duduk, dengar

Sudah tersedia imbalan melimpah
Pahala menuntut ilmu
Pahala silaturahim
Keluar dari rutinitas
Penyegaran dari kejenuhan
Motivasi yang selalu dibutuhkan

Tidak harus ikut sibuk menyiapkan tempat
Tidak perlu bingung mencari pembicara
Tidak perlu repot siapkan konsumsi
Tidak perlu siapkan segala keperluan pertemuan
Tidak juga merasakan deg degan sukses tidaknya acara

Ini bukan aku, sungguh, ini bukan aku
Kuyakini pasti

Telah kujual diri ini padaMu ya Robbi
Dengan harga yang tiada sesuatupun mampu melampaui
Tak ada niat secuilpun tuk menariknya kembali

Walau raga ini tak lagi segagah dulu
Walau gerak ini tak selincah dulu
Walau nafas ini tak selega dulu
Walau harta ini tak selonggar yang kumau
Walau podium tak lagi menantiku

Tapi aku masih kaya ide tuk menginspirasi
Aku masih punya semangat tuk memotivasi
Aku masih punya telinga tuk mendengar curahan hati
Aku masih bersuara sekedar mengingatkan kelalaian ikhwati

Netraku mampu membaca walau harus berkaca mata
Jemariku masih lincah merangkai aksara
Kulakukan apa yang masih bisa
Selagi raga masih bernyawa

SUDAH RIZKI?


Mas, mengapa kehidupan kita begini begini aja? Apakah memang segini rizki kita atau usaha kita belum maksimal?

Entahlah Dik, Mas belum bisa menjawabnya, mungkin bisa kita evaluasi lagi langkah langkah kita selama ini, sudahkah maksimal dalam ikhtiar?

Hal ini sangat merisaukan belakangan ini Mas, aku khawatir akan mempengaruhi hal lain.

Maksud adik?

Banyak mas, misalnya masalah keikhlasan, sikap dan perasaan.

Mas belum faham banget, bisa dijelaskan?

Begini lho mas, contoh, hampir setengah bulan ini Mas tidak memberi uang belanja, kemudian Adik belanja dengan uang penghasilan sendiri, nah, ketika sedang sensi, kadang ada rasa kurang ikhlas,
Atau mungkin dengan kondisi seperti itu mempengaruhi sikap Adik ke Mas, entah dengan kata kata
Bisa juga anak anak yang jadi sasaran, jujur, Adik masih sering terpengaruh suasana hati ketika bersikap, belum pinter memilah milah, kapan harus bersikap manis dengan siapa, dan lain lain.

Kalau menurut Adik, selama ini Mas sudah maksimal belum?

Sudah, bahkan kadang over load, herannya, koq hasilnya masih seperti ini? Padahal ilmu kita lumayan banyak, relasi kita nggak sedikit, hubungan kita dengan orang lain juga baik, tidak punya musuh, sering menolong orang, jadi di mana masalahnya?

Apa menurut Adik kita hidup kekurangan?

Kalau mengukurnya dari makan cukup, kita nggak kekurangan, Alhamdulillah nggak pernah kelaparan karena nggak ada yang dimakan, tapi kadang Adik nelangsa kalau anak anak minta sesuatu yang jelas jelas kebutuhan, kita tidak bisa segera memenuhinya. Belum lagi SPP yang sering nunggak, hutang tidak lunas lunas, kadang kalau sudah mikir itu, kepala nyut nyutan.

Terus, Adik pengennya seperti apa?

Nggak muluk muluk koq Mas, ya cukup makan, biaya pendidikan, bebas hutang, pakaian sekedarnya, kendaran seadanya.

Mas  tambahin ya? Kalau mau beli ada uang, mau pergi ada kendaraan, he he he.

Aaah, Mas niiiih, kan nggak dilarang?

Dik, anak anak kita bermasalah yang berat nggak? Seperti salah gaul, narkoba, melawan orang tua, mengganggu orang lain?

Alhamdulillah nggak Mas, malah mereka semua membanggakan dengan prestasi dan pergaulannya.

Hubungan kita, ada masalah nggak? Misalnya ada orang ketiga.

Memang Mas punya wanita lain? Atau sudah minat poligami?

Husss, ya nggaklah, memang Adik sudah siap dipoligami? He he he, bercanda...gitu aja langsung cembetut., mana berani Mas berfikiran seperti itu, amanah yang ada saja belum sukses, koq mau ambil amanah baru, nggak berani ngadepin pertanyaan Allah nanti diyaumil akhir. Halaaaah, langsung sumringah.

He he he

Kalau misalnya, masalah kita sekarang, ekonomi yang fluktuatif, ditukar dengan masalah yang Mas sebutkan tadi, mau nggak? Kita diberi harta melimpah, tapi diberi masalah anak anak atau yang lainnya, pilih mana?

Nggak..nggak..nggak, yang sekarang aja deh, belum tentu kita kuat menghadapi kalau diberi masalah yang lain.

Maafin Mas ya? Seharusnya nafkah keluarga tanggung jawab Mas, tapi nyatanya Adik ikut bekerja keras membantu mencukupi nafkah, padahal tugas Adik sendiri sudah sangat berat. Harusnya Adik fokus ke urusan anak anak dan rumah serta belajar, menambah wawasan untuk membimbing anak anak, mereka sangat butuh bimbingan seorang ibu yang cerdas.

Ya nggak apa apalah Mas, Adik juga membantu mencari nafkah di rumah, sambil mengawasi anak anak, itupun kalau urusan anak sudah beres, .kitakan sudah sepakat, anak anak adalah urusan yang utama.

Apa Adik nggak usah ikut mencari nafkah? Biar Mas nggak merasa bersalah, tapi mungkin Adik harus lebih berhemat.

Nggak deh Mas, rasanya nggak sanggup kalau harus berhemat lagi, ini sudah pool, mananya lagi yang mau dihemat? Dari pada Adik nanti stress karena harus lebih berhemat, lebih baik kerja lebih keras untuk membantu Mas, bukankah itu juga peluang sedekah untuk Adik?

Mas hargai pilihan Adik, tapi tolong maafin Mas ya?

Nggak ada yang perlu dimaafin, Mas nggak salah, anggep anggep memang rizki kita segini jatahnya, yang penting kita sudah maksimal ikhtiar, hasilnyakan kembali kepada Allah, eh maafin Adik juga ya, kalau pas lagi suntuk, kadang sikap Adik menyebalkan.

Mungkin kita perlu lebih meningkatkan rasa syukur kita kepada Allah, agar nikmatnya ditambah.

Ya Mas, kadang ketika sedang suntuk, nggak sadar mengeluarkan keluhan, yang intinya kurang bersyukur.    

Thursday, December 19, 2013

UFF / AAH



Aku seorang ibu, ibu biologis untuk anak anak yang terlahir dari rahimku dan ibu fungsional untuk orang orang yang aku bimbing dalam kehidupan.

Anak anak adalah cermin, maka aku selalu memperhatikan mereka untuk melihat diriku.

Ketika salah seorang anak mengatakan,”Aaaah, Umi maaah,” karena aku tak setuju dengan maunya, maka aku akan langsung bertanya pada diriku sendiri, pernahkah kau bersikap seperti itu pada ibumu? Atau lebih parah?

Ketika anak yang lain cemberut karena hidangan di meja yang kusediakan tak sesuai selera, rasa panas hatiku, nggak tau bagaimana Umi mengorbankan waktu untuk semua ini? Mana  terimakasihmu? 

Maka aku akan teringat, ketika SMP, setiap pulang sekolah, hidangan di meja tak ada sayur kesukaan atau terlihat lauk yang kubenci, aku langsung menangis, kecewa, tapi. . . makan juga,  

Ketika salah satu anak sering sekali menyebabkan pihak sekolah memanggil untuk membicarakan berbagai hal tentangnya, maka aku akan teringat bagaimana jerih payah orangtuaku untuk memenuhi biaya sekolah agar tak putus proses belajarku, dan itu tentu saja memberatkannya, so, apa yang sudah kulakukan untuk meringankan bebannya, menghibur kesedihannya?

Allah telah mewanti wanti kita sebagai anak, tuk tidak menyakiti hati orang tua, walau hanya dengan perkataan uff / ah.

Mengapa sesederhana itu?

Mungkin karena kepekaan hati manusia berbeda, ah adalah kata paling sederhana untuk menyakiti hati yang peka.

Ada lagi pertanyaan yang sering mengganggu tidurku, sudah sesuaikah aku sebagai ibu yang mana surga ada di bawah telapak kakiku?


#Renungan  untuk para  Ibu

Wednesday, December 18, 2013

BOSAN


Itu lagi, begitu lagi
Kapan keluar dari situasi yang sama
Permasalahan yang tak jauh berbeda
Bosan, bosan, bosan

Mengapa aku tak juga keluar dari masalaha yang seperti ini?
Apakah karena belum cukup pelajaran yang kuterima?
Ataukah karena belum pantas naik peringkat?
Mungkinkah belum maksimal dalam upaya?

Dalam kebosanan kucoba pasrahkan semua
Tawakkal hanya kepadaNya
Kuyakin semua ini yang terbaik menurutNya
Coba bersabar hadapi semua
Apapun jenisnya setiap masalah adalah ujian
Dia lebih tahu ujian yang pantas
Dia juga yang tahu batas kemampuanku

Tuesday, December 17, 2013

HILMY 2


Setelah mendapat kepastian, istriku baik baik saja dan bisa ditinggal, aku segera bergegas pulang untuk mengambil Hilmy, masih dengan mobil pakde, karena memang anak pakde menunggu hasil pemeriksaan.

Sesampai di rumah segera kusiapkan keperluannya, pakaian dan lain lainnya. Agak bingung juga sih, apa apa saja yang dibutuhkan, tapi biarlah, kekurangannya besok kuambil lagi setelah tanya istri, dan lagi tentunya di rumah bu Tarni ada keperluan bayi, bukankah memang di sana klinik bersalin? Aku agak bingung ketika mau menggendongnya, bisa sih, kemarin juga menggendong, tapikan hanya di dalam rumah, sedang ini akan pergi lumayan jauh, malam menjelang dini hari, angin kencang dan tentunya dingin sekali. Dimana selimut bayi yang tebal, yang dipakai waktu pulang dari klinik bersalin ya? Ah, aku tidak menemukannya. Hmm, ada handuk baru, lebar dan tebal hadiah dari salah satu orang tua santri TPA tergeletak di sisi bantal, istriku belum sempat membereskan dan menyimpannya. Kugunakan handuk tebal itu untuk membungkus Hilmy, beres. 

Kugendong Hilmy dalam dekapanku, melindunginya dari hawa dingin dan angin kencang.

Mengulang perjalanan yang sama, tapi jauh berbeda yang kurasa. Perjalanan kali ini tak begitu menegangkan, tak juga menakutkan, mengkhawatirkan. Aku bersyukur, Hilmy tenang dalam gendonganku, anak pintar. Tadi kata mba Tus, Hilmy juga nggak rewel, saat bangun, disusui dan tidur lagi, Alhamdulillah. Itu sangat membantu, yang jelas aku akan sangat panik jika dia menangis, aku tak tahu cara mendiamkannya, akukan tidak punya ASI, he he.

“Astaghfirullah!” tiba tiba aku rasakan mobil berhenti mendadak,dan. . .masyaallah, di posisi jalan sedang menanjak?

“Kenapa mas?” tanyaku panik.

“Sepertinya bensin habis, Bi.” Jawab anak pakde.

Mobil dimundurkan untuk mencari posisi yang lebih aman, kemudian anak pakde keluar.

“Tunggu dulu ya Bi, saya cari bensin dulu.”

“Di mana mas nyarinya?”

“Saya coba dulu di sekitar sini, mungkin ada warung yang masih buka.”

Aku menunggu beberapa saat, sambil terus berdoa, mohon agar Hilmy jangan bangun dulu, masih jauh. 

Sambil berhitung, andainya aku jalan kaki, tapi kasihan Hilmy, dingin dan angin terlalu kencang.

“Nggak ada yang buka Bi, gimana ya?” anak pakde datang tanpa hasil.

Aku berfikir keras, kupandang sekeliling, Alhamdulillah.

“Maaf mas, itu ada telpon umum, mungkin bisa minta tolong pakde.”

“Oh, ya. Telpon bapak, minta tolong bawakan bensin.” Anak pakde langsung menuju ke telpon umum. 

Hmmm, penantian diperpanjang, ya Allah, tolong lelapkan Hilmy selama menunggu.

Aku berunding dengan anak pakde, bagaimana caranya segera sampai tempat, kalau menunggu pakde jelas lama, akhirnya diputuskan untuk mencari pertolongan, tumpangan mobil yang lewat.

Aku tetap di dalam mobil, sedang anak pakde menyetop setiap mobil yang lewat, sudah beberapa yang lewat, tapi tak satupun yang mau berhenti. Kuputuskan turun sambil menggendong Hilmy, ikut menyetop mobil yang lewat, dengan harapan ada yang kasihan melihatku menggendong bayi. Aku tak tahu, berapa mobil yang telah kami stop, tak satupun yang perduli. Aku sedih, tapi aku maklum, mungkin mereka khawatir dan curiga, maklumlah hampir jam dua malam. Akhirnya aku harus bersabar menunggu mobil pakde.

Hampir dua jam kami terombang ambing dalam penantian, akhirnya pakde datang, langsung mengantar aku dan Hilmy, sedang anak pakde menunggu mobil yang kehabisan bensin.

***

Bahagianya mendengar suara suamiku datang, aku ingin bangkit, tapi belum kuat, aku ingin segera memeluk bayiku. Baru beberapa jam saja aku berpisah dengannya, tapi aku sangat kangen, aku segera memeluknya ketika suamiku mengulurkannya padaku. Kupeluk dia yang sedang tenang tidur dalam balutan handuk tebal. Subhanallah.

Bu Tarni menyarankan aku tidak menyusuinya dulu, sebelum kondisiku pulih, khawatir mempengaruhi bayiku. Aku menurut, dalam kondisi seperti ini aku percayakan semuanya pada bu Tarni, dia lebih tahu tentunya. Akhirnya bayiku di bawa asistennya ke kamar lain untuk di rawat. Aku belum bisa melakukan apapun untuk bayiku. Aku sedih, menangis, tapi berusaha untuk menerimanya, aku pasrahkan semuanya pada Allah.

Keesokan harinya, atas saran dokter, aku di bantu infus agar segera pulih, juga minum beberapa obat untuk mengatasi demam dan berbagai keluhan yang menyertainya.

Apa sebenarnya yang terjadi denganku?

Sampai saat ini aku tidak tahu pasti, tapi kemungkinan besar disebabkan salah urus, he he he.

Sejak menikah, kami memang mandiri, jauh dari orang tua. Ibuku datang ketika aku sudah melahirkan, dan hanya bisa menemani tiga hari. Saat itu musim hujan, cuaca dingin mempengaruhi bayi sering pipis, sehingga butuh sering ganti pakaian. Saat itu kami mencuci manual, tidak ada pengering, sehingga proses pengeringan cucian tergantung matahari. Melihat kondisi suami yang sibuk, aku berusaha mencuci setiap ada popok dan baju bayi yang kotor, agar jangan sampai kehabisan baju kering. Kondisi baru melahirkan, di tambah cuaca dingin dan bolak balik ke air, membuat kondisi tubuhku semakin rentan, wajarlah kalau kondisi itu memicu menurunnya daya tahan tubuh.

Walaupun aku sudah mempersiapkan diri dengan banyak membaca tentang menyambut kelahiran dan bagaimana merawat bayi, tapi tanpa pembimbing yang sudah berpengalaman dan semua harus ditangani sendiri, membuat aku tak berdaya dan terpuruk dengan kondisi yang tak sesuai dengan yang aku baca, ini pengalaman yang sangat berharga untuk anak anak selanjutnya. Ini pengalaman pertamaku merawat bayi.

Pengalaman pertama menjadi seorang ibu, benar benar pelajaran yang luar biasa, Alhamdulillah, untuk 5 orang adik adiknya, kejadian itu tak terulang lagi. Setiap habis melahirkan, aku selalu ingat pengalaman itu dan berusaha untuk menghindari penyebab dari kejadian  seperti itu.

***

Setiap mengingat peristiwa itu, syukur kehadirat Allah selalu kupanjatkan, begitu besar karunia dan kemudahan yang diberikannya kepada kami saat dalam kesulitan. Satu hal yang kami yakini, kemudahan kemudahan itu tak lepas dari kehidupan kami sebagai guru ngaji dan pengurus masjid juga pengurus kematian. Memang apa yang kami lakukan bukan profesi bonafid, tapi dalam kondisi kesedihan, kematian anggota keluarga, profesi kami sangat dibutuhkan dan tentunya sangat membekas, manusiawi sekali, ketika seseorang merasa pernah ditolong maka akan sangat senang memberikan pertolongan kepada orang yang pernah menolongnya.
***

HILMY 1


Bagaimana ini? Aku sudah tak kuat lagi , sebenarnya aku tak tega membangunkan suami yang pulas tertidur, dia terlalu lelah.
Baru sore tadi dia pulang mengantarkan ibuku , pulang berhujan hujan, kedinginan. Wajarlah kalau tidurnya sangat lelap. Tapi aku tak bisa berbuat apa apa, lemah kurasakan sekujur tubuh. Menggigil sejak tadi, untunglah bayiku yang baru berumur sepekan tidur dengan tenang.

Maafkan, terpaksa aku membangunkanmu Mas, bisik hatiku. Tapi tanganku tak sampai menggapai tubuhnya, suamiku tidur melintang di dekat kakiku, terpaksa ku senggol kakinya menggunakan kakiku.

Suamiku tampak terkejut, langsung bangun, duduk sebentar dia pegang kakiku.

“Masyaallah, panas sekali?”

Itu kata terakhir yang kudengar, setelah itu aku tak ingat apa apa, mungkin tidur atau pingsan, aku tidak tahu, seumur hidup belum pernah aku mengalami pingsan.

***

Kepalaku pusing karena bangun tiba tiba, panas yang menjalar dari kaki istri membuatku spontan duduk. Kupegang kakinya, haah! panas sekali. Aku segera turun dari dipan dan menghampirinya, Allah! Pingsan!

“Nduk! Bangun...nduk!” aku panik, segera kuambil air dan waslap untuk mengompresnya. Kuoles leher dan pelipisnya dengan minyak kayu putih dan kuhirupkan dihidungnya, dengan harapan segera sadar.

Ke dokter! Ya, harus ke dokter, tak bisa ditunda lagi. Wajah istriku pucat, pasi. Aku segera mengganti pakaiannya, mempersiapkan membawanya ke dokter. Kuminta adikku ke tempat mas Khudori, tetangga sebelah rumah, untuk mencarikan becak.

***
Ketika sadar, kurasakan bagian dahi basah, kupegang, oo ternyata ada kompres.

“ Yuk ke dokter,” kata suamiku  sambil tanganya sibuk memakaikan kaos kaki .

“ Jam berapa Mas?” tanyaku

“ Setengah dua belas.”            

“ Besok pagi saja Mas, nggak enak malam malam mengganggu dokter.”

“ Sekarang! Ini hasilnya kalau menunda nunda ke dokter!”

Memang setelah maghrib tadi suamiku mengajakku ke dokter karena badanku demam, tapi ku fikir demam biasa, maka aku menolaknya.

Sekarang aku tidak bisa menolak lagi, kondisiku sudah sangat membutuhkan pemeriksaan dokter. Dibantu suami dan adik ipar perempuan, aku bersiap berangkat, tapi aku ingat sesuatu.

“Ganti baju dulu Mas, aku tadi pakai daster.”

“Sudah,” jawab suamiku, pendek.

Rupanya saat aku  pingsan, suamiku sudah mengganti bajuku, aku tidak tahu baju yang mana, karena tertutup jaket dan jilbab, terserahlah, yang penting seluruh auratku aman, dan aku percaya pada suamiku, dia tak akan membiarkan auratku keleleran.

Dengan tertatih, aku di papah menuju becak yang sudah menunggu, terlihat mas Khudori  dan mbak Tus, istrinya di depan pintu. Kusempatkan berpamitan, walau sambil lalu dan sangat lirih, ”Mba, titip bayi ya?”

“ Ya,Mi, insyaallah.” jawab mba Tus, melegakan.
Di lingkungan aku biasa di panggil Umi, walaupun belum punya anak, karena aku guru ngaji dan santri memanggilku begitu, begitu juga suami, biasa dipanggil Abi.

Aku berjalan lebih tenang, setidaknya satu beban fikiranku lepas. Bayiku ada yang menjaga, mba Tus juga sedang menyusui anaknya, setidaknya kalau urusanku panjang dan lama, beliau bisa menyusui bayiku..

Di halaman sudah menunggu abang becak dan becaknya, pak Rasyid, tetangga yang juga pengurus masjid, dan pak Hasan, petugas keamanan lingkungan yang sedang berjaga.

“ Mas, tolong anter ke dr Naimah ya,”

“ Ya Bi, monggo.”

Rumah Dr. Naimah hanya berjarak sekitar 400 meter dari tempat tinggalku, pak Hasan mengikuti kami dari belakang, sekalian menjalankan tugasnya keliling lingkungan.

Sesampainya di depan rumah dokter, suamiku langsung melompat dari becak, bahkan sebelum becak berhenti. Membunyikan bel pintu gerbang berulang ulang, tidak juga ada yang membukakan..

Karena terlalu lama, suamiku melompat pagar rumahnya, yang tidak terlalu tinggi. Membunyikan bel di pintu rumahnya sambil mengetuk ngetuk. Sia sia.

“Mungkin sedang ke Jakarta,”

Terdengar pak Hasan sudah menyusul.

“Dibawa ke rumah sakit saja Bi, minta tolong antarkan sopir pak Ediwan,” usulnya.

Tak ada pilihan lain, suamiku kembali naik becak dan minta diantar ke rumah pak Ediwan, tetangga belakang rumah.

Sesampai di pintu gerbang, suamiku tidak langsung menekan bel, tetapi mengintip ke halaman dari jeruji pagar rumahnya yang tinggi, tak nampak mobil di garasi tempat biasanya mobil parker.

Akhirnya kami kembali ke rumah, ternyata pak Rasyid dan mas Khudori masih ada di halaman rumah kami. 

Aku dibiarkan di beca, suamiku turun, membicarakan hasil perjalanan kami sesaat tadi. Dalam kondisi lemah tanpa tenaga, aku tetap memikirkan jalan keluarnya, pandanganku tertuju pada telfon umum yang ada di pojok halaman masjid. Aku memang tinggal di kompleks masjid, karena tugas suamiku sebagai pimpinan TPA di masjid itu.

“ Mas, telpon bu Tarni dulu, baiknya bagaimana,”

“ Nomernya lupa,” jawab suamiku, aku maklum. Itu pertama kali aku melihat kepanikan yang luar biasa, sebelumnya dia akan bersikap tenang menghadapi situasi segenting apapun.

Alhamdulillah, dalam kondisi fisik lemah tanpa tenaga. Ingatanku masih baik, aku ingat nomor telpon rumah bu Tarni, bidan yang menolong persalinanku seminggu yang lalu.

Kulihat suamiku menelpon, menjelaskan kondisi saat ini, minta pendapat beliau.

“ Kita ke rumah bu Tarni dulu.”

Kulihat suamiku berunding dengan yang hadir, nampak mereka kebingungan, dengan apa membawaku ke sana? Tempatnya jauh, tidak mungkin dengan becak.

“ Mas, kan di rumah pak. . .siapa tuh yang pojokan jalan, ada mobil angkot,” aku memberi usul.

Alhamdulillah, dalam kondisi terkulai, Allah masih memberikan kejernihan pada fikiranku, walau tak sesempurna ketika sehat.

“Masyaallah, iya, tempat pakde kan ada mobil, dua malah,” suamiku sampai teriak, hmmm, nih ada bapak bapak empat orang panikan semua, lupa dengan hal penting seperti itu.

Akhirnya, aku dan suami di antar oleh anak pakde dengan mobil pribadinya.

Dalam perjalanan benar benar aku merasakan seluruh tubuhku bagai dilolosi, lunglai, tanpa tenaga. Dalam kondisi seperti ini, aku teringat dengan bayiku.

“ Mas. . . titip eee, siapa anak kita namanya. . .?” kataku  pada suami, heran! Nomer telfon ingat, tetangga ingat, hah! Nama anak sendiri nggak ingat, ah maklumlah, baru sepekan. Aku ingat dengan wasiat.  Aku ingin berwasiat, tapi suamiku segera memotong ucapanku yang belum kuselesaikan.

“ Sudah, diam! Nggak usah banyak omomg, perbanyak dzikir!”bentaknya.

Aku kaget, belum pernah suamiku membentak selama ini, tapi aku maklum. Mungkin itu ekspresi ketakutan, kekhawatiran yang sangat.

Aku menurut, tak bicara lagi. Sepanjang jalan aku merenungkan apa yang terjadi. Yang kurasa hanyalah lemas, tanpa tenaga, tetapi aku tidak merasakan sakit apa apa. Disekujur tubuh, aku rasakan baik baik saja, hanya lemah. Mau menggerakkan jaripun aku tak sanggup. Aku duduk bersandar di kursi bagian tengah mobil, di pegangi suamiku. Kepalaku tak bergeser dari bahunya., aku merasakan debaran jantungnya yang memburu dan kurasakan menjalar sampai bahunya, aku merasakannya. Kurasakan perjalanan ini begitu jauh, begitu lama. Kupejamkan mata, sekali kali kubuka. Kupandangi langit penuh bintang, sejuk  kurasakan  udara malam ini.

Inikah saatnya aku meninggalkan semuanya? Aku coba coba ingat, seperti apa rasanya sakaratul maut yang di gambarkan oleh Rasulullah dalam salah satu hadistnya. Tapi koq tidak sama ya? Katanya, semudah mudahnya sakaratul maut, tetap ada sakitnya, ada ketakutannya, tapi yang kurasa justru keindahan malam yang tak pernah kurasakan sebelumnya. Nikmatnya badanku tanpa rasa sakit sedikitpun, hanya tanpa tenaga. Tetapi kondisi tanpa tenaga itulah yang justru mengantarkanku pada kepasrahan total kepadaNya, benar benar pasrah. Mungkin itulah saat terindah aku dalam  kepasrahan, tanpa sisa sedikitpun, total.

Sesampainya di rumah bu Tarni, aku di bopong suami, di bantu bu Tarni dan anak gadisnya, aku benar benar tanpa tenaga, tak bisa lagi dipapah.

“ Di kamar depan saja!” perintah bu Tarni.

Aku segera di tangani, di periksa, tanpa ku duga bu Tarni memerintahkan anaknya untuk mengambil alat kerokan, hah?

Aku di keroyok. Ada yang mengerok, ada yg memijit, seluruh tubuhku, depan, belakang, tangan, kaki. Setelah semua terkendali, aku di beri minum teh hangat. Aku rasakan tubuhku mulai bertenaga, ku coba gerakkan jari, perlahan  mengangkat tangan, Alhamdulillah, berhasil.

“Bagaimana bu?” Tanya suamiku, masih dengan nada khawatir.

“ Sudah Mas, nggak apa apa. Tapi biar disini dulu. Lihat perkembangannya. Bayinya saja Mas ambil, bawa ke sini, biar Uminya lebih tenang.”

“Apa yang terjadi Bu?”

“ Masuk angin kasep.”

Masyaallah, masuk angin? Kalau masuk angin saya biasa tangani, tapi belum pernah ketemu yang seperti ini. 

Baik, saya akan bawa kemari bayinya.”

Tanpa menunggu dua kali, suamiku pulang mengambil bayiku, oh baru ingat, bayiku namanya Hilmy, ooh, maafkan Umi nak, sampai lupa namamu.

“ Bu, kondisi seperti tadi apa bisa nggak tertolong?”

“ Sangat bisa, terlambat sedikit ya bisa nggak tertolong.”

Alhamdulillah ya Allah, Kau izinkan aku lepas dari masa kritis ini, tak terasa air mata menetes di pipi, aku kangen bayiku.

***

Monday, December 16, 2013

SIAPA YANG IMAM?




“ Sampai kapan kau akan bertahan dengan kondisi seperti ini?” tanyaku geram, kutatap adikku dengan sorot mata tajam. Dia tahu, kalau aku sudah memandang dengan cara seperti ini, berarti aku sudah tidak main main.

“Entahlah. . .?” jawabnya, sambil berlinang air mata.

Tak tahan aku menyaksikannya, kutubruk dan kudekap dia dalam pelukku, kami bertangisan. Betapa berat yang ditanggungnya. Kalau aku bukan kakaknya, yang tahu betul bagaimana karakternya, mungkin aku tidak akan tahu, seberat apa bebannya.

Lia memang penyabar, sangat bahkan.Entahlah, kami saudara sekandung, tapi karakter jauh berbeda, Lia penyabar, santun, sedang aku gedebrak gedebruk, kata ibu. Tidak sabaran, apa apa terburu buru, ambil keputusan tanpa fikir panjang, dan lain lain.

***

Tiga belas tahun yang lalu, di suatu siang, sepulang dari kampus, Lia menyampaikan padaku, ada seseorang yang akan segera melamarnya, aku langsung melotot mendengarnya.

“Maafkan Lia mba, sama sekali tidak bermaksud membuat mba marah atau sakit hati.” katanya sebelum aku sempat berkata apa apa, nada suaranya yang penuh kerendahan hati membuatku lilih.

Jujur, aku sempat tersinggung bahkan hampir marah mendengar pemberitahuannya, bayangkan, aku kakaknya, lebih tua, belum menikah, eh tiba tiba Lia menyampaikan hal konyol seperti itu.

“Jadi maksudnya, Lia mau mendahului mba? Menikah lebih dulu?” tanyaku.

Lia diam, tak berani menjawab, menundukkan wajahnya, aku kasihan melihatnya, Lia benar benar dalam posisi serba salah. Kuhela nafas untuk lebih menenangkan diri.

“Baiklah, sekarang apa yang bisa mba bantu?”

Lia nampak terkejut, langsung mengangkat wajahnya, menatapku dengan wajah berbinar.

“Benar mba?” tanyanya antusias, kuanggukkan kepala sambil tersenyum terpaksa.

“Siapa yang akan melamarmu?”

“Kata mba Sinta, namanya Umar,anak fakultas Eknomi, semester delapan.”

“Masih kuliah?” sungguh, aku terkejut mendengarnya.

“Iya mba, seangkatan dengan Lia.” Jawabnya, menunduk lagi.

“Mengapa Lia ingin segera menikah? Lia masih kuliah, Umar belum selesai, mengapa tidak menyelesaikan kuliah dulu?”

“Lia takut fitnah, bukankah Rasulullah menganjurkan, ketika seorang beriman datang meminang terimalah, jika ditolak khawatir akan ada fitnah yang datang.”

Aku faham, tapi apakah aku sudah siap melaksanakannya bila hal itu terjadi? Mungkin aku tidak seyakin Lia.

“Bagaimana dengan Ibu dan Mas Fahri, apa kata mereka?”

“Lia butuh bantuan mba untuk memuluskan semua urusan,” tatapannya memohon.

“Astaghfirullah!” Lia setengah berteriak sambil tangannya menutup mulutnya.

“Ada apa?”tanyaku heran.

“Bagaimana dengan mba? Apakah mba mengizinkan? Apakah mba tidak keberatan aku langkahi?”

Aku menggeleng, walaupun sedih, belum rela seratus persen, tapi aku tak ingin mengecewakannya,
”Insyaallah mba nggak apa apa, skripsi masih dalam perbaikan. Jodoh tak kan ke mana, kalau sudah saatnya, mba yakin, jodoh mba akan dikirim Allah.”

Wajah Lia langsung cerah, dia berlari mendekapku, hmmm, bahagia sekali.

Kemudian kami atur strategi, pertama kami temui Sinta, teman seangkatanku yang menjadi ustadzah Lia untuk mencari keterangan sebanyak banyaknya tentang Umar, pemuda yang telah siap melamar Lia.

Dari Sinta dan suaminya kami mendapat keterangan, Umar seorang aktifis dakwah kampus, anak seorang pejabat di sebuah BUMN, bersedia dan berjanji mengizinkan Lia menyelesaikan kuliahnya dan membiayainya sebagai tanggung jawabnya sebagai seorang suami. Informasi itu melegakan kami, karena menurutku, seorang aktifis dakwah kampus biasanya baik agamanya, keimanan dan akhlaknya,karena aku juga ada di dalamnya, menyaksikan sendiri bagaimana kiprah teman teman di sana.

Informasi yang kami dapat dari Sinta dan suaminya cukup membuat Ibu dan Mas Fahri lega hati dan mengizinkan apa yang diinginkan Lia.

Dengan izin Allah, pernikahan berlangsung dengan lancar, mas Fahri menggantikan ayah almarhum menjadi wali nikah untuk Lia.

Seminggu setelah menikah, mereka langsung menempati rumah yang telah dibelikan oleh orang tua Umar di sebuah perumahan sederhana yang sudah sebagian direhab.

Aku bahagia melihat mereka, kadang iri. Mereka bisa berpacaran seperti mahasiswa lainnya, tapi mereka sudah halal, tanpa ketakutan dikejar rasa bersalah dan dosa.

***

Saat menyusun skripsi, Lia hamil. Tapi dia gigih, dengan kondisi tubuh yang lemah pengaruh kehamilannya, 

Lia tetap mengerjakan skripsinya, dia tidak mau menunda kelulusannya.

Aku memperhatikan kehidupannya, badannya semakin kurus, tapi Lia tidak pernah mengeluh, baik kepakaku, Ibu ataupun mas Fahri. Setiap kutanyakan kesulitannya, dia hanya tersenyum dan mengatakan,    

Lia nggak apa apa mbak, terima kasih. Nanti kalau butuh bantuan, mba orang pertama yang akan Lia hubungi.”

Aku tidak bisa memaksanya, aku hanya pasrah. Aku percaya padanya, selama masih bisa, memang Lia pantang merepotkan orang lain, bahkan aku, kakak kandungnya sendiri. Aku faham, dan menghormati keputusannya. Kami memang dididik untuk tidak manja, berani ambil keputusan dan siap dengan konskuensinya.

Lia berhasil lulus dengan nilai baik, sedang Umar baru mulai menggarap skripsi. Kesibukan dakwah menjadi alasan keterlambatannya menyelesaikan kuliah.

Aku melihat begitu banyak perbedaan kehidupan kami dan keluarga Umar. Ini bisa dilihat dari karakter Umar. Dalam keluarga kami, anak sulung benar benar bisa menjadi contoh teladan dan pemimpin bagi adik adiknya, orang tua kami mendidiknya seperti itu, dan kami melihat sosok itu pada mas Fahri. Sepeninggal bapak, mas Fahri langsung mengambil alih kepemimpinan dalam keluarga, tak nampak canggung sedikitpun, karena bapak sudah melatihnya sejak kecil.

Sedangkan kalau melihat sosok Umar, sebagai anak sulung, aku sama sekali tak melihat itu. Bayangkan, sebagai seorang suami, seharusnya dia bertanggung jawab memenuhi nafkah untuk keluargan, tapi nyatanya, semua ditanggung orang tuanya. Tentu saja Lia merasa tidak enak hati dan tertekan. Bagaimana tidak? Dia harus bisa mengatur keuangan keluarga sebaik baiknya, jangan sampai ada komentar negatif dari keluarga suaminya. Itu sebabnya, setelah wisuda dan melahirkan anak pertamanya, Lia langsung mencari pekerjaan yang paruh waktu sehingga bisa bergantian dengan Umar menjaga bayinya. Mau tidak mau Umar harus melakukannya, karena Lia memang harus bekerja, dengan adanya anak, pengeluaran otomatis jadi bertambah, sedangkan Umar belum berpenghasilan. Mau mencari baby sister, jelas tidak berani, keuangannya tidak memungkinkan.

Kehidupan terus berjalan, sampai kemudian Umar dapat menyelesaikan studynya. Mulailah dia melamar kerja dengan bermodal kesarjanaannya, tentu kerja kantoran. Umar tidak terlatih kerja kasar atau berdagang, terbiasa semuanya tersedia dengan mudah.

Waktu berjalan, tiba saatnya orang tua Umar pensiun, penghasilannya jelas berkurang. Subsidi untuk keluarga Umar berkurang drastis, nyaris terhenti. Untunglah untuk tempat tinggal tidak perlu memikirkan uang kontrakan, anak masih kecil kecil, belum perlu biaya sekolah, nyaris kebutuhan yang mendesak sebatas makan, pakaian dan kesehatan.

Umar ternyata bosenan, tidak gigih, tidak segagah ketika melihatnya sebagai aktifis dakwah kampus ketika kuliah dulu. Dalam bekerja ingin cepat dapat penghasilan yang bear, sedangkan umumnya sekarang yang dituntut bukan sekedar nilai ijasah, tapi skill. Hampir setiap perusahaan memberlakukan masa percobaan sebelum seorang karyawan menjadi karyawan tetap dengan gaji pokok. Umar tak tahan dengan masa masa itu, berulang kali dicobanya, hampir selalu mundur sebelum masa percobaan habis. Sebenarnya teman teman pengajiannya selalu membantu memprioritaskannya bila ada peluang, mengingat tanggungannya sebagai kepala keluarga, tapi ya. . .begitu lagi, begitu lagi.

Nyaris tiga tahun terakhir Umar tidak bekerja, nyaris semua rizki yang sampai untuk keluarganya lewat jalan Lia, padahal anak anak sudah sekolah, bahkan di sekolah yang berbiaya tinggi, bukan karena sok mampu tapi idealisme membuat mereka memilih sekolah sekolah itu. Lia rela banting tulang, dia ingin memberikan pendidikan yang terbaik untuk anak anaknya.

***

“Sebenarnya siapa imam dalam keluarga?” tanyaku sengit.

Lia diam, menunduk. Ujung jari kakinya sibuk mengorek ngorek lantai, seakan disitu ada sesuatu yang perlu dibersihkan, padahal aku yakin, lantai itu bersih.

“Umar faham agama, bahkan sampai sekarangpun masih aktif berdakwah, masa dia tidak tahu bahwa kewajiban menafkahi istri dan anak adalah tanggung jawabnya?”aku masih menggerutu, aku benar benar jengkel memikirkannya.

“Lia tahu, Umar juga faham. Tapi Lia belum mampu membantu Umar mengatasi dirinya, karakter yang sudah terbentuk hasil didikan orang tuanya sangat tidak mudah diubahnya. Bukan bermaksud menyalahkan orang tuanya, tapi itulah yang terjadi menurut pendapat Lia.”

“Kalau menurut mbak, jika kita sudah bertekad kuat untuk berubah menjadi lebih baik, pasti Allah akan membantu, tetapi itu tergantung pada kesungguhan. Mba curiga, jangan jangan Umar sudah merasa nyaman dengan kondisi seperti ini. Bisa sajakan, sesuatu yang awalnya tidak disuka, tetapi karena begitu lama dengan kondisi seperti itu, sesuatu yang awalnya tidak disukai lama lama justru dinikmatinya, apa dia tidak malu?”

“Sebenarnya Lia ikhlas dengan kondisi ini, biarlah rizki itu lewat jalan ikhtiar Lia, tapi kadang keikhlasan itu tercederai ketika Umar bersikap yang tidak menyenangkan.” Lia mulai meneteskan air matanya.

“Apa maksud Lia? Umar bersikap kasar?”

“Bahkan dia pernah mentalak Lia, karena sikapnya kasar pada anak anak. Lia protes, Lia nggak rela anak anak dikasari. Lia tahu, mungkin itu ekspresi rasa bersalahnya, merasa tidak berguna, tapi Lia marah kalau pelampiasannya dengan main kasar pada anak?”

“Jadi?” aku terkejut dengan cerita Lia, aku tak menyangka akan sejauh itu.

“Tapi menurut ustadz, talak itu tidak berlaku, karena tidak memenuhi persyaratan jatuhnya talak.” Lia buru buru menjelaskan.

“Andai orang lain yang mengalami, mba yakin, mereka tidak akan tahan dan memilih perceraian.” Aku mengemukakan pendapat, ya mungkin kesannya memanas manasi, aku kasihan pada Lia, terlalu berat bebannya.

“Tidak mba, insyaallah Lia kuat, toh sudah berjalan sekian lama.”

“Apa yang membuatmu bisa bertahan sekuat ini?” tanyaku penasaran.

“Anak anak dan dakwah. Lia tidak ingin menghancurkan masa depan anak anak, Lia juga tak ingin menodai dakwah yang sudah banyak kena fitnah ini dengan kehancuran rumah tangga Lia. Apa yang terjadi pada kami, tentu akan mempengaruhi dakwah kami. Biarlah apa yang Lia lakukan ini bernilai sebagai amal unggulan di hadapan Allah, tolong doakan ya mba, agar Lia tetap kuat dan ada perubahan pada diri Umar.”

***